Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Senin, 07 Februari 2011

Pola Pemikiran Eklektik pada Budaya dan Arsitektur Lokal Minangkabau

Oleh:
Harmaini Darwis


Abstract
Architecture is a culture product ( Feldman, 1967, Antariksa, 2007), later; then Banathy ( 1994) identifying the existence of " three culture element" important: ( 1) Science, ( 2) humanities and (3) Design. Science have an eye to to develop the understanding of human being about natural world; Humanitis have an eye to to develop the understanding of human being about experience of human being; and Design to have an eye to to develop the understanding of human being for the predict of reality forwards. Become can comprehend by eclectism desain in architecture is indirect effect of dimension of humanistik. That is desire to yield a[n masterpiece which related to feeling and spirit of rich pluralisme of meaning. modern Local architecture is finally influenced by idea of marriage or eklektikisme among/between old world architecture with architecture which is eye look into importantly of progress of technology. A criticism expanding is about development of local architecture form in West Sumatra having the character of " kistsch".

Keyword:  Eklektikisme, Architecture, West Sumatera,” kistsch”




1. Pendahuluan: Pola Pemikiran eklektik (eclectic) pada 

    Budaya Barat
Eclectic atau eklektik  berasal dari bahasa Yunani = “eklegein”, artinya memilih sesuatu (“to pick out”), istilah ini ditemukan pada filsafat dan juga bidang seni, yaitu pembentukan atau pemilihan dari beberapa  sistem berpikir kemudian menciptakan satu pola pemikiran baru. Pemikir eklektik mencoba untuk mengkombinasikan doktrin-doktrin yang dianggapnya valid untuk disatukan, walaupun pemikiran-pemikiran tersebut tidak dapat disatukan pada satu kesatuan yang utuh (integral).
Pola pemikiran yang bersifat “eklektik” sebenarnya sudah lama berlangsung, yaitu sejak abad ke-2 SM di Yunani. Pada saat itu mulai tumbuh benih-benih intelektualitas yang dimotivasi oleh filsuf besar Yunani  Plato dan Arsitoteles, yang berangkat dari pandangan yang bersifat kosmologis untuk mencari kebenaran. Contoh lain terdapat pada generasi filsuf Yunani yang tumbuh kemudian  seperti  Antiochus, yang mengkombinasikan pemikiran Stoikisme (Stoicism) [2] dan skeptisme (skepticism) [3] dan pemikiran Panaetius (sekitar  185-109 SM), dimana dia berbasiskan pemikiran  Platonism dan  Stoicism


ARTIKEL TERKAIT




Pemikir-pemikir Romawi juga mengembangkan sistem filsafat yang bebas dan terlihat eklektik misalnya  Cicero, [4] yang berusaha menggabungkan  elemen-elemen Stoikisme, skeptisme dan filsafat  Peripatetic.  [5]


Pada filsuf awal agama, seperti Clement dari Alexandria (Iskandariah) dan Origen mengembangkan sebuah sistem berpikir yang dipilih dari unsur-unsur filsafat metafisika Yunani dan dikombinasikan dengan pemikiran Kristen Yahudi (Judeo-Christian). Pemikiran ini terlihat pada  “kitab Perjanjian baru dan Perjanjian lama “Old and New Testaments. Kemudian, Meister Eckhart, seorang teolog Jerman yang beraliran mistik, mencoba untuk menggabungkan sistem filsafat agama Kristen yang didasari oleh pemikiran Aristotelian dengan pemikiran komentator Arab di abad Pertengahan yang disebut dengan  Neoplatonisme, dan doktrin Yahudi.

Pada abad ke-19, sekolah filsafat eklektik moderen yang muncul di Perancis; yang terkenal adalah dari tokoh Victor Cousin, yang mencoba untuk menyatukan pemikiran idealisme filsuf Immanuel Kant dari Jerman, sebagai filsafat “akal sehat”, dan dengan doktrin induktif  [6] dari filsuf Perancis  René Descartes. [7]

2.  Fenomena Eklektik pada  Perkembangan Arsitektur Barat

2.1 Kasus Eklektik pada Arsitektur Romawi
Gejala-gejala eklektik awal dalam sejarah arsitektur  Barat, diperlihatkan saat imperium Romawi berkuasa. Secara perlahan, kerajaan Romawi meluaskan jajahannya ke seluruh Italia dan kawasan laut tengah (Mediterania). 

Dengan perluasan wilayah itu orang Roma  bertemu dengan berbagai bentuk artistik dari kultur yang berbeda-beda,  khususnya seni dan budaya Yunani. Seni Roma tidak lagi berpegang sepenuhnya kepada seni Etruska. Selama lebih dua abad lamanya sebelum agama Kristen berkembang orang Romawi mengembangkan cara membangun, mematung dan melukis cara baru sebagai perpaduan antara kultur Romawi asli dengan kultur wilayah Jajahannya. Kultur baru ini dapat dilihat sebagai bentuk budaya eklektik pertama dan skala besar dalam sejarah seni dan arsitektur Barat.


Oleh karena luasnya wilayah geografis Kerajaan Romawi dan banyaknya populasi bangsa dan kultur yang berbeda-beda di dalam batasan-batasannya, seni dan arsitektur orang Roma terlihat ”sangat eklektik”, yang ditandai dengan bermacam-macam atribut gaya, baik bersifat  regional maupun pilihan gaya yang bervariasi yang luas cakupannya. 


Jadi apakah identitas Seni dan Arsitektur Romawi itu, kalau bukan seni eklektik ? Yang disebut seni Romawi bukan hanya seni yang dikomandokan oleh kaisar, para senator, dan kaum aristokratnya, tetapi kesenian dan arsitektur yang dimiliki oleh seluruh masyarakat Romawi luas itu. Tentu saja juga termasuk  seni dan arsitektur para pelaku bisnis kelas menengah, budak yang telah bebas (freedmen), para budak (slaves), dan para prajurit  di wilayah propinsi-propinsi  Italia yang luas itu.


Jadi, jika kita membahas seni dan arsitektur Romawi; patut juga dicurigai tentang apa yang disebut sebagai perkembangan  seni patung, arsitektur, seni lukis dan seni dekorasi  Romawi itu, sebab hanya sedikit sekali nama arsitek dan seniman Roma yang tercatat dalam sejarahnya. Secara umum, memang  monumen-monumen Roma itu telah dirancang dalam skala yang sangat luas untuk melayani kebutuhan mereka, namun hal itu  tidak mencerminkan kualitas artistik dari para pelaku seniman atau arsitek orang Roma sendiri.


2.2  Eklektik di Inggris

Salah satu bentuk seni neoklassik di Inggris adalah bangunan  John Soane atau Sir John Soane di London, sekarang bangunan ini menjadi musium, berisi banyak karakter unsur  eklektik seperti jendela jangkung dan langit—langit berbentuk dome, yang dibangunnya berdasarkan bangunan neoklasik yang populer sekitar akhir tahun  1700-an dan awal tahun 1800-an.

Dalam pandangan para arsitektur Barat moderen, memang ada sedikit kekecewaan terhadap gaya Barok yang penuh hiasan linear bercorak “arabeska” itu yang berlangsung di abad ke-17, atau gaya Rokoko abad ke-18, dan bahkan juga dengan gaya neo-Palladianisme  [8]; yang muncul kembali pada akhir abad ke-18, para perancang kemudian berpaling kembali kepada gaya arsitektur Yunani yang asli dan prototipe arsitektur Roma dan menggubahnya menjadi cocok dipakai untuk arsitektur  moderen.


Kekuatan pengaruh Yunani itu  terutama sekali terasa di negara Amerika Serikat yang masih muda itu sejak sekitar tahun 1850.  Malahan beberapa pemukiman kaum emigran  diberi nama Yunani seperti Syracuse, Ithaca, Troya dan sebagainya sedangkan bentuk-bentuk serta elemen bangunan Yunani yang dari bangunan batu ditransformasikan ke bangunan kayu. Banyak elemen bangunan Yunani dipakai untuk bangunan publik seperti perkantoran, gaya arsitektur itu mereka sebut sebagai “Greek Revival”.


Sedangkan pengaruh Romawi terlihat di Perancis saat pemerintahan Napoleon yang mensitir arsitektur ke arah kebesaran Romawi.  Salah satu contoh adalah  bangunan gereja Madeleine (1807-1842), adalah bentuk tiruan gereja Roma di Paris.  Dunia pikiran arsitektur Perancis telah terguncang-guncang pada pergantian abad oleh adanya proyek yang besar dan imajinatif yang dipublikasikan oleh Étienne-Louis Boullée dan Claude Nicholas Ledoux. Karya ini diilhami oleh aspek bangunan masif orang Mesir yang besar dan hasil karya orang Romawi, bersifat monumental namun juga sangat tidak praktis, komposisi bangunan itu inovatif, tetapi dimasa sekarang mereka disebut sebagai  arsitek pengkhayal.


2.3. Eklektik di Amerika

Adalah sesuatu yang menarik saat terjadinya era kebangkitan kembali seni Yunani di Amerika, dimana para sejarawan dan kritikus sangat sedikit mengenali Art Deco yang sebenarnya adalah perpaduan berbagai gaya, dan menjadi sebuah kesatuan sebagian besar arsitektur dan perancangan tahun 1920--1930-an (Jaman resesi di Amerika Serikat), sebagian ahli mengganggap  gaya itu akibat penyederhanaan gaya “Art-Noveau” (seni baru) sebelumnya akibat resesi ekonomi, padahal tidak demikian adanya.

Jika diteliti lebih cermat, gaya ini sebenarnya berasal dari sumber yang sangat luas dan sangat eklektik, seperti  pengaruh seni Mesir dan seni Indian suku Aztec, Seni rakyat Indian Amerika, dan sebagainya, dan yang penting lagi adalah mulai kuatnya  eksistensi berbagai sub-kultur di samping kultur Barat yang dominan.


Salah satu pertimbangan munculnya Art Deco adalah masa resesi  dan untuk memantapkan dan menyederhanakan berbagai kebudayaan dan penolakan terhadap gaya internasional yang kaku dan tidak mengekspresikan budaya itu.  Meskipun demikian, art deco adalah sebuah gaya yang pervasif (dapat dirembesi atau meresap dalam  berbagai waktu); beberapa diantaranya dapat tampil dengan baik, layak dan tidak perlu dibongkar seperti nasib karya arsitektur yang dianggap gagal dan yang kemudian dibongkar. Untuk publik, diskursus tentang arsitektur sering kacau, karena diskusi tentang arsitektur itu adalah sesuatu yang esoterik (hanya dipahami oleh beberapa orang saja), sedangkan oleh arsitek justru senang karena menjadi ajang bereksperimen. Suatu gejala umum di Amerika yang berkembang sejak tahun 1978 adalah diterimanya prinsip pluralisme dalam arsitektur.


Dalam cacatan dunia arsitektur saat itu adalah diterimanya pengembangan arsitektur regionalisme. Regionalisme didefinisikan sebagai respon terhadap 1) iklim, 2) kedaerahan, dan 3) tradisi suatu area tertentu, seperti halnya elemen medium bahasa daerah lokal (local vernacular)  dalam hal ukuran, bentuk, warna, dan material.


2.4. Eklektik dan Posmoderen

Sehubungan dengan arsitektur vernakular sudah memainkan peran utama dalam pengembangan  arsitektur postmodern, yang ditandai oleh penyerapan berbagai pengaruh arsitektur yang berasal dari pribumi (indigenous architecture) dan unsur historis. Kemunculan konsep postmodernism ini adalah sebuah isyarat (tanda) adanya reaksi melawan desain, seni dan arsitektur modern yang dingin dan kering yang sudah meluas di berbagai perkotaan di dunia.

3. Pola Pikir Eklektik pada Masyarakat Minang


Banyak tulisan dan juga artikel yang menjelaskan bahwa budaya Minang adalah budaya konflik, yang menyebabkan mereka menjadi pragmatis. Unsur ini adalah salah satu faktor pendorong ekliktisme dalam berbagai pemikiran orang Minang. Perubahan dan Konflik itu tidak hanya dalam skala individual, juga dalam skala komunitas. Ditambah lagi dengan beberapa masa pergolakan seperti PRRI (1958) dan masa Gestapu (1965) dan sebagainya, mengakibatkan masyarakat Minangkabau menjadi pragmatis, dalam pengertian dapat memakai semua yang dianggap baik, meninggalkan yang dianggap buruk dan lebih mementingkan urusan negarinya dan kesukuannya, dibandingkan dari pada yang lain. Bahkan menurut pandangan ahli sosial budaya, pada masa kini eksistensi budaya Minangkabau itu sedang terancam dan terombang-ambing. [9]

Banyak teori, yang mengatakan kaum laki-laki juga mengatur materi, yaitu paman atau ninik mamak (saudara laki-laki perempuan/ibu), yang dipandang sebagai manajer harta pusako (Wisran Hadi, 2008, dalam ceramah di TVRI Padang), tetapi realitas menunjukkan bahwa jika terjadi konflik dalam komunitas Minangkabau jarang bisa tuntas terselesaikan oleh ninik mamak (bahkan sering hanya sebagai penonton). Konflik harta ini terjadi bukan dengan suku lain, tetapi dengan saudara sendiri (sesuku) Konflik ini sering terjadi karena pembagian tanah, dan oleh tanaman yang tumbuh di dalamnya, atau masalah pembagian air di sawah. Pembagian tanah ini secara teoritik diterangkan oleh Nakamura (2001)   [10])


Walaupun filosofi budaya Minangkabau sering disebut sebagai “Alam takambang jadi guru” (alam terkembang jadi guru), namun akibat masuknya agama Islam maka filosofi itu berubah menjadi “Adat basandi syarak, syarak basandi kitabullah”. Artinya dua arus pemikiran yang bertentangan telah  disatukan pada masyarakat Minangkabau. Yaitu antara pola pikir yang berasal dari adat yang banyak bertentangan dengan sistem pemikiran yang berasal dari agama Islam. Pertentangan itu adalah sebagai berikut:

  1. Pertentangan antara posisi anak tertua laki-laki (Islam) dan posisinya sebagai mamak ( adat)
  2. Pertentangan antara laki-laki yang memimpin keluarga (Islam) dengan pihak perempuan yang menentukan kehidupan berumah tangga ( Adat)
  3. Pertentangan dalam menentukan hak waris menurut adapt dan aturan Islam.

Budaya (adat) Minangkabau, sebagai budaya dominan di Sumatera Barat mempunyai pandangan tersendiri terhadap perempuan. Perempuan berada pada posisi yang terhormat sehingga seorang anak mengikuti garis keturunan ibu atau matrilineal dan perempuan berada pada pusat kekuasaan atau matriakhat (Amir, 2001). 


Masyarakat dan adat Minangkabau yang egaliter dan menganut sistem matrilineal itu menempatkan hubungan perempuan dan laki-laki secara setara. Masyarakat Minangkabau tidak menganggap tubuh, jenis kelamin, dan seksualitas sebagai atribut pada konstruksi jender. Masyarakat ini juga tidak membuat pembagian publik-domestik bagi laki-laki dan perempuan. Oleh sebab itu, tidaklah aneh jika perempuan bekerja di wilayah publik (Sushartami, 2002).


Budaya dan adat yang sangat berbeda dari kebanyakan adat dan budaya lain ini tetap hidup sampai sekarang. Namun, sejak masyarakat mulai mendapatkan pendidikan yang lebih tinggi, terutama generasi muda yang telah mendapat pendidikan umum, tidak sedikit tantangan terhadap bagaimana adat dan budaya itu dijalankan. Sampai pada puncaknya, dengan berbagai contoh, dinyatakan bahwa adat Minangkabau sedang di persimpangan jalan yang belum diketahui ke mana arahnya (Latief, 2002:101). Benda-Beckmann (2000) menggunakan metafor “goyahnya tangga menuju mufakat” sebagai judul bukunya untuk menunjukkan perubahan di bidang hukum pada mayarakat Minangkabau.


Berbagai realitas dan ironi yang terdapat di dalam masyarakat Minangkabau tersebut di atas menimbulkan berbagai pertanyaan. Bagaimana sebenarnya adat Minang memandang perempuan? Apakah pandangan minor kepada perempuan itu bersumber dari adat atau agama, atau dari ketidakpahaman terhadap adat dan agama? Apakah ini norma atau perilaku? Bagaimana bentuk persatuan adat dan agama itu dalam realisasinya? Apa yang menyebabkan banyak novel mencitrakan ketidaksetaraan perempuan dan laki-laki dalam masyarakat yang, katanya, mengagungkan perempuan?

Bangunan tinggi yang meniru bangunan tradisional

Pola pikir eklektik juga kita temukan pada Masyarakat Minang. Hal ini bisa terjadi karena adanya  berbagai arus pemikiran yang sangat berlainan kemudian menjadi yang disebut budaya Minangkabau. Unsur-unsur itu  adalah berikut ini.

  1. Pertentangan pola pemikiran adat “kelarasan Bodi Chaniago” dan “Koto Piliang”.
  2. Pola pemikiran yang berorientasi ke suku “awak”  dengan “urang” (suku lain), Masyarakat minang tidak sama dengan masyarakat Jawa atau lainnya, karena  pemikirannya berorientasi ke turunan suku ibu. Di perantauan  nampak terlihat dengan jelas, walaupun dia berasal dari keturunan yang sama tetapi suku lain, dia menganggap orang lain.
  3. Pemikiran yang berasal dari konsep lama, animisme dan dinamisme. Hal ini dapat diketahui jika meneliti elemen-elemen bangunan tradisional yang asli, misalnya tata atur letak bangunan.
  4. Pemikiran yang berasal dari konsep Hindu dan Budha, khususnya “hasta brata” yang tercermin dari filosofi “nan siampek” dan juga pada penamaan dan arti simbolik bagian-bagian bangunan misalnya makna tiang-tiang dalam rumah. Walaupun mengandung unsur Hindu dan Budha, dan orang Minang sudah beragama Islam  mereka tidak mempermasalahkan. Sebagai kompromi (eklektik) mereka memberi makna baru.
  5. Pemikiran yang berasal dari agama Islam, yang tercermin dari konsep “tigo tungku sajarangan”. Namun konsep ini tidak banyak pengaruhnya pada bangunan tradisi kecuali pada penamaan ukiran.
  6. Pemikiran moderen akibat kemajuan pendidikan, yaitu sikap pragmatis dan fungsional terhadap bangunan, misalnya  penempelan bagian tangga masuk yang dibuat dari bahan batu atau semen.

Model-model Eklektik pada Arsitektur Lokal Sumatera Barat

Fenomena eklektik  pada arsitektur lokal  di Minangkabau  disebabkan karena berbagai hal. Yang pertama adalah karena perkembangan sejarah budaya Minangkabau sendiri yang gampang atau mudah menerima unsur-unsur yang datang dari luar. Tetapi alih-alih menerima  unsur  dari luar itu, mereka tetap mempertahankan adatnya yang asli. Yang dimaksud dengan adat yang asli adalah sistem keturunan yang bersendikan kepada keturunan ibu (matriarkat), kemudian sistem kepemilikikan tanah yang juga berdasarkan keturunan suku. Adat yang lain seperti upacara perkawinan, seni musik, cara berpakaian dan sebagainya mungkin telah mengalami perubahan sejalan dengan tuntutan jaman, tetapi hal itu tidak menjadi persoalan besar bagi orang minangkabau yang luwes dan fleksible bergaul atau berkomunikasi diantara beragam suku di Nusantara.
Tempelan atap "gonjong" pada bangunan moderen
Beberapa bentuk eklektik dalam bidang arsitektur yang dimaksud adalah sebagai berikut ini.
  1. Bangunan tradisi Minangkabau  adalah setua sejarah masyarakat Minangkabau sendiri  di dalamnya  bisa saja terdapat unsur  animisme, unsur Hindu dan Budha dan unsur baru atau moderen seperti  atap dengan bahan seng.
  2. Bangunan tradisi Minangkabau sendiri sebenarnya adalah eklektik karena mengambil berbagai unsur budaya luar  menjadi elemen-elemen  dan disatukan. Kadang-kadang kesatuan itu tidak harmonis. Contoh  yang populer adalah bangunan mesjid di Rao-rao, kabupaten Tanah Datar, sebagai bentuk elektik dari elemen-elemen yang beragam.
  3. Umumnya arsitek atau pengambil keputusan tentang bangunan yang berdomisili di  Sumatera barat mengambil bangunan hunian (rumah tinggal) sebagai model bangunan publik (perkantoran, bangunan pasar, hotel, bangunan bank, dsb)
  4. Bangunan vernakular Minangkabau itu bermacam-macam coraknya, terutama bentuk atap dan tata ruang. Bangunan hunian yang diterapkan pada bangunan publik mencerminkan asal daerah corak bangunan (misalnya corak  daerah Agam, corak daerah Solok, dan sebagainya.
  5. Bangunan tradisional-moderen, yang dimaksud dengan bangunan tradisional moderen adalah bangunan-bangunan perkantoran yang ingin mencapai kesan (ekspresi) moderen, monumental sekaligus tradisional. Contohnya adalah bangunan kantor DPRD yang berlokasi di jalan Khatib Sulaiman (pada kecamatan Padang Utara). Unsur-unsur yang disatukan pada bangunan itu misalnya pilar-pilar yang bercorak bangunan Yunani, dinding dengan kaca, kemudian atap bergonjong. Bagian dalam interiornya sebagian besar  ukiran-ukiran  corak Minangkabau.
Beberapa bentuk tempelan unsur bangunan tradisi pada bangunan moderen, tempelan gonjong pada bangunan tinggi, pada gardu jaga, pada bangunan fungsional. Tempelan ukiran tradisi pada bagian "singok".

Seni  kistsch
Seni kistsch adalah seni yang bermain dengan aspek artistik yang kasar, sentimentil, atau sembarangan. Contoh yang paling populer adalah sampul buku dimana kita secara acak mengambil apa saja untuk sampul buku. kistsch artinya mencomot, mengambil tanpa pertimbangan. Contoh-contoh objek kistsch itu banyak sekali diantaranya adalah benda-benda koleksi, benda-benda kistsch. Kistsch juga disebabkan gaya suka pamer, wisatawan yang membelanjakan uangnya umumnya didorong oleh aspek estetik kistsch. Kistsch adalah suatu fenomena dalam seni dimana mengambil apa saja untuk dipakai, di pasang atau dipamerkan (asal comot). Fenomena  seni kistsch timbul apabila antara pemakai dan barang yang akan dipakai berlainan fungsi dan tujuannya.  Seni kistsch ini terlihat pada beberapa kasus sebagai berikut.
  1. Pemasangan elemen-elemen bangunan tradisional yang asal comot dan tempel pada bangunan moderen. Misalnya ukiran di buat oleh tukang ukir kemudian ditempelkan saja pada bagian bangunan tanpa mempertimbangkan skala, proporsi atau keharmonisan pemasangannya, apalagi aspek makna dan filosofinya.
  2. Pemasangan entrance yang disebut “cula badak” (satu gonjong pada entrance)

3.5.    Kesimpulan

Fenomena arsitektur daerah di Sumatera Barat melibatkan  beberapa konsep arsitektur , diantaranya adalah konsep regionalisme, posmoderen, eklektik maupun seni kistsch Namun mana diantara konsep ini yang menonjol  sehingga dapat sebagai hal yang benar. Arsitektur moderen tradisi di Sumatera Barat cendrung menjadi seni kistsch karena asal pasang atau comot saja tanpa memakai pertimbangan  estetik  yang benar. Oleh karena itu perlu hanya bangunan-bangunan tertentu saja yang harus dibangun dan bercorak tradisi Minangkabau.
Kebanyakan masyarakat Minangkabau dibesarkan dari perantauan, dan kehidupan mereka banyak disokong oleh perdagangan. Di samping itu oleh karena perkembangan sejarah sosial dan budayanya masyarakat Minang cendrung menjadi masyarakat yang pragmatis, dalam pengertian tidak banyak mempermasalahkan  pemakaian bentuk-bentuk seni maupun arsitektur dalam kehidupannya. 

Daftar Pustaka


Budihardjo, Eko. "Kepekaan Sosio-Kultural Arsitek", dalam Perkembangan Arsitektur dan Pendidikan Arsitektur di Indonesia, Eko Budihardjo (ed), Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 1997.

Couto.2008. Budaya Visual pada Seni dan Tradisi Minangkabau, Padang: UNP Press
Curtis, William, "Regionalism in Architecture", dalam Regionalism in Architecture,  Robert Powel (ed), Concept Media, Singapura, 1985.
Darwis, Harmaini. 1981. Sebuah Tinjauan Tentang Arsitektur Moderen dengan ciri Tradisional Minangkabau (Seminar Jurusan Arsitektur STT-SB, tidak diterbitkan)
Jenks, Charles.1977. The Language of Post Modern Architecture, Rizzoli, New York,
Johnson, Paul-Alan. 1994. The Theory odf Architecture. New York: Van Nostrand Reinhold
Koentjaraningrat. 1974.Kebudayaan, Mentalitet, dan Pembangunan, Gramedia, Jakarta,
Lycnh, Kevin. 1960. The Image of the City, Cambridge, Mass.,MIT Press,1965
Ozkan, Suha.1988. "Regionalism within Modernism", dalam Regionalism in Architecture, editor Robert Powel, Concept Media, Singapura
Prijotomo, Josef.1988. Pasang Surut Arsitektur Indonesia, CV Ardjun, Surabaya
Wondoamiseno, R.A.1991. Regionalisme dalam Arsitektur Indonesia : Sebuah Harapan, Yayasan Rupadatu, Yogyakarta

Harmaini Darwis
Dosen Jurusan Arsitektur FTSP Universitas Bung Hatta
BAE (STT Sumbar 1979), SL/IR (UBH 1985), MSC AE (UTM Malaysia 2000)



Catatan Akhir
 [1] Makalah ini disampaikan pada seminar internasional ICCI II/ 2009 yang diadakan atas kerjasama FTSP UBH, UTM Malaysia, HAWK Jerman, DPU Sumbar, LPJK dan Kadin Sumatera Barat, dilaksanakan di Padang tanggal 29-30 Juli 2009
 [2] Ajaran filosofis: aliran dari sekolah Yunani masa lampau yang  menyatakan bahwa kebahagiaan hanya dapat dicapai dengan  diterimanya nasib baik dan kemalangan sebagai sesuatu yang tidak dapat diubah. ( telah ditemukan di sekitar 308 SM oleh Zeno.
 [3]  Sebuah dokrin filsafat abad ke 17, yang meragukan kebenaran imu pengetahuan
 [4]  Cicero (Marcus Tullius) (106-43 bc), penulis, negarawan dan orator  Romawi
 [5]  Bagian dari filsafat Aristoteles
 [6]  Kebenaran itu hanya berdasarkan observasi
 [7]  Rasionalisme : Rene Descartes (1596 1650), Dia, digelari sebagai bapak filsafat moderen. Lahir di Perancis, dan belajar filsafat pada Kolase, yang dipimpin Pater pater Yesuit di desa La Fleche. Menulis buku ''Disiscours de la methode'', kemudian buku ''Meditationes de Prima Philosophia '', yang melahirkan ''Rasionalisme''. Umumnya teori rasionalisme berpegang semata mata pada penalaran, bukan pada pengalaman indrawi. Menurutnya semua pengetahuan haruslah berdasar kepada logika, kebenaran itu ada pada rasio. Dengan rasio terdapat idea idea dan dengan itu orang dapat membangun  ilmu pengetahuan. (Bertens, Dr.K., 1994:47). Karya karya arsitektur yang dilhami oleh pemikiran ini menggunakan bentuk-bentuk murni, aturan aturan proporsi yang kaku. Filsafat ini dan aturan cara berfikimya, dianggap dapat menghasilkan keindahan yang absolut benda, yaitu yang di atur secara rasional. Uraian ini terdapat pada tulisan Marc Antoine Laugier “ Essai sur l'Architecture (1753)
 [8] Gaya arsitektur neo-klassik :  atau tipe arsitektur yang bergaya arsitektur klassik yang dikembangkan oleh  Andrea Palladio pada abad ke-16  di Eropah
 [9] Untuk lebih jelasnya lihat Naim, Muchtar, dkk (2002), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau, Padang, Yayasan Citra.
 [10] Nakamura adalah seorang peneliti Urban Planning dari Kyoto Institut of Technology, yang meneliti tentang pembagian ruang konsepsional masyarakat Minangkabau, beliau banyak mendiskusikan hasil penelitiannya dengan penulis untuk disertasi doktor antara tahun 2001-2002.







Artikel Terkait dengan Tulisan ini


Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting