Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Kamis, 28 April 2011

Masalah Regionalisme dalam Desain Arsitektur

Oleh:
Nasbahry Couto & Harmaini Darwis


Karya arsitektur dapat meningkatkan persepsi (kesan) tentang tempat, bentuk dan atau budaya. Sebab, melalui karya arsitektur dapat diekspresikan identitas budaya bangsa atau sub kultur. Karenanya, arsitektur itu penting untuk menunjukkan keberadaan komunitas, bangsa atau etnik, budaya lokal, atau tradisi setempat. Umumnya kesan seperti ini dicari oleh pengunjung yang datang ke sebuah tempat tertentu di dunia. Dia akan bertanya “dimana ini?”, apa keunikannya dan seterusnya. Indonesia memang kaya dengan arsitektur lokal yang berbahan kayu, hal ini dapat dilihat dari karya-karya arsitektur lokal di Indonesia. Sedangkan pengembangan mutunya ditentukan oleh standar konstruksi dan keputusan untuk pengembangan bentuk keunikannya. Dari beberapa penelitian dan juga pembahasan tentang arsitektur lokal, ternyata arsitektur khas itu dapat diekspresikan bukan hanya dari atap atau kulit luar bangunan. Banyak pilihan lain untuk mengekspresikan suasana lokal itu. Misalnya, melalui suasana lingkungan lokal, perkembangan gaya lokal yang banyak ragamnya itu, elemen-elemen bangunan, atau melalui prinsip eklektik dengan mengambil unsur-unsur yang dianggap penting dari unsur bangunan tradisi lokal. Regionalisme dalam arsitektur itu banyak pilihan. Ungkapan regionalisme itu seyogyanya berkembang dalam berbagai jalur. Oleh sebab itu taksonomi regionalisme arsitektur harus dipahami guna untuk merancang bentuk arsitektur lokal itu.Tulisan ini mencoba untuk mengkaji kecendrungan arsitektur di Sumatera Barat yang mengikuti dua jalur, yaitu (1) yang berorientasi ke masa lampau, dan (2) yang berorientasi ke masa kini. Dalam hal ini terlihat bahwa, pelaku arsitektur regionalisme sangat berperan dalam meujudkan arsitektur regional itu. Pelaku itu baik perancang, pengambil keputusan, pembangun (steakholder), masyarakat, adalah kekuatan yang mengarahkan, merekayasa, dan melestarikan  arsitektur lokal itu, dan atau sebaliknya justru merusak kesan yang ingin disampaikan melalui ungkapan arsitektur region itu.
A. Pendahuluan

Arsitektur adalah suatu bidang seni-sosial (Anderson, Lawren B.,2002), sebab pengembangannya tidak semata oleh individu, tetapi oleh masyarakat. Hal ini menonjol sekali terlihat dari contoh-contoh praktik arsitektur baik di Sumatera Barat, maupun Indonesia, dimana peran masyarakat menonjol dalam menentukan bentuk-bentuk arsitektur. Hal ini dapat berbeda dengan arsitektur yang dikembangkan semata oleh kekuatan ekonomi  kapitalis. Dimana peran sosial direduksi oleh kekuatan-kekuatan individu perancang liwat perusahaan besar atau multi-nasional. Model yang terakhir ini dapat saja terjadi di Indonesia. Dimana steakholder  dari luar komunitas juga  berperan dalam merancang dan mentukan arsitektur regional. Namun sebelum membahas hal ini timbul pertanyaan, apakah arsitektur regional itu, apa perbedaannya dengan arsitektur post-moderen, atau apakah bedanya dengan arsitektur tradisional. Dan bagaimanakah sebenarnya kiprah arsitektur tradisi-moderen di Sumatera Barat. Untuk menjawab pertanyaan ini memang tidak mudah, sebab tidak adanya data yang cukup dan menganalisis untuk melihat bagaimana arsitektur  lokal ini menyambung kepada tradisi arsitektur moderen atau yang sering di katakan sebagai arsitektur moderen yang sifatnya universal. Keunikan arsitektur lokal yang diangkat menjadi arsitektur moderen memang penting sebab dia berguna untuk memperlihatkan daya tarik arsitektur berbadasarkan budaya visual lokal.

Menurut (Dharma, 2009), sumber untuk mengembangkan sifat-sifat khas dalam arsitektur lokal di Indonesia dapat dicari pada budaya visual suku-suku bangsa di daerah atau Indonesia. Sedangkan pengembangan mutu ditentukan oleh standar ilmu arsitektur. Josef Prijotomo (1988) menyatakan bahwa suatu karya arsitektur dapat dirasakan dan dilihat sebagai karya yang bercorak lokal atau Indonesia bila karya ini mampu untuk  berikut ini.
  1. Membangkitkan perasaan dan suasana ke-Indonesiaan lewat rasa dan suasana lingkungan visual
  2. Menampilkan unsur dan komponen arsitektural yang nyata-nyata nampak corak      kedaerahannya, tetapi tidak hadir sebagai tempelan atau tambahan  saja.
Perbincangan tentang arsitektur tidak dapat dilepaskan dari perbincangan dua kutub arsitektur yaitu Arsitektur masa lampau (lama) dan Arsitektur masa kini (baru). Arsitektur masa lampau diwakili oleh arsitektur vernakular, tradisional, maupun klasik. Arsitektur masa kini diwakili oleh arsitektur modern, post-modern, dan lain-lainnya.



B. Latarbelakang Arsitektur Regionalisme

1. Arsitektur Moderen
Munculnya arsitektur modern (baru) yaitu saat adanya usaha untuk mencari hal-hal yang (inovatif, kreatif) dan tidak lagi untuk mengulangi karya arsitektur masa lampau. Tetapi ada saatnya, dalam perkembangan arsitektur modern itu timbul usaha untuk mempertautkan antara yang lama dan yang baru akibat adanya krisis identitas pada arsitektur moderen. Salah satu sebabnya, gaya arsitektur moderen itu (international style) umumnya mirip dimana-mana, dia kehilangan identitas budaya. Di New York, Tokyo, Paris dan kota-kota besar dunia umumnya, muncul bangunan bertipe sama. Pemikiran untuk menolak gaya internasional ini, kemudian menimbulkan beragam konsep arsitektur seperti tradisionalisme, regionalisme, dan post-modernisme.

Konsep regionalisme diperkirakan berkembang sekitar tahun 1960 (Jenks, 1977). Sebagai salah satu perkembangan arsitektur modern yang mempunyai perhatian besar pada ciri kedaerahan. Aliran pemikiran ini tumbuh terutama di negara berkembang. Ciri kedaerahan yang dimaksud berkaitan erat dengan budaya setempat, iklim, dan teknologi pada saatnya (Ozkan, 1985).
Konsep dan prinsip tradisionalisme dalam arsitektur timbul sebagai reaksi terhadap terputusnya kesinambungan antara arsitektur yang lama dan yang baru. Gagasan regionalisme merupakan peleburan antara yang lama dan yang baru (Curtis,1985). Sedangkan gagasan postmodern dalam arsitektur berusaha menghadirkan yang lama dalam bentuk universal (Jenks, 1977).

Menurut William Curtis, Regionalisme diharapkan dapat menghasilkan bangunan yang bersifat abadi, melebur atau menyatu antara yang lama dan yang baru, antara regional dan universal. Kenzo Tange menjelaskan bahwa Regionalisme selalu melihat ke belakang, tetapi tidak sekedar menggunakan karakteristik regional untuk mendekorasi visualisasi bangunan. Jadi dapat dikatakan bahwa arsitektur tradisional itu termasuk ke dalam lingkup konsep arsitektur  regional. Sedangkan arsitektur modern masuk dalam lingkup konsep arsitektur yang sifatnya universal. Dengan demikian maka yang menjadi ciri utama regionalisme adalah menyatunya arsitektur tadisional dan arsitektur modern.

2. Taksonomi Regionalisme
Untuk membahas konsep arsitektur region, kita dapat melihat pemikiran Suha Ozkan yang membagi Regionalisme menjadi dua bagian yaitu sebagai berikut ini.

1. Concrete Regionalism
Regionalisme kongkrit atau yang nyata, adalah semua pendekatan kepada ekspresi arsitektur regional, kepada bagian-bagiannya, atau seluruh bangunan di daerah tersebut. Apabila bangunan-bangunan tadi sarat dengan nilai spiritual maupun simbolisasi yang cocok dengan kultur lokal. Bentuknya baru bangunan tersebut akan diterima, dengan mengeskpresikan nilai-nilai lokalnya.

2.  Abstract Regionalism
Hal yang utama adalah menggabungkan unsur-unsur kwalitas abstrak bangunan, misalnya massa bangunan, solid dan void, proporsi, sense of space, pencahayaan, dan prinsip-¬prinsip struktur arsitektur lokal yang telah diolah kembali dalam bentuk baru. Yang terpenting dari arsitektur regionalisme, adalah cara berpikir  tentang arsitektur yang tidaklah berjalur tunggal tetapi menyebar kepada berbagai jalur, seperti yang diperlihatkan pada taksonomi regionalisme sebagai berikut ini.


Gagasan arsitektur regional bisa berasal dari derivatif, yaitu sekedar mengkopi bangunan  yang asli tetapi tidak sesuai orisinal yang oleh Broadbent dikatakan sebagai hasil tipologi desain. Kemungkinan lain adalah gagasan transformatif (perubahan bentuk).

Pola derivatif
Desainer yang bekerja dengan pola derivatif, sebenarnya  meniru atau memelihara bentuk arsitektur tradisi atau vernakular, untuk fungsi bangunan baru atau moderen. Dalam hal ini kita melihat tiga kecendrungan
  1. Tipologis, dimana arsitek berusaha untuk mengelompokkan bangunan vernakular, kemudian memilih dan membangun salah satu tipe yang dianggap baik untuk kepentingan baru.
  2. Interpretif atau interpretasi, dimana arsitek berusaha untuk menafsirkan bangunan vernakular kemudian membangunnya untuk kepentingan baru.
  3. Konservasi, dimana perancang berusaha untuk mempertahankan bangunan lama yang masih ada, kemudian menyesuaikannya dengan kepentingan baru.
Bangunan legislatif pemerintah Karnataka di Bangalore, India Selatan (1954) yang mengambil gaya Dravida baru, dapat dianggap sebagai pola derivatif-tipologis

Pola transformatif
Gagasan arsitektur regional yang bersifat transformatif, tidak lagi sekedar meniru bangunan lama. Tetapi berusaha mencari bentuk-bentuk baru, dengan titik tolak ekspresi bangunan lama baik yang visual maupun abstrak.

Gagasan arsitekur yang bersifat visual dapat dilihat  dari usaha pengambilan  elemen-elemen bangunan lama yang yang dianggap baik, menonjol atau ekspresif untuk di ungkapkan kepada bangunan baru. Pemilihan elemen yang dianggap baik ini disebut eklektik. Kemudian pastiche, atau mencampur-baurkan beberapa elemen bangunan baik moderen maupun tradisional, beberapa diantara desain bangunan seperti ini juga dapat menimbulkan kesan ketidakserasian. Sedangkan reinterpretatif, adalah menafsirkan kembali bangunan lokal itu dalam versi baru.

Pencarian dan penafsiran bentuk-bentuk arsitektur tradisi ini pernah di kritik oleh arsitek Jepang Kenzo Tange, yang hanya akan melahirkan  monster-monster arsitektur lokal. Namun tidak dapat disangkal bahwa, pola transformasi adalah salah satu cara untuk menciptakan arsitektur moderen yang dapat merangsang kreativitas arsitek untuk menciptakan karya arsitektur baru dan moderen, tetapi masih memperlihatkan karakter arsitektur lokal dari masa silam. Secara umum, pola transformasi dapat diartikan  perubahan bentuk  lama ke bentuk baru
Portland Building.Pencarian bentuk baru melalui sketsa oleh Michael Grafes untuk gedung Portland building, 1983, di Oregon USA, yang dianggap sebagai monumen bangunan Posmoderen.

Artikel ini terdiri dari 3 halaman, klik hal berurutan



Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting