Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 12 Januari 2011

Semiotika dalam bahasa: Tanda (Sign) dalam Bahasa dan Maknanya

 符号学:标志符号)它在印尼语意味着
Semiotics in: Signs (sign) in the Language and Its meaning 
Oleh. Dr. Ngusman Abdul Manaf, M.Hum.
Cuplikan buku Semantik Bahasa Indonesia karangan Ngusman Abdul Manaf, ISBN: 978-602-881909-1 Terbitan UNP Press, tahun 2010. Buku ini adalah hasil penelitian penulis yang dibukukan. Seperti yang dikatakannya.

快照语义学印度尼西亚文章Ngusman阿卜杜勒Manaf,书号978-602-881909-1发行统一国民党出版社,2010。这本书是笔者研究结果谁张贴因为它说

Bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dan makna. Semantik membahas makna bentuk bahasa dalam hubungannya dengan konteks linguistik. Kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana adalah bentuk bahasa. Bentuk-bentuk bahasa itu mempunyai makna. Bentuk yang berbeda mempunyai makna yang berbeda. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta sosial, budaya, ekonomi masyarakat menimbulkan perubahan dan perkembangan simbol-simbol bahasa yang juga berdampak kepada perubahan atau perkembangan makna simbol-simbol bahasa itu. Karena makna simbol-simbol bahasa berkembang, pemakai bahasa perlu mempelajari makna simbol bahasa terus-menerus.

A.Pendahuluan
           
Bagian ini  berisi uraian tentang tanda bahasa dan maknanya. Pemamahan tentang hakikat tanda bahasa penting karena bahasa pada hakikatnya adalah sistem tanda. Pada waktu seseorang berbicara, orang memilih dan megorganisasikan tanda bahasa (yang berupa untaian bunyi bahasa) untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, pada waktu kita memyimak tuturan orang lain, kita  berusaha menafsirkan tanda bahasa yang dituturkan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan tanda bahasa dan kemampuan memahami tanda bahasa.  Untuk memahami hakikat tanda bahasa, diuraikan usur tanda bahasa,  yang mencakup  tanda antau simbol,  gagasan atau konsep, dan  acuan. Di samping itu, juga diuraikan hubungan tanda bahasa dan maknanya.
Tujuan yang ingin dicapai dalam bagian  ini adalah setelah membaca uraian ini, pembaca diharapkan dapat sebagai berikut: (1)  merumuskan pengertian tanda bahasa; (2) menjelaskan  unsur-unsur tanda bahasa;  (3) menjelaskan hubungan tanda bahasa dengan maknanya; (4)  menyebutkan tiga jenis tanda; (5) dapat memberikan paling sedikit tiga  contoh untuk setiap jenis tanda itu.

B.Tanda Bahasa

1. Komponen Tanda Bahasa dan Relasi Antarkomponen
Linguis yang membahas hakikat tanda bahasa  secara mendasar, antara lain  Saussure (1916/1970), Ogden dan Richard (1923).   Konsep   tanda bahasa dari dua linguis itu diuraikan di bagian ini karena  dua konsep itulah  yang  umumnya dijadikan acuan para linguis dalam membahas tanda bahasa.
 Menurut Saussure (1916),  tanda linguistik (signe linguistique)  mempunyai dua unsur,  yaitu  (1)  yang ditandai (dalam bahasa Prancis signifie ; dalam bahasa Inggris signified dan (2)  yang menandai (dalam bahasa Prancis signifiant; dalam bahasa Inggris signifier). Sesuatu yang ditandai diistilahkan dengan petanda. Sebaliknya, sesuatu yang menandai diistilahkan dengan penanda. Penanda itu berupa  bunyi bahasa sedangkan  petanda berupa benda,  kegiatan, atau keaadaan. Konsep   tanda bahasa Saussure itu dapat dilihat pada bagankan di bawah.     
           
                

Gambar bagan  Hubungan antara Tanda Bahasa, Petanda, dan Penanda Menurut Konsep Firdinand de Saussure 

Penanda itu dapat berupa bunyi bahasa yang berupa kata, frasa, kata, kalimat, atau teks.  Petanda adalah sesuatu yang diacu oleh suatu penanda yang berupa leksem, kata, frasa, kalimat, atau teks. Dengan kata lain, petanda atau acuan merupakan makna dari tanda bahasa. Jadi tanda bahasa  selalu berwujud bentuk tanda  dan maknanya. Saussure melihat tanda hanya dari dua sisi, yaitu sisi penanda (bunyi bahasa) dan sisi petanda (sesuatu yang ditandainya). Berdasarkan bagan 2.1, tanda bahasa  memiliki  dua unsur, yaitu petanda (sesuatu yang ditandai)  yang berupa  hewan sapi dan penanda (yang menandai) yang berupa kata s a p i.
Ogden dan Richard (1923) mengkaji  tanda bahasa dari tiga sisi, yaitu  simbol (symbol), gagasan (thought or reference), dan  acuan (referent).  Relasi unsur tanda itu, digambarkan dalam bentuk segitiga dengan sisi  bawah berupa garis putus-putus.
                              
 

Gambar bagan  Hubungan antara Simbol, Gagasan, dan Acuan Menurut Konsep Ogden dan Richard

Menurut Ogden dan Richard, simbol mewakili  gagasan yang ada dalam pikiran. Gagasan yang ada dalam pikiran itu merupakan makna dari simbol bahasa. Gagasan mengacu ke acuan atau referen (benda, kegiatan, atau sesuatu yang lain). Contoh, jika ada simbol yang berupa leksem sapi, makna leksem itu adalah gagasan, yaitu ‘binatang berkaki empat, pemakan rumput, dan yang diperah susunya’. Gagasan itu mengacu ke benda (sesuatu) yang sebenarnya, yaitu hewan yang berupa sapi.
 Hubungan antara simbol dan gagasan bersifat langsung. Hubungan langsung antara simbol dan gagasan maksudnya adalah antara simbol dan gagasan merupakan pasangan otomatis. Misalnya, ada simbol yang berupa leksem sapi, leksem itu otomatis mewakili gagasan ‘binatang berkaki empat, pemakan rumput, dan yang diperah susunya. Hubungan antara gagasan dengan acuan juga bersifat langsung. Hubungan langsung antara gagasan dan acuan ini dapat diartikan bahwa antara gagasan dan acuan merupakan pasangan yang otomatis. Sebaliknya, jika ada gagasan tentang alat tulis yang digunakan untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu otomatis mengacu kepada benda seperti di gambar 1. Sebalikya,  hubungan antara simbol dan acuan tidak langsung. Oleh karena itu, garis yang menghubungkan simbol dan acuan ditulis putus-putus. Hubungan tidak langsung antara acuan  dan simbol diartikan bahwa jika ada acuan, misalnya benda yang apabila digambarkan  bentuknya seperti di gambar 1.  Benda di seperti di gambar 1 itu tidak  otomatis selalu disebut sapi, tetapi benda itu disebut lembu atau sapi oleh orang Jawa, jawi oleh orang Minangkabau,  disebut cow oleh orang Inggris. Orang atau kelompok orang menyimbolkan benda (sesuatu)  atau menamai benda  tidak terikat  harus mengikuti satu bentuk  saja.  Orang atau kelompok orang itu menyimbolkan atau menamai benda (sesuatu)  bersifat mana suka atau arbitrer tergantung kesepakatan atau konvensi orang atau kelompok orang itu. Contoh hubungan  simbol,  gagasan, dan acuan itu dapat    divisualkan dalam bagan 3.
 
Gambar Bagan  Analisis Tanda Bahasa Menurut Segi tiga
Ogden dan Richard.

2. Makna Tanda Bahasa
Makna tanda bahasa dapat dipahami dari  segi  asal makna  tanda bahasa  dan  sifat hubungan antara simbol dan  acuannya.  Plato menjelaskan  bahwa ada hubungan yang sistematis atau berarti antara simbol dengan  acuannya. Adanya hubungan sistematis antara simbol dengan acuannya, didukung oleh  adanya kemiripan bunyi yang menjadi simbol dengan acuanya. Misalnya, simbol yang berupa kata yang bersifat anomatope. Dalam bahasa Indonesia, binatang yang bunyinya, tokek.., tokek dinamakan tokek. Binatang yang suaranya meong..., meong... dinamakan meong. Suara air hujan yang jatuh jarang-jarang (tidak lebat),  tik.. tik,..tik dinamakan rintik. Di sisi lain, Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara  simbol dengan acuan. Jika ada yang mirip, hal itu hanya suatu kebetulan saja (Chaer, 1995: 13). Pendapt Aristoteles itu didukung oleh data bahwa orang memberikan nama yang berbeda-beda terhadap benda atau sesuatu yang sama. Contoh, binatang yang berkaki empat yang larinya cepat, pemakan rumput, yang biasanya ditunggangi atau untuk menarik bendi dinamakan kudo oleh orang Minangkabau, kuda oleh orang Melayu, jaran oleh orang Jawa, dan horse oleh orang Inggris. Andaikata,  ada hubungan yang berarti atau yang sistematis antara simbol dengan makna, tentu benda atau sesuatu yang sama itu diberi simbol atau diberi nama yang sama oleh  semua  orang di dunia ini. Kenyataanya tidak demikian. Odgden dan Richard (1923) dan Lyons (1977) mempunyai pendapat yang sama dengan Aristoteles, yaitu  tidak ada hubungan yang sistematis atau berarti antara simbol dan acuannya. Hubungan antara simbol  dan tanda bahasa bersifat mana suka atau arbitrer.
Berdasarkan data bahasa yang ada, penulis buku ini berpendapat  bahwa hubungan  simbol dengan acuannya sebagian bersifat sistematis (ada hubungan kemiripan dan hubungan penyebaban)  dan sebagian lagi  bersifat manasuka atau arbitrer (tidak hubungan kemiripan atau penyebaban).  Pendapat penulis ini sama dengan pendapat Kridalaksana. Kridalaksana (2001: 3)  menjelaskan bahwa banyak pembaca terutama yang hanya  membaca  materi kuliah  Saussure yang kemudian  diterbitkan oleh muridnya Ch. Bally dan A. Sechehaye dengan judul Cours de Linguitique Generale (1916)  mengira bahwa bagi Saussure hubungan di antara  petanda dan penanda itu bersifat arbitrer. Ternyata dalam rangkaian kuliah ketiga (1910—1911), yang tidak sempat diterbitkan dalam buku itu, tetapi dicatat oleh murid yang lain, yakni E. Constantin, Saussure tidak sepenuhnya mengakui kearbitreran tanda bahasa. Ia melihat adanya l’arbitraire absolu  ‘kearbitreran mutlak’ dan l’arbitraire rélatif ‘kearbitreran nisbi’. Dalam kuliahnya pada 12  Mei 1911 ia menyatakan,”Au lieu d’arbitraire  nous pouvons sire  immotive”  alih-alih “arbitrer” kita dapat menyatakan “tak bermotivasi”. Ia mengambil contoh numeralia Prancis vingt ‘dua puluh’ dan dix-neuf ‘sembilan belas’: yang pertama itu tidak bermotivasi, sedangkan yang kedua bermotivasi (dix bermakna ‘sepuluh’, neuf bermakna ‘sembilan’).  Ia mengakui adanya  limitatition  de l’arbitraire ‘keterbatasan kearbitreran’. Selajutnya, ia menjelaskan bahwa kearbitreran nisbi itu menyangkut  rélation intérieur ‘relasi intern’, yakni hubungan di antara  penanda dan petanda dan rélation èkstérieur ‘relasi ekstern’, yakni hubungan  di antara satu tanda dengan tanda lain. Jacobson (1965) juga  menyatakan  bahwa tanda bahasa tidak sepenuhnya arbitrer yang dibuktikan  dengan  kutipan  ungkapan  Julius Caesar veni, vidi, vici ‘aku datang, aku melihat, aku menang’ yang memperlihatkan  urutan kejadian yang diungkapkan (temporal), kegiatan yang terjadi lebih dahulu adalah datang, setelah datang barulah dapat melihat berbagai hal di tempat yang didatanginya. Setelah itu, barulah memperoleh kemenangan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di tempat itu.  Di samping itu, tanda bahasa juga diungkapkan secara hierarkis, seperti yang terlihat dalam kutipan  The preisident  and the secretary of state  (attended the meeting). Dalam  kutipan itu, the presiden yang dianggap lebih tinggi kedudukannya (lebih penting) diletakkan di depan. Sebaliknya, the secretary yang dianggap lebih rendah kedudukannya (kurang penting) diletakkan di belakang.
Bahasa merupakan sistem tanda yang merupakan cabang dari semiologi atau semiotika (Kridalaksana, 2001: 3). Atas dasar hubungan antara tanda dengan objek yang ditandainya, Pierce membagi jenis tanda menjadi tiga, yaitu  ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol) (Nörth, 1990:45). Ikon adalah jenis tanda  yang ada hubungan kemiripan antara penanda dengan petandanya, misalnya foto wajah orang mirip dengan wajah orang yang difoto,  leksem yang bersifat anomatope, misalnya  cecak mirip dengan suara binatang itu cek...cek..., tokek sama dengan bunyi binatang itu tokek...tokek, rintik sama dengan suara titik... titik air hujan dan lain-lain. Indeks adalah jenis tanda yang ada hubungan sebab akibat antara penanda dengan petanda, misalnya, asap adalah tanda ada panas atau api,  mendung adalah tanda akan ada hujan, tanda anak panah menujukkan  arah  yang dituju. Simbol adalah jenis tanda yang  tidak ada hubungan antara tanda dengan objek yang ditandainya,  misalnya orang boleh mana suka menamai  benda yang berupa alat tulis yang lazim digunakan menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang, yaitu pituluik bagi orang Minangkabau, pensil bagi orang betawi, potlot bagi orang Jawa, pencil bagi orang Inggris. Berdasarkan konsep yang diuraikan di atas,  ternyata ada tanda bahasa yang tergolong jenis ikon, antara lain  leksem yang bersiafat anomatope, cecak, tokek, meong, maem, dan lain-lain dan ada tanda bahasa yang tergolong simbol (lambang), misalnya  kata pensil, kuda, pohon, badan, dan lain-lain.
Faktor pembentuk makna tanda bahasa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) unsur intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal  pada tanda bahasa, dan  (3) konteks tuturan.  Ullman (1977: 3) menjelaskan bahwa Aristoteles pernah menyatakan bahwa makna tanda bahasa bersumber dari (1)  unsur makna  dalam tanda bahasa itu sendiri (otonom), dan (2)   proses gramtikal yang terjadi pada tanda bahasa itu. Konsep bahwa makna tanda bahasa itu bersumber dari unsur dari dalam tanda bahasa itu sama dengan makna leksikal sekarang ini. Makna tanda yang terbentuk karena tanda bahasa itu mengalami proses gramatikal sama dengan istilah makna gramatikal saat ini. Pernyataan aristoteles bahwa makna tanda bahasa bersumber dari unsur dari dalam tanda bahasa itu didukung oleh kenyataan bahwa banyak sekali leksem yang sudah mempunyai makna penuh sebelum leksem itu mengalami proses gramatikal. Contoh leksem  makan  yang bermakna ‘memasukkan makanan ke mulut, menguyah, kemudian menelannya’. Makna itu terbentuk karena di dalam leksem perempuan terdapat komponen makna [+ memasukkan makanan ke mulut, + menguyah,  + menelan]. Makna otonom menurut Aristoteles ini sama dengan  makna leksikal  sekarang ini (Baca Chaer, 1995: 59—60). (Lyons, 1977: 174—224, Cruse, 1986: 80-290, Allan   2001: 247—282).   
Pernyataan Aristoteles bahwa makna tanda bahasa terbentuk karena  tanda bahasa itu mengalami proses gramatikal didukung oleh banyak sekali data bahasa. Contoh, leksem minum sebelum mengalami proses gramatikal bermakna ‘memasukkan zat cair ke dalam mulut kemudian menelannya’. Leksem minum setelah mengalami proses gramatikal, yaitu digabungkan dengan sufiks –an  menjadi minuman yang maknanya ‘benda yang diminum’. Contoh yang lain adalah leksem bunga yang sebelum mengalami proses gramatikal dalam tataran kalimat  bermakna ‘tumbuhan yang berfungsi untuk hiasan atau bagian dari pohon yang mengandung bakal buah’. Leksem bunga setelah mengalami proses gramatikal, yaitu leksem bunga itu diletakkan  dalam koteks kalimat  bunga desa itu sudah disunting oleh Aji. Dalam koteks kalimat itu, bunga bermakna ‘gadis tercantik di desa itu’.
Makna tanda bahasa juga dapat timbul karena dihubungkannya tanda bahasa (baca tuturan) dengan konteks tuturannya. Seperti yang telah dijelaskan di depan, konteks tuturan itu mancakupi, pelaku tutur, setting, topik, dan tujuan. Contoh, tanda bahasa yang berupa  kalimat  ruangan ini  gelap sekali. Sebelum dihubungkan dengan konteks non linguistik, yaitu situasi tutur, kalimat ruangan ini gelap sekali bermakna ‘informasi dari seseorang bahwa ruangan yang sedang digunakan gelap sekali’. Setelah tuturan dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu penuturnya adalah seorang dosen yang sedang mengajar, tempatnya di ruang kelas, topik ruangan gelap, agar ruangan menjadi terang, makna tuturan ruangan ini gelap sekali bermakna ‘seorang dosen meminta kepada salah seorang mahasiswa agar membuka jendela atau menghidupkan lampu ruangan itu’.  Makna yang terbentuk dengan menghubungkan tanda bahasa (tuturan) dengan konteks situasi tutur itu disebut dengan  makna pragmatik. Makna yang terbentuk  karena tanda bahasa (tuturan) dihubungkan dengan konteks tuturannya disebut maksud (Leech, 1983/1993: 1—23),  Levinson, (1983: 1—47). Karena semantik hanya memfokuskan makna tanda bahasa yang hanya dihubungkan dengan konteks linguistik, makna satuan bahasa yang terbentuk karena satuan bahasa dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu situasi tutur dan nilai-nilai budaya  tidak dibahas dalam buku semantik ini. Makna yang terbentuk karena satuan bahasa dihubungkan dengan konteks nonlinguistik dibahas dalam pragmatik (Baca Gunarwan, 1994: 1--10).

C.Rangkuman 

Bahasa adalah sistem tanda. Karena bahasa adalah sistem tanda, ilmu bahasa (linguistik),  dapat digolongkan sebagai cabang dari semeologi atau semiotika. Pada waktu kita berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis sebenarnya kita  sedang memanfaatkan tanda-tanda bahasa itu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada orang lain atau  berusaha menafsirkan tanda-tanda bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan dan memahami tanda-tanda bahasa. Apakah sebenarnya tanda bahasa itu? Tanda bahasa adalah untaian bunyi bahasa  yang mewakili  objek tertentu. Objek yang diwakili oleh tanda bahasa itu dapat berupa benda, kegiatan, sifat, atau konsep. Tanda bahasa itu dapat berupa  kata, frasa, klausa, kalimat, bahkan teks. Dalam bahasa tulis, tanda bahasa yang berupa bunyi bahasa itu dilambangkan dengan grafem atau huruf, serta tanda baca.
Menurut Saussure, tanda itu  mencakup dua unsur,  yaitu  penanda yang menandai (signifié: Prancis; signified: Inggris) dan petanda yang ditandai (signifiant: Prancis; signifier: Inggris). Secara sederhana, dapat dijelaskan  bahwa petanda itu berupa untaian bunyi bahasa, misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat  dan  sesuatu yang  diacu itu merupakan petanda. Dalam hal ini, petanda itu dapat dianggap sebagai makna dari suatu tanda. Contoh, jika ada tanda, misalnya   pensil,  untaian bunyi [p-e-n-s-i-l]  merupakan  penanda dan  benda yang  berupa ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di papan tulis yang terbuat dari kayu dan arang merupakan petanda. Petanda itu sekaligus merupakan makna dari tanda itu. Jadi, pensil bermakna ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di kertas yang dibuat dari kayu dan arang’.
Menurut Ogden dan Richad (1923), tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur,  yaitu simbol (symbol),  gagasan (thought or refence), dan  acuan (referen). Simbol mewakili gagasan, dan gagasan mengacu ke suatu  acuan (objek tertentu).  Contoh, jika ada leksem pensil,  untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan simbol, ‘alat tulis yang lazim untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang’ merupakan gagasan, dan  wujud objek yang sebenarnya adalah  acuan. Menurut Ogden dan Richard, gagasan itulah yang merupakan makna dari tanda bahasa. Hubungan antara tanda dengan acuan bersifat arbitrer atau mana suka.
Hubungan antara tanda bahasa dengan  objek yang ditandai ada yang bersifat  sistematis (ikonis) dan ada yang bersifat  arbitrer. Leksem-leksem yang berupa anomatope menunjukkan ada hubungan yang sistematis anatara tanda bahasa dengan objek yang ditandainya. Leksem-leksem yang tidak berupa anomatope menunjukkan tidak adanya hubungan yang sistematis antara tanda dengan objek yang ditandainya.
Menurut Pierce,  berdasarkan hubungan antara tanda dan objek yang ditandainya, tanda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Indeks adalah tanda bahasa yang menunjukkan hubungan kemiripan antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, foto dan  leksem anomatope merupakan tanda yang tergolong ikon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan ada hubungan kausalitas antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, asap, mendung,  arah anak panah  merupakan tanda yang  tergolong indeks. Simbol adalah tanda yang antara  tanda dan objek yang tidak ada hubungan apa-apa. Tanda itu dibuat semata-mata karena konvensi kelompok orang pemakai tanda itu. Leksem atau kata-kata, atau lambang-lambang tertentu  (lambang negara, lambang organisasi) tergolong simbol. Sebagian tanda bahasa tergolong ikon dan sebagian tanda bahasa yang lain tergolong simbol. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.
Ada tiga unsur yang menghadirkan makna tanda bahasa, (1) komponen makna intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal  pada tanda bahasa, (2) konteks tuturan dari suatu tanda bahasa. Makna yang terbentuk dari unsur komponen makna tanda bahasa itu  sendiri (otonom) digolongkan sebagai makna leksikal. Makna yang terbentuk karena  tanda bahasa mengalami proses grmatikal disebut makna gramatikal.  Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan) dihubungkan dengan konteks situasi tuturnya  digolongkan sebagai makna pragmatis.  Makna leksikal dan makna gramatikal merupakan  kajian semantik sedangkan  makna pragmatis merupakan  kajian pragmatik.

Kepustakaan


Allan, Keith. 2001. Natural Language Semantics. Massa-chusetts: Blackwell  Publishers Inc.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo, Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia (Edisi ke Tiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin.1988. Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung:  Sinar Baru.
Brown, Penelope dan S. C., Levinson. 1978. “Universal in Language Usage: Politeness Phenomena” di dalam Question and Politeness. Cambrige: Cambridge: University Press.
Chaer,  Abdul. 1995. Pengantar Semantik Bahasa Indoneia. Jakarta: Rineka  Cipta.
Chomsky, Noam. 1965. Aspecs the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Cruse, D.A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge: Cambridge University  Press.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik I: Pengantar ke Arah Ilmu makna.  Bandung: Eresco.
Filmore, Charles J. 1968. “The Case for Case” dalam Universal in Linguistics  Theory. Emmon Bach dan Robert T. Harma (Ed.).  New York: Holt,   Rinehart and Winston, Inc.
Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik Pandangan Mata Burung”. Mengiring Rekan Sejati. Dalam Soenjono Dardjowidjojo. Jakarta:  Lembaga
Hockett, Charles F. 1958. A course in Modern Linguistics. New York.  The  Macmillan Company.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik. Ditermahkan Abdul Wahab pada 1995.  Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam  Bahasa  Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
_______. 1992. Pembentukan Kata dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_______1993. Kamus Linguistik (Edisi Ke-tiga). Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka Utama.
______2001. “Paradigma Semiotik dalam Linguistik Melayu/Indonesia”.Persidangan Serantau Bahasa, Sastera, dan  Budaya Melayu, Universiti Putra Malaysia.
 Leech, Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan  oleh M. D. D. Oka. (1993). Jakarta: Universitas Indonesia.

Levinson, Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University  Press.
Lyons, John. 1995. Linguitics Semantics: An Introduction. Cambridge: Cambridge University Press.
_______ 1977. Semantics  Volume I. Cambridge: Cambridge University Press.
_______ 1977. Semantics: Volume, 2. Cambridge: University Press. 
Manaf, Ngusman Abdul. 2000. “Sintaksis Bahasa Indonesia.” Padang: Universitas Negeri Padang.
Moeliono, M. Anton. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar. Jakarta: Gramedia.
Nöth, Winfried. 1995. Hand  Book of Semiotics. Bloomington and  Indianapolis: Indiana University Press.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London.  Routledge & Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur. 1986. Semantik Leksikal. Ende Flores: Nusa Indah.
Poerwadarminta, W. J. S. 1983. Kamus Umum Bahasa   Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Penulis
Ngusman Abdul Manaf dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada 19 Oktober 1966. Ia lulus Sekolah Pendidikan Guru pada 1986 di SPG Negeri Pati; lulus Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada 1991 di IKIP Padang; lulus master di bidang humaniora pengkhususan  linguistik pada tahun 1997 di Universitas Indonesia; lulus doktor di bidang Ilmu Pengetahuan Budaya pengkhususan linguistik pada tahun 2005. Ia merupakan dosen tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan dosen tetap di Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Karya Ilmiah yang sudah ditulis antara lain Kelas Sosial dan Kode Bahasa (tesis), Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Indone¬sia (disertasi), Sintaksis (buku  teks), Melacak Siratan Makna dalam Teks Bahasa Indonesia (artikel), Strategi Kaum Wanita dalam Melindungi Citra Dirinya dan Citra Diri Orang Lain dalam Tindak Tutur (artikel).




Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting