Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Sabtu, 25 Desember 2010

Budaya Visual Tradisi Minangkabau


Budaya visual tradisi Minangkabau yang asli adalah tampilan yang semarak, serba merah dan mengkilat, kaya dengan warna yang kontras, mewah, guna untuk menunjukkan kebesaran, cerminan dari gender perempuan? Bagi yang paling miskin sekalipun.
Tulisan ini adalah cuplikan Isi Buku Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau Karangan Drs. Nasbahry C.,M. Sn Tahun 2007 Halaman 35-55. Jumlah hal.276, ukuran 148x210 mm.
Editor Substansi: Dr. Syamsul Asri, PHd.
Editor Bahasa: Prof. Dr. Syahrul S. M.Pd.
Budaya Visual Minangkabau

1.Kajian Sosial dan Budaya Visual  Minangkabau

Ahli sejarah sosial masyarakat Minangkabau memperlihatkan bahwa masyarakat Minangkabau itu terisolasi,  rural dan terpecah dalam komunitas-komunitas kecil . 

Perubahan yang mendasar yang besar adalah saat sendi-sendi kehidupan tradisional itu menghadapi ideologi luar yang direspon antara menolak dan menerima, sehingga yang lama dibiarkan tetap hidup dengan sebuah toleransi, demikian juga saat terjadinya transformasi  kehidupan tradisional ke kehidupan moderen pada zaman kolonial  


Salah satu model toleransi yang mendasar adanya dualisme dalam pandangan hidup. Dualisme itu di sebabkan oleh petentangan sistem partiarkat (Islam) dan matrilineal (adat). Perubahan dan Konflik itu tidak hanya dalam skala  individual, juga dalam skala komunitas.

Ditambah lagi dengan beberapa masa pergolakan seperti PRRI (1958) dan masa Gestapu (1965) dan sebagainya, mengakibatkan masyarakat Minangkabau menjadi pragmatis, dalam pengertian dapat memakai semua yang dianggap baik, meninggalkan yang dianggap buruk dan lebih mementingkan urusan nagarinya dan kesukuannya, dibandingkan dari pada yang lain. Bahkan menurut pandangan ahli sosial budaya, pada masa kini eksistensi budaya Minangkabau itu sedang terancam dan terombang-ambing 

Sebagai bahan diskusi tentang ini kita dapat mulai berfikir tentang bagaimana etnis Minangkabau pada masa kini, dan bagaimana pula dia membentuk lingkungannya pada masa lampau dan faktor-faktor penyebabnya. Terutama sikapnya terhadap materi atau bagaimana mereka dalam berbudaya visual (visual culture).

Pembicaraan terhadap masalah yang berskala besar seperti budaya, memang akan membawa kita ke berbagai disiplin ilmu atau bidang pengetahuan berlainan, ketimbang pembahasan yang diarahkan kepada aspek yang lebih kecil seperti  bagian-bagian bangunan. Aspek-aspek yang kita bicarakan ini bisa terkait dengan sejarah, sosial, seni  dan sebagainya

2. Peran Gender dalam Arsitektur

Seperti yang kita ketahui, kehidupan di Minangkabau terutama dikembangkan oleh kaum perempuan, hal ini ada kaitannya dengan aturan adat dimana tanah diwariskan kepada garis keturunan ibu. 
Gambar 1.7 Pembagian tanah pusako untuk wanita di Minangkabau.
Pada awalnya sebidang tanah dimiliki oleh 1 keturunan (a), jika dia memiliki dua anak perempuan maka tanah itu di bagi dua (b), pada generasi berikutnya (a1,a2,b1,b2) tanah yang dimiliki oleh beberapa keturunan yang luasnya semakin kecil. Akhirnya tanah tersebut tidak produktif lagi untuk pertanian karena hanya bisa dipakai  untuk bangunan. Tanah yang tadinya untuk pertanian, sekarang berubah menjadi rumah-rumah/bangunan. Anak laki-laki tidak bisa mewarisi tanah atau rumah dan hidup di rumah istrinya masing-masing sebagai orang  pendatang. a) Awal keturunan, b) generasi ke dua, c) generasi ke tiga dst.

Sumber : Selma Nakamura, 2001 (wawancara)
Secara psikologis mulai dari tanah, rumah, pakaian, peralatan hidup (materi) adalah milik perempuan bukan kaum laki-laki) 

Dari titik tolak ini, kita dapat mulai membahas bagaimana budaya visual, seni atau arsitektur tradisi Minangkabau itu.

Banyak teori, yang mengatakan kaum laki-laki juga mengatur materi, yaitu  paman atau ninik mamak (saudara laki-laki perempuan/ibu), yang dipandang sebagai manajer harta pusako (Wisran Hadi, 2008, dalam ceramah di TVRI Padang), tetapi realitas menunjukkan bahwa jika terjadi konflik dalam komunitas Minangkabau jarang bisa tuntas terselesaikan oleh ninik mamak (bahkan sering hanya sebagai penonton). 

Konflik harta ini terjadi bukan dengan suku lain, tetapi dengan saudara sendiri (sesuku) Konflik ini sering terjadi karena pembagian tanah, dan oleh tanaman yang tumbuh di dalamnya, atau masalah pembagian air di sawah. Pembagian tanah ini secara teoritik diterangkan oleh Selma Nakamura , 2001 (gambar 1.7) .  )

Karena tidak memiliki kekuasaan atas harta, atau teritorial, dan hidupnya menumpang pada pihak istri, secara psikologis kaum laki-laki sering mengalami tekanan kejiwaan. Terutama karena secara fisik maupun psikologis harus berada di luar komunitas aslinya. Dia memiliki rumah dan kampung halaman hanya secara ilusi (abstrak) tetapi tidak memiliki secara material.

Untuk membentuk dunia dan kelompoknya sendiri maka laki-laki Minang umumnya berkumpul di surau  (dahulu), atau di lapau (sekarang). Jadi komunitas surau terbentuk bukan semata karena aturan adat. Tetapi oleh dorongan psikologis untuk membentuk komunitas tersendiri. Dan hal ini dihayati sebagai sebuah kebebasan dan kesenangan.

Ikatan komunitas surau menjadi hilang saat kehidupan diubah oleh moderenitas, dimana laki-laki boleh tinggal di rumah orang tuanya dan dibesarkan berdasarkan perhatian yang sama dengan anak perempuan.
Kebebasan seorang laki-laki Minang adalah jika berkumpul di lapau dan terbebas dari masalah keluarga. Lapau adalah tempat dimana segala hal dapat dibicarakan, termasuk juga pekerjaan. 

Jadi lapau memegang peran penting untuk memperoleh pekerjaan bagi orang-orang yang biasa kerja lepas.  Kebiasaan itu tidak bisa diubah sampai usia tua. Di kampung-kampung dapat dilihat, walau sudah uzur sekalipun berusaha untuk duduk di lapau.

Karena komunitas surau telah hilang (baca karangan A.A. Navis Robohnya surau Kami). maka komunitas lapau semakin kuat eksistensinya, dengan segala dampak positif dan negatifnya.  Kalau diteliti dengan cermat, kaum laki-laki Minang secara sadar atau tidak sadar berada dalam  dunia konflik, misalnya antara mementingkan Islam (patriarkat) dan adat (matrilarkat), antara mementingkan kemenakan dan anak, antara suku sendiri (keponakan) dengan suku lain (anak) dan seterusnya. 

Kaum perempuan juga banyak menderita karena konflik dengan saudaranya sendiri, terutama dalam hal penetapan teritorial (pembagian tanah), pamer materi atau kekayaan dalam rumah gadang, dan dalam  kepemimpinan peran imajinatifnya sebagai  bundo kanduang, yang dalam beberapa pengamatan kelihatan over acting  dalam menjalankan perannya  )

Bagaimana ketidakstabilan psikologis orang Minang digambarkan oleh, H.H.Saanin Dt. Tan Pariaman, dalam buku M.A.W Brouwer, dkk. Kepribadian dan Peruba hannya (1989: 200)
“Adalah suatu kenyataan bahwa orang Minangkabau dalam kehidupuan sehari-hari selalu dihadapkan kepada “dualisme” dan konflik yang dipaksakan kepadanya, antara lain: petentangan antara prilineal dan matrilineal”……………… Selanjutnya Saanin (1989: 201): “Dalam dunia moderen dan menurut agama Islam yang patriarkal, seorang suami berkewajiban mencari nafkah untuk anak-anak dan isrinya. Dalam sistem matriarkal tugas seorang laki-laki adalah menciptakan anak dari istrinya, tetapi tidak bertanggungjawab dalam hal membelanjai anak dan istrinya (karena beban itu ditanggung oleh pihak istri dari hasil pertanian milik sukunya) Selanjutnya oleh Saanin (1989: 202): “Padangitis”, istilah bagian Psikiatri Universitas Indonesia, yang merupakan psikopatologi suku bangsa Minangkabau yang penting.”
“Di zaman Hindia Belanda, hampir semua dokter yang baru lulus memohon kepada D.V.G ( Dep.Kesehatan zaman kolonial) supaya ditempatkan sejauh mungkin dari Minangkabau.” (Saanin, 1989: 202)

Penelitian-penelitian tentang makna budaya visual dapat dikaji dari aspek psikologis dan psikologi sosial ini, yang berperan dalam memberi makna sebuah objek fisik (artefak), khususnya produk kreatif seni dan bangunan tradisi Minangkabau. Jadi bukan hanya mengambil petatah-petitih adat sebagai cara untuk memberi makna kebudayaan visualnya, sebagai sesuatu makna yang benar. Lagipula nilai dan makna produk kreatif itu tidak hanya berdasarkan kajian persepsi estetik atau artistik-fungsional semata. Hal ini tidak menggambarkan pantulan apresiasi yang sebenarnya. Sebab orang Minangkabau bukanlah seorang wisatawan di negerinya sendiri. 

Oleh karena besarnya peran gender wanita atas fungsi terirorialitas dan keruangan dalam arsitektur seharusnya penelitian akademik arsitektur sebaiknya  mengikutsetrtakan penelitian tentang peran gender dalam hubungannya dengan pembentukan lingkungan habitat,  termasuk bangunan. 
Pada sisi lain ada pendapat yang mengatakan (bahkan telah menjadi teori pula) bahwa lingkungan habitat ini telah diatur oleh adat Minang. 

Tetapi kesimpulan-kesimpulan penelitian yang ditarik atas hubungan adat (struktur dan sistem sosial tradisional) dengan lingkungan habitat  umumnya masih prematur. 

Pelaksanaan tatacara adat juga hanya bersifat  konseptual dan temporal saja, sebab hanya ada pada saat upacara adat. Bukan menggambarkan realitas kehidupan sehari hari orang Minang di rumah gadang dan di nagarinya.

Realitas-realitas yang banyak muncul kemudian tentang lemahnya peran adat, diperlihatkan oleh banyaknya konflik-konflik yang terjadi, bukan hanya dalam skala gender dan hunian, tetapi dalam dalam area yang lebih besar yang terjadi adalah  perebutan hak pakai teritorial tanah pertanian dan perladangan antar kaum atau suku  

Jadi logis jika timbul kesepakatan Pemerintah Sumatera Barat baru-baru ini untuk mensertifikatkan tanah kaum atau suku, jika tidak ada pemiliknya lagi karena keturunannya punah, maka tanah tersebut jadi milik negara (TVRI, Sumbar Juni 2008)

Ahli budaya Minangkabau (yang pesimistik) sering melihat budaya Minangkabau sebagai budaya konflik, yang dalam taraf tertentu juga dialami oleh kaum wanitanya. Bagi mereka yang merasa dirugikan umumnya akan keluar  habitatnya atau merantau.   

Sebagai refleksi budaya ini yang terlihat (tangible) diperlihatkan oleh banyaknya dibangun balai batu (tempat musyawarah dari batu) yang di buat semasa Minangkabau lama, terutama  jika terjadi perselisihan. Bukti-bukti balai batu ini masih dapat kita lihat di nagari-nagari tertentu di Sumatera Barat seperti di  Saningbakar dan Sulit Air.

Para ahli budaya Minangkabau umumnya sepakat bahwa dahulunya nagari-nagari di Mingkabau adalah ‘republik-republik kecil’ yang  berbeda satu dengan lainnya dan mereka bukan dalam posisi damai. Refleksi budaya yang diperlihatkan dalam kondisi ini adalah adanya “adat selingka nagari”.


Gambar.1.8 Lokasi-lokasi tempat balai batu atau tempat musyawah dari batu di  nagari Saningbakar jaman dahulu. Sekarang yang ada adalah Balai Gadang yang  dibangun  dalam bentuk bangunan balai adat
Sumber. PT.Tano. Proyek  Revitalisasi Permukiman Tradisional. (2004). Dinas Permukiman dan Perumahan Sumatera Barat ( Hasil survey lapangan)

3. Refleksi Budaya

Dari sisi pandangan psikologi, refleksi jiwa itu dapat tercermin dalam berbagai produk kreatif seni. Misalnya seni musiknya (saluang, dendang, rabab dsb.) yang  cendrung bernada sedih, dan ini bisa bermalam-malam untuk didentangkan, misalnya mulai dari jam 9 malam sampai pagi. 

Berbeda dengan acara TVRI tentang wayang golek Jawa Barat yang menggambarkan kejenakaan hidup si Petruk, Dawala atau yang juga dipertontonkan sampai pagi, bagi petruk hidup setiap saat adalah sebuah kegembiraan dan kejenakaan karena hidup ini bukan sebuah masalah walaupun ada yang lebih berkuasa dari dia (raja), tetapi raja bisa saja diolok-olok, dan dalam saat yang sama dia membicarakan tentang ketuhanan. Hari ini adalah nafas kehidupan yang diisi dengan ketawa. Dan mana ada petruk minang, karena kehidupan umumnya ditanggapi dengan serius dan tegang
Orang Minang juga bisa ketawa tetapi lebih sering kekebasan itu diperoleh dalam komunitas lapau, dan akan  banyak ditemui ketawa itu hanya dalam rangka SMS.

Sebaliknya siaran radio RRI Padang banyak menyajikan acara berbalas pantun, dan juga lagu-lagu tahun 60-an, untuk mengenang Minangkabau yang entah dimana. Refleksi yang lain lagi dapat dilihat dari karya-karya seni, seperti seni lukis.

Dalam pengamatan selintas oleh penulis tentang seni lukis, para pelukis Sumatera Barat lebih cendrung untuk menyenangi atau menggambarkan alam (lanscape painting) ketimbang menggambarkan manusia. Pelukis Minang jarang yang ingin menggambarkan manusia dan kehidupannya atau jenis genre painting. Sehingga corak seni lukis lanskap yang dipelopori Wakidi setengah  abad yang lalu, masih banyak menjadi acuan bagi para pelukis daerah  ini pada masa kini. )

Pelukis-pelukis Minang nampaknya kurang tertarik untuk menggambarkan manusia dan kehidupannya, hal ini berbeda dengan pelukis yang berasal dari Jawa, yang berani mengungkapkan dimensi internal manusia yang paling dalam. Jikapun ada pelukis Minang generasi  lama seperti Baharudin Marah Sutan, Nashar, Rusli dan seterusnya, tetapi mereka menjadi tokoh seniman, dan  diapresiasi di luar, bukan di dalam komunitasnya.

Gambar 1.9 Lukisan Wakidi, 1960-an, Baralek Gadang”, yang menggambarkan kehidupan sosial Minangkabau. Pelukis lebih tertarik untuk menggambarkan pemandangan alam lingkungan, seperti bentuk rumah adat, sawah, pohon-pohon atau gunung, dibandingkan untuk menggambarkan manusia (yang digambarkan kecil dan kaku). Manusia hanya pelengkap dari lanskap yang digambarkan dan bukan pula untuk bercerita (naratif) tentang upacara adat.
Sumber: Dokumentasi penulis

Tetapi tetap saja diantara mereka melihat manusia secara negatif, dan bukan sesuatu yang menarik.  Karya-karya kreatif etnik Minangkabau seperti ini dapat menjadi bahan kajian untuk diteliti lebih lanjut.Situasi konflik dalam dirinya menyebabkan orang Minang (terutama kaum laki-laki) cendrung menjadi penyendiri, pemikir dan perenung, banyak dari mereka akhirnya menjadi satrawan dan seniman di luar komunitasnya
Gambar. 1. 10  Contoh budaya visual berdasarkan gender. Lukisan Evalina (pelukis wanita) Sumatera Barat (2008). Dalam menggambarkan subjek materinya dia menggambarkan tokohnya secara anggun, semampai dan agung (pengantin wanita ?). Lukisan ini akan berbeda jika digambarkan oleh pelukis laki-laki (gaze pria) yang menonjolkan kecantikan atau kemolekan, sebagaimana produk filem atau sinema yang umumnya produk laki-laki yang memandang wanita dengan cara yang lain.
Sumber: Dokumentasi penulis (2008)

Pandangan orang asing lain lagi, orang Melayu ini dianggap cerdik dan licin (galia) ketimbang sebagai orang pandai, dan umumnya mereka dianggap pemalas, mungkin hal ini akibat posisi laki-laki yang tercepit. Sewaktu Belanda membangun jam gadang di kota Bukittinggi, pada puncak jam gadang diletakkan  patung ayam jantan  berkokok, dan kota ini dinamakan “Ford de Cock”.

Gambar 1.11 Baharudin  M. S. “ Topeng dan Boneka” (1972). Pelukis generasi yang lebih baru seperti Baharudin M.S, Walaupun ingin menggambarkan manusia, tetapi dia melihat manusia dalam kacamata yang negatif dan sinis dalam lukisannya yang berjudul. “Topeng dan boneka” (1972) Yang ingin dikomunikasikannya bukanlah aspek artistik atau estetik, tetapi sisi gelap dan curang dari manusia.

Lukisan ini adalah bukti visual dimana pelukis kurang tertarik dengan manusia, tetapi tertarik untuk memperlihatkan dimensi negatifnya. Sumber: Mustika. 2001.Tokoh-tokoh Pelukis Indonesia, Jakarta, Dinas  Kebudayaan DKI Jakarta

Maksud Belanda adalah untuk membangunkan warga kota ini, dengan dentingan lonceng besarnya untuk bekerja pagi-pagi sekali. Yang paling berat menurut pandangan orang asing adalah jika tidak bisa dipercaya, paling tidak ini adalah pandangan orang Barat terhadap orang Minang jaman lampau  )

Penelitian sosial lainnya menunjukkan orang Minang cendrung memilih bekerja sendiri (profesi tertentu), dibanding bekerja dengan orang lain (menjadi bawahan). Mereka dapat bekerja dalam kelompoknya  seperti usaha rumah makan, tetapi seorang individu relatif memiliki kedudukan setara sesuai profesinya. Profesi lain yang disenangi adalah sebagai pegawai negeri, dan jarang yang mau menjadi tentara atau pekerjaan yang hirarkhinya ketat dan diperintah oleh orang lain, umumnya mereka senang jadi orang bebas.

Hal seperti ini nampaknya juga mempengaruhi orang-orang yang  bergerak dibidang akademis yang diantara mereka juga tidak akur. Namun sebagian dari mereka yang sadar dan dapat menghargai prestasi individu, mampu untuk membuat organisasi sosial lebih  baik. Selebihnya banyak jadi pertanyaan. 

Sebab antara golongan intelektual masa kini masih terdengar mempertentangan kemajuan jaman dengan keyakinan sendiri. Kemajuan dan ilmu pengetahuan ditafsirkan sebagai produk Barat, yaitu sebuah sikap yang digambarkan Michael Dufference seperti masyarakat negara yang baru merdeka. Dimana sesudah masa kolonialisme mereka menentang semua yang berbau Barat. 

Problematik gender misalnya, dilihat dalam kacamata pertentangan antara cara beragama dan pengetahuan Barat, dan tetap menganggap wanita sebagai masyarakat kelas dua. Namun jika wanita bicara lantang tentang gender semuanya terdiam.   Jadi konflik antara adat dan agama sekarang diperlebar dengan konflik terhadap kemajuan jaman. Namun sudah menjadi rahasia umum bahwa golongan akademik hampir seluruhnya bersendikan kepada pengetahuan yang dikembangkan ilmu-ilmu Barat untuk mencapai posisinya saat sekarang. 

G. Kecendrungan Budaya Visual Minangkabau

Dalam melanjutkan uraian di atas, tentu dipertanyakan bagaimana kecendrungan budaya visual, bagaimana imaji visual sosial dan kode-kode sosial membentuk  bangunan, kumpulan bangunan dan habitatnya.
Seperti yang telah di uraikan sebelumnya mereka lebih cendrung dan giat dalam mengembangkan seni seperti sastra, musik, nyanyian, dan adat istiadat, yang sifatnya intangible   Imaji-imaji visual tradisi selama ini yang umumnya dikenal adalah dari bentuk gonjong. Hampir semua objek-objek visual sebagai kode sosialnya adalah dari turunan bentuk (form generation) bentuk gonjong. (gambar 1.1)

Budaya visual tradisi Minangkabau yang memiliki kesamaan hanya ada pada beberapa unsur visual saja, misalnya bentuk gonjong yang meruncing di atas bangunan. Namun jika diperiksa ke dalam bangunan menunjukkan perbedaan-perbedaan sesuai dengan tradisi daerah setempat. 

Melihat kenyataan ini sebenarnya atap gonjong  tidak bisa jadi pedoman sebagai dasar untuk menyatakan budaya visualnya sama, karena gonjong ini mudah di pasang-bongkar seperti memasangnya pada bangunan moderen, gardu jaga atau kandang burung. (lihat gambar 1.1) Demikian juga dalam corak pakaian adatnya. Oleh karena itu perlu melihat kedalam interior bangunan untuk melihat kesamaan, perbedaan dan perkembangannya (lihat bab II )


Gambar. 1.12 Tujuan yang hendak dicapai pada seni lukis Cina mirip dengan seni lukis bercorak seni Islam. Setiap bentuk, atau  keseluruhan bentuk mungkin mengindikasikan keserupaannya dengan kaligrafi Arab itu sendiri, yang maksud dan maknanya hanya diketahui oleh pelukisnya, dan yang lebih dihargai adalah yang menggambarkan ayat-ayat suci Al Qur’an..
Sumber. Dokumentasi penulis 2005

Banyak penelitian yang menganggap bahwa pakaian adat dan asesoris adat dapat dikategorikan sebagai bagian dari seni visual. Jika diteliti bagaimana  presentasinya, akan berbeda dengan budaya visual yang setiap saat dapat dilihat (tangible).

Jika kita cermati penyajian pakaian adat mirip dengan musik atau drama. Sebab seni jenis ini hanya muncul pada upacara adat, jadi seni ini dapat dikategorikan  sebagai bagian dari intangible. Sebab orang hanya dapat mengetahui penampilan seni seperti hanya pada saat upacara adat. Sama halnya sewaktu kita mendengarkan  musik yang hanya dapat didengar pada waktu dimainkan atau sebuah buku yang hanya bisa dibaca jika dibuka.

1. Seni Visual Minangkabau yang Abstrak

Seperti yang kita ketahui, berbagai kebudayaan di dunia  mengembangkan cara yang  berbeda sebagai refleksi kebudayaannya atau pikiran yang tercermin pada budaya visualnya. Misalnya, perbedaan cara pandang dan bahasa bentuk seninya, dapat dilihat

Gambar 1.13  Salah satu model pola geometrik seni ukir Minangkabau Sumber: Dokumentasi penulis (1998)
Gambar. 1.14 Anatomi ukiran tradisi Minangkabau menurut Ibenzani Usman (1985). Misalnya untuk menggambarkan sebuah bentuk binatang, bentuk itu disamarkan dalam suluran tumbuhan merambat.
Sumber: Dokumentasi penulis (1998)
sebagai perbedaan apresiasi seni. Seni Islam menolak untuk menggambarkan manusia dan makluk hidup karena ada keyakinan dan kepercayaan yang mengarahkan senimannya ke arah produk kreatif tertentu. 

Seni Cina misalnya, mengandalkan lambang-lambang kata atau tulisan untuk melukis yang disamarkan pada bentuk-bentuk tumbuhan atau objek yang dilukisnya di atas kain sutra.
Seperti yang dikatakan oleh Barnes (2002) seniman Cina umumnya melukis dengan hati-hati, dia dilatih atau terlatih untuk membentuk berbagai sapuan kuas di atas permukaan kain atau kertas yang memiliki keserupaan dengan kaligrafi Cina. Yaitu keahlian sangat dekat dengan seni kaligrafi, dan ini sangat dihargainya sebagai suatu yang bernilai.

 Dalam Seni Cina sapuan kuas tinta  individu justru memiliki makna tersendiri, yang sangat berarti. Setiap helain daun atau ranting kayu, atau bentuk keseluruhan batang kayu yang digambarkan mungkin mengindikasikan keserupaan bentuk tulisan Cina yang maknanya hanya diketahui oleh pelukisnya. jadi bukan sekedar suatu sapuan kuas untuk menghadirkan pokok materi, seperti Seni Barat

. Kemahiran dan apresiasi ini menunjukkan perbedaan penting dan mendasar bagi Seni Cina dan Seni Barat. Tulisan Cina sebagai suatu seni, di tetapkan sebagai  sesuatu yang sangat bernilai melebihi dari bentuk seni yang lain, dibandingkan dengan seni lukis seperti yang dipikirkan orang Barat, termasuk apresiasi terhadap  patung dan arsitektur. 

Bagi seniman Cina, tinta gosok dan kuas adalah bagian dari pada seni itu sendiri, sama halnya dengan, pelukis Barat yang beranggapan bahwa kuas, palet dan kanvas serta cat minyak sebagai bagian dari seni lukis mereka.
Gambar 1. 15 Ukiran “ Ayam Mancotok dalam Lasuang (ayam mematuk dalam lesung) Penyamaran bentuk pada ukiran tradisi Minangkabau.
Sumber: Dokumentasi Penulis (1998)

Jika kita lihat Seni visual tradisi Minangkabau, medium yang dipakai umumnya sangat terbatas. Diantara media yang dipakai yang umum adalah ukiran yang kemudian di pasang/dipajang sebagai bagian bangunan.  Seni ukir ini cendrung mengarah kepada seni yang abstrak dan geometrik, dimana kayu yang diukir dibagi menurut pola geometrik tertentu. Kemudian di dalam pola itu digambarkan binatang atau tumbuh-tumbuhan yang disamarkan. Karena tidak ada media khusus untuk mengungkapkan ekspresi seni, maka media ukiran, tenunan bisa saja dipakai untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Walaupun seni ukir tidak dapat dikategorikan sebagai seni murni (fine art). Disamping itu  terdapat anggapan bahwa media ini hanya untuk mengungkapkan ajaran adat, pendapat seperti ini tidak seluruhnya benar. Beberapa contoh gambar di bawah ini memperlihatkan hal itu

Gambar 1.16 Seksualitas (unsur manusiawi) menurut pandangan pengukir Minang jaman lampau yang disamarkan dalam bentuk ukiran dan kiasan (indeks dan simbol). Maksudnya sebenarnya sangat vulgar yaitu meregangnya penis dalam celana.

Sumber: Dokumentasi Penulis (1998)

Gambar 1.17 Ukiran Kuciang Lalok. Orang pemalas menurut pandangan pengukir zaman yang dilambangkan dengan kucing tidur (kuciang lalok) Visualisasi dalam bentuk yang abstrak dengan cara menyamarkannya  dengan bentuk tumbuh-tumbuhan.
Sumber: Dokumentasi Penulis (1998)

Gambar 1.18 Ukiran “kupang-kupang si awang labiah” .

Ukiran Kupang-kupang si Awang Labiah pada bagian Singok rumah gadang di Pariangan adalah contoh ukiran yang bermakna humanistik, dan bukan untuk menyatakan ketentuan adat. Ukiran ini adalah lambang seorang anak muda yang kaya, yang dianggap dapat membimbing dan membina istrinya di rumah gadang. Anak muda (si awang) yang memiliki harta (kupang atau kepeng), nantinya akan jadi calon menantu bagi penghuni rumah gadang.
Sumber: Dokumentasi Penulis (1998)

2. Budaya Visual Warisan Zaman Lampau dan  Refleksinya pada Masa Kini

Kesamaan-kesamaan yang ada dalam budaya visual umumnya adalah warisan dari zaman lampau bahkan dari mungkin dari zaman purba atau megalitikum (zaman batu besar)
Dengan melihat makna simbolisasi yang aslinya, Budaya visual Minangkabau seperti bentuk gonjong bangunan, bukanlah hasil budaya visual yang dibentuk kemudian setelah Islam masuk ke Minangkabau. ) Tetapi produk budaya era Hindu dan Budha.

Sebagai contoh, aturan gonjong mesti empat,  pembagian ruang yang empat buah pada rumah gadang, atau tonggak nan salapan,  adalah sisa dari budaya lama yang menggambarkan mitos lama seperti “hasta brata” (delapan sifat kepemimpinan atau dewa), yang direduksi di jaman Perpatih Nan Sabatang dan Dt. Ketumanggungan, menjadi delapan sifat kepemimpinan dan akhirnya direduksi menjadi empat sifat alam, selanjutnya “alam takambang jadi guru” dan segala sesuatu yang serba empat. Ada kata-kata kiasan yang mengatakan “Kalau indak tahu nan siampek inyo bukan urang minang” (kalau tidak tahu dengan yang serba empat, dia bukan orang minang) .  Maksudnya dalam berbicara atau berperilaku.

Gambar. 1.19 Huruf Jawa kuno yang dipakai pada prasasti Aditiawarman. Salah satu peninggalan artefak zaman Hindu Minangkabau.
Sumber: Dokumentasi Museum Adityawarman Padang.

Kalau kita teliti lebih cermat kesamaan bangunan Minangkabau, adalah akibat kemampuan teknologi dan seni yang dikuasai oleh para tukang, terutama kesamaan dalam membangun tonggaknya, jadi bangunan bukan dibangun semata oleh konsep-konsep keruangan yang ketat oleh adat.
Gambar. 1.20 Batu kubur, yang banyak ditemui di Balubus, sebuah nagari kabupaten 50 Kota. Contoh batu ini  dihiasi dengan motif hias tumpal, yang sekarang di Sumatera Barat dikenal dengan nama ”pucuak rabuang”. Perubahan nama ini adalah hal yang biasa sebagai nomenclatur bagi masyarakat sesuai dengan jamannya. Sumber: Dokumentasi Museum Adityawarman Padang .

Ukiran juga bukan semata oleh kehendak anak nagari tetapi tergantung siapa tukangnya dan asalnya dari mana. Seni visual Minangkabau umumnya pragmatis dan situasional. Fakta menunjukan bahwa tiap nagari tidak selalu tersedia tukang yang ahli dalam membuat rumah gadang dan biasanya didatangkan dari nagari lain, demikian juga tukang ukir. Keahlian tukang itu memang telah terbagi, terutama  keahlian dalam merangkai  tiang bangunan oleh tukang tuo teknologinya sama, pekerjaan lain seperti mendinding dan mengatap seperti yang dikemukakan oleh Syamsul Asri dalam disertasi (2004), diserahkan kepada tukang lain, pada waktu ini    peran tukang yang baru menyesuaikan bentuk bangunan  dinding dan atap dengan kebiasaan setempat.

Salah satu contoh adalah dalam menginterpretasikan adanya  aturan adat yang mengatur bangunan bercorak Koto Piliang beranjung dan Bodi Chaniago yang tidak beranjung adalah contoh interpretasi yang dibentuk kemudian dan mungkin keliru.  )
Sebuah aturan adat terbentuk bukan hanya dalam mitos atau ucapan, tetapi oleh internalisasi kebiasaan yang menerus secara faktual. Jadi kita harus juga dilihat bagaimana sebuah instituonalisasi (kelembagaan) itu terbentuk oleh manusia, termasuk adat dan disebut tradisi.

Misalnya budaya non-visual seperti pidato adat, nyanyian, musik, kelangsungan dan tendensi tradisi budaya ini sangat jelas. Unsur kejiwaan manusia Minang lebih jelas dan nampak dipakai sebagai alat ekspresi  internal jiwa orang Minang pada seni jenis ini. Oleh karena itu bisa saja ada pendapat bahwa bahwa budaya intangible Minangkabau lebih menonjol daripada budaya  visualnya. Jika ingin mengetahui seni dan budaya Minang sebenarnya bisa dipandang dari cara berfikirnya, sastranya, pidato adatnya atau nyanyiannya.

Sebaliknya, jika digali makna budaya visual  Minangkabau yang ada sekarang dalam perspektif yang asli. Maknanya justru bukan hasil pemikiran manusia Minang  masa kini, tetapi hasil dari kerangka pemikiran budaya masa lalu, yang diduga membidani kelahiran budaya visual ini. Jadi bukan dari konsep pemikiran dan ekspresi seni yang tumbuh kemudian, misalnya konsep tigo tungku sajarangan, adalah produk selepas perang Paderi akhir abad ke 19, atas konflik kaum adat dan agama yang disebut dengan Perjanjian Marapalam

Gambar 1.21  Bagian belakang dan depan rumah gadang di Sulit Air
Dinding depan bangunan rumah gadang umumnya berukir pada bagian depan, (kanan), sedangkan bagian belakang hanya dari jalinan bambu (sasak bugih). Sumber: Dokumentasi penulis 2004

Gambar 1.22 Rumah gadang Dt. Kayo di Kapalo Koto Nagari Pariangan.
Pada daerah tertentu yang jalannya menurun atau mendaki, posisi rumah gadang yang sejajar jalan, maka  bagian samping bangunan lebih penting untuk diukir, karena lebih jelas melihatnya dibanding dari depan.
Sumber : Couto, Nasbahry. Hasil Penelitian  1998

Kajian psikologi terutama psikologi persepsi khususnya  estetika sosial mungkin dapat menerangkan bahwa bangunan rumah gadang adalah pantulan psikologis keinginan wanita yang ingin kelihatan “rancak” atau indah. Hal ini diutarakan dengan ungkapan ukiran bangunan yang hanya pada bagian depan bangunan.
Istilah rumah gadang (besar) oleh Usman (1985), dalam disertasinya yang disebut dengan “lambang kebesaran suku”, secara psikologis sebenarnya adalah cerminan jiwa wanita yang menginginkan rumahnya menonjol sebagai eksitensi sukua dan keturunannya. Atau ingin menonjolkan kelebihan mereka dibanding orang lain. Memang dapat menjadi pertanyaan kenapa bangunan itu hanya di ukir di bagian depan saja dan kenapa bagian belakang tidak.
Dan bisa juga jadi pertanyaan, kenapa balai adat sebagai daerah laki-laki, menunjukan kelebihan ukirannya dengan mengukir seluruh tubuh balai adat secara berlebihan ketimbang rumah gadang sebagai daerah wanita.
Ukiran pada bagian depan rumah gadang dapat ditafsirkan sebagai pantulan jiwa wanita yang ingin kelihatan cantik, megah pada bagian tertentu dari tubuhnya, terutama bagian bibir atau wajahnya.

Dari sisi lain kajian sosio-antropologi dan psikologi sosial, bisa menerangkan adanya sisa budaya pamer yang berasal dari era primordial, budaya ini disebut  adat “potlach”, atau adat pamer yang berasal dari kultur agraris. Adat potlach ini adalah keharusan yang tidak tertulis untuk memamerkan hasil keahlian atau kekayaan pada upacara-upacara adat tertentu seperti pada perkawinan. Pada upacara-upacara adat inilah dipamerkan berbagai kepandaian, seperti kepandaian berpidato adat, pakaian hasil buatan sendiri, atau kekayaan emas perak dan keahlian bersilat atau memasak makanan  )

Adat pamer ini kemudian berubah sesuai dengan perjalanan waktu menjadi pasar tradisional dimana dipamerkan sekarang adalah hasil panen atau hasil teknologi tradisi. Pasar ini menjadi alat komunikasi sosial dalam bentuk hubungan ekonomi dalam pertukaran barang dan uang. Tradisi ini masih nampak pada masyarakat Minangkabau kontemporer, dimana pada hari-hari tertentu kita jumpai pasar tradisional yang disebut pekan (pakan atau balai ). Dan ada pula nagari atau desa yang dinamai Pakankamis, Pakansalasa sebab pasarnya hari kamis atau selasa atau balaikamih atau balaisalasa. Balai artinya tempat berkumpul

Ironisnya, sekarang justru yang dijual di pekan-pekan adalah produk industri yang berasal dari luar komunitas. Para ahli budaya dan juga pemerintah serta DPRD  mungkin tidak  mengkaji pasar tradisional ini secara serius sebagai bagian budaya materi atau budaya visual. Bisa saja ada aturan bahwa pasar tradisi tertentu hanya boleh menjual barang produk lokal, sehingga dapat meningkatkan industri lokal dan ekonomi lokal, dari pada membanjirinya dengan produk luar. Sedangkan arsitektur dapat berlomba untuk mengkaji bangunan yang mudah bongkar-pasang dengan harga murah dan terjangkau untuk memfasilatasinya dan dari bahan serta arsitektur lokal.

Dari segi morfologi bangunan dan teknologi membangun seperti kajian Asri, Syamsul (2004) memperlihatkan evolusi bangunan dari bentuk sederhana ke bentuk yang dikenali sekarang, dan perubahan besar denah bangunan yang disesuaikan dengan kebutuhan terkini.
Bangunan atap gonjong awalnya lebih rendah, kemudian lebih tinggi dan runcing akibat mudahnya memberi bentuk runcing dengan bahan seng yang datang kemudian di jaman kolonial dibandingkan dengan bahan ijuk yang lama.Budaya Minang bukanlah dibentuk oleh budaya urban yang lebih berdasar kepada logika dan pemikiran, tetapi hasil budaya rural yang pragmatis dan situasional, dan kadang terlihat sebagai vernakular,  sebagaimana budaya rural lainnya di dunia yang dalam beberapa hal memiliki kemiripan. Cuma saja generasi anak-cucu Minangkabau yang tumbuh dikemudian hari berusaha  memamerkan  hasil kebudayaan ini sebagai sesuatu yang unik dan mereka menyeretnya menjadi bagian dari budaya urban. 

Beberapa Catatan

Tulisan ini berusaha menggambarkan apa yang ada sesuai dengan dasar pengetahuan penulis.Tulisan ini seakan-akan menggambarkan sisi negatif dari orang Minang. Sebaliknya penulis berpendapat lain. Orang Minang adalah orang yang ulet, gigih dan sangat banyak berhasil baik dibidang seni, ilmu pengetahuan, organisasi maupun perdagangan. Jika ditanya apa sebabnya, jawabannya bukan karena mereka banyak makan cabe atau rendang. Beberapa jawaban dari pertanyaan di atas sudah bisa dijawab sendiri. Salah satunya adalah kenyataan bahwa orang Minang  cendrung jadi pemikir karena selalu berada dalam situasi yang kritis dalam hidupnya (budaya konflik).  Dan ini adalah salah satu pendorong untuk maju yang tidak dimiliki suku lain di Indonesia.

End Note
  1. Sejarah sosial masa lalu masyarakat Minangkabau tidak pernah memperlihatkan menjadi sebuah kerajaan yang besar yang mapan. Kalaupun kerajaan itu ada. Raja hanya sebagai simbol, eksistensi kebudayaan Minangkabau hanya dalam sistem suku, dan sistem pemerintahan nagari yang sering dianggap demokratis. Sejarah sosial Minangkabau jarang berumur panjang. Hal ini mungkin menyebabkan kurang terlihatnya karya-karya seni visual yang monumental
  2. Mursal Esten (1983) sampai pada kesimpulan, bahwa tradisi Minangkabau ada pada perubahan itu sendiri, terutama moderenisasi yang diperolehnya atas pergaulannya dengan bangsa lain, misalnya di zaman kolonial. Bahasa Minang misalnya bukanlah bahasa yang dikembangkan dari sebuah dialek daerah. Bahasa Minang yang ada sekarang dianggap orang adalah bahasa pergaulan para  intelektual Minang semasa Sekolah Raja jaman Belanda di kota Bukittingi dahulu
  3. Untuk lebih jelasnya lihat Naim, Muchtar, dkk (2002), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau, Padang, Yayasan Citra
  4. Istilah budaya visual di Barat dikembangkan semasa akhir abad ke -20, lihat Berger, Lacan  dsb. Sebagai perkembangan lajut dari cara  memahami  material culture dan tangible culture
  5. lihat. Amran, Rusli, (1981), Sumatera Barat Hingga Plakat Panjang,
  6. Nakamura adalah seorang peneliti Urban Planning dari Kyoto Institut of Technology, yang meneliti tentang pembagian ruang konsepsional masyarakat Minangkabau, beliau banyak mendiskusikan hasil penelitiannya dengan penulis untuk disertasi doktoralnya antara tahun  2001-2002.
  7. Lihat A.A.Navis, Alam Takambang Jadi Guru, dijelaskan oleh A.A.Navis bahwa anak perempuan yang telah kawin dan  kaya dalam sebuah rumah di Minangkabau adalah sumber kecemburuan  sosial bagi anak perempuan lain yang telah kawin pula tetapi miskin, ruang –ruang dalam rumah akan dipenuhi oleh perabot bagi yang kaya dan menimbulkan konflik teritorial. Anak perempuan tertua bisanya akan jadi calon pemimpin dalam rumah gadang yang dianggap sebagai “bundo kanduang’ (bundo). Tetapi sering terjadi anak yang tinggal di rumah gadang bukan anak yang tertua, tetapi anak yang rajin mengurus sawah-ladang, karena bakatnya atau karena  pendidikannya rendah, posisi bundo otomatis jatuh kepadanya. Apabila saudara-saudaranya tidak pernah akur satu sama lain, dapat dibayangkan penderitaan bundo kanduang (limpapeh rumah gadang) imajinatif ini, dalam menyelesaikan konflik internal dalam rumah gadang terutama jika dia bodoh dan kurang berpendidikan.
  8. situasi seperti ini bisa saja terjadi, seperti perasaan generasi baru Minangkabau pergi ke desa-desa, yang memandang sisa budaya lampau seperti seorang pelancong memandang objek wisata. Karena jauhnya distansi budaya lama dengan yang baru
  9. Penelitian gender di Barat, sampai pada kesimpulan bahwa seorang desainer perkotaan seharusnya wanita, hal ini dapat dipahami karena bangunan-bangunan adalah untuk wanita, dan nilai artistik lebih dicermati oleh golongan ini dibandingkan laki-lakii. Dalam pikiran orang Barat, yang membagi kata (bahasa) berdasarkan jenis kelamin maka di Jerman Arsitektur adalah termasuk kata perempuan
  10. Belum ada bukti tertulis  bahwa budaya Minang  memiliki aturan terperinci tentang tata atur teritorial penggunaan tanah, misalnya sistem pengairan tradisi Subak di Bali, atau buku pedoman tentang bagaimana  bangunan Joglo tradisional Jawa dibangun dengan aturan “Petungan”. Jadi harus dikembalikan kepada peran gender sebagai akibat matrilineal
  11. Konflik antar suku yang besar dan berdarah baru-baru ini adalah  antara suku dan kaum orang Saningbakar dan Paninggahan di wilayah Kabupaten Solok ( Padang Ekspres . 2008). Konflik antar suku ini sering terjadi di kota Padang akibat bergesernya kepemilikan tanah milik suku kepada milik pribadi melalui sertifikat tanah.
  12. Istilah merantau oleh Muctar Naim, lebih ditujukan kepada golongan laki-laki, dan kajian ini masih terfokus kepada fenomena strata sosial, khususnya posisi anak laki-laki yang lemah  kedudukannya dalam komunitas. Sebenarnya dorongan merantau itu bisa saja oleh golongan perempuan. Hal ini mungkin tidak diikutsertakan dalam kajian Muchtar Naim. Secara psikologis sang ibu dalam rumah gadang tidak akan membiarkan seorang anaknya menderita oleh anak lainnya, kasih-sayang ibu umumnya terbagi sama. Solusi yang dikeluarkan oleh ibu, antara lain untuk mendorong anaknya keluar dari rumah gadang dan merantau. Dalam karya sastra keretakan keluarga komunal  seperti ini sering digambarkan misalnya dalam karya novel atau cerpen lokal atau di surat kabar
  13. Contoh balai batu ini dapat dilihat sisia-sisanya di nagari Sulit Air atau Saning Bakar di Solok, yang terdiri dari tempat duduk  tanpa susunan yang jelas, tetapi ada batu yang lebih ditinggikan untuk pemimpin rapat di bawah pohon beringin atau di lapangan. Tempat Balai batu ini tersebar di beberapa tempat di sekeliling nagari,  jaika ada 5 nagari di sekitar komunitas, maka ada 5 tempat  balai batu yang gunanya untuk menyelesaikan perselisihan dengan nagari itu dengan nagari lain di sekitarnya.
  14. Komunitas lapau itu bisa dilihat dalam pengetian lama atau baru. Dalam pengertian lama lapau adalah warung yang ada di kampung. Dalam bentuk baru lapau moderen adalah tempat berkumpulnya warga kota di ruang-ruang publik seperti hotel atau restoran. Restoran atau rumah makan di Kampung Cina Padang terkenal sebagai tempat berkumpul mereka. Untuk pengangkatan siapa yang akan menjadi gubernur atau walikota, bisa saja diputuskan dalam komunitas ini, karena ada saja diantara mereka yang memiliki akses untuk berbagai urusan diantaranya masalah politik
  15. Aliran seni lukis yang berkembang adalah seni lukis naturalisme, tokohnya adalah Wakidi, corak lukisan seperti ini masih diminati sampai sekarang.
  16. Mungkin hal ini disebabkan kehidupan itu sendiri bukanlah sesuatu yang menarik bagi orang minang laki-laki, dan beberapa pelukis wanita justru menunjukkan kecendrungan sebaliknya, mungkin karena faktor gender. Lih. Mustika, (1993),  Tokok-Tokoh Pelukis Indonesia, Jakarta Dinas Kebudayaan DKI
  17. Lih. Naim, Muchtar, dkk (2002), Menelusuri Jejak Melayu-Minangkabau,Padang, Yayasan Citra, hal. 57. Karangan tentang orang Melayu, khususnya Minang dimata orang asing, oleh tulisan M.Nur
  18. Mengenai ini baca tulisan Michael Dufference, tentang  kebudayaan dan sikap masyarakat  Asia dan Afrika setelah merdeka dan terbebas dari kolonialisme
  19. Diskusi tentang peranan gender antara penyiar dengan pendengar, dalam acara siaran pagi Radio Padang FM, 14 –Juni 2008. Islam telah dijadikan politik, kata seorang pembicara wanita yang tidak suka dengan pembicara lain yang bahkan telah membuat sebuah badan usaha untuk melayani orang untuk berpoligami.
  20.  Ilmu pengetahuan tradisional  seperti ilmu silat, pengobatan, urut,  termasuk pusaka budaya yang tidak terlihat yang kelestariannya selalu terancam jika tidak didokumentasikan. Budaya tangible adalah budaya yang kehadirannya bisa dilihat sepanjang waktu, arsitektur, seni rupa, ukiran, benda-benda artefak adalah pusaka budaya yang terlihat. Tangible cultural heritage terancam kepunahannya  hanya atas aksi manusia dan sosial, kedudukannya lebih kuat dari  yang pertama.Lebih lanjut perkembangan terkini dibidang lintas bidang ilmu budaya pada akhir abad ke 20,  budaya tangible yang dimaksud diatas  dapat pula dilihat pula sebagai budaya visual (visual culture) (Berger, Lacan, dsb) walaupun sampai sekarang para ahli masih berdebat bahwa budaya visual itu hanya terbatas sebagai alat analisis untuk produk multi media seperti filem, kartun, animasi, video dan Web Design dsb,.
  21. Hasil penelitian Nasbahry Couto, (1996), Thesis S2 ITB.( Institut Teknologi Bandung)  Tentang  Kajian Ukiran dan Bangunan Tradisi Minangkabau , suatu Kajian Semitoka.
  22. Dalam awal pidato adat yang asli, selalu dibuka dengan intro “ Samulo adat nan salapan, nan ampek tingga di langik, nan ampek lai turun ka Minangkabau nanko. Nan ampek di langik aso bulan, duo mantari, tigo timua, ampek salatan. Sawah gadang, banda buatan, rumah gadang,  kubuang bapereng” Tafsiran yang serba delapan dapat dipahami sebagai hasil reduksi  “hasta brata”. Tetapi makna dua ke utara dan dua ketimur ini  inya masih diliputi kerahasiaan sampai sekarang. Aso bulan dapat ditafsirkan bahwa sistem kekerabatan Minangkabau dimulai dari ibu (bulan). Timurd an selatan mungkin menjelaskan hubungan budaya Minangkabu dengan Cina (timur) dan Jawa (Selatan)
  23. Penelitan Syamsul Asri (2004) untuk disertasi S3 membuktikan dari lebih kurang 300 rumah gadang yang diteliti, di Kabupaten Tanah Datar hanya ditemukan 5 yang bercorak bangunan beranjung dan 4 diantaranya adalah ada di Limo Kaum sebagai pusat adat kelarasan Bodi Chaniago, bukan kelarasan Koto Piliang. Kesalahan interpretasi ini dimulai dari hasil penelitan Kerja Lapangan Mahasiswa ITB jurusan arsitektur tahun 1979 yang diketuai oleh Revisionay.Z.Jamal. (Riza.Z.Jamal) bersama dengan dosen pembimbingnya Ir.Ismet Darwis. Hasil penelitian ini kemudian dimasukkan oleh A.A.Navis kedalam bukunya (1984), Alam Takambang jadi Guru. Kemudian tulisan ini dirujuk oleh penulis lain sebagai hal yang benar, terjadilah kesalahan interpretasi yang berantai. Kesalahan ini diperkuat oleh mode bangunan baru yang ditonjolkan oleh steakholder lain dan instansi pemerintah yang membangun museum atau kantor yang  bercorak beranjung  sebagai modelnya.  Hasil KKL anak ITB , dan buku A.A.Navis ini sering dirujuk oleh  calon kandidat S2 dan S3 di berbagai PT dalam dan luar sebagai hal yang benar.
  24. Mengenai adat potlach ini baca karangan Duivendaak, tentang Etnologi, yaitu hasil penelitian paling awal tentang budaya nusantara oleh peneliti asing  di Indonesia

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting