Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 26 Januari 2011

Interpretasi Budaya: Memberi Makna Terhadap Pengalaman Lintas Budaya

“Interpreting Cultural  Mismatch: Pre-Service LOTE Teacher s’ Strategies for Meaning Making” 
Hasil penelitian
Oleh:
Atmazaki & Lesley Harbon

Jika seseorang berada dalam "kebudayaan lain" ada kebiasaan bahwa mereka masih merasa di dalam  kebudayaan sendiri. Hal ini, sebenarnya akan membuat situasi menjadi lebih buruk. Sebagai orang asing, kita harus paham bahwa “bertanya” adalah bijaksana jika kita ingin menghindari kesalahpahaman antarpribadi. Dengan bertanya, setiap pihak akan tahu posisi masing-masing berdasarkan interpretasi terhadap peristiwa karena suatu peristiwa bisa menimbulkan banyak interpretasi dan interpretasi seseorang bisa sangat berbeda dari interpretasi orang lain. Di samping bertanya, kita harus juga bisa menjelaskan kebiasaan di kebudayaan kita sendiri sehingga orang di sekitar kita mamaklumi jika sesuatu yang membuat rasa rikuh telah terjadi. Jadi, kunci penyelesaiannya adalah bertanya dan menjelaskan.


Artikel ini pernah di buat dalam versi bahasa Inggris, tetapi mengingat pentingnya untuk memahami pergaulan antar budaya, baik antar budaya di Indonesia maupun mancanegara, artikel ini dimuat lagi dalam blog ini.
Latar Belakang
Penelitian ini mengambil setting program kerjasama antara IKIP Padang dengan Universitas Tasmania yang disebut dengan AIRAES (Australia-Indonesia Rural Areas Education Scheme). Program yang didanai oleh Institut Australia-Indonesia di Canberra ini berbentuk pertukaran mahasiswa kedua lembaga untuk melaksanakan pengalaman lapangan di sekolah-sekolah pinggir kota/desa sambil mempelajari bahasa setempat secara langsung.

Tujuan program AIRAES adalah (1) memberikan pengalaman kepada mahasiswa calon guru untuk tinggal bersama keluarga dan memperluas persepsi tentang pendidikan di negara lain; (2) membantu mahasiswa mendapat akses kepada penutur asli bahasa masing-masing negara; (3) untuk mempererat kerjasama antara kedua lembaga (Fakultas Pendidikan Universitas Tasmania dengan IKIP Padang/ sekarang Universitas Negeri Padang).

Fase pertama, mahasiswa IKIP Padang berkunjung ke Tasmania pada bulan Februari dan Maret 1998 dan fase kedua, mahasiswa Universitas Tasmania berkunjung ke Padang pada bulan November dan Desember 1998. Fokus penelitian ini adalah terhadap fase kedua.
Penelitian ini mendeskripsikan bagaimana mahasiswa calon guru yang berasal dari Tasmania terlibat dalam perbedaan budaya selama lima minggu sewaktu mereka  melakukan pengalaman lapangan di Sekolah Dasar dan tinggal bersama keluarga di Kotamadya Padang. Secara lebih khusus, penelitian ini menjelaskan bagaimana mereka terlibat dengan apa yang disebut dengan ‘keterasingan budaya’ atau cultural mismatch (Pine, 1998).

Sebagai staf yang terlibat langsung dengan manajemen program pengalaman lapangan tersebut, perhatian kami tujukan, terutama,  pada hasil proses belajar mengajar mahasiswa, kedua, pada peningkatan kemampuan mengajar mahasiswa calon guru tersebut. Selama periode pelaksanaan dan evaluasi program tersebut, kami menemukan sesuatu yang dapat dikembangkan untuk menganalisis aspek teori dan kerangka konseptual untuk melihat aspek keterasingan budaya.

Deskripsi di bawah ini merupakan aplikasi dari teori semiotik Pierce yang dikembangkan oleh Pine (1998) untuk menganalisis persoalan keterasingan budaya yang dialami mahasiswa ketika mereka berada (masuk) dalam budaya lain. Di samping itu, juga dideskripsikan interpretasi peneliti, baik interpretasi sebagai orang Indonesia (khususnya Sumatera Barat) maupun interpretasi sebagai orang Barat (Australia). Interpretasi itu dilakukan dengan melihat hukum budaya atau kebiasaan masing-masing negara dan cara yang dilakukan mahasiswa dalam menangani persoalan yang mereka alami. Akhirnya, kami menyarankan cara-cara yang harus ditempuh oleh mahasiswa yang belajar di luar negeri dalam menghadapi apa yang disebut keterasingan budaya tadi.

Kajian Teori
Pelatihan mahasiswa calon guru adalah salah satu lapangan utama dalam perencanaan masa depan pendidikan. Untuk pendidikan yang akan “...ekspansi ke luar batas negara (Lo Bianco, 1998:1), generasi masa depan tidak hanya cukup diberi kesempatan pendidikan di dalam kelas tetapi juga yang mungkin disediakan di luar kelas secara fleksibel. Untuk memacu pendidikan yang bisa menghasilkan “...deep effects in thinking about knowledge and how it is assembled and imparted” (Lo Bianco, 1998:1) diperlukan “jenis” guru yang mempunyai kemampuan khusus.

Masa pengalaman lapangan mahasiswa calon guru adalah waktu dan tempat yang sangat tepat untuk memulai dan melihat bibit-bibit penemuan dan pemikiran untuk masa depan pendidikan. Untuk merancang “guru sepesial” ini, diperlukan rancangan pengembangan karir sepanjang hayat. Melnick (1998:88) menyarankan bahwa “...more knowledge and radically different skills for teacher” diperlukan untuk masa depan. Guru mesti dipersiapkan untuk “...languages, cultures, exceptionalities, learning style, talent and intelligences, therefore requiring a rich variety of teaching strategies” (Darling-Hammond at al, in Melnick and Zeichner, 1998:88).

Asumsi umum adalah bahwa di dalam kurikulum pendidikan guru yang mampu menciptakan “jenis guru spesial” ini, harus ada sesi pengalaman lapangan yang semakin diperkaya, yang memungkinkan mahasiswa menghubungkan teori dengan praktek sebagaimana layaknya kompetensi-kompetensi mengajar. Tujuan pengalaman lapangan adalah untuk memperkenalkan calon guru kepada praktek/pengalaman kelas di dalam lingkungan yang sesungguhnya, yang secara bertahap dapat melaksanakan tanggung jawabnya sebagai guru. Jika pengalaman lapangan ini diharapkan menjadi bagian yang bermakna bagi mahasiswa calon guru, “...alternative enriching ways of preparing teachers for their multiple roles and teaching contextual complexities of life in school and for careers as inquiring professionals...” (Knowles and Cole, 1996:648) harus diidentifikasi dan dikembangkan.

 Lebih dari itu, mengingat mobilitas global yang tinggi, guru masa depan mesti direncanakan untuk mampu menghadapi tantangan baru. Mereka mesti mempunyai kemampuan ganda: menguasai beberapa bahasa asing dan terampil di kelas. Grant dan Secada (dalam Wiest, 1988:358) yang mereviu penelitian tentang penyiapan  guru untuk pelajar yang bervariasi menyimpulkan bahwa  “pernah hidup bersama masyarakat dari populasi yang beragam” adalah pengalaman lapangan yang sangat bermanfaat. Di dalam memberikan pengalaman lapangan yang terfokus pada memperluas pandangan mahasiswa, Wiest menemukan bahwa “...short, more informal, intensive cultural immersion experience...” dapat sangat berpengaruh terhadap mahasiswa calon guru dan mempunyai efek yang sangat kaya. Dengan pengalaman seperti itu, mereka akan mengajar dengan sikap yang lebih baik, membantu mereka dalam mengembangkan program-program yang akan meningkatkan pemahaman murid yang beragam melalui program pendidikan multikultural.

Menurut Stackowski (dalam Minner, 1995), mahasiswa calon guru mesti menyediakan waktu untuk masyarakat sekitar(outside school doors) untuk mendapatkan pengalaman dalam konteks yang asli. Tidak cukup hanya dengan membayangkan bagaimana konteks sesungguhnya mungkin terjadi.  Pada program immersi di Northern Arizona Navajo Indian, mahasiswa calon guru hidup di dalam kultur masyarakat Navajo dan ini menimbulkan kesadaran lintas budaya dan rintangan bahasa untuk mengajar dan belajar. Hasil dari pengalaman Navajo adalah bahwa mahasiswa calon guru lebih sensitif secara kultural dan menjadi pendidik informal yang lebih baik (Stackowski, 1998:162).

Untuk mahasiswa kita di kelas, untuk dapat memahami, berinteraksi dengan dan belajar dari orang-orang yang berbeda dari mereka, mereka mesti mengembangkan pengetahuan bahwa pandangan dunia kita tidak selalu sama dengan orang lain dan kesadaran lintas budaya adalah bagaimana ide-ide dapat dilihat oleh orang lain. Dalam program pengalaman lapangan di luar negeri, seperti akan dideskripsikan di bawah ini, target  adalah belajar seperti itu.
Nilai pengalaman lapangan di luar negeri untuk pemahaman lintas budaya adalah, seperti dikatakan Pine, bahwa guru dapat pertama-tama
  “...mengklarifikasi dan mengindentifikasi  dasar-dasar budaya, kedua,  memahami perilaku aneh murid, dan ketiga,  memahami apa yang mereka tampilkan. Pengalaman sekolah perlu terfokus, tidak hanya pada aspek lintas budaya tetapi juga  pada kejelasan mahasiswa calon guru seperti: mendapatkan orientasi, mengumpulkan pandangan yang luas tentang mengajar, dan mengembangkan hubungan kolaboratif....” (Knowles and Cole, 1996:649.)
Penting disadari cara orang lain memahami sesuatu. Di dalam proses mahasiswa calon guru bekerja “di dalam” dan “ dengan kebiasaan” masyarakat lain, mereka mempunyai pandangannya sendiri sebagai “orang dalam” dan “orang luar”. Morton (dalam Banks, 1988:6) mengatakan bahwa sebagai “orang dalam” kita  hanya dapat memahami budaya secara subjektif dan sebagai “orang luar” dapat  memahaminya  dengan objektif. Pengalaman lapangan di luar negeri secara teori harus menyediaan keduanya.

Menjadi orang dalam dan berada dalam lingkaran situasi yang baru dapat membantu mahasiswa calon guru untuk belajar berfungsi di luar “wilayah kesenangan sendiri” (personal space)dan di dalam situasi yang sama sekali baru. Belajar seperti itu penting untuk mahasiswa calon guru untuk mengembangkan kemampuan mengajarnya dalam kondisi yang bervariasi. Mahasiswa menyadari arti kemanusiaan dan hubungan interpersonal serta  interaksi lintas budaya yang terus berjalan. Juga, hal itu dapat meningkatkan kemampuan untuk melihat suatu situasi dari perspektif yang lain, memperoleh suatu peningkatan simpati terhadap perasaan orang lain ketika keluar dari budaya dominan mereka. Sleeter (dalam Wiest, 1995:358) menemukan mahasiswanya mulai melawan rasa takut, kekeliruan konsepsi, dan ketidaktahuan setelah menyediakan waktu di dalam kelompok sosiokultural orang lain, kendatipun tidak gampang bagi mereka mengadaptasi sebuah “peran sebagai minoritas” di dalam sebuah budaya yang tidak akrab.

Keterasingan Budaya
“Tersandung” pada situasi yang tidak biasa, ketika melaksanakan pengalaman lapangan di luar negeri adalah hal yang biasa, apalagi bagi orang yang belum biasa melintasi batas budaya. Mereka mungkin mengalami perasaan kikuk/canggung atau bingung karena tidak biasa. Hal inilah yang diistilahkan dengan keterasingan budaya atau cultural mismatch (selanjutnya disebut CM):  ketika masuk ke dalam kebudayaan lain, kita melihat sesuatu yang berbeda tetapi tidak tahu bagaimana bertindak dalam situasi yang tidak menentu itu (Pine, 1997:1).

Reaksi terhadap situasi seperti itu dapat berupa “bertahan” atau menarik diri: indikatornya bisa bervariasi dan termasuk perilaku seperti bingung, diam, ekspresi wajah atau bahasa tubuh yang canggung atau tidak biasa, reaksi verbal merasa tidak biasa atau canggung, tertawa riang, hilang kontak pandang, atau istilah lain. Kondisi ini terjadi karena “jurang budaya” yang membedakan dua budaya untuk mengatakan atau melakukan hal yang sama tetapi artinya berbeda, dan mengatakan atau melakukan hal yang berbeda tetapi artinya, lebih kurang, sama....” (MacNeal, 1995).

Model analisis Pine, yang dikembangkannya berdasarkan model semiotik Pierce, suatu model untuk menganalisis teka-teki, pada dasarnya tidak untuk menganalisis situasi lintas budaya, tetapi digunakannya untuk itu. Model ini  berasumsi bahwa bahwa  “semua keasadaran adalah tanda kesadaran” (Houser and Kloesel, 1992). Untuk menganalisis objek dan membuat makna, Pine menggunakan segi tiga seperti di bawah ini.



Gambar 1: Kerangka kerja analisis Pine untuk menginterpretasikan  CM

Dengan model Pine ini, pertama, dikenali peristiwa yang dapat diidentifikasi sebagai CM dan  di mana keanehan terjadi. Kedua, perilaku itu diinterpretasikan dari sudut budaya asing dan budaya setempat, Ketiga,  dilihat hukum budaya (kebiasaan) masing-masing.

CM, sesungguhnya, berbeda dari kaget budaya atau culture shock (selanjutnya disebut CS). CM muncul dari rasa kaget ketika berhadapan dengan peristiwa konkret yang berbeda dalam kebudayaan lain di mana perbedaan-perbedaan begitu mencolok, meskipun situasinya normal. Reaksi psikologis pada CS, sebagai perbandingan terhadap CM, dapat dilihat dengan jelas seperti tidak bisa makan, menangis, dan histeris yang memperlihatkan sesuatu yang nyata-nyata berbeda. Sebaliknya, CM hanya tampil dalam perasaan dan emosi yang bercampur seperti rikuh, bingung yang timbul dari sesuatu yang seolah-olah normal.

Berikut ini adalah deskripsi peristiwa-peristiwa yang diidentifikasi sebagai CM yang terjadi di Sumatera Barat pada bulan November dan Desember 1998, ketika program AIRAES berlangsung. Data dikumpulkan melalui wawancara terhadap sebelas orang peserta proram berkaitan dengan apa yang dialaminya selama di Sumatera Barat yang dapat diidentifikasi sebagai pengalaman CM. Masing-masing peserta melaporkan pengalamannya beradaptasi dengan masyarakat kota Padang khususnya, dan masyarakat Sumatra Barat, umumnya.
Setelah data dikumpulkan, dianalisis dengan model Pine, sedangkan penulis bertindak sebagai penginterpretasi dari sudut budaya masing-masing.

Deskripsi Data
Program AIRAES dirancang untuk meningkatkan pemahaman timbal balik antara mahasiswa calon guru Indonesia dengan Australia di dalam masyarakat pinggir kota/desa. (Hill & Thomas, 1987:1). Selama program ini berlangsung, mahasiswa tinggal bersama “keluarga Padang” selama satu bulan, dan selama tiga minggu di antaranya, mereka berkunjung ke sekolah dasar yang berlokasi di Kecamatan Padang Utara. Apa yang menarik dari laporannya (hasil wawancara) adalah bagaimana mereka menangani hambatan-hambatan CM.

Hal utama yang menarik tidak saja pengakuan bahwa CM telah terjadi/dialami oleh mahasiswa, tetapi juga ketika mengalami keterasingan, strategi apa yang mereka gunakan untuk memahami dan keluar dari persoalan yang menimpanya. Bagaimana mereka akhirnya menerima situasi  untuk dapat mengasimilasi ketidakseimbangan  di dalam struktur kognitif mereka, yaitu makna apa yang mereka buat?

CM: Delapan Peristiwa
Kelompok pertama adalah tiga peristiwa yang dialami mahasiswa yang berkaitan dengan situasi dan kebiasaan makan.
Observasi pertama 1:
Walaupun tinggal di rumah yang banyak dihuni oleh mahasiswa lain, mahasiswa AIRAES sering dibiarkan makan malam sendirian di meja makan. Anggota keluarga juga tidak makan bersama mereka. Mahasiswa merasa kikuk/rikuh dan tidak senang makan sendiri dan secara sembunyi bertanya pada diri sendiri apakah karena dia begitu berbeda sehingga harus dibiarkan sendiri.
Observasi 2:
Setelah makan malam di sebuah restoran di kota Padang, atas undangan panitia, mahasiswa ditawari/memesan kopi dan dipersilakan berkaraoke. Tetapi mereka kecewa karena si pengundang tidak ikut minum dan berkaraoke tetapi meninggalkan restoran, meninggalkan mereka dalam ketidakenakan, bingung apakah akan minum dan bernyanyi atau pergi bersama si pengundang/panitia.
Observasi 3: Mahasiswa juga sering merasa bingung melihat fakta bahwa setelah makan malam di rumah keluarga, anggota keluarga pergi tanpa penjelasan apa-apa sehingga meja makan menjadi sunyi.
Jika dilihat dengan kerangka interpretasi Pine, ketiga observasi di atas dapat didiskusikan dengan cara-cara berikut.


                                            Australia                                   Indonesia


Di dalam peristiwa 1, 2, dan 3, mahasiswa kurang bisa menerima keadaan. Bagi mereka, makan malam adalah waktu untuk keluarga berbagi/bersama/ bersahabat seperti di dalam kebudayaan Australia. Mereka menjadikan makan malam untuk bersantai, kalau perlu mengundang tetangga atau sahabat, menyajikan makanan yang enak-enak untuk mengakhiri hari sehari. Setelah dianalisis kedua kebiasaan/kebudayaan, jelaslah bahwa situasi itu di dalam kebudayaan Australia adalah waktu untuk bersama, tetapi di dalam kebiasaan/kebudayaan Indonesia adalah waktu pribadi (personal space and time alone).
Peristiwa CM berikut ini terjadi pada mahasiswa yang menyebabkan perasaan seperti lebih dari sekadar kikuk, barangkali hampir merasa marah.
Observasi 4: 
Salah seorang mahasiswa  meminta pertolongan seorang guru untuk mencuci-cetak film. Keesokan paginya, dia terkejut menemukan para guru telah melihat foto-foto itu bersama-sama tanpa seizinnya.
Observasi 5:
Ketika pulang ke rumah keluarga, salah seorang mahasiswa mendapatkan bahwa lemari pakaian di kamarnya telah terbuka. Dia tahu bahwa sesuatu telah disentuh, seperti buku catatan hariannya. Meskipun tidak ada yang hilang, dia bingung dan marah atas kejadian itu.

                                      Australia                                               Indonesia


Pada peristiwa 4 dan 5, mahasiswa marah karena merasa, sesuai dengan kebiasaan di Australia, hal itu adalah kejahatan yang dapat dituntut di pengadilan. Kebiasaan di Australia, tidak pernah ada akses untuk bisa membuka barang-barang orang lain tanpa seizin pemiliknya; sedangkan di Indonesia, karena tidak terkunci dan dibiarkan tidak terkunci, bisa saja ada orang yang melihatnya.
Kasus-kasus berikut ini terjadi pada mahasiswa sehubungan dengan tema yang berkaitan dengan hubungan personal dan rasa malu.
Observasi 6:
Selama berada di Padang, mahasiswa sering melihat dua orang laki-laki berjalan berpegangan tangan atau saling memeluk bahu. Bahkan, kepada mahasiswa sendiri cendrung untuk dilakukan oleh orang tersebut karena merasa berteman tetapi mahasiswa merasa malu dan bingung.
Observasi 7: 
Karena merasa sudah akrab dengan rutinitas rumah tangga, dengan semua anggota keluarga, mahasiswa (perempuan) merasa senang duduk bersama ibu, anak-anak, dan pembantu. Mahasiswa kaget karena tiba-tiba, tanpa malu, pembantu (juga perempuan agak tua) memeluk mahasiswa dan menyentuh tangan dan lututnya.
Observasi 8:
Sewaktu duduk bersama anggota keluarga, pada saat pertama sekali (baru tiba dari Australia), mahsiswa langsung bertanya pada putri  tertua di keluarga itu tentang pacarnya. Pertanyaan itu langsung disambut dengan tertawa besar oleh orang tua dan putrinya sendiri. Mahasiswa merasa malu ditertawai begitu dan seolah-oleh ingin bertanya.

                                                  Australia                                   Indonesia

Pembahasan
Mahasiswa yang melaporkan pengalaman keterasingan budaya di sekitar persoalan waktu makan juga melaporkan bahwa cara-cara yang mereka gunakan untuk mengatasi persoalan bingungnya, pertama-tama, adalah dengan “diam seribu bahasa” dan memperhatikan indikator-indikator yang dapat dijadikan alasan untuk bertindak. Ia tidak ingin menanyakan kepada keluarga kenapa dibiarkan makan sendiri atau pergi setelah makan dan meninggalkannya sendiri. Tindakan diam ini diambil karena takut kalau tindakan yang diambil justru dapat memperburuk suasana baik bagi dirinya maupun bagi keluarga. Tetapi kemudian ia juga membicarakan dengan teman sesama mahasiswa (dari Australia) untuk mencek apakah temannya mengalami hal yang sama.

Mahasiswa yang mengalami persoalan tentang kasus cuci cetak foto dan yang lemarinya dibuka tanpa seizinnya, juga mengambil tindakan diam meskipun dalam hati terasa sakit karena hak pribadinya (hal yang sangat mendasar dalam kebudayaan Barat) dilanggar. Kedua mahasiswa ini , akhirnya, hanya menyampaikan kepada koordinator program pada saat program akan berakhir. Ia beralasan, tindakan diam diambil karena tidak tahu tindakan apa yang harus diambil dan takut kalau bertindak justru akan memperburuk suasana.
Mahasiswa yang mengalami “kedekatan persahabatan diterjemahkan dengan sentuhan dekat” juga diam tanpa menolak. Baginya, diam adalah untuk menyembunyikan rasa malu. Sebab, kalau memberi reaksi menolak atau membicarakannya, ia takut teman tersebut tersinggung sehingga perasaan sungkan itu ditahan saja. Sedangkan mahasiswa yang ditertawakan karena pertanyaanya tentang pacar kepada putri keluarga juga ikut tertawa supaya ada kesan “joke”, meskipun rasa malu tetap ada. Ia tidak menyampaikan persoalan itu kepada siapa-siapa, kecuali kepada koordinator program setelah program berakhir.

Dari cara-cara yang dilakukan mahasiswa untuk mengatasi/mereaksi peristiwa-peristiwa keterasingan budaya terlihat bahwa “diam” adalah tindakan yang dominan, disusul dengan memberitahu kepada koordinator program setelah program berakhir, dan yang paling jarang adalah membicarakannya dengan teman, dan sebagian lagi membiarkan peristiwa berlalu begitu saja. Pada satu sisi dapat berarti bahwa mereka tidak berani bertindak karena takut persoalan menjadi “melebar” tetapi pada sisi lain, memang, karena tidak tahu bagaimana cara bertindak yang dapat menyelesaikan masalah. Meskipun koordinator telah memberikan orientasi kepada peserta sebelum berangkat ke Indonesia, dan sesampai di Indonesia juga diberikan orientasi tentang budaya ditambah dengan suplemen di dalam buku panduan tentang hidup di ranah Minang, mahasiswa tetap saja tidak mengerti bagaimana cara terbaik menghadapi kasus CM. Hal itu disebabkan karena apa yang disampaikan lebih bersifat teoritis, kurang praktis dan hampir tidak ada yang bersifat kasus.

Terlihat bahwa dengan peristiwa sehari-hari, seperti waktu makan, mahasiswa menunda untuk membicarakannya dengan orang lain (teman atau koodinator) agar membuat perasaan terasingnya menjadi lebih baik karena hal itu adalah rutinitas sehari-hari. Mahasiswa mencari hiburan dari teman karena tidak mempunyai kontrol yang baik terhadap peristiwa sehari-hari itu.
Bagaimanapun, dengan peristiwa “menyentuh” sesama jenis, mahasiswa terlihat tidak membicarakannya dengan teman atau koordinator karena menganggap peristiwa ini terjadi di luar kontrol mereka. Kelihatannya, kedekatan dalam kebiasaan bersentuhan sesama jenis membuat situasi begitu tidak terlukiskan untuk mahasiswa yang memendam semua perasaan supaya membiarkan suasana berlalu begitu saja sebelum mereka dapat membuat makna dari peristiwa ini.

Tetap diam dan menunggu orang lain bertindak adalah reaksi yang dominan. Mereka tetap diam karena tidak tahu apa yang akan terjadi (reaksi orang lain) jika memberi reaksi.  Akankah mahasiswa yang menyaksikan fotonya dipajang di ruang majelis guru berteriak atau merebutnya dengan bengis? Tindakannya yang marah atau kasar boleh jadi menyebabkan kebingungan di antara majlis guru dan mahasiswa sendiri.

Meskipun perasaan paling dalam tidak senang dan bingung, mereka tidak berani mengambil tindakan nyata karena hal itu bisa menyebabkan situasi lebih buruk. Sebenarnya, jika mereka langsung bertanya kenapa hal itu bisa terjadi (“Kenapa foto saya dilihat?”) atau setelah beberapa saat kemudian bertanya, “Apa boleh di sini melihat foto orang lain tanpa seizinnya?” mungkin mereka akan mendapatkan jawaban atau penjelasan untuk dapat memahami kebiasaan orang-orang di sekitar mereka. Begitu juga, sewaktu ditertawai karena menanyakan pacar si gadis, mahasiswa sebaiknya bertanya, “Apa yang salah, kenapa Anda tertawa? Dia mungkin akan mendapatkan penjelasan terhadap situasi itu.

Mahasiswa harus menyadari bahwa mereka berada di dalam kebudayaan lain yang berbeda. Tetap diam dan merasa berada di dalam kebudayaan sendiri, sebenarnya, membuat situasi menjadi lebih buruk. Sebagai orang asing, kita harus paham bahwa “bertanya” adalah bijaksana jika kita ingin menghindari kesalahpahaman antarpribadi. Dengan bertanya, setiap pihak akan tahu posisi masing-masing berdasarkan interpretasi terhadap peristiwa karena suatu peristiwa bisa menimbulkan banyak interpretasi dan interpretasi seseorang bisa sangat berbeda dari interpretasi orang lain.
Di samping bertanya, kita harus juga bisa menjelaskan kebiasaan di kebudayaan kita sendiri sehingga orang di sekitar kita mamaklumi jika sesuatu yang membuat rasa rikuh telah terjadi. Jadi, kunci penyelesaiannya adalah bertanya dan menjelaskan.

Bagi mahasiswa yang berbeda budaya, apa yang terlihat berbeda akan tetap berbeda dan akhirnya akan sangat berbeda/mengagetkan  dan perasaan tertekan secara tetap. Akan tetapi, jika mereka memilih untuk berbicara atau bertanya, kedua belah pihak, akhirnya bisa melihat sudat pandang masing-masing, meskipun budaya tetap berbeda karena kebudayaan tidak akan berubah, sementara peristiwa keterasingan budaya terjadi lagi. Apa salahnya, pada situasi santai dan perasaan ringan mahasiswa bertanya, “Kenapa Anda tidak makan bersama saya?” Dengan demikian, situasi bisa cair dan masalah menjadi jelas, bahkan makan sendirian tidak lagi terjadi. Tetap diam dapat menimbulkan stress.  Membiarkan masalah tetap tersembunyi dan menekan perasaan bisa mencekik, apalagi menghindari kontak interpersonal karena takut mengalami persoalan lain.

Reaksi dominan kedua adalah membicarakan perasaan dengan teman. Mereka membicarakannya dengan teman dekat untuk dapat mencurahkan perasaan atau ketertekanan. Tindakan jenis ini hanya diambil setelah mengalami peristiwa rikuh/tidak menyenangkan. Dibandingkan dengan diam, tindakan terakhir ini lebih bijaksana. Dengan berbicara kepada teman, sekurang-kurangnya sudah ada dua atau beberapa orang yang mengetahui bahwa sesuatu (CM) telah terjadi sehingga bisa didiskusikan. Diskusi itu sendiri akan mengurangi rasa rikuh.

Semua hal di atas bukanlah CS. CS dapat dengan mudah dipahami dan diselesaikan dengan banyak cara. Mahasiswa dapat melengkapi diri dengan bacaan tentang sebuah budaya sebelum pergi ke daerah tersebut. Sebaliknya, pada peristiwa CM, mahasiswa tidak mengerti sama sekali apa  yang salah, kenapa tiba-tiba dia mengalami hal yang “aneh”. Oleh sebab itu, kadang-kadang, pengetahuan tentang suatu kebudayaan tidak bisa otomatis membantu menyelamatkan seseorang dari kasus CM ketika masuk ke kebudayaan itu.
Simpulan dan Saran
Pengalaman berada di dalam kebudayaan baru tidak saja bisa menimbulkan CS tetapi juga CM. Jika CS dengan mudah dapat dikenali seperti pusing karena cuaca dan menu makanan atau rasa rindu kampung, sehingga mudah pula cara menanggulanginya, CM justru agak sulit dikenali sehingga sulit pula dicarikan jalan keluarnya. Meskipun telah dipersiapkan dengan baik untuk bisa melaksanakan pengalaman lapangan di luar negeri dengan aneka informasi dan dokumentasi tentang CM dan CS,  untuk hadir dalam perbedaan-perbedaan, namun kasus CM tetap saja dialami. Semuanya terjadi di luar kontrol.


Dalam menjalani kehidupan biasa sehari-hari di dalam kebudayaan Indonesia (di Sumatera Barat), peristiwa yang tidak diharapkan ini menyebabkan mahasiswa (peserta AIRAES) mengalami perasaan rikuh, bingung, malu, dan juga perasaan marah. Akan tetapi, tidak ada yang memberi reaksi secara agresif atau langsung menumpahkan kemarahan. Hal ini memperlihatkan bahwa mahasiswa menyadari bahwa mereka mengalami semacam keterasingan budaya. Keputusan mereka untuk tetap “diam” adalah bagian dari cara untuk menunggu waktu mereka dan menunggu sampai mereka dapat membuat makna yang lain dari peristiwa, menunggu dan mengobservasi apakah mereka dapat mengontrol di masa datang atau apakah bantuan diperlukan. Peristiwa sehari-hari itu, dapat dikatakan, menghendaki  mahasiswa membicarakan dilemanya dan mencari cara-cara terbaik untuk menyelesaikannya bersama teman. Walaupun sebagian dapat dipahami karena ada penjelasan khusus, tetapi tetap ada peristiwa yang tabu untuk mahasiswa ini yang di luar kelaziman yang mereka alami.
Bagaimana menimbulkan keberanian kepada mahasiswa ini untuk mengajukan pertanyaan langsung adalah masalah yang perlu dicarikan jawabannya. Barangkali hal ini adalah bagian yang harus dijelaskan pada waktu orientasi, ketika mahasiswa baru masuk ke budaya baru.

Semua mahasiswa menganggap bahwa program AIRAES sangat bernilai bagi mereka secara pribadi dan profesi dalam mengawali karir mereka sebagai guru bahasa asing di masa datang. Sebagai koordinator yang terlibat di dalam melaksanakan pertukaran mahasiswa lintas budaya ini, kami sangat merekomendasikan cara-cara yang dapat diadopsi oleh mahasiswa AIRAES sebagai  penyesuaian lintas budaya dan aspek-aspek saling memahami dari program pertukaran ini. (1) Sadari bahwa keterasingan budaya akan terjadi pada waktu yang tidak disangka-sangka dan tidak diharapkan. (2) Tetap tenang/diam terlebih dahulu (kecuali berbahaya atau sangat di luar kelaziman) dan sadari bahwa peristiwa ini mungkin CM yang cukup menarik. (3) Pastikan, setelah peristiwa terjadi, apakah ada unsur kontrol dalam situasi itu. Jika seseorang berada pada posisi dapat mengontrol dan peristiwa bisa tidak terjadi lagi sebagaimana sebelumnya, tidak perlu penjelasan dibuat untuk orang lain. Akan tetapi, jika seseorang berada pada posisi tidak bisa mengontrol situasi, dialog harus dimulai dengan orang-orang tertentu. Bertanya untuk klarifikasi adalah kunci untuk diri sendiri dan menjelaskan posisi diri sendiri adalah kunci untuk orang lain.

Artikel ini ditulis berdasarkan penelitian yang berjudul “Interpreting Cultural  Mismatch: Pre-Service LOTE Teacher s’ Strategies for Meaning Making” dalam rangka dan dibiayai oleh Program AIRAES, Universitas Tasmania, Australia, 1998. Tahun 1999 akan dikumpulkan data yang sama dari mahasiswa fase I yang pernah ke Tasmania.

Daftar Kepustakaan

Banks, J.A. 1998. “The Lives and Values of Researchers: Implications for Educating Citizen in a Multicultural Society”, Educational Researcher, Vol.27, No.7.

Fitzgerald, H. 1998. Cross-cultural Communication

Hill, B. & Thomas, N. 1997. “Educating for Cultural Understanding in Rural Communitiess: A Case Study”, Education in Rural Australia, Vol. 7. No.1.

Houser, N. & Kloesel, C. (Eds.) 1992. “The Essential Peirce”: Selected Philosophical Writing, Volume I (1867-1893). Indiana University Press.

Knowles, J. G & Cole, A.L. 1996. “Developing Practice Through Field Experiences”, in Murray, F.B. (Ed.) The Teacher Educator’s Handbook: Building a Knowledge Base for the Preparation of Teacher. Jossey-Bass Publishers: San Francisco.

Lo Bianco, J. 1998. “The Implications for Languages of the Emergence of the International University”. Australian Language Matters. Vol. 6, No.4, Oct/Nov/Dec.

MacNeal, F. 1995. “Cultural Misunderstanding: The France-American Experience”, A Review of General Semantics, Vol 52, No. 1, Spring.

Melnick, S.L. & Zeichner, K.M. 1998. “Teacher Educator’s Responsibility to Address Diversity Issues: Enhencing Institutional Capacity” Theory Into Practice, Vo. 37, No. 2, Spring.

Minner, S. et all. 1995. “Benefit of Cultural Immersion Activities i a Special Education Teacher Training Program”, in Reaching to the Future: Boldly Facing Challenges in Rural Communities (Conference Proseeding of the American Council on Rural Special Education (ACRES), Las Vegas, Nevada, Marc 15-18.

Morine-Dershimer, G. & Leighfield, K. 1995. “Student Teaching Field Experiences,”  in Anderson, L.W. (Ed.) International Encyclopedia of Teaching and Teacher Education (second edition) Pergamon.

Pine, N. 1992. “Three Personal Theories That Suggest Models for Teacher Research”, in Teacher College Record, vol. 93, No.4, Columbia: Columbia University.

Pine, N. 1999. “Understanding Cultural Mismatch: Tools for Teacher-Student Intercultural Communication”. Paper presented at The 40th International World Education Fellowship conference Educating for a Better World: Vision to action, Tasmania, Australia, January 2.

Pine, N. & Yafei, Z. 1997a. “Ethnocentricity and Cultural Disequilibrium: Critical Analitical Tools in Comparative International Research”. Paper presented at the Reclaiming Voice: Ethnographic Inquity and Qualitative Research in a Postmodern Age Conference, University of Southern California, June 20-22.

Pine, N. & Yafei, Z. 1997b. “Cultural Disequilibrium- A Lens for Comparative International Research”. Paper presented at the Reclaiming Voice: Ethnographic Inquity and Qualitative Research in a Postmodern Age Conference, University of Southern California, June 20-22.

Saljo, R. 1994. “Culture and Learning”, in Husen T & Postlethwaite T.N. (Ed.)199? The International Encyclopedia of Education: Volume 3, pp.1241-1246.

Stachowski, L.L. & Mahan, J.M. 1998. “Cross-cultural Field Placements: Student Teachers Learning from Schools and Communities”.  Theory Into Practice, Vol 37, No.2, Spring. Pp 155-162.

Tyson, C., Benton, P.L., Christenson, B., Golloh, A. & Mamourne Traoure, O. 1997 Chapter 4: “Cross-cultural experiences in Teacher Education Courses” in Merryfield, M.M., Jarchow, E. & Peckert, S. “Preparing Teachers to Teach Global Perspectives” : A Handbook for Teacher Educators. Corwin Press Inc.

Wiest, L.R. 1998. “Using Immersion Experiences to Shake Up Prospective Teachers’ Views About Cultural Differences”. Journal of Teacher Education, Vol. 49, No. 5, p.358ff.

Prof. Dr. Atmazaki, M. Pd adalah dosen Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia FBSS Universitas Negeri Padang Padang; Ketua Pusat Kajian Humaniora Universitas Negeri Padang; Koordinator program AIRAES 1998 di Padang, Sumatera Barat.








Lesley Harbon adalah dosen Primary LOTE Fakultas Pendidikan Universitas Tasmania;  Koodinator Proyek AIRAES 1998 di Tasmania, Australia, yang sekarang juga Associate Professor di University Sidney, Australia




Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting