Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Sabtu, 25 Desember 2010

Aspek Sosial Budaya dan Ekonomi Pada Pendidikan Arsitektur di Indonesia

OLEH. HARMAINI DARWIS DAN NASBAHRY C[ii]

ABSTRAK

Aspek Sosial-Budaya-Ekonomi penting peranannya dalam suatu negara multi etnis terutama untuk memahami keberagaman budaya termasuk budaya-fisik (material culture). Materi ini diperlukan dalam pendidikan arsitektur, bukan hanya berguna untuk mempelajari budaya dan arsitektur lokal, tetapi lebih jauh lagi adalah untuk menjawab pertanyaan apakah pendidikan arsitek itu hanya meluluskan “draftman” atau yang memiliki wawasan tentang sosial-budaya dan ekonomi (Arsitek sebagai konseptor dan Budayawan).


Dari data tentang bobot materi perkuliahan di Indonesia yang bersifat kajian sosial-budaya-ekonomi, dapat disimpulkan bahwa pendidikan arsitektur di Indonesia makin lama semakin menghilangkan materi kuliah sosial-budaya-ekonomi, hal ini tentu menjadi pertanyaan, kenapa ? Hal ini sangat berbeda dengan pendidikan Arsitektur yang setara dengan S1, di luar negeri misalnya Amerika serikat (ABET) 12,5 % , Eropah (30 %), Australia (40%), sedangkan Indonesia hanya 10 % (Kurnas 1996).
Aspek sosial budaya di bidang arsitektur menjadi fokus perhatian setelah kegagalan arsitektur moderen untuk menjadi seragam di seluruh dunia.Arsitektur untuk kebutuhan lokal dan regional menuntut penerusan dan pengembangan budaya yang berasal dari akar budaya lokal atau regional. Karakteristik abad 21 adalah bersifat global, dimana komunikasi dan informasi hampir tidak terbatas, dipihak lain umumnya masyarakat juga menginginkan hal-hal yang spesifik dalam kontek kehidupan modern dan global.




I. PENDAHULUAN
Pada awalnya Perguruan Tinggi di Indonesia, mengikuti model pendidikan Amerika Serikat, yaitu berdasarkan peringkat Pre profesional Degree, dengan gelar akademik Bachelor of Science (BS) atau Bachelor of Arts (BA). Pada tingkat Sarjana Muda mengandung tujuan pendidikan yang bersifat akademik (keilmuan), termasuk dalam hal mempelajari  dasar-dasar pengetahuan budaya, sosial dan ekonomi. Dalam perjalanan pendidikan tinggi Indonesia, konsep Sarjana Muda dan Sarjana itu berobah menjadi yang kita kenal sekarang, termasuk pendidikan Arsitektur.
Hasil pendidikan S1 Arsitektur dibebani oleh keinginan berbagai intitusi pemerintah  agar lulusannya langsung dapat bekerja. Sejak Repelita I,  terdapat kebijakan politik pemerataan pendidikan, hal ini dapat dipahami sebagai akibat keinginan,  1) menampung peminat  PT yang meningkat tajam setiap tahun, 2) mengisi kekosongan tenaga kerja di instansi Pemerintah. Akibat politik pendidikan semacam ini, maka  konsep profesi arsitek sebagai perencana terabaikan.
Kedua faktor ini telah menumbuhkan anggapan dalam masyarakat, bahwa lulusan S1 adalah  untuk bekerja. Sedangkan konsep dasar pendidikan setingkat S1 (Sarjana Muda) di AS  tidak dipersiapkan untuk lapangan kerja. Hal ini dipicu lagi dengan adanya politik sentralisasi pendidikan, dimana pemerintah menetapkan kurikulum inti Pendidikan Tinggi, termasuk untuk pendidikan arsitektur. Dapat dipahami bahwa kebijakan mata kuliah yang disusun oleh PTN dan PTS, adalah yang berhubungan dengan yang memberi peluang untuk lapangan kerja bidang arsitektur, dibandingkan dengan pembinaan mata kuliah yang bersifat akademik (keilmuan). Sehingga timbul tanda tanya, apakah pendidikan arsitektur ini adalah untuk mendidik perencana, atau hanya untuk mendidik  penggambar  desain bangunan ?
Pengaruh sistem pendidikan S1 yang bersifat ganda ini dapat dirasakan oleh pembina jurusan arsitektur, bahwa jarang ada lulusan  S1 arsitektur yang murni  dapat berprofesi menjadi arsitek. Tetapi akan bekerja di bidang lain seperti di kontraktor, biro konsultan, atau sebagai tukang gambar. Konsep hubungan pendidikan tinggi dengan lapangan kerja (link and mach) yang didengungkan oleh beberapa menteri sebenarnya tidak salah, tetapi tidak cocok dengan tujuan gelar kesarjaan ataupun Insinyur yang disandang oleh lulusan Arsitektur, sebab pendidikan ini tidak murni mendidik mahasiswa  untuk berprofesi menjadi arsitek.
Sekarang terdapat lebih dari 80 institusi Program Studi S1 arsitektur di Indonesia. Namun pendidikan S1 arsitektur ini dinilai belum memenuhi standar keprofesian Arsitek menurut IAI (Ikatan Arsitek Indonesia) dan ARCASIA (Architect Asia), UIA (Union Institute of Architect ), ataupun oleh standar pendidikan Akademik menurut ABET 2000 (Acredition Board of Enginering and Technology 2000).  Artinya, konsep pendidikan  S1 arsitek sebenarnya menyimpang dari konsep pendidikan keprofesian yang  berlaku secara internasional.
Beberapa hal pada masa lampau yang dapat menjadi wacana permasalahan pada pendidikan yang berkaitan dengan budaya, ekonomi dan sosial dalam tulisan ini adalah sebagai berikut:
1)    Pada beberapa perguruan tinggi, Arsitektur dimasukkan kedalam kelompok Fakultas Teknik sehingga dianggap mempelajari  engineering. Hal ini  memberikan pengaruh terhadap arah kurikulum, kebijakan pembinaan dosen, penyusunan fasilitas belajar dan  lainnya. Pada fakulktas semacam ini pendidikan arsitektur akan dinilai sebagai pendidikan yang mementingkan aplikasi  enginering. Hal-hal mendasar seperti pengetahuan budaya, seni rupa, sosial, ekonomi   banyak yang diperlukan dalam bidang keilmuan arsitek justru tidak dikenal oleh lulusannya. Jika lulusannya itu telah menjadi  dosen atau staf pengajar pula di tempat belajarnya semula, dapat dibayangkan betapa tereduksinya bidang seni dan budaya yang seyogyanya harus dikuasai oleh para pengajar S1 itu.  Untuk mengatasi hal ini maka dianjurkan kepada  penyelenggara pendidikan setingkat S2 (calon dosen) untuk benar-benar menseleksi kemampuan akademik calon peserta didik S2-nya yang nantinya akan mengajar di perguruan tinggi arsitektur. Kritik terhadap beberapa penyelenggara pendidikan S2 yang hanya mementingkan bahwa program S2 hanya sebagai proyek, yang dapat menambah uang saku staf pengajar.
2)    Persepsi  peminat jurusan arsitektur S1 , rata-rata berpendapat bahwa pendidikan Arsitektur itu adalah pendidikan profesi, dimana mereka akan bekerja di Industri Konstruksi. Sedangkan kurikulum S1 pada dasarnya bersifat ganda (gabungan antara akademik dan profesi). Sebaliknya lapangan kerja di Industri Konstruksi  membutuhkan lulusan yang berkualifikasi Pendidikan Profesional, bukan yang bersifat Academic atau semi akademik. Hal ini didorong lagi oleh suatu kenyataan bahwa biaya pendidikan arsitektur sangat mahal dan memerlukan kondisi belajar dan calon mahasiswa yang khas,  dibandingkan dengan pendidikan bidang lainnya. Pendidikan arsitektur tidak dapat diberikan berdasarkan prinsip pemerataan pendidikan.  Sebab pendidikan arsitektur adalah suatu tradisi yang dibangun oleh dan untuk masyarakat urban bukan rural. Johnson dalam bukunya The Theory of Architecture (1994), secara tegas menjelaskan bahwa para secara tradisional arsitek bergaul dengan pengambil keputusan, baik dalam skala lingkungan maupun dalam  skala kota.  Artinya pendidikan arsitek adalah suatu pendidikan yang sarat dengan muatan kultur (budaya) tinggi (high culture) budaya yang memiliki etika dan aturan berkehidupan sosial, budaya dan ekonomi yang tertip. Bukan berarti anak desa  tidak boleh  dididik menjadi arsitek.  Tetapi  didalam pendidikan arsitek mereka dibina  memiliki persepsi kultur internasional sekaligus memiliki kultur regional dan lokal. Kalau pendidikan ini tidak  terkait dengan budaya, sosial dan ekonomi buat apa mereka belajar sejarah, teori maupun seni. Jika pelajaran ini  tidak penting, tentu  dapat dihilangkan saja dalam kurikulum. Mungkin demikian pendapat para pengambil kepusan yang terkait dengan pendidikan arsitek selama ini di Indonesia
3)    Hal ini terbukti bahwa selama ini lulusan arsitek tidak berperan dalam masyarakat Indonesia secara intens. Profesi arsitek yang sebenarnya tidak pernah ada. Kenyataan  memperlihatkan bahwa,  dalam industri konstruksi sejak masa Kolonial sampai sekarang peran profesi Arsitek di Indonesia hanya  sebagai pengabdian keahlian karya desain. Sedangkan mengambil keputusan untuk pembinaan lingkungan binaan, atau pembangunan  baik ditingkat hunian dan  kota kalau tidak kaum politikus tentu birokrat  dari instansi pemerintah.  Jadi apa yang menjadi wawasan lulusan arsitek untuk membina lingkungan di dalam pendidikannya hanyalah khayalan belaka. Artinya,  lulusan arsitek  dididik hanya untuk berimajinasil  melalui latihan simulasi  seperti yang terdapat dalam latihan mereka di studio gambar dan merencana. Sedangkan untuk menuangkan  konsep-konsep mereka  sesuai dengan apa yang dipelajari di pendidikan tinggi  tidak pernah  mendapat saluran secara proporsional. Artinya, pendidikan tinggi arsitektur yang bermuka ganda sebenarnya asalah arah dan perlu dirobah. Masalah campur tangan pemerintahan dan sistem undang-undang terhadap dunia arsitekturt juga harus  dirobah.
Dapat disimpulkan bahwa pendidikan S1 arsitek  yang berlangsung selama ini, bukan untuk  untuk profesi, untuk pendidikan profesi arsitek perlu difikirkan suatu sistem pendidikan yang merujuk kepada standar internasional.
2. PENDIDIKAN PROFESI ARSITEKTUR DAN ASPEK SOSIAL, BUDAYA DAN EKONOMI
2.1 Kondisi masa lalu
Para pengambil keputusan dalam penyusunan kurikulum di PTS jurusan arsitektur umumnya mempedomani kurikulum PTN maupun PTS  unggulan seperti UI dan Trisakti di Jakarta, ITB dan Parahiyangan di Bandung, Gama di Yogyakarta dan sebagainya, disamping mempedomani kurikulum inti yang diberikan oleh Depdikbud RI. Selain itu ada konsorsium-konsorsium pendidikan yang di atur melalui tangan pemerintah seperti   KOPERTIS  dan sebagainya.
Mempedomani kurikulum PT unggulan sebenarnya terjadi akibat adanya politik sentralisasi pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah selama ini. Dampak psikologis dari sentralisasi pendidikan diantaranya adalah sifat apatis dari PT untuk hanya mengikuti apa yang dianggap terbaik di negara ini. Dimana  PTS umumnya berkeyaklinan bahwa PTN dan PTS unggulan itu memiliki telah memiliki kurikulum yang baik. Walaupun kurikulumnya dapat ditiru, kebijakan pendidikan yang sebenarnya hanya diketahui oleh PT unggulan itu sendiri. Dalam beberapa hal PT unggulan memiliki kekhasan diantaranya  memiliki calon mahasiswa  dan staf pengajar dan fasilitas belajar yang lebih baik dibandingkan dengan PTN dan PTS  yang baru dalam bidang pendidikan arsitektur.
Kurikulum pendidikan arsitektur yang berasal  dari Dekdikbud, dari PTN maupun PTS unggulan sebenarnya bisa saja dipedomani oleh PT lainnya, sebagai  dasar untuk melaksanakan   pendidikan arsitektur. Namun dapat di ramalkan bahwa hasilnya tidak akan sama dengan PT unggulan. Sebab banyak faktor yang ikut menentukan keberhasilan pendidikan diantaranya  perencanaan dan penjabaran kurikulum itu sendiri, sarana-prasarana belajar, calon mahasiswa, staf pengajar, manajemen pendidikan,  dan proses belajar-mengajar, serta teknik evaluasi pengajaran dan faktor lainnya.
Dalam kenyataannya kurikulum Inti yang digariskan oleh Dekdikbud, sangat kecil muatan materi Sosial,Budaya dan Ekonominya (hanya 10 % dari total SKS), dan ini sudah termasuk mata kuliah UMUM seperti Pancasila, Kewiraan dan lainnya. Mata kuliah seperti ini bukanlah matakuliah yang bermuatan materi  Sosial, Budaya dan Ekonomi, tetapi lebih cendrung bermuatan politik pemerintahan.
Dapat disimpulkan bahwa dengan adanya sifat sentralisasi pendidikan selama ini memberi akibat  bahwa mata kuliah sosial, budaya ekonomi menjadi kurang diperhatikan dibandingkan dengan mata kuliah lainnya

2.2 Kondisi Masa Sekarang
Pada zaman globalisasi ini, semua orang dapat mengakses informasi yang  terbaik untuk digunakannya, termasuk juga bidang arsitektur.  Kalau  pada masa lampau  hanya ada beberapa saluran informasi. Sekarang setiap urbanis dunia adalah sekaligus warga yang tidak terbatas lagi jangkauan komunikasinya.
Dengan dikeluarkannya SK menteri tentang kurikulum inti yang baru, suatu pertanda bahwa sifat dan sistem pendidikan  tinggi menjadi bebas ditentukan oleh PT bersangkutan, dan sekaligus terikat  karena harus  mengikuti pola dan sistem yang dilaksanakan secara global pula.
Hal ini akan menjadi nyata  saat diberlakukannya AFTA 2002, dimana bukan  komunikasi dan informasi saja yang  dapat mempengaruhi Indonesia. Tetapi akan beroperasinya   desainer-desainer  tingkat dunia  ke dalam  setiap negara, temasuk ke Indonesia. Dalam kondisi ini maka desainer lokal tidak akan mampu bersaing dengan  desainer  kaliber dunia, apalagi untuk menghadapi konglomerasi  ditingkat dunia.
Yang menjadi permasalahan adalah bagaimanakah  arah  dan sistem pendidikan arsitektur sehingga walaupun produk pendidikannya tidak setara, misalnya dengan hasil pendidikan di negara tetangga seperti Singapura dan Malaysia, tetapi untuk mendekati kesetaraanpun sebenarnya sudah untung dalam kondisi ekonomi, sosial dan budaya yang ada pada masa kini di Indonesia.
Perlu dipikirkan apakah Intitusi pendidikan S1 yang 80 buah banyaknya itu tidak sia-sia dalam menyelenggarakan pendidikannya, dimana pada akhirnya hanya memproduk pengangguran intelektual ? Jadi dari i uraian sebelumnya perlui beberapa hal yang prinsip dikondisikan terlebih dahulu  samapi kepada kebijakan serta arah pendidikan arsitektur, antara lain:
1)    Arah dan kebijakan pendidikan S1 arsitektur, apakah terus dipertahankan atau akan dirobah sesuai dengan sistem  dan standar ABET atau UIA, yang pada dasarnya hampir semua negara menggunakannya ?
2)    Agar untuk menjadi dan berprofesi sebagai arsitek bukan dari lulusan setingkat S1, tetapi oleh produk  lisensi  dunia profesi oleh  sekolah khusus profesi di PT
3)    Organisasi profesi arsitek Indonesia haruslah membela kepentingan anggota dengan mendudukkan aspek undang-undang, aspek hukum, dan aspek lisensi dalam menghadapi era globalisasi
4)    Organisasi profesi arsitek  haruslah  ikut andil dalam membina sistem dan kebijakan pendidikan  arsitektur di Indonesia, dimana selama ini hanya ditentukan bersama dengan pemerintah

3. Menyongsong Era Pendidikan Arsitektur Abad Ke 21
Merujuk kepada SK Mendikbud yang baru tentang otonomi pendidikan maka, maka perlu difikirkan posisi serta kepentingan mata kuliah Sosial, Budaya terhadap pendidikan  arsitektur  setingkat program S1. Beberapa pertimbangan   yang dapat diungkapkan antara lain :

1)  penghayatan Anak-Didik Terhadap  Aspek Budaya, Sosial, Budaya Yang Bersifat  Lokal Dan Regional Dan Internasional
Jika hal-hal di atas telah terjawab, maka menjadi jelas pula kepentingan  aspek sosial,  budaya dan ekonomi  pada  pendidikan arsitektur. Jika pendidikan arsitektur itu bersifat  dan pola akademik, unsur budaya dan  sosial menjadi penting peranannya  sebagai dasar untuk pendidikan lanjutan di S2 dan S3, maUpun pendidikan profesi.
Sebagian orang  memiliki anggapan bahwa walaupun  pendidikan arsitektur itu bersifat akademis  tetapi  “basic science-nya ” tidak jelas. Dalam sisi ini terdapat anggapan bahwa pendidikan arsitek adalah  pendidikan aplikatif juga, artinya  pada tingkat akademik yang lebih tinggi,  tidak lagi  memperdalam bagaimana merencana, tetapi mempelajari pengetahuan tentang posisi arsitek dalam masyarakat,  jadi salah satu yang dianggap akarnya adalah bidang sosial dan budaya  Akar yang lain adalah ilmu “formalisme”  atau membentuk lingkungan visual. (Johnson, 1991).
Oleh karena para perencana bangunan akan bergaul dengan masyarakat, maka ilmu-ilmu sosial budaya menjadi penting peranannya  untuk memberikan kepada mereka suatu wasasan tentang budaya  dan seni lokal maupun budaya masyarakat dunia.  Selama ini memang telah diberikan pelajaran tentang sejarah, tetapi melihat budaya Barat seperti ini ibarat seekor kuda. Budaya Barat yang dipelajari hanyalah dari segi “material culture” dan itu hanya khusus bidang bangunan. Jadi kultur Barat yang dipelajari itu telah tereduksi demi kepentingan perancangan semata. Untuk melihat budaya Barat secara utuh, kurikulum yang diberikan harusnya seperti yang diterapkan di Singapura atau Australia.
 Disamping itu perlu dipahami  bahwa keberagaman kultur dunia adalah suatu penghambat  bagi arsitek dalam berkomunikasi. Unsur budaya itu luas, salah satunya adalah bahasa dan seni. Salah satu bahasa asing perlu dikuasai mahasiswa, disamping bahasa ibu dan bahasa daerah lainnya.  Pelajaran perkembangan arsitektur, sebenarnya telah  mereduksi banyaknya aspek budaya Barat,  demikian juga pelajaran ilmu sosial dasar yang tidak jelas kaitannya dengan arsitektur. Barangkali penting diajarkan mata kuliah budaya desain dan  sosiologi desain.          Bahwa pelajaran tentang budaya , sosial  yang dimaksut bukan tentang tentang ilmu budaya dan sosial dasar yang telah salah ditafsirkan selama ini. Tetapi ilmu budaya yang spesifik berkaitan dengan kultur desain
Ilmu budaya tidak dapat diperoleh hanya melalui pengalaman empirik. Tetapi  melalui bacaan yang luas dan latihan  yang diarahkan oleh pendidik yang menguasai bidang ini. Jadi tidak selalu harus tenaga pengajar dari Perguruan Tinggi itu sendiri yang  harus mengajarkan mata kuliah ini. Beberapa perguruan tinggi arsitektur di Amerika misalnya,  mahasiswa belajar sejarah dan teori  bukan kepada dosen  arsitek, tetapi kepada  dosen bidang sejarah. Seni rupa di ajarkan oleh  ahli bidang seni rupa.
Kebijakan dari PTS maupun PTN untuk memenuhi tenaga pengajar  tetap sebagai tenaga pengajar, telah mereduksi kualitas lulusan pendidikan tinggi sebagai intelektual yang diangap tidak memiliki wawasan  budaya, seni  maupun bidang teknologi. Pada hal biaya yang dikeluarkan untuk tenaga tetap itu lebih mahal dibandingkan dengan dosen luar biasa. Pada PTN  malahan tidak diberi kesempatan oleh pemerintah untuk masuknya  tenaga luar biasa, yaitu dengan  tidak diberikannya insentif bagi honor dosen luar biasa.  Dalam kondisi ini, PTS lebih besar peluang untuk mendapatkan tenaga   pengajar yang  lebih berkualifikasi dan dengan honor dosen yang memadai.

2)   Paradigma Arsitektur Masa Kini: Kecendrungan  Bersifat Lokal Dan Regional
Dari segi aspek “formalisme”, jelaslah bahwa pendidikan arsitektur bukanlah mengajarkan tentang prototip bangunan kepada mahasiswa sambil mengatakan “ tipe bangunan inilah yang terbaik yang patut ditiru”. Pemaksaan seperti ini secara samar terlihat dalam praktek studio  merancang arsitektur.
Pendidikan arsitek adalah pendidikan kreatip dan inovatif. Revolusi industri, dan industri moderen sebenarnya ingin ditiru oleh kelompok moderenis arsitektur. Banyak buku-buku arsitektur yang membicarakan tentang standar, preseden maupun tipologi bangunan. Namun dalam kenyatannya kaum moderenis arsitektur telah gagal baik dari segi konsep maupun prakteknya untuk mementingkan fungsi maupun konsep teknologi yang standar bagi bangunan.  Disamping itu kemajuan teknologi telah memangkas sedemikan banyak jam  kerja, maupun tenaga  ahli  yang diperlukan dibidang arsitek.
Dalam kondisi seperti ini, arsitek abad 21 seharusnya memiliki visi tentang peran maupun tugasnya sebgai perencana bangunan. Impian-impian yang terlalu jauh, akan menyebabkan arsitek menjadi pengkhayal yang tidak berpijak pada kenyataan.  Namun  bekerja seperti mesin juga tidak manusiawi, tidak ada istilah otomatis dalam pekerjaan arsitek , sebab semuanya berlangsung secara bertahap.  Visi yang dimiliki arsitek haruslah mengandung dua hal yang mungkin bertentangan  dia bersifat lokal  karena dia berpijak  di atas  kepentingan lingkungannya. Namun juga bersifat global karena memilki hubungan internasional, dan memiliki visi tentang  hal-hal yang diinginkan budaya manusia secara global.. Tidak heran jika, arsitek Thailand yang Budha, justru desainnya banyak dipuji  dan dipakai  oleh orang Islam di Malaysia. Jadi  visi yang dimiliki arsitek  yang konservatif, tidak akan terpakai dalam pergaulan  global.

3)    Kesesuaian Sistem Dan Materi Pendidikan Secara Internasional
Salah satu model pendidikan  arsitektur yang mirip dengan model sistem pendidikan di Amerika  adalah model pendidikan arsitektur di Singapura dan Malaysia. Model pendidikan yang sama dengan di Amerika, di Malaysia disebut Kursus Integrasi, dengan waktu studi 6 tahun. Pada model ini tidak dikenal program S2, umumnya mahasiswa dengan IP lebih dari 3.5 boleh masuk keprogram Phd (Dokjtor). Program integrasi ini diartikan oleh Malaysia sebagai Integrasi Program Akademik  dengan program Profesional , dan juga Integrasi program Diploma dan Sarjana Muda).
Lulusan  7 atau 8 Semester diberi gelar Diploma Arkitec (Dipl.Arch.) lulusan ini boleh memasuki bidang Sub-Profesional atau Juru Gambar,  dan tidak dapat menjadi anggota  PAM ( Pertubuhan Arkhitec Malaysia). Sedangkan  lulusan 10-12 semester di beri gelar Sarjana Muda  Arsitektur (B.Arch.). Lulusan ini memasuki bidang kerja profesional Arsitek, dan dapat menjadi anggota PAM .Part II (Anggota Muda). Anggota profesi arsitek berlisensi adalah PAM Part III. Pendidikan keprofesian ini di Malaysia, di awasi oleh LAM (Lembaga Arkhitec Malaysia), bersama dengan PAM.

Namun Program pendidikan Arsitektur dengan sistem integrasi  (Disebut Seni Bina di Malaysia), tampaknya di anggap kurang menguntungkan dan akan berubah dalam waktu yang dekat. Mereka akan mengikuti model S1 4 tahun dan menyesuaikannya dengan standar ABET 2000, baik pada jenjang Akademik dan Teoritik. Sedangkan sekolah profesi arsitek diadakan setelah  4 tahun mengikuti model pendidikan M.Ars. ( Di Singapura sudah mengikuti model ini). Dasar pemikirannya, adalah bahwa calon mahasiswa dan dasar ilmu (Basic Science), serta Mata Kuliah Inti, dari kedua program Diploma dan  Sarjana  Muda ini  sebenarnya sangat  berlainan, sehingga membutuhkan persyaratan calon yang berbeda pula. Disamping itu Akreditasi dan pengawasan oleh Organisasi Profesi dan Lembaga Profesi yang berbeda. PAM dan LAM hanya mengurus Pendidikan Profesional Arsitek.
Model pendidikan yang dilaksanakan di negara-negara Persemakmuran (United Kingdom)  umumnya cendrung mengikuti model  pendidikan di Amerika Serikat. Dimana Pendidikan profesi Arsitek di tentukan   dan di akreditasi lembaga profesi, bukan oleh pemerintah. Lembaga Profesi memiliki wakil di Parlemen (Di Amerika disebut Council). Konsep ini di Singapura dilaksanakan dengan mendirikan dua Departemen atau School Of Architect atau SOA dan School Of Building atau SOB. Adalah sekolah profesi yang berbeda dalam satu Fakultas yang disebut dengan FABRE ( Faculty Architectural Building and Real estate). Artinya masalah Teknologi Tinggi untuk High- Rise Building adalah urusan SOB bukan SOA.
Dari berbagai model pendidikan arsitek yang ada dapat diambil kesimpulan antara lain, pendidikan arsitek dari dahulu sampai sekarang tetap  memberikan penekanan  bahwa pentingnya kemampuan Desain atau Perancangan secara Arsitektural ( Standar  ABET untuk Perancangan  lebih kurang 16-18 SKS (12,5 % dari total SKS), setara dengan 5000 jam bagi Program S1. Sedangkan standar UIA lebih kurang 36 SKS setara dengan 8000 jam pada program sekolah profesional S1 Plus.
Standar UIA tentang  12 bidang kompetensi dengan uraian 7 butir materi, pada dasarnya adalah kemampuan, penguasaan dan pemahaman serta pengetahuan tentang 12 kemampuan dasar calon arsitek, dengan 37 materi pendidikan dasar  pendidikan Arsitektur. Termasuk pemagangan (Professional  Interenships), yang tidak mungkin diberikan dalam waktu 8 semester, biasanya minimal 10 semester baru dapat dilaksanakan. Adapun butir-butir kompetensi itu adalah sebagai berikut:
1)    Kemampuan Utama ( 2 butir)
·         Kemampuan Desain
·         Kemampuan untuk memenuhi tuntutan pengguna
2)    Kemampuan Penguasaan  Ilmu ( 4 butir)
·         Penguasaan ilmu Arsitektur, Seni, Teknologi dan Humaniora
·         Penguasaan ilmu Seni Rupa
·         Perancangan dan Perencanaan Urban
·         Penguasaan ilmu Fisika Bangunan

3)    Kemampuan Pemahaman (4 butir)

 ·         Profesi Arsitek dalam masyarakat
·         Metoda Perancangan
·         Perancangan struktur
·         Hubungan manusia bangunan dan lingkungan alam
4)    Kemampuan untuk mengetahui (2 butir)
·         Tentang Industri, organisasi, peraturan dan lain-lain yang berhubungan dengan ini
·         Tentang pendanaan dan pengendalian proyek.
(Komentar :  dari komptetensi diatas maka UIA merekomendasikan 37 materi pengetahuan dasar pendidikan Arsitektur, yang dapat di olah menjadi butir-butir mata kuliah di jurusan Arsitektur)
Sedangkan  pengertian desain menurut ABET adalah proses untuk penemuan sistem-sistem komponen-komponen yang merupakan aktivitas (kegiatan) sentral (pokok) dalam keperluan keprofesian enginering dan teknologi dan dalam tugasnya enginer merancang atau mendisain ditopang oleh tiga pilar berikut ini.
A.   Intuisi (Imajinasi dan kreativitas), adalah dari segi konsep Arsitektur dan kemampuan mengkomunikasikannya
B.   Ilmu pengetahuan (Teori dan Metoda)
C.   Economics ( Dalam pengertian mendapatkan teknologi yang baru dengan orientasi  sintesa dan analisa (Sintalisis)

Di AS pernah terjadi dimana terjadi kekaburan diantara pendidikan teknologi dengan pendidikan desain/pendidikan profesi/aplikasi ( 1950-1980), hal ini mengakibatkan kemunduran industri di Amerika Serikat. Standar ABET pada waktu itu  tidak mementingkan atau mengurangi waktu pelatihan desain.  Setelah tahun 80-an, sistem dan strategi pendidikan Arsitektur di AS mengikuti ABET secara penuh dan menambahkan dengan memberikan penekanan kemampuan desain, dan orientasi praksis profesional di tingkat program Master. Sedangkan pada program Akademik/Teknologi penekanannya adalah pengembangan ilmu dasar , yang nantinya  dalam aplikasi akan menunjang pengembangan desain yang baru  dan yang kreatif. Kedua program ini saling menunjang dan terkait , tetapi tidak dapat disatukan dalam program studi yang sama

4)   Perhatian dan kesadaran terhadap pertumbuhan ekonomi, sosial, dan budaya regional:  peluang dan strategi  pada kawasan SIJORI (Singapura,Johor dan Riau)

Daerah pertumbuhan ekonomi yang  dianggap pesat pada masa yang akan datang adalah kawasan Sijori. Oleh karena itu PTS/PTN yang berlokasi di kawasan Barat Indonesia dapat  berpartisipasi untuk membangun kawasan pertumbuhan ekonomi ini. PTS dan PTN yang berada di daerah Sumatera Barat dan Riau  relatif lebih dekat dengan pusat pertumbuhan ekonomi SIJORI ini. Kebijakan kurikulum maupun arah pendidikan , seharusnya beradaptasi dengan pertumbuhan SIJORI ini, baik dari aspek ekonomi, kultur maupun sosial.

5)    Arsitektur yang manusiawi dan berbudaya

Ungkapan tentang arsitektur yang manusiawi sebenarnya adalah suatu gagasan yang pesimis  terhadap profesi dan pendidikan arsitektur. Salah satu tafsiran tentang perkataan ini adalah bahwa  pendidikan arsitek  telah memaksa anak didiknya seperti mesin perencana. Hal ini terlihat dari metoda maupun sistem pendidikan yang dijalankan selama ini yang hanya mementingkan mata kuliah tertentu
Tafsiran lain adalah, bahwa arsitek telah dituduh hanya untuk  hanya mementingkan  keinginan- keinginan perancang sendiri, tanpa mempedulikan aspek budaya, sosial . Arsitek dianggap mempelajari bagaimana memecahkan masalah secara individual dan bersifat kultur lokal (Jawa, Minang dst). Hal ini terlihat dari materi pelajaran teori, sejarah yang hanya mementingkan unsur tertentu
Arsitektur yang lebih manusiawi  dan berbudaya, seyogyanya dapat dicapai  dengan pemberian mata kuliah yang mengarahkan mahasiswa untuk memahami fenomena sosial, budaya dan ekonomi yang lebih utuh.

4. Kesimpulan

Umumnya baik PTS maupun PTN  berusaha untuk hanya memakai dosen arsitektur untuk mengajarkan mata kuliah  yang bermuatan aspek sosial, budaya  dan ekonomi, walaupun mereka tidak akhli dibidang ini.  Hal ini disebabkan sistem   manajemen pendidikan tinggi  yang  bersifat sentralisme. Hal ini sangat mencolok di PTN, dimana dianggap  semua staf pengajar  di jurusan harus mengajar semua mata kuliah yang tersedia walaupun bukan bidangnya. Hal ini mengakibatkan tereduksinya ilmu pengetahuan sosial budaya dan ekonomi yang dipelajari mahasiswa
Dengan adanya kebijakan  baru bahwa pendidikan akademis  dan keprofesian  bidang arsitektur harus dilaksanakan dengan  suatu sistem tertentu (standar Abed dan UIA), maka menjadi jelaslah pula kedudukan  atau posisi  bidang sosial budaya dalam pendidikan arsitektur diantaranya  adalah penguasaan ilmu Arsitektur, Seni, Seni  Rupa dan Humaniora
Perancangan dan Perencanaan Urban.
 Untuk pendidikan arsitektur di wilayah Sumatera, mau tidakmau harus memperhatikan perkembangan ekonomi-sosial-budaya di wilayah Indonesia bagian Barat, termasuk sistem pendidikan region SIJORI (Singapura-Johor-Riau) sebagai suatu wilayah pertumbuhan  sosial, budaya, dan ekonomi dalam penciptaan teknologi baru.


[i] Paper ini dibuat dalam rangka Seminar Nasional “ Substansi Pendidikan Arsitektur di Indonesia di Abad 21 di UGM Jogjakarta”  Tgl11 Juni 2002, kerjasama Juta UGM dan Aptari
[ii] Dosen Jurusan Arsitektur FTSP Univ. Bung Hatta di Padang.

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting