Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Kamis, 24 Januari 2008

Dialog Mengenai kata Visual dan Budaya Visual

Seni Rupa FBSS-UNP Padang

Baru-baru ini saya mendengar bagaimana cara seseorang mahasiswa Desain Komunikasi Visual memakai kata visual, jadi saya tertarik untuk menguraikannya dalam kesempatan ini. Masalahnya begini: mahasiswa itu akan mengadakan riset mengenai komik (dalam rangka skripsi/tugas akhir), yang akan ditelitinya adalah unsur-unsur visual komik. Dari diskusi saya mendapat kesimpulan bahwa yang akan ditelitinya itu adalah aspek nirmana atau dasar visual, timbul pertanyaan. Tepatkah yang ditelitinya ini dan mampukah dia menelitinya ? Menurut saya, maksud mahasiswa ini adalah unsur dasar visual ( basic visual design), bukan unsur visual komik dalam pengertian seni visual, budaya visual atau komunikasi visual.

Sebab, dalam konteks yang lebih luas,  unsur visual dapat juga berarti bahwa dia akan meneliti tentang : seni rupa (visual art), budaya visual (visual culture), komunikasi visual (visual communication), desain komunikasi visual (visual communication design), bahasa visual (visual literacy) dan sebagainya, semuanya itu berkaitan dengan masalah visual (unsur rupa).


Untuk menyederhanakan masalah ini, jika dia memang akan mempelajari unsur visual komik, tentunya  akan terdapat beberapa opsi. Opsi pertama dapat mengarah kepada pembuatan atau rancangan bahasa visual yang dapat membahas dasar rupa ( basic visual design ). Antara lain dapat membahas pembangkit bentuk rupa (form generator) seperti titik, garis, bidang dan volume dan atributnya ( atribut of visual form) seperti warna, tekstur, skala, dsb., yang timbul sebagai hasil persepsi. Buku mengenai hal ini sudah saya tulis (lihat gambar).Opsi kedua yang dapat ditelitinya adalah bagaimana pengaruh  unsur visual desain komik tertentu seperti komik Doraemon (produk Jepang), atau komik produk Indonesia kepada pembaca komik tertentu. Hal ini berkaitan dengan aspek sosial budaya atau budaya visual dan atau bagaimana seseorang memahami perbedaan visualisasi objek tertentu. Karena mahasiswa ini hanya sekedar bertanya sebagai basa-basi, yang wajib membahas lebih lanjut tentu dosen pembimbingnya. Saya berpikir, nampaknya dosen pada berebut untuk jadi dosen pembimbing, sebaliknya mahasiswa kebingungan karena tanpa arah yang jelas.

P: Apa sebenarkan makna kata visual ini ?

J: Kata ini sebenarnya berasal dari bahasa Inggris “visual”, yang artinya “rupa” dan dalam bahasa indonesianya disebut visuil (lihat KBBI), tetapi dasar orang indonesia yang tidak atau kurang mengindahkan bakuan kata, maka kata visuil jarang dipakai, dan orang lebih suka memakai kata visual. Kata visual ini minimal terkait dengan dua tiang teori yaitu 1) teori dan konsep mengenai praktik inovasi dan diffrensiasi objek visual dan 2) teori mengenai persepsi visual. Yang kedua dapat dilihat sebagai pemahaman orang terhadap perbedaan objek visual, sebagai bahan diskusi dapat dilihat tulisan Daniela Büchler:  The artefact as visible materialization: visual perception informing object analysis, tahun 2004).Atau lisan Anna Pakes tentang:  Art as action or art as object? the embodiment of knowledge in practice as research.Tulisan-tulisan seperti ini dapat dipakai sebagai landasan teori untuk membahas seni dan desain.
P: Baru-baru ini saya melihat buku tentang  Budaya Visual Indonesia (2005) terbitan penerbit Erlangga, sesuai dengan maksud penulisan buku ini menjelaskan budaya rupa dalam perspektif sejarah Indonesia yang dikawinkan dengan produk pemikiran sejarah seni dan desain barat. Jadi apa kebudayaan visual itu (visual culture itu sebenarnya) ?

J : Kebudayaan visual itu tidak lepas dari produk pemikiran budaya (Indonesia) tentang bagaimana sebuah komunitas atau seseorang berpikir tentang material (material thingking). Namun kita tahu, produk pemikiran tentang budaya visual kita sendiri masih miskin. Yang banyak adalah tulisan atau pikiran tentang perilaku orang Indonesia, hal ini dapat dilihat sejak dari pemikiran sosiolog-antropolog Kuntjaraningrat,  bukan pikiran tentang budaya visual Indonesia. Untuk menutup kekurangan itu, banyak  peneliti kita berusaha menggali produk pemikiran budaya visual lokal itu, kalau tidak percaya coba lihat hasil tesis S2, dan S3 di beberapa PT seni rupa dan desain kita yang sekarang bisa diakses melalui internet. Umumnya tesis dan disertasi di PT seni rupa kita, memfokuskan diri untuk menggali pemikiran yang ada di balik produk budaya visual lokal itu. Kecendrungannya jelas dapat ditebak, bahwa sebenarnya terdapat  pluralisme pemikiran budaya visual lokal. Jadi, jika ada yang berani menulis budaya visual Indonesia, akan muncul pertanyaan, bagaimana menyambungnya kepada pluralisme pemikiran budaya visual lokal itu. Penulis yang cerdik, tentu saja akan berkelit dengan masalah ini karena ada jalur lain yang netral yaitu melalui  produk pemikiran budaya visual  Barat (kolonial) sebagai sambungan sejarah kolonial. Jadi ada dua arah pemikiran disini, yang satu berorientasi kepada budaya visual lokal, yang lain kepada budaya visual sebagai pengaruh kolonial. Walaupun hal ini tidak salah, namun penulis buku ini seharusnya memiliki sebuah landasan teori yang kuat untuk mendukung penulisan buku ini, dan untuk menyatakan bahwa, inilah produk pemikiran budaya visual Indonesia yang berasal dari komunitas lokal.

P : Teori apa saja yang berkaitan dengan kebudayaan visual itu ?

J : Dari konflik pemikiran diatas , saya tidak tertarik lagi membicarakan budaya visual Indonesia, ketimbang konsep-konsep tentang teori visual. Dalam konteks ini saya melihat dalam dua level : level individual dan level sosial. Produk atau artefak umumnya dilihat sebagai hasil aksi praktek produksi, sedangkan artefak itu harus dilihat sebagai objek tunggal (misalnya sebuah lukisan, jambangan atau kemasan). Dalam level sosial Bucher (2004), artefak dapat dilihat dalam berbagai cara , misalnya, cara perlambangan (simbolik), cara ideologi dan cara etika adat istiadat (ethics). Melalui etos yang beroperasi dalam komunitaslah atau etos komunitas makna sebuah objek valid dilihat, berdasarkan argumen inilah sebuah objek terangkat menjadi sebuah kekuatan (power) dalam sebuah budaya (culture) dan komunitas yang mempengaruhi perilaku komunitas, misalnya kenapa anda bangga memiliki sebuah benda, tapi bagi komunitas lain tidak. Dalam level individual, sebuah objek hanya dilihat dalam konteks hubungan emosional dan ekspresi diri dan ini masuk dalam ranah masalah ungkapan dan eksistensi diri manusia (humanisme). Tetapi yang lebih penting lagi adalah cara pandang terhadap istilah budaya visual itu sebagai imaji-imaji visual yang berlaku masa kini.

P: Apa sebenarnya praktik (practice) itu dalam konteks kebudayaan dan pembelajaran ?

J: Menurut Wenger, E. Communities of Practice, Learning, Meaning, and Identity (Cambridge, UK: Cambridge University Press, 1998), 47. Konsep praktik itu dalam konteks komunitas, makna dan pembelajaran didefinisikan sebagai sebuah aksi sosial dan aksi sejarah, dimana dia di beri makna (meaning) dan terstruktur dalam komunitas. Sedangkan konsep praktik dapat dilihat sebagai pengetahuan yang nyata (ekplisit) dan pengetahuan yang terpendam ( tacit knowledge ). Yaitu apa yang dapat dan tidak dapat kita katakan tentang praktik itu, sejauh apa yang kita rekam dari aksi praktik itu yang mampu kita representasikan (misalnya , skill, teknik dan teknologi). Namun jika kita bicara tentang alat (tolls), media yang dipakai, dokumentasi aksi, imaji-imaji, simbol-simbol, aturan-aturan, kriteria-kriteria yang spesifik, kodifikasi dalam prosedur aksi, semuanya itu adalah aksi budaya atau sosial. Lihat ( Expressive artifacts and artifacts of expression, Dr Lily Díaz-Kommonen ,University of Art and Design Helsinki, Finland / email/http//www.diaz@uiah.fi )

P: Jika demikian nampaknya hal ini dapat huga dikaitkan dengan Kebudayaan Visual Indonesia, karena salah satu masalah yang akan timbul adalah bagaimana bagaimana kita melihat pluralitas kebudayaan indonesia itu dalam konteks ruang dan waktu, diskursus, serta sejarah yang semuanya itu membawa akibat langsung kepada penulisan tentang kegiatan manusia dalam menciptakan budaya visual Indonesia. ? Apakah kata Indonesia dalam hal ini, bukan diikat oleh satu pengertian budaya visual ?

J: Sebenarnya kita harus menjelaskannya dari dasar praktik seni, dasar praktik seni dan desain ini nampaknya kurang terungkap dalam buku Budaya Visual Indonesia itu dan langsung saja bicara mengenai budaya visual hal ini merupakan kelemahan dari beberapa buku itu, tapi mumpung tidak ada yang menulis buku seni dan desain, hal ini tentu lebih baik. Feldman, E.B; (1967), dalam bukunya Arts as Image an Idea, sudah membuka cara menganalisis sebuah artefak seni tahun 60-an, diantaranya penjelasan tentang kritik seni (yang sekarang dapat diartikan sebagai penulisan karya seni rupa. Dalam buku ini dijelaskan bahwa jika kita sulit membahas sebuah karya seni rupa, maka bahaslah  segi proses berkarya (praktiknya). Namun premis-premis Feldman tidak sampai menjadi sebuah teori seni, dan uraiannya hanya sampai pada tingkat ekplanas.

Salah satu diskursus praktik seni menurut Kommonen (2004) adalah ungkapan artefak (artefact expressive) dan ucapan rupa benda (expression artefact), dimana ungkapan artefak dikendalikan oleh kekhususan visi dan ide seniman, sedangkan ucapan rupa benda didefinisikan sebagai produk motivasi komunitas, atau secara umum sebagai hasil respon pengamat atau komunitas (bukankah sebuah artefak didasari oleh filosofi dan prinsip “use oriented” dan “user oriented” ) . Yang terakhir ini kita melihat betapa eratnya kajian sejarah dan sosial dalam mengkaji sebuah budaya visual. Yang menarik disini, adalah jika kita memfokuskan diri kepada ungkapan artefak, maka menurut Marx Wartofsky dalam Perception, Representation, and the Forms of Action: Towards a Historical Epistemology, menjelaskan ada tiga level ungkapan artefak yaitu artefak primer, sekunder dan tersier. Artefak primer adalah benda buatan yang dipakai oleh manusia untuk mengolah lingkungan benda seperti kapak, pensil , komputer dan sebagainya. Artefak sekunder adalah representasi dari artefak primer dan mode aksi penggunaannya ( the modes of action using them). Contoh level sekunder dari artefak adalah gambar, representasi dan berbagai modes aksi yang mungkin dilakukan manusia untuk memindahkannya kepada skill dan informasi dan terefleksi dari kegiatannya. Artefak tersier sebuah tingkat dari artefak dimana dia dapat menjadi relatif berdiri sendiri dengan aturannya, kesepakatan terhadapnya, dan dapat menghasilkan sesuatu secara langsung dalam lingkungan. Dan dimana imaji-imaji yang dari bentuk artefak itu sendiri dapat mempengaruhi cara kita dalam melihat dunia nyata. Artefak ini juga dapat sebagai agen untuk perubahan praktik itu sendiri. Contoh dari level ketiga dari artefak adalah karya seni dan desain, mitos, pandangan terhadap dunia, dan berbagai model-model teori, model ini seperti yang diperlihatkan dalam gambar (1)


T: Bagaimana pula kedudukan teori estetika dalam kebudayaan visual ini ?


J : Saya sebenarnya sudah lama, kurang yakin dengan posisi dan terapan berbagai teori estetika ini, misalnya banyak penulis dan menggurui tetang estetika, contoh lain misalnya ada teman saya dari Yogya, yang sama-sama kuliah di S2 dahulu, dia menulis pula sebuah buku Estetika Indonesia ( Jawa ?), dan bukunya itu saya lihat di toko buku Gramedia Padang baru-baru ini, saya merasa kaget dan juga kagum atas keberaniannya. Sebab sejak lama saya melihat jika estetika dibawa ke sebuah penelitian (riset) budaya visual akan terjadi kesulitan metodologi dan sulit untuk mengaksesnya dalam kerangka/format estetika yang terbentuk, sebab sebuah pengalaman seni dan reaksi terhadap karya seni tidak berada di luar (tangible), tetapi berada di dalam subjek pengamat itu sendiri (intangible), paling tidak masalah estetika ada dalam dalam rangka membangun struktur bahasa visual komunitas ( lihat karya Lévi-Strauss, de Saussure, Heidegger, Rousseau, Lévinas, Hegel dsb) dan hal ini sudah ditolak oleh Derrida tentang kelemahan pandangan strukturalisme.(tentu saja berpola dan merujuk kepada struktur pemikiran lokal).

Jadi tidak salah jika banyak ahli seperti Kommonen (2004), yang mengutip Alpers, S. Is Art History?, Daedalus, Vol. 106 (Summer 1977): 1-13 menjelaskan bahwa studi mengenai artefak visual atau tangible cultural heritage , metodenya bervariasi menurut sejarah dan budaya komunitas itu sendiri pada saat dan waktu tertentu. Jadi jika kita belajar estetika, validitasnya ada pada saat subjek estetikus (pelaku) atau pengamat berada pada posisi ruang dan waktu yang sama. Mempelajari estetika berguna untuk menjawab pertanyaan reaksi temporal, misalnya bagaimana pendapat anda tentang estetik seni digital dan seni pertunjukan yang anda tonton saat ini, atau bagaimana pendapat anda tentang lukisan yang dipamerkan ? Pasti tidak ada kaitannya dengan estetika Jawa, Cina, Minang yang terstruktur pada jaman lampau, jika ada itu mungkin dipaksakan oleh sang guru yang ada di depan anda. Dan jika itu berlangsung pada saat menghadapi karya kultur tertentu, tidak selalu dibaca menurut struktur dan pakem estetika kultur tertentu, karena sifat subjektif pengamatnya

Barangkali untuk mengakhiri debat kita kali ini, kita dapat merenungi apa yang ditulis oleh Kommonen (2004), sbb:
  • “Trying to understand how something like the expression of feeling is organized, re-directs us to what is referred to as inner, tacit knowledge, intuition, subjectivity and other forms of cognition that are difficult to analyse and describe. This is because the interaction of a viewer with the object of art is not a Stimulus-Response reaction but rather, a higher order process concerned with the structured and informed expression of feeling. Additionally, the creation of art involves not only the harnessing of expressive behaviour but also, its reception by a responsive audience. Once accepted into the established framework that defines what is art, artefacts that are art objects undergo a privileged process of transformation whereby they become coveted items of desire in privileged places of honour at public institutions such as museums.”

    Sebagai penutup dialog ini, maka budaya visual ini hanya dapat dipahami liwat sejarah seni rupa dan desain dan pendirian institusi dalam komunitas misalnya sebuah museum, yang mencerminkan bagaimana budaya visual beroperasi di dalamnya. Jadi tulisan budaya visual yang bertemakan Indonesia, bisa jatuh hanya kepada kerangka politik atau meraih kekuatan diskursus seni di Indonesia

    P: Ooo…, begitu ya, terima kasih !

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting