Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Sabtu, 19 Januari 2008

Era Revolusi Digital dalam Desain Grafis

Era Revolusi Digital dalam Desain Grafis untuk
Mendukung Industri dan Pendidikan
Kreatif

Nasbahry Couto


Dalam pandangan ahli sejarah, abad ke 21 adalah era revolusi digital. Abad ini ditandai oleh sistem informasi dan komunikasi yang sepenuhnya akan dikuasai oleh media digital, seperti teknologi komputer dan perangkat lunaknya. Timbulnya kesadaran baru tentang ekonomi berdasarkan kreativitas individual, dan tidak lagi berdasarkan potensi sumber data alam yang semakin menipis dan mahal. Semua aspek kebudayaan akan bergeser ke dimensi baru ini, termasuk aspek ekonomi, dan pendidikan berikut berbagai aspek lainnya; yang menjadi pertanyaan penulis adalah bagaimana kita dan juga pemerintah menyiapkan sektor pendidikan untuk menghadapi abad ke 21 ini. Terutama untuk menyiapkan potensi anak bangsa melalui pendidikan seni rupa dan desain yang sangat erat hubungannya dengan revolusi digital dan industri kreatif. Hal ini dapat dipahami karena pendidikan seni dan desain adalah alat (agent) yang memiliki kekuatan untuk menjadikan sesuatu yang tidak ada (nothing) menjadi ada (thing), dan alat agar ide menjadi aksi (action). Pendidikan seni dan desain bukanlah semata untuk mengulangi apa yang telah ada (craft, handycraft, atau reproduction), tetapi inovasi (inovation) dan inovasi. Dengan sedikit menjelaskan sejarah seni dan desain. Penulis mengemukakan perihal yang mendukung dan yang kurang mendukung tema industri kreatif ini. Setidak-tidaknya tema ini dapat dipertanyakan dengan apa yang ada pada KTSP (Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan) yang dirancang pemerintah tahun 2006.


Era revolusi digital

Dalam artikel FGD (Forum Grafis Digital 2007) yang bertajuk Strategi Industri melalui Teknologi dan penciptaan nilai, dijelaskan bahwa munculnya teknologi baru selalu membawa perubahan pada peta industri. Misalnya teknologi desktop publishing, mengizinkan banyak profesional grafis pemula terjun ke industri desain dengan mudah. Digital camera melahirkan banyak fotografer muda yang bisa bersaing di kancah fotografi profesional, lahirnya format printing yang besar memberikan kesempatan bagi pemain baru untuk terjun ke industri cetak. Dalam hal ini teknologi membuat ajang permainan menjadi adil dan flat, profesional muda baru dan pemain lama dibidang grafis bersama-sama berangkat dari titik awal.[1]

Tidak dapat disangkal, bahwa jaman ini ditandai oleh revolusi digital dibidang grafis, sebab mesin ketik dan kertas untuk mengetik sudah lama ditinggalkan, demikian juga dibidang seni visual, mulai menyingkirkan media konvensional. Misalnya ide untuk lukisan, gambar dan medium grafis, sudah mulai digali pelukis melalui teknik fotografi dan media digital, walaupun hasil final dibuat dengan media konvensional.[2] Revolusi digital ini menurut Philip B. Meggs dimulai pada akhir tahun 80 atau awal tahun 90-an[3], ilmu desain grafis umumnya didasari pengetahuan metoda kerajinan (handicraft processes). Layout sebuah buku misalnya, visualisasi desainnya disusun liwat tangan; desain huruf berasal dari typesetter, huruf yang sudah di print dipotong-potong lagi dan di susun di atas kertas tebal untuk membuat plat repro (platmaking). Teknik ini di negara berkembang mungkin masih berlanjut sampai sekarang, tetapi teknologi terkini memungkinkan layout dikomputer langsung ke mesin cetak. Baik hardware maupun sofware komputer berkembang secara radikal untuk menciptakan sebuah desain grafis.

Kapan revolusi digital ini dimulai ? Menurut Meggs, yang memelopori software komputer ini adalah programmer Bill Atkinson dan desainer grafis Susan Kare tahun 1984, liwat perusahaan Apple dan Machintos, karyanya ini merupakan suatu revolusi antarparas manusia (human interface). Liwat ikon-ikon atau tablet grafis dan mouse, memungkinkan desainer grafis bekerja secara intuitif di layar komputer. Kemudian muncul penemuan baru dimana postscript dan deskripsi bahasa page diciptakan oleh Adobe Systems, Inc., (misalnya software Adobe Acrobat) memungkinkan huruf-huruf, halaman-halaman tulisan dan imaji-imaji di gabung dalam sebuah desain grafis di layar komputer.

Menurut Meggs, pertengahan tahun 1990-an semua kegiatan desain grafis konvensional, telah bergeser kepada kegiatan teknologi layar komputer virtual yang canggih. Komputer digital menjadi tempat desainer untuk merancang huruf secara individual, dan tidak lagi tergantung jenis font yang ada, era ini adalah suatu jaman dimana desainer bereksperimen untuk menciptakan huruf dan page layout publishing yang tidak lumrah. Huruf dan imaji gambar digital dapat disusun secara layer (berlapis-lapis), terpisah atau dan disatukan; kolom-kolom tulisan dapat dibuat tumpang tindih, bergerak dan dirubah menurut ukuran, panjang atau pendek. Huruf dapat dirubah seketika dalam halaman tunggal, dalam kolom maupun kata. Berbagai software baru muncul melengkapi revolusi digital komputer yang memungkinkan desainer untuk membuat imaji transparan dan imaji-imaji montase yang rumit. Revolusi digital ini dengan sangat cepat merambah ke dunia internet, terutama dunia internet komersial, untuk mempercepat pertumbuhan ekonomi secara global, kenapa tidak. Semua kegiatan manusia, baik dalam berorganisasi, pemerintahan/institusi dan ekonomi dengan mantap masuk ke website dan mendunia.

Abad ke 21 memang ditandai oleh penyebaran karya desain grafis ke berbagai pelosok dunia dalam seketika, desain grafis adalah komponen utama dalam produk cetak dan sistem informasi elektronik yang rumit. Desain grafis merembes kedalam kehidupan manusia masa kini, dalam menyampaikan informasi, identitas produk; dalam dunia hiburan/entertaintmen dan kepentingan pesan persuasif. Menurut Meggs teknologi digital ini, tanpa belaskasihan, secara dramatis memaksakan cara desain grafis diciptakan dan disampaikan kepada orang banyak. Tanpa diperintah, para desainer grafis juga berubah dan mengikuti perkembangan yang ada, untuk kepentingan ungkapan dan menyampaikan isi pesan yang ingin dikomunikasikannya.

Pertentangan desain grafis cetak dengan desain grafis website

Menurut Eric Miller, desain grafis abad ke 21-an ini adalah era pilihan antara desain grafis cetak dan desain grafis web, untuk melayani kepentingan orang banyak.[4] Desain grafis berada dalam kedua bidang ini untuk kegunaan yang sama dan atau kepentingan yang sangat berbeda. Pertentangan itu, ada pada unsur 1) tipe media, 2) audience/user, 3) layout, 4) teknik yang dipakai untuk pewarnaan, 5) teknologi dan 6) dan pengembangan karir/profesi desainer.[5]

Sebagai contoh dalam bidang pewarnaan desain grafis cetak, seorang desainer harus menyadari perbedaan sistem warna yang ada di layar komputer (RGB) dengan sistem print warna yang ada pada printer (CMYK), teknologi printerpun berkembang sangat cepat untuk melayani kedua sistem warna substraktif (sistem warna pigment) dan additif (sistem warna cahaya) ini. Sedangkan pada sistem warna web, seorang desainer harus menyadari perbedaan antar jenis komputer (dari monitor ke monitor lainnya), perubahan dan efek brightness dan kontras pada layar komputer. Jadi, apa yang dilihat dilayar, belum tentu sama dengan yang tercetak, seorang desainer harus memahami sistem warna dan teknologi printer yang dipakai.

Dari segi teknologi, misalnya desainer cetak (print designer) harus menguasai program Adobe Photoshop, Illustrator dan InDesign, sedangkan desainer web harus menguasai bahasa dan teknologi website seperti HMTL, CSS dan AJAK. Menurut Miller, seorang desainer web seharusnya tidak bekerja individual, dia harus bekerja dalam suatu tim agar dapat membuat sebuah desain web yang efektif (sebagai suatu bahasa program)

Wacana abad ke-21: Ekonomi Kreatif dan Industri Kreatif

Yang menjadi pertanyaan apakah untuk pendidikan yang mengarah kepada ekonomi kreatif itu dapat diartikan sebagai pendidikan handycraf, Art atau Design ? Ini pertanyaan yang menggelitik penulis sejak adanya isu ekonomi kreatif dan industri kreatif. Lebih jauh lagi bagaimanakah peran pendidikan handycraf, Art atau Design desain grafis dalam mendukung ekonomi kreatif ini ? Mana yang lebih berperan ? Pertanyaan ini, timbul karena simpang siur atau perbedaan pendapat mengenai substansi ekonomi kreatif itu sendiri.

Industri kreatif sebagai handycrat, tercatat dari pernyataan Menteri Perdagangan Indonesia Mari Elka Pangestu Hal tersebut disampaikan Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu dalam jumpa pers di sela-sela 'Trade Expo Indonesia' di Jakarta International Expo, Kemayoran, (pada artikel Arin Widyanti, Detik.com, Selasa, 23/10/2007). Mari menjelaskan bahwa paling tidak ada 3 sub kategori ekonomi kreatif yang kontribusinya paling besar yakni fashion 30 persen, kerajinan 23 persen dan periklanan 18 persen.[6] Dalam hal ini dan kacamata pemerintah, yang diwakili oleh menteri perdagangan, kerajinan (handycraft) dianggap sebagai bagian dari ekonomi kreatif). Padahal semua orang tahu bahwa handtcraft itu berbau tradisional dan konvensional, sebab kerajinan itu umumnya anonim, berakar dari budaya lokal yang sifatnya mapan (konvensional), berdasarkan tradisi (tradisional). Sebab lain adalah, akan sulit untuk membedakan handycraf kreatif dan yang mapan/konvensional, umumnya handycraft itu berwajah ganda.

Menurut Walker[7], Kerajinan itu pemula atau akar dari seni dan desain. Bahkan akar dari industri itu sendiri melalui revolusi industri. Artinya, antara seni dan desain dengan craft pada awalnya tidak dibedakan, terutama di abad Tengah (abad ke 14-15). Pemisahan dan percabangan ini terjadi setelah revolusi industri di Inggris, dimana seni dan penciptaan produk baru melalui studi seni, dan industri massal untuk sistem produksinya.

Sejarah juga mengajarkan bahwa sebuah industri memiliki syarat-syarat tertentu sehingga dia dapat disebut sebagai industri, terutama dalam hal sistem produksi dan sistem distribusi produknya. Barangkali yang menjadi kunci dalam hal ini adalah budaya industri yang ditanamkan sejak dini dalam dunia pendidikan. Dan perlu juga di catat, fenomena setelah era pasca industri, dimana industri berskala besar jatuh dan runtuh menjadi industri berskala lokal, tidak harus di terjemahkan sebagai keunggulan handycraft. Sebuah industri tetap sebuah industri dengan ciri-ciri khasnya yang berbeda dengan handycraft. Sebuah industri memiliki ciri pemisahan pekerjaan (division of labour, separate specialism), otomatisasi (growing automation), produksi massal (mas production), asembling dan sebagainya. Seni dan desain adalah pekerjaan inovatif dan kreatif, sedangkan memproduksi adalah pekerjaan bengkel. Kedua jenis pekerjaan ini dahulunya tidak terpisah dalam kegiatan handycraft. Munculnya industri, memisahkan pekerjaan seni, desain dan craft, seperti yang ditulisnya:
In the moderen period one of the key differences between craft and design is that in the former, the making proccess from conception to execution is undertaken by the same person or a small team of people. A division of labor between designer and makers, in the other words, does not exist, - or not same extent – as it does in industry…..( Walker, Hal.38)
Lebih lanjut dia menjelaskan:
One category of craft – the so called ‘rural’ or ‘country’ craft based upon the agricultural way of life – has certainly been virtually eliminated (Walker, hal.39)
Industri kreatif sebagai seni terapan/komersil, adalah industri yang disokong oleh seni, atau seni terapan. Jadi yang penting sebenarnya adalah eksistensi industrinya. Industri kreatif akan terlihat jika seni terapan diperbanyak dan diterapkan untuk tujuan komersil. Seni komersil ini terutama menonjol pada produk grafis[8]. Keragaman seni komersil ini terlihat secara nyata dalam produk grafis, periklanan, filem, animasi, musik, fashion, mebel, furniture atau produk interior dan sebagainya.[9]

Tidak heran jika British Council Indonesia (BCI), yang bekerjasama dengan FGD (Forum Grafis Digital) untuk tahun 2007/2008 ini melakukan proyek rintisan dalam proyek pemetaan Industri kreatif dari industri percetakan dan grafis, termasuk di dalamnya periklanan, jasa grafis, pengemasan, media, percetakan dan penerbitan. Hasil pemetaan ini dipublikasikan pada acara Biannual Digital Graphic Forum Expo di bulan Agustus 2007.[10]

Menarik juga untuk menyimak sebuah artikel dari Common Room Network Fundation, bahwa di Indonesia, perkembangan sektor ekonomi kreatif disinyalir tengah berkembang pesat di beberapa kota besar selama kurun waktu 10 tahun terakhir. Yaitu melalui inisiatif komunitas anak muda di beberapa kota semisal Jakarta, Bandung dan Yogyakarta, berbagai benih yang memicu pertumbuhan ekonomi kreatif di tingkat lokal telah mampu melahirkan karya film, animasi, fesyen, musik, software, game komputer, dsb. (dalam hal ini mereka samasekali tidak tertarik untuk membicarakan sektor handycraft). Menurut mereka beberapa diantara pelaku ekonomi kreatif ini telah mendapatkan kesempatan untuk menampilkan karyanya di ajang internasional. Yang mengherankan mereka adalah munculnya bakat-bakat baru dikalangan anak muda yang muncul tanpa infrastruktur yang memadai dan bahkan minim akan fasilitas atau tanpa sokongan dunia pendidikan formal maupun pemerintah. 
Berbeda dengan perkembangan sektor ekonomi kreatif negara maju yang didukung penuh oleh pemerintahnya, perkembangan sektor kreatif di Indonesia kebanyakan dipicu oleh terbukanya akses informasi dan pengetahuan yang didapat melalui internet. Selain itu kemunculan berbagai komunitas kreatif ini juga berkembang berkat intuisi untuk bertahan hidup di tengah masa-masa (ekonomi) sulit. Oleh karena itu, tidaklah mengherankan apabila ditengah segala keterbatasan beberapa komunitas ini mampu melahirkan karya yang berkualitas, walau beberapa diantaranya disinyalir tercipta melalui penggunaan software bajakan[11].Menurut penulis, jika memang generasi muda ini tidak didukung oleh infrastruktur yang ada untuk kreatif, setidaknya dapat didukung oleh rencana pemerintah dalam dunia pendidikan, antara lain KTSP yang dilontarkan tahun 2006. Sebaliknya keinginan yang menggebu untuk memahami dan mendalami ekonomi kreatif di Indonesia oleh pihak asing juga dapat dilihat positif- negatifnya. Dari segi positif dapat mengapresiasi sehingga munculnya tenaga baru yang berbakat, dipihak lain kita tidak dapat menutup mata tentang pembajakan sofware digital di Indonesia memang merajalela. Dalam hal ini pemerintah Indonesia, walaupun telah punya UU Hak Cipta, (Kepmen 2002), penerapannya masih banyak kendala. Terutama untuk penyebaran teknologi digital dalam dunia pendidikan, agar anak bangsa ini tidak GT (gagap teknologi)

Pembelajaran Seni Rupa dalam KTSP 2006 
Seperti yang kita ketahui KTSP kepanjangan dari Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan yang dikeluarkan pada tahun 2006, akan diterapkan pada level SD,SMP dan SMA. Terlihat bahwa pada tingkat SD/Madrasah Aliyah, mata pelajaran Keterampilan ditekankan pada keterampilan vokasional, khususnya kerajinan tangan dengan orientasi kerajinan daerah.[12]

Di tingkat SMP ruang lingkup Seni rupa, mencakup pengetahuan, khususnya kerajinan keterampilan, dan nilai dalam menghasilkan karya seni berupa lukisan, patung, ukiran, cetak-mencetak, dan sebagainya, untuk kelas 1 SMP misalnya Menggambar bentuk dengan objek karya seni rupa terapan tiga dimensi dari daerah setempat, Merancang karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat, Membuat karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat.[13]

Di tingkat SMA ruang lingkup seni rupa mencakup keterampilan dalam menghasilkan karya seni rupa murni dan terapan. Merancang karya seni rupa terapan dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat atau regional dan mancanegara. Membuat karya seni rupa terapan dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat, regional dan mancanegara. Sebagai catatan, pada KTSP ini tidak ada penjelasan atau pemakain istilah desain, yang ada hanyalah seni terapan.

Gagasan untuk menggalakkan seni rupa setempat baik dalam bidang seni visual, musik, dan lainnya adalah dalam rangka meningkatkan potensi daerah. Tetapi bagaimana ujud seni rupa setempat itu itu ? Apakah seni rupa daerah itu tidak berkembang dan tidak dipengaruhi pula kebudayaan dan seni dari luar? Apa keunggulan seni rupa setempat itu sehingga perlu dipelajari dan diajarkan pula untuk anak didik. Masalah ini tentu tidak muat untuk di bahas dalam tulisan pendek ini berikut membahas argumen-argumen dan visi yang ada pada KTSP.

Dari gambaran di atas jelas terbayang bahwa kurikulum seni rupa dan desain di tingkat SD, SMP dan SMA bukanlah disusun untuk kepentingan ekonomi atau industri kreatif, tetapi lebih kepada pelestarian seni dan budaya daerah. Bagi orang yang pernah belajar sejarah seni rupa dan sejarah desain, sebenarnya visi seperti ini sama dengan pandangan William Moriss pada abad ke 18, yang cemas hilangnya kebudayaan Perancis atau kebudayaan Inggris di Eropah, karena munculnya teknologi baru dalam memproduksi barang, dan hilangnya dekorasi dalam seni. Sejarah seni rupa dan desain Eropah memerlihatkan betapa Morris harus mengalah oleh kemajuan teknologi dan manufactur. Dalam hal ini apa kita tidak mengulangi sejarah yang terjadi di Eropah untuk suatu kegagalan ? Dan akan lebih rumit lagi jika rancangan kegagalan itu build-in dalam sebuah infrastruktur yang namanya institusi pendidikan

Dari sisi lain terlihat bahwa, potensi-potensi yang brillian dan inovatif bukanlah datang dari generasi tua, tetapi generasi muda, jadi timbul pertanyaan apakah waktu dan usia generasi muda tidak akan terbuang sia-sia. Sebab menurut penelitian UNESCO, masa sangat kreatif seseorang individu hanya sampai umur 40 tahun (seniman, arsitek dan desainer), masa 40 keatas seorang individu yang terdidik cendrung menjadi mapan, dan lebih memperhatikan status quo dan cendrung untuk menjadi pemikir dan penulis. Dapat dibayangkan jika pendidikan sekolah umum sampai usia 18-20 tahun, ditambah dengan 4-5 tahun di Perguruan Tinggi, maka masa produktif seseorang hanya tinggal 15 tahun untuk mengabdi dan kreatif. Jika pendidikan kreatif ini dibelajarkan, sejak sekolah dasar, maka masa produktifnya akan lebih panjang.

Pemerintah dapat menyediakan sarana museum dan produk budaya yang representatif sebagai sumber ide bagi generasi muda untuk berkreasi seperti yang telah dikerjakan oleh negara maju (walaupun terlambat), sedangkan teknologi harus diikuti sehingga sejajar dengan yang dipelajari di negara maju. Banyak sumber-sumber ide yang lain seperti yang berasal dari buku bacaan, majalah dan melihat contoh budaya daerah lain (mana ada majalah seni daerah yang representatif). Sayangnya museum di Indonesia, masih bersifat museum antropologi budaya, sebab waktu seakan berhenti. Jika kita ingin melihat karya-karya seni dan budaya lokal kontemporer atau yang sebelumnya nyaris tidak ada. Dan harus pula diakui bahwa museum seni rupa dan desain yang lengkap untuk melihat dimensi dan perkembangannya hanya ada di pusat atau Jakarta.

Semua orang sependapat bahwa ekonomi kreatif itu bersumber dari kegiatan individu, seperti yang tertuang dalam definisi ekonomi kreatif yang dicanangkan pemerintah,[14] dengan merujuk UK-DCMS Task Force 1998. Namun jika dihubungkan dengan budaya, barangkali akan menarik untuk mempelajari teori peta kelas sosial kreatif Richard Florida, dia adalah seorang ahli ekonomi dan ahli urban Amerika yang sekarang dirujuk banyak bidang ilmu sebagai indeks Florida.[15] Sedikitnya, teori Florida ini telah menguak tabir teori kreatif yang selama ini hanya dilihat sebagai gejala psikologi perkembangan dan teori-teori pendidikan kreatif seni [16], ketimbang melihatnya sebagai gejala sosial budaya dan ekonomi dan teori kelas. Walaupun teori ini menerima banyak kritik, Florida menjelaskan bahwa ada kelompok-kelompok tertentu dalam masyarakat yang sangat kreatif dan ada juga yang tidak. Fenomena ini terlihat jelas baik dalam pembangunan di daerah urban, maupun produksi atau inovasi sekelompok urbanis yang hasil kreasinya dapat menglobal atau dikonsumsi secara global.

Khusus mengenai hubungan ekonomi kreatif dan pendidikan seni sebenarnya sudah banyak dibahas orang, misalnya yang ada di lintas website, seperti tulisan Su Baker dari School of Art, Victorian College of the Arts (sbaker@vicarts. vca.unimelb.edu.au) tentang ekonomi kreatif dan sumbangan dunia pendidikan. Seperti yang tertera dalam abstrak jurnalnya ;
“Discussion around the creative industries and the creative economy is often bluntly focussed on pragmatic use-value: value-adding, translating cultural capital into cash. How does a tertiary art school operate in this context?
Rangkuman

Seni dan desain adalah sebuah alat (agent) yang memiliki kekuatan (power) untuk menjadikan sesuatu yang tidak ada (nothing) menjadi ada (thing), dan alat agar ide menjadi aksi (action). Pendidikan seni dan desain dapat dilihat sebagai cara manusia untuk melihat dunianya dengan cara yang berbeda, yang dapat merubah suatu lingkungan dan pandangan lama menjadi suatu yang baru. Seni dan desain bukanlah untuk mengulangi apa yang telah ada seperti yang terdapat pada (craft, handycraft, atau reproduction), tetapi inovasi (inovation) dan produksi (production). Umumnya ahli pendidikan sepakat bahwa seni dan desain adalah agen kreatif. Desain grafis sebagai cabang seni terapan besar peranannya untuk menyongsong abad ke 21, terutama dalam aspek digitalisasi diberbagai cabang seni. Berbagai wajah cabang seni konvensional dari budaya masa lampau (drama, sastra, musik, lukis, patung dan sebagainya), digiring masuk ke bidang digittal dengan wajah dan ungkapan baru.

Ahli sejarah seni dan desain seperti Meggs, menjelaskan bahwa setelah era seni dan desain postmoderenisme, timbul era seni dan desain nasionalisme, disambung lagi dengan era digitalisme. Era posmo ditandai dengan terputusnya hegemoni seni dan desain moderen Barat. Era seni nasionalisme ditandai dengan munculnya corak nasionalisme dalam seni, pada masa ini pusat-pusat seni budaya dianggap sebagai pengukur kreatifitas, namun gejala ini dimbangi pula dengan munculnya perusahaan-perusahaan multi nasional yang berperan sebagai pengganti barometer seni dan desain nasionalisme (misalnya, Bianualle). Era digital dalam seni dan desain ditandai dengan terputusnya berbagai hegemoni seni melalui komunikasi web. Profesi seni dan desain tumbuh dalam lingkaran etika institusi, etika ekonomi dan lintas komunikasi cepat secara global ( website, UU Hak Cipta, standarisasi/akreditasi dan ISO). Pengalaman penulis memerlihatkan bahwa pekerjaan kreatif seperti profesi seni dan desain secara sosial belum dikenal, pandangan kelompok intelektual dan Pemda juga tidak berbeda, jelas bahwa hal ini terjadi karena tidak diajarkan atau ditumbuh kembangkan sejak Sekolah Dasar.

Dalam dunia pendidikan di Indonesia  memang terdapat pertanyaan  besar yang sulit di jawab apakah pendidikan dasar dan menengah itu ikut  menyokong tema  industri kreatif? Dan jangan pula heran jika generasi muda terdidik kurang mengerti untuk tidak membajak karya orang lain, apalagi memiliki kesadaran dalam ekonomi dan industri kreatif yang bertolak dari inovasi individu. Tradisi barat memang individualisme dalam pengertian positif, dimana individu dihargai atas inovasi dan penemuannya. Dan hal ini tercermin dalam berbagai riset tentang seni kreatif dan masalah yang dihadapi dalam dunia pendidikan seni yang bersifat kreatif.


Bacaan

[1] Perang Harga !? No Way! Strategi Industri melalui Teknologi dan penciptaan Nilai - 2007-03-27 (View : 1301) Artikel, Forum Grafis Digital >http://www.fgd.or.id/news.php?news_id=44
[2] Philip B. Meggs, A History of Graphic Design, 3rd ed. (1998),
[3] Philip B. Meggs, A History of Graphic Design, 3rd ed. (1998),
[4] Miller, Eric,. Designing For Print vs. The Web, Random House, Inc. 18 Sep. 2007. .
[5] Miller, Eric,. Designing For Print vs. The Web, Random House, Inc. 18 Sep. 2007.
.
[6] Lihat artikel Arin Widyanti, Ekonomi, detik.com ( Selasa, 25/10/1007)
[7] Walker, Jhon,A; 1989, Design History and the history of design, London, Pluto Press (hal. 38-44)
[8] Lihat Wikipedia Encyclopaedia, “commercial art”
[9] Lihat “comercial art” dalam Microsoft ® Encarta ® Encyclopedia 2002. © 1993-2001 Microsoft Corporation
[10] Britis Council Indonesia.http
[11] Cuplikan artikel Common Room Network Fundation.http
[12] Permen 22 tentang mata pelajaran seni dan budaya
[13] Permen 22 tentang mata pelajaran seni dan budaya
[14] Dalam blog Mapping Industri Kreatif Indonesia DepDag RI
[15] Florida, Richard., The Rise of creatif Class, website
[16] Lihat Fictor Louwenfeld

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting