Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 12 Januari 2011

Sebuah Pembelajaran tentang Desain Arsitektur: Pengembangan Ide ke Konsep Grafis

Oleh: Harmaini Darwis & Nasbahry Couto
Uraian ini membahas tentang  bagaimana konsep ditumbuhkan dibidang arsitektur yaitu mulai  dari masalah ide  konsep grafis,  kreatifitas di bidang arsitektur, pembentukan  konsep dalam kebudayaan; pembentukan konsep pada seni, desain dan arsitektur; memahami  hirarki  konsep; berpikir lateral dalam  merancang arsitektur; aplikasi berpikir lateral dalam  merancang arsitektur; perumusan konsep arsitektur model william Pena. Uraian ini adalah sebagai pengantar kepada metodologi perancangan. Uraian ini adalah cuplikan buku Konsep untuk Desain Arsitektur: Bahan Ajar untuk Teori Arsitektur yang ditulis oleh kedua penulis tahun 2010.
Kreatifitas di Bidang Arsitektur
Penciptaan adalah kata kerja, yang asal katanya cipta (kata sifat), sesuatu yang diciptakan (kreasi) sebagai kata benda, yaitu hasil upaya untuk menghasilkan sesuatu bangunan, yang mungkin berbeda dengan bangunan yang lama, atau yang pernah diciptakan sebelumnya.
 
Gambar Lukisan Thomas Cole, 1836, pelukis Amerika yang berjudul “The Consumtion of Empire”. Kemunculan karya lukisan romantik di Amerika setelah perang saudara Utara dan Selatan tidak terlepas dari fenomena sosial saat itu yang ingin memerlihatkan kebesaran Amerika, kerinduan akan  negara yang kaya dan impian-impian seperti zaman Yunani Klassik. Lukisan ini menunjukkan kreativitas pelukis berdasarkan hal-hal yang terjadi  di masa lampau.

Pengulangan karya lama disebut dengan reproduksi, peniruan atau ciplakan. Karya arsitektur ada yang jatuh kepada penciplakan oleh karena itu sedapat mungkin menghindar dari penciplakan. Jika tidak maka jasa arsitektur tidak diperlukan, karena cukup dengan pengulangan-pengulangan karya yang sudah ada.Banyak orang yang tidak menyadari bahwa dunia arsitektur adalah dunia kreatif sama halnya dengan bidang seni (art) lainnya seperti menciptakan patung atau lukisan, musik, nyayian atau puisi. Ada beberapa prinsip dari penciptaan karya arsitektur yang memiliki kesamaan dengan bidang lainnya, misalnya diciptakan melalui gambar-gambar desain, yang kemudian dipakai sebagai pedoman untuk membangun. Dalam membicarakan karya arsitektur  ada dua orientasi antara lain berikut ini.
  1. Karya arsitektur yang dapat dilihat (nyata), dalam bentuk ruang, dapat di raba, dipegang (tangible). Berbeda dengan musik atau puisi dan nyanyian atau teater. Karya itu tidak dapat dipegang  dilihat wujudnya (intangible) secara terus menerus, karya ini dapat lenyap dari pandangan dan  hanya muncul jika ditampilkan.
  2. Karya arsitektur yang tidak nyata adalah karya dalam bentuk  konsep-konsep desain arsitektur. Konsep ini lahir dari gagasan arsitek baik dalam bentuk uraian maupun dalam bentuk grafis.
Oleh karena karya arsitektur yang nyata itu lahir dari konsep-konsep desain. Yang jadi pertanyaan adalah bagaimanakah gagasan asitektur itu dikembangkan, dan gagasan ini dianggap penting untuk berkreasi. Namun di luar itu semua, yang lebih penting  lagi adalah bagaimana calon perancang berpikir kreatif dalam menemukan gagasan sendiri, dibandingkan dengan pola berpikir yang hanya tertuju kepada satu arah, yaitu tersedianya  model konsep atau model bangunan yang akan di tiru.

Gambar Kreativitas   bukanlah hasil alamiah semata tetapi memerlukan intervensi yang sistematis dari lingkungan. Anak-anak pra-sekolah di Amerika sudah dikenalkan dengan komputer. Hal ini berguna sebagai landasan pendidikan anak agar setelah dewasa kreatif  di bidang   pengetahuan  dan aplikasi komputer.




Pembentukan  Konsep
Banyak ahli yang sependapat bahwa pembentukan  konsep itu sudah berlangsung lama dan hal ini dapat dilihat pada pembentukan konsep pada kebudayaan-kebudayaan manusia paling awal.
Misalnya, pada masyarakat primitif, karena ilmu dan bahasa pendukungnya belum berkembang akan terdapat banyak nama (label) benda diberikan oleh manusia primitif. Cassirer seorang ahli budaya  mencontohkan pembentukan label di masyarakat nomad di Arab. Pada masyarakat ini menurutnya terdapat banyak nama unta, tetapi belum ada klassifikasi tentang  unta. Di masyarakat Eskimo (kutub Utara) yang primitip, ada ratusan nama es. Bagi manusia  modern  hanya dikenal beberapa jenis es saja yang sudah terklassifikasi.
Jadi perbedaan pemberian label pada masyarakat primitif dan  modern  adalah sifat alamiah dan ilmiah dari pemberian label itu. Pada masyarakat primitif, benda dan bagian benda dipakai  sebagai alat komunikasi menggantikan bahasa. Hal ini dibuktikan dengan saratnya arti (makna) pada bagian benda atau objek dalam kesepakatan masyarakat tradisional, misalnya pada bangunan tradisional.




Gambar bagan. Kecenderungan  pemberian label pada masyarakat primitip dan  modern.







Van Peursen & Hortoko, Prof.Dr.C.A.Dick, 1976, dalam bukunya Strategi kebudayaan, menjelaskan beberapa tahap budaya manusia sebagai berikut. 

a)    Tahap budaya  mitis.
b)    Tahap budaya ontologis.
c)    Tahap budaya ontologis substansialis.
d)    Tahap budaya fungsional.

Tahap budaya mistis. Cirinya adalah manusia tidak berjarak dengan benda, manusia di kuasai oleh alam. Mistis, magi, mitos lahir sebagai upaya manusia primitif untuk menerangkan gejala alam yang tidak dipahaminya.  Magi  dipakai sebagai usaha untuk menguasi objek alam. Pembentukan kepercayaan, agama, dan mitos primitip. Manusia memberikan label terhadap objek sesuai dengan pengamatannya itu, yaitu berdasarkan penyatuan alam dengan dirinya, dan tindakannya. Mantera-mantera secara lisan diucapkan berfungsi untuk menyatukan diri dengan  alam di luar diri manusia.


Tahap ke dua disebut tahap ontologis. Cirinya adalah, manusia mulai mengadakan jarak terhadap objek (lingkungannya). Dengan adanya jarak,  manusia semakin kritis dan bertanya tentang yang dilihatnya, memberinya label, semakin banyak diketahui semakin banyak pula  membutuhkan la-bel baru atas temuannya itu. Dengan ciri, sifat, karakteristik objek (ontologi) benda itu.


Tahap ke tiga disebut tahap ontologi substansialis. Manusia menyusun objek-objek dengan lebelnya dalam bentuk substansi dan sebuah sistem, yang melahirkan ilmu atau pengetahuan (ontologi substansialis), kemudian pembentukan label-label ilmiah melalui, logika, logik yaitu mengikuti jalan pikiran, kebenaran, lawan nonlogic misalnya beberapa bentuk pengetahuan dapat dikembangkan melalui  analisis, yaitu pemisahan, pemeriksaan. Sintesis yaitu penyatuan dan pengelompokan. Definisi yaitu ketentuan, ketajaman. Klassifikasi yaitu pembagian, penggo-longan. Kategorisasi yaitu kelompok, golongan, dan sebagainya. Tahap ini disebut dengan tahap pengembangan ilmu yang akan melahirkan pendapat, teori, filsafat, ilmu dan sebagainya (informasi).


Tahap budaya keempat adalah  di mana manusia hanya mementingkan aspek fungsi (kegunaan), karena serbuan informasi, manusia kurang atau tidak lagi mengacuhkan makna label. Artinya manusia  modern  akan sangat pragmatis dan individual dalam menggunakan label tetapi tanpa makna yang mendalam. Label dan makna seperti dalam masyarakat tradisional menjadi kurang penting dibanding objeknya sendiri yang dirasakan.

Pada tahap budaya fungsional, manusia memfungsikan segala sesuatu, objek alam atau benda tidak  lagi dilihat dengan rasa takut seperti pada tahap mitis. Objek alam tidak  dipandang se-agai sesuatu yang bermakna kaku, kecuali sebagai pengetahuan dan definisi tertentu yang pasti, dan itupun jika diperlukan. 


Contoh, kartu penduduk, fungsinya menggantikan orang. Orang lebih percaya kepada kartu penduduk atau pasport yang menggantikan orang yang memiliki kartu itu. Nilai manusia menjadi lebih rendah  dari pada  benda yang menggantikannya. Orang lebih percaya pada data komputeri-sasi dari pada realita yang, yang telah digantikan oleh lambang-lambang abstrak data komputer itu, sebab data itulah kenyataan yang dihadapinya.


Orang lebih percaya kepada yang dirasakan langsung (fungsional), dari pada yang tidak langsung dirasakannya. Misalnya dalam hal kata-kata cinta, dan kasih sayang sekarang kata-kata itu dapat kehilangan makna. Cinta tidak lagi dilihat dari makna romantik dan etik/moral seperti hubungan wanita, pria, gadis, istri, suami, tetapi oleh hubungan langsung yang dirasakan. Dalam situasi ini orang  dapat kehilangan makna yang disebut negara, kampung, tempat kelahiran, asal-usul dan jati diri. Karena yang penting adalah yang dirasakan langsung sebagai milik sendiri (fungsional) saat ini.

Label wanita, pria, bapak, ibu (dahulu bermakna tertentu dan dihormati), sekarang yang penting fungsinya, misalnya sebagai sponsor, teman, kawan, kalau perlu orang tua diberi label baru, misalnya ortu, bokap dan nyokap dan sebagainya secara bebas tanpa makna, artinya hanya sekedar merek/tanda. 


 
Pada masyarakat moderen, label produk atau benda diartikan sebagai  gaya hidup (life-syle) yang berubah-ubah, pada masyarakat tradisi dihubungkan dengan makna yang tetap (konvensional). Kiri model pakaian  tradisi, yang diartikan sebagai makna tertentu yang tetap.

Label produk atau benda diartikan hanya sekedar untuk gaya hidup (life-syle), bukan  makna seperti masyarakat tradisional. Benda dan gaya ini digunakan untuk membedakan kelas-kelas sosial dalam masyarakat. Dengan demikian masyarakat akan terlihat semakin materialistis.

Pada tahap fungsional, konsep konsep arsitektur lebih diutamakan yang berkaitan dengan fungsi. Ruang dilihat dari label label seperti: sebagai fungsi ruang keluarga, ruang makan, ruang tidur, tempat belajar atau rekreasi. Ruang ruang diberi label baru dalam konteks antropometris, prok-semik (jarak individu) dan jarak sosial (social environment), yang dahulunya tidak ada. Ruang dan bentuk diberi fungsi baru karena ada kegiatan dan cara hidup yang baru pula.

Jika pada tahap pengembangan budaya informasi/konsep bentuk dan ruang itu dikukuhkan/pasti dengan makna tertentu. Pada tahap berpikir budaya fungsional label dapat berubah rubah tergantung kondisi (sifat kreatif) lawan dari sifat kaku pada tahap ontologis substansialis. Misalnya, rumah tradisional jadi museum. Rumah kediaman jadi restoran, label dan fungsi berubah ke arah yang fungsional. Pada bangunan  modern, label-label menjadi relatif, bangunan dengan multi label kantor, hotel, sekolah, tempat makan dapat diganti ganti pada satu gedung yang sama. Manusia  modern  lebih mementingkan konsep ruang dan fungsinya. Makna-makna lama hanya dipandang sebagai mitos, sebab tidak berlaku (berfungsi) lagi.


Pemikiran arus balik dari hal ini adalah timbulnya berbagai peraturan untuk sebuah pengukuhan bentuk dan ruang hidup. Hal inilah salah satu penyebab, bergesernya masalah arsitektur ke masalah perkotaan dan urban-design atau masalah sosial, yang digunakan untuk menata kembali agar terdapat keseragaman dan peruntukan fungsi dan label bangunan. Misalnya  tipologi bangunan hotel berbintang, tipologi rumah sakit dan seterusnya.


Budaya  modern, bahkan post-modern, harus dilihat secara positif sebagai evolusi pikiran manusia yang tidak dapat dihambat dan tidak ada batasnya. Namun penciptaan benda baru dengan fungsi baru telah melebihi kebutuhan dan kodrat manusia. Manusia telah memanjangkan jangkauan telinga, mata, kaki dan semua anggota tubuhnya, akan menyebabkan ketidakstabilan diri sebagai manusia.


Salah satu contoh adalah perpanjangan mata melalui TV, internet, dan komputer menyebabkan manusia hidup dan terjebak dalam dunia simulasi yang lepas dari kenyataan sekitarnya. Manusia berada dalam situasi “hiper”, yaitu “hiper-communication” Penggunaan ekstasi adalah salah satu efek samping  di mana manusia menginginkan jangkauan imaji yang melebihi kodrat alamiahnya. Dalam keadaan ekstase, manu-sia merasa lebih dari orang lain. Manusia    modern  telah terjebak dan terpolusi dengan label informasi yang diciptakannya, tanpa dapat dihentikan. Dalam situasi ini salah satu jalan keluarnya adalah berpikir positif dan kreatif (lih.bab tentang kreatifitas).


Pembentukan Konsep pada Seni, Desain dan Arsitektur


  • Fakta harus dibedakan dengan konsep (concept), aturan (rule) dan prosedur (procedure). O.Coldeway dan Gerald W.Faust (1976).
  • Konsep adalah ide atau pengertian yang diabstrakkan dari peristiwa nyata, atau gambaran mental dari objek, proses, atau apapun yang ada di luar bahasa, yang digunakan oleh akal budi untuk memahami (KBBI. 1989).
  • Tugas perancang, adalah menyusun sesuatu usulan desain yang komunikatif efektif ditangkap oleh penerima. Usulan-usulan atau "konsep-konsep" perencana, pada dasarnya adalah semacam 'petunjuk", instruksi. atau pedoman bagi penerima, atas tujuan-tujuan yang hendak dicapai bersama (Wayne O.Attoe, 1979).
  • Konsep berbeda artinya dengan teori, karena teori adalah asas atau dasar hukum bagi ilmu tertentu (KBBI, 1989: 932).


Konsep Sebagai alat Komunikasi dan Instruksi (Teori sistem Instruksional)

Menurut Dan O.Coldeway dan Gerald W. Faust (I976), ahli desain lnstruksional (Design lnstructional), bahwa komunikasi dan interaksi manusia umumnya berada dalam suatu sistem instruksi. Di mana terlihat adanya pihak yang memberi dan pihak yang menerima instruksi (pesan). Dalam memberi dan menerima instruksi itu. interaksi berlangsung dalam bentuk mengingat (remember) dan menggunakan (use) konsep konsep. Jadi untuk Lebih jelasnya, dalam proses interaksi itu manusia menerima dan memberikan instruksi dengan menggunakan bahasa verbal maupun lisan. Ada dua sifat dari pesan (instruksi) yang ingin disampaikan itu.

a)    Sifat yang pertama bahwa pesan itu dapat diingat (remember).
b)    Sifat yang kedua adalah pesan itu dapat dipakai (use) untuk sesuatu.

Bentuk bentuk instruksi itu (pesan) menurut Coldeway ada empat macam. yaitu instruksi yang berbentuk fakta, konsep, aturan dan prosedur. Masalah ini digambarkan oleh Coldeway (1976), pada gambar bagan .

Oleh karena itu, sistem instruksional harus jelas dalam bidang-bidang tertentu misalnya militer, kalau tidak dapat berbahaya. Dalam pendidikan  terjadi hal yang sama, misalnya yang diajarkan adalah aspek prosedur, tetapi dalam ujian yang ditanyakan adalah aspek konsep. Dalam hal ini yang dirugikan adalah mahasiswa.
  1. Instruksi mengenai fakta (fact), adalah pesan mengenai objek-objek faktual, misalnya gambaran mengenai realitas. Pesan itu disampaikan dalam bentuk bahasa atau label tertentu mengenai realitas itu. Jadi terlihat bahwa tindakan manusia dapat mulai dari memahami fakta-fakta, atau kejadian baik secara visual maupun secara verbal.
  2. Instruksi mengenai konsep-konsep (concept), yaitu pesan yang disampaikan tentang sesuatu, untuk memahami sesuatu berdasarkan kategori, klassifikasi. Umumnya yang dikatakan konsep adalah kategori tentang sesuatu, misalnya rumah batu, gedung, indah, dsb. Konsep adalah rumusan mengenai fakta-fakta itu dalam bentuk kategori tertentu.
  3. Instruksi mengenai aturan (rule), misalnya dalil-dalil, hukum atau teori, prinsip-prinsip dalam melakukan sesuatu, atau prinsip yang berlaku pada sesuatu objek, manusia, kelompok manusia, karya manusia dsb. Rule sebagai pengatur terlihat sebagai prinsip-pinsip yang harus dipatuhi, asas -asas, dalil-dalil, hukum, aksioma, patokan, konvensi, konvensi, adat dsb. Pada da-sarnya rule adalah pengatur konsep dan prosedur, dan dapat  sebagai kendala, misalnya grafitasi bumi, pengatur prosedur kerja dsb. 
  4. Instruksi mengenai prosedur (procedure), adalah pesan yang disampaikan untuk memerlihatkan tatacara atau melakukan sesuatu. Dalam hal ini adalah  metode  atau tahapan kerja. Prosedur adalah sebagai pengatur objek fisik seperti bahan, alat,  metode  kerja, teknologi, ketrampilan yang dibutuhkan. Prosedur ini akhirnya menghasilkan sesuatu objek misalnya desain bangunan atau bangunan nyata.


Gambar Bagan Sistem instruksional, diadaptasi dari O.Coldeway dan Gerald W.Faust (1976)


Dalam rangka instruksi ini terdapat peluang untuk timbulnya masalah bahasa verbal, sebab untuk mewujudkan  bahasa gambar (grafis) harus dimulai oleh bahasa verbal, kemudian bahasa gambar harus diterangkan baik secara verbal melalui instruksi  gagasan, konsepsi atau keinginan yang ingin dicapai yang memungkinkan terjadinya penyimpangan atau interpretasi atas instruksi-instruksi itu. 


Menurut Coldeway & Faust, desain instruksional ini pertamakali dikembangkan oleh kelompok militer Amerika. Kesalahan instruksi dalam militer sangatlah fatal. Penerima instruksi harus memahami kategori instruksi yang diterimanya, terutama dua kelompok instruksi (1) yang dapat dipakai (use), dan (2) yang untuk diingat (remember) atau gabungan antara keduanya. Penemuan dan pengembangan pengetahuan ini merambat kemana-mana. Diantaranya adalah yang kita kenal dalam dunia pendidikan di Indonesia dengan nama TIU (Tujuan Instruksional Umum) dan (TIK) Tujuan instruksional Khusus, yang telah digabung dengan ilmu lain dari bidang Kependidikan (Mis. Teori Bloom). Namun tidak menutup kemungkinan, pengembangan ini akan sangat berbeda dengan tujuan semula maksud dari sistem Instruksional yang asli. Sebagai contoh, dalam dunia seni di Indonesia,terutama pendidikan dasar, sama sekali tidak membelajarkan tentang pemahaman konsep dan pengembangan konsep. Yang ada hanyalah mengenal sesuatu untuk dipraktikkan (budaya lokal, budaya nasional dan mancanegara) untuk praktik ( Lihat KTSP 2006). Dalam teori Bloom, diikatakan bahwa pembentukan konsep adalah  tingkat berpikir yang tertinggi, tapi hal itu bukan alasan untuk menjadikan murid atau mahasiswa Indonesia hanya sebagai penerima instruksi sebuah aturan (budaya) prosedur (teknik, media atau skill).


Dari Ide ke Konsep

Manusia melihat fakta, kejadian atau peristiwa. Fakta fakta itu melahirkan ide ide dan konsep tertentu. Pengamatan itu baru kita mengerti jika kita memisahkan, memberi label label terhadap hasil pengamatan itu. Jadi konsep pada dasarnya adalah pikiran manusia tentang sesuatu yang telah dikategorisasikan, misalnya  objek yang diutarakan melalui label label bahasa verbal, tetapi bukan sembarang Iabel, yaitu Iabel yang khusus dan terkategorisasi. Label label ini dapat dipakai untuk menamai sesuatu (keseluruhan) dan bagian bagian nya ( parts ). Pintu, jendela, atap, dinding adalah konsep mengenai  parts, bangunan mesjid adalah konsep mengenai  whole. Tetapi kumpulan bangunan dapat menjadi  whole, dan bangunan mesjid, rumah dapat menjadi  parts, bagian dari pada kelompok bangunan (pemukiman, perkotaan). Pertanyaan tentang konsep mana yang berguna bagi para perancang dalam memecahkan masalah bangunan, sama halnya dengan pertanyaan, dari aspek mana perancang harus mulai merancang? Apakah dari mulai dari memikirkan kepentingan fungsi bagian bagian (parts ) atau memikirkan    kepentingan keseluruhan.




Gambar bagan  Suatu konsep benda baru dengan menyatukan dua konsep atau beberapa konsep (label) lama.Diadaptasi dari E.D.Bono (1987:206)


Pembentukan Konsep Arsitektur Melalui Bahasa

Menurut Edward De Bono (1987) dalam bukunya Berpikir Lateral      (Lateral Thiking), konsep adalah nama (label) yang diberikan manusia terhadap realitas atau "apa yang dilihat" manusia terhadap realitas, agar manusia itu dapat mengerti atau memahaminya. Menurutnya, konsep adalah pemberian suatu label pada objek atau benda dengan unit-unitnya.

Misalnya pohon (fakta) terdiri dari unit-unit batang, dahan, ranting dan daun. Kita dapat menyusun label sebagai berikut. "Pohon adalah tanaman yang memiliki batang", tetapi dapat  dirumuskan dengan "pohon adalah tumbuh-tumbuhan yang memiliki daun pada puncaknya.

Contoh lain adalah rumah. Rumah memiliki unsur-unsur (unit-unit) seperti atap, dinding, lantai, ruang dan sebagainya, kita dapat merumuskan   dengan konsep yaitu " rumah itu adalah  benteng" (apabila sebuah bangunan hanya terdiri dari dinding-dinding bata saja). Pola berpikir konsepsional menurut de Bono terlihat pada gambar 4.6-dan 4.7.Namun menurut Coldeway (1979), label (konsep) yang baik adalah suatu label yang tidak lebih dari dua unit, misalnya  "rumah" dengan "tempat instirahat. Pada dasarnya label-label dapat diganti-ganti, misalnya hotel menjadi penginapan, pondok, losmen, yang menunjukkan konsep-konsep berbeda pula tentang sebuah rumah. Hal ini terjadi karena sebab-akibat, tujuan, fungsi, dsb.label-label baru itu.




Konsep hotel adalah pemahaman yang timbul dari konsep rumah dengan konsep  istirahat dan  entertainment (hiburan) Suatu konsep benda baru dengan menyatukan dua konsep dengan penekanan kepada fungsi, pada konsep ini tidak dijelaskan logikanya (sebab-akibat).


Oleh De Bono (1987:206), dijelaskan bahwa nama, label dan kata-kata pada hakikatnya tetap dan tertentu. Karena unit-unitnya telah diambil alih oleh label-label yang tetap pula, pola yang dihasilkannya akan tertentu dan tetap pula.Kerugiannya, apabila satu unit telah diberi nama, suatu saat dapat sangat memudahkan, pada saat yang lain  akan sangat menyulitkan, sebab unit yang diberi nama (yang disebut konsep), akan membatasi, karena mereka menentukan suatu cara yang ketat dalam mengamati suatu keadaan.


Seperti yang dicontohkan di atas, label "rumah" berbeda dengan label "benteng". Walaupun dia memiliki unsur yang sama kita sudah melihatnya dalam situasi yang berbeda, hal ini dapat dimengerti karena konsep fungsinya sudah berbeda pula. Dari objek yang sama dapat dirumuskan konsep yang berbeda, misalnya tentang konsep waktu, konsep ekonomi dan sebagainya.


Kerugian dan kekakuan pembentukan suatu konsep, dapat diperlihatkan dalam suatu contoh lain. Apabila terjadi bencana kelaparan di suatu negara yang biasa menggunakan beras kemudian menerima sumbangan dalam bentuk jagung. Orang-orang yang kelaparan itu akan lebih suka menderita lapar. Hal ini terjadi karena kekakuan konsep " jagung adalah makanan binatang “, sedangkan di negara-negara lain jagung dapat dipakai  sebagai makanan pokoknya. Sebagai jalan keluarnya adalah mengemas bahan makanan jagung menjadi bentuk lain makanan, dan hanya dapat dibeli di supermarket, dan tidak heran kemudian semua orang akan memakannya.


Dari uraian di atas jelaslah bahwa pembentukan suatu konsep baru adalah suatu usaha untuk menyusun unit-unit yang berbeda, ke dalam unit baru dengan label yang baru pula. Suatu konsep dapat memiliki kelemahan karena kekakuan interpretasinya. Tetapi  memiliki kebaikan karena dapat melihat sesuatu masalah dalam pandangan yang baru, yang efektif untuk  mengubah atau meramalkan suatu keadaan.

Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa konsep itu dapat dipakai untuk apa saja, konsep adalah label-label bahasa, namun jika hal ini dihubungkan dengan sistem instruksional, konsep ini dipakai untuk (a) menyatakan fakta atau realitas, (b) menyatakan rule (aturan dan prinnsip-prinsip), (b) menyatakan prosedur. Lalu bagaimanakah penggunaan konsep untutk bangunan?

Pembentukan Konsep Melalui Gambar

Berpikir gambar adalah  "menjelaskan proses berpikir sambil mensketsa, dalam arsitektur, proses berpikir semacam ini biasanya Lasseau, dalam bukunya berpikir gambar, menjelaskan bahwa konsep-konsep arsitektur ini tidak hanya verbalistik, tetapi juga visual, dalam bentuk grafis Perolehan konsep, mengkomunikasikan konsep, melalui terjadi ketika merancang pada tahapan pembentukan konsep". Di situ arsitek berpikir sambil mensket (melakar) untuk merangsang pengembangan gagasan (Paul Lasseau, 1986: 1)
Beberapa contoh berpikir gambar ini  adalah berikut ini.
  1. Mensket pada satu halaman kertas, pada halaman ini dapat terdapat bermacam-macam gagasan, perhatian dapat pindah dari soal yang satu ke soal yang lain.
  2. Dalam menghadapi persoalan digunakan cara dan skala berbeda-beda; sering pada halaman yang sama terdapat perspektif, potongan, denah rinci dan pemandangan.
  3. Pikiran bersifat menjajal dan membuka kemungkinan; sketsanya longgar dan menggambarkan penggalan, tetapi jelas dari mana diturunkan, memerlihatkan altematif perluasan gagasan, penga-mat diajak berpikir.
  4. Gambar yang lazim digunakan bermacam-macam, denah, potongan, elevasi dan sebagainya. Oleh karena itu berpikir gambar  disebut dengan berpikir visual.



Contoh Pencarian Konsep Desain melalui Sketsa oleh Michael Graves. Gagasan awal: kosmos = manusia – struktur badan manusia = kepala + badan + kaki = Ide yang berpusat kepada manusia (antropocentric).


















Proses Komunikasi Melalui Berpikir Gambar

Menurutt Lasseau, setidaknya dalam berpikir gambar ini mengandung 5 hal pokok, yang dikomunikasikan.a)    Adanya imaji pada kertas.

b)    Adanya imaji pengamatan.
c)    Adanya imaji mental (pikiran).
d)    Adanya imaji baru di atas kertas.
e)    Adanya Pesan yang bermacam-macam.

Untuk berkomunikasi dengan baik seorang arsitek harus memiliki penolok  sebagai berikut.

  1.  Memahami unsur dasar komunikasi, komunikator, penerima atau pendengar, pengantara atau tautan, dari peranannya bagi kebaikan komunikasi.Mengembangkan bahasa gambar agar dapat membuat sket yang paling baik, sempuma untuk tujuan komunikasi tertentu. Mengembangkan cara yang paling baik dalam komunikasi, jangan menganggap suatu proses komunikasi sudah semestinya.
  2. Laseau dengan mengutip A. S.Llevens (1985) menyimpulkan bahwa salah satu sumber kekacauan pendapat mengenai merancang ialah  kecenderungan  untuk menyamakan merancang dengan salah satu bahasanya, yaitu menggambar. Kekeliruan ini mirip dengan kekacauan yang akan terjadi jika menggubah musik disamakan dengan menulis nada pada balok nada (not balok). Merancang sama dengan seperti menggubah musik, pada hakikatnya berlangsung dalam benak, sedangkan menggambar atau menulis nada adalah proses mencatat.
Enam kegunaan berpikir gambar
a)    Untuk representasi.
b)    Untuk pengabstrakan 1). Melalui bahasa gambar, 2) Melalui merancang
c)    Untuk pengolahan.
d)    Untuk penemuan.
e)    Untuk penetapan.
f)     Untuk rangsangan.

Kemudian ada tiga tingkatan menghasilkan konsep rancangan yaitu berikut ini.

a)    Merancang secara individu.
b)    Merancang berkelompok.
c)    Merancang bersama masyarakat.

Memahami  Hirarki  Konsep

Ada banyak label yang dipakai untuk menyatakan konsep, tetapi harus dibedakan aplikasi konsep ini di bidang arsitektur, misalnya konsep dalam diskursus ilmiah  berbeda kepentingannya dalam praktik arsitektur.
Beberapa contoh di bawah ini memperlihatkan hirarkhi konsep dalam praktik arsitektur, antara lain  antara konsep dalam bentuk ide, wawasan, gagasan, konsep dan skenario.
  1. Wawasan. Wawasan adalah gagasan yang sifatnya abstrak, misalnya seseorang memiliki ide, pemikiran, referensi tertentu, yang dapat dianggap kurang penting, karena belum terbukti dapat dipakai untuk suatu konsep perancangan. Ide-ide ini seringkali adalah hal-hal yang lebih sederhana dibandingkan dengan proyek yang sedang dikerjakan. Sekecil apapun masalah, suatu wawasan dapat muncul menjadi faktor penting dalam suatu rancangan, dan menjadi pendorong lahirnya produk baru sebagai solusi dari penyelesaian masalah. Umumnya  wawasan mencakup masalah yang lebih luas dan mewarnai permasalahan yang sedang dihadapi, sifatnya abstrak.
  2. Gagasan. Gagasan sama dengan konsep dan bersifat verbal. Dia adalah pemikiran yang lebih konkret dan khas sebagai hasil pemahaman atau pengamatan. Dalam arsitektur para arsitek umumnya memiliki banyak gagasan yang berkaitan dengan bangunan. Seorang calon perancang dapat mencatat gagasan-gagasan apa saja yang perlu untuk merancang  bangunan, catatan gagasan ini dapat dituliskan pada  kertas. Misalnya arsitek F.L.Wright mencatat ada 35 gagasan untuk merancang rumah-rumah kecil. Semua gagasan dapat dikumpulkan sebagai "kitab gagasan" pribadi, pada zaman kini gagasan ini dapat dimasukkan dalam komputer. Dan sebagian gagasan itu, ada saja yang bukan gagasan yang lazim dengan meniru gagasan orang lain.
  3. Konsep. Suatu konsep artinya mirip dengan gagasan, tetapi konsep adalah gabungan beberapa unit gagasan yang telah digabung ke dalam satu hal saja untuk menyelesaikan sebuah proyek atau masalah desain.
  4. Skenario Konseptual. Skenario konseptual berguna hanya pada presentasi konsep jika masalah desain telah diselesaikan. Skenario konseptual adalah semua gagasan yang telah dipertalikan dengan berbagai hal seperti semua aturan, prosedur yang harus diikuti, persyaratan-persyaratan teknis. Bagi mahasiswa, skenario konseptual ini dikemukakan dalam laporan proyeknya dalam bentuk tulisan maupun gambar konsep yang ringkas.
Hirarki  Konsep/teori  dalam Wacana Ilmiah Arsitektur
Pada dasarnya teori dan konsep adalah  arus pemikiran. Arus pemikiran ini ada yang bersifat internasional dan ada yang bersifat lokal dalam memecahkan masalah-masalah desain. Arus pemikiran, teori dan konsep secara ilmiah berbeda dengan arus pemikiran yang bersifat praktik. Untuk memahami perbedaan hirarkhi konsep dalam praktek dan hirarkhi konsep dalam wacana ilmiah ini dapat dilihat pada  bagan
Dari bagan 4.8 terlihat bahwa dalam praktik yang diperlukan adalah konsep yang dianggap “penting” yang dapat dipakai. Yang diperlukan bukanlah kenyataan sejarah, walaupun dalam wacana ilmiah aspek kesejarahan ini adalah level konsep/teori yang tertinggi.




Gambar bagan  Hirarki  konsep/teori dalam arsitektur.















Berpikir Lateral dalam Merancang Arsitektur
Seperti yang diungkapkan oleh De Bono (1987), kebudayaan bertalian dengan pembangunan gagasan. Pendidikan berhubungan dengan pengkomunikasian gagasan yang telah dibangun. Kedua-duanya berurusan dengan perbaikan gagasan agar tetap mutakhir. Satu-satunya cara yang tersedia untuk mengubah atau mengganti gagasan adalah dengan konflik yang berlangsung dalam dua cara: (a) mempertentang kan dua gagasan (lama dan baru), (b) mengabaikan gagasan lama dan hanya melihat faktor penting. Jadi ada pemisahan gagasan yang dianggap penting. Suatu gagasan baru akan kalah, jika gagasan baru dinilai dengan gagasan lama. Gagasan lama  bahkan  akan diperkuat dengan timbulnya gagasan baru. Cara yang paling efektif dalam mengubah gagasan bukanlah dari luar tetapi dari dalam, semua informasi lama   disusun  dengan cara baru, untuk mengadakan lompatan ke depan. De Bono mengungkapkan beberapa perbedaan berpikir vertikal dan lateral sebagai berikut.
  1. Berpikir vertikal bersifat selektif, sedangkan berpikir lateral bersifat generatif.
  2. Berpikir vertikal hanya bergerak apabila ada suatu arah untuk bergerak, berpikir lateral bergerak agar dapat mengembangkan suatu jurusan.
  3. Berpikir vertikal bersifat analitis, lateral bersifat profokatif.
  4. Berpikir vertikal adalah berurutan, sedangkan lateral lompatan.
  5. Berpikir vertikal harus benar pada setiap langkah, berpikir lateral tidak harus tepat pada setiap langkah.
  6. Berpikir vertikal mengenyampingkan yang tidak relevan, berpikir lateral menerima setiap kemungkinan dari pengaruh luar.
  7. Berpikir vertikal menggunakan kategori, klassifikasi dan label-label yang telah tetap, lateral tidak.
  8. Berpikir vertikal memilih jalur yang tepat, lateral menjelajahi yang tidak tepat.

Berpikir vertikal adalah suatu proses yang terbatas, lateral adalah yang serba kemungkinnan.De Bono menyimpulkan bahwa kedua cara berpikir itu baik dipakai, dan diperlukan. Yang salah adalah jika hanya menggunakan berpikir vertikal saja, untuk menemukan gagasan baru atau pemecahan masalah. Beberapa cara berpikir lateral menurut De Bono  adalah berikut ini.

a.    Mengembangkan Alternatif.
b.    Menantang Asumsi.
c.    Inovasi.
d.    Menunda Keputusan.
e.    Merancang (Design).
f.    Gagasan Dominan, Faktor Penting.
g.   Pemecahan.
h.   Metode Pembalikan.
i.    Silang Pendapat.
j.    Analogi.
k.   Memilih Bidang Perhatian.
l.    Stimulasi.
m.  Konsepsi Dan Pembagian.
n.   Deskripsi Pemecahan Masalah.


Aplikasi Berpikir Lateral dalam  Merancang Arsitektur (Salah Satu Model)

Alternatif

Alternatif terjadi apabila seorang dihadapkan kepada pilihan-pilihan, misalnya pilihan lokasi bangunan, pilihan bentuk bangunan, pilihan sirkulasi dan sebagainya. Langkah-langkah yang harus dilakukan adalah 1) perlihatkan pilihan atau alternatif yang mungkin, 2) perlihatkan kebaikan dan kelemahan  masing-masing alternatif, 3) tentukan penolok pilihan.



Penolok (Kriteria)Penolok atau kriterium adalah faktor-faktor penentu dalam pengambil keputusan, antara lain PMI, KKP, Kendala dan sebagainya.
  1. Metode PMI (Plus, Minus, Interest), yang menentukan adalah positif atau negatifnya pilihan, tetapi kedua hal ini dapat diabaikan jika ada faktor (I) atau Interest, misalnya pemandangan yang menyenangkan,  tanah yang datar dan sebagainya, yang terdapat pada lokasi rencana bangunan.
  2. KKP (Kesepakatan, Keputusan dan, Pilihan), yang menentukan adalah apakah ada suatu kesepakatan, apakah ada suatu Keputusan dan apakah ada suatu Pilihan atas Kesepakatan dan Keputusan itu?
  3. Kendala: yaitu apakah ada kendala dalam menentukan pilihan itu?
Aplikasi Alternatif  dalam Konsep Visual (Gambar)
Dalam merancang terdapat siklus penelusuran konsep yang dimulai dengan alternatif hal ini disebut dengan artikulasi yaitu membuat  bermacam gambaran yang mungkin dari konsep bangunan, dan  dilanjutkan dengan  evaluasi, diakhiri dengan elaborasi, jika tahap elaborasi tidak selesai maka siap untuk membeberkan konsep baru atau daur ulang.


Gambar  Aplikasi mencari alternatif dengan kolaborasi

(1) Artikulasi yaitu meluaskan  beberapa ungkapan sketsa pilihan untuk sebuah konsep, (2) Penilaian, yaitu  beberapa ungkapan pilihan untuk  konsep rancangan yang diuji berdasarkan seperangkat penolok, kemudian nilai setiap pilihan, (3) Elaborasi, yaitu pembeberan, memerlihatkan seluruh perangkat masalah yang baru kepada perancang sehingga dapat membentuk konsep baru lagi. Setelah itu proses mendaur, siap untuk mulai penegasan konsep baru. Bagi perancang yang berpengalaman tidak perlu menimbang semua masalah untuk  proyek, arsitek yang kreatif sering menggunakan tautan proyek tertentu untuk memeriksa kembali norma rancangan yang diterima. Gambar 4.10 di bawah memerlihatkan alternatif konsep rancangan, (4) Penilaian. Untuk penilaian diperlukan  gambar seperti yang diperlihatkan di bawah yang berguna untuk berbagai pilihan.  Di dalamnya tercantum  penolok penilaian rancangan dengan judul kebutuhan (need) tautan (context) dan bentuk (form).Untuk setiap judul, penolok ditulis beru-rutan berdasarkan derajat pentingnya, mulai dari sebelah kiri, dengan demikian menunjukkan prioritas. Pilihan 1, 2 dan 3, dapat memberikan tanggapan. 


unggul atau rata-rata untuk setiap penolok; petak kosong menunjukkan tidak ada tanggapan tertentu. Daftar tersebut memberi gambaran menyeluruh tentang keberhasilan setiap pilihan.

Konsolidasi, atau peneguhan, yaitu menimbulkan banyak informasi yang terkait dengan pilihan-pili¬han berdasarkan peno¬lok. Namun dapat  dikembangkan metoda,matrik dengan menggunakan angka (numerik) sehingga hasilnya tidak meragukan


Gambar   Evaluasi melalui grafik.
Gambar  Matrik evaluasi Aplikasi Tabel ini hanya untuk pengambilan keputusan  alternatif konsep (+ dan -) kurang atau lebih dari suatu pilihan berdasarkan penolok. Namun dapat   dikembangkan  metode, matrik dengan menggunakan angka (numerik) sehingga hasilnya tidak meragukan




Gambar  4.11  Evaluasi melalui grafik


























Perumusan Konsep Arsitektur Model William Pena


Masalah masalah yang timbul dalam habitat manusia, oleh arsitek akhirnya dirumuskan dalam  konsep perencanaan. Ada dua cara yang umum untuk penelusuran masalah perencanaan secara umum.Yang pertama perencanaan secara linear, hal ini terlihat dari cara analitis, kuantitatif atau seperti cara penelitian yang bersifat kuantitatif. 


Cara ini terjadi karena tujuan dan gambaran mengenai rancangan telah ditetapkan terlebih dahulu. Misalnya seorang perancang ingin merancang bangunan rumah sakit kelas A, kelas B, menurut tipe tertentu dan sebagainya. Cara ini adalah cara yang streotip, karena hanya meniru pada sesuatu yang dianggap terbaik, pada hal mungkin ada konsep rancangan lain yang lebih baik. Yang dilanggar oleh cara ini adalah kebebasan dan kreatifitas arsitek.Yang kedua adalah cara lateral, yaitu suatu cara  di mana yang akan dirancang tidak ditetapkan konsepnya, tetapi konsepnya dicari sampai ditemukan konsep yang paling baik, cara ini adalah cara yang kreatif. Tetapi kemungkinan besar cara ini akan melanggar rule dan prosedure, atau ketentuan umum yang berlaku dalam  merancang suatu bangunan yang telah ditetapkan terlebih dahulu.Dapat disimpulkan bahwa banyak sekali unsur ( parts ) yang terlibat dalam merumuskan  konsep bangunan. Akibatnya hal ini akan menjadi kendala bagi seorang perancang pemula, karena  konsep rancangantidak dapat langsung dirumuskan oleh karena alasan sebagai berikut.


Terdapatnya beragam fakta dan unit unitnya yang memerlukan pemahaman, terlebih dahulu sebelum dirumuskannya suatu konsep yang menyeluruh. Seorang perancang harus belajar atau memahami terlebih dahulu berbagai fenomena sosial dan fenomena bangunan yang diran-cangnya.Terdapatnya beragam pilihan ide dan masalah yang akan mempengaruhi rumusan konsep, hal ini disebabkan baik oleh kendala, altematif pemecahan masalah, faktor penting, politik, ekonomi, keputusan keputusan serta keinginan manusia yang menyertainya, lihat tabel matrik di bawah. 


William M.'pena dan J.M.Focke, (1969) dalam bukunya Problem Seeking: New Direction in Arrhitectural Programming, menjelaskan bahwa ada empat unsur utama yang dipakai untuk merumuskan konsep arsitektur yaitu melalui hal berikut ini.

a.    Segala sesuatu yang berhubungan dengan Fungsi.
b.    Segala sesuatu yang berhubungan dengan Bentuk.
c.    Segala sesuatu yang berhubungan dengan masalah Ekonomi.
d.    Segala sesuatu yang berhubungan dengan Waktu.

Keempat unsur ini dijalin dengan unsur unsur lain seperti

a.    Goal (tujuan, sasaran).
b.    Fakta dan  analisis nya.
c.    Keperluan (Use).
d.    Masalah (poblem).
Penelusuran masalah ini dapat dilihat dalam tabel  di bawah.





 






Merancang Cara induktif
Cara induktif adalah suatu cara  di mana perancang atau tim perancang mulai dari detail, atau p-erincian, himpunan dari perincian masalah bangunan itu, misalnya penempatan dapur dekat dengan tempat bermain, dekat dengan bagian servis, dan sebagainya. Himpunan penyelesaian masalah ini, berangsur angsur akan membentuk rancangan bangunan yang sesuai dengan tujuan perancangan. Cara ini  disebut dengan cara  sintesis  (yaitu dari bagian bagian kepada himpunan) atau dari  parts  ke  whole.

Merancang cara deduktif

Tata cara  merancang deduktif mulai dari dengan suatu maksud atau ga¬gasan yang menyeluruh (whole), dan membiarkan detail detail tum¬buh dari tema pokok itu, tema atau gagasan ini dapat disebut dengan konsep  whole.

 


Gambar Proses berpikir yang berangkat dari prosedural, untuk mencapai K (konsep), meliwati beberapa tahap analisis, dapat linear dan dapat  siklus


Gambar  Proses berpikir yang berangkat dari induktif dan deduktif, dari  parts  ke ke¬simpulan konsep (kiri), K diterapkan pada  parts, atau terlihat pada  parts. (kanan).3) adalah konsep arsitektur yang dihasilkan oleh cara prosedural, proses ini disebut mengonsep melalui proses yang menekankan  analisis   sintesis  yang sifatnya dapat linear (menurut suatu garis lurus) dan s¬iklus (meling¬kar).

Misalnya bangunan untuk ''sumber belajar " dari suatu sekolah, dengan tema pokok."Pasar untuk gagasan gagasan". Dengan konsep ini dapat dirancang detail-detail misalnya susunan buku, rak rak penyimpan, pera¬latan yang ada di dalamnya dibiar¬kan di pajang dari pada disimpan dalam ruangan mirip pajangan di  toko buku.

Setiap adanya tema atau gagasaan baru dalam merancang bangunan, akan m¬engan¬dung resiko untuk masuk ke dalam cara me¬rancang deduktif. Na¬mun demikian ke¬dua cara ini, baik induktif mau¬pun deduktif dapat dila¬kukan bersamaan (analisis, sintetis, sintalisis) atau induktif deduktif: se¬bab tidak ada suatu proses tunggal da¬lam  merancang bangunan. Di samping ketiga cara di atas untuk melihat dan me-nemukan konsep arsi¬tektur, terdapat beberapa cara lain yang akan mempeluas masalah konsep arsitektur sebagai berikut (sumber: William M., Pena dan J.M.Focke, (1969) Problem Seeking: New Direction in Architectural Programming.




Gambar Contoh butir problem seeking (menelusuri masalah)








Program artinya "rancangan" mengenai asas-asas serta usaha-usaha, misalnya usaha perekonomian, usaha mendesain bangunan dan sete¬rusnya (KBBI, 1989:702). Pemogram-an artinya 'kumpulan dari usaha rancangan'. Sama balnya dengan kata perencanaan  tidak selalu ditafsirkan dengan "planning", tetapi 'kumpulan dari renca . Jadi pengertian pemograman, mirip artinya dengan kata perenanaan, dapat dilihat sebagai 'output' (hasil) dari respon arsitek, sedangkan program dapat dilihat sebagai' input' (masukan) kepada arsitek.

Dalam interaksi sosial arsitek umumnya menerima hal-hal yang diinginkan k1ien. Menurut Jhon, Wade Pemrograman Arsitektur terutama berkaitan dengan pengumpulan dan penga uran informasi yang diperlukan untuk rancangan bangunan. Ada pemrograman yang sederhana, yang banyak mencatat yang diinginkan oleh klien mengenai bangunan, dan yang lain dapat sangat rumit dan menuntut prosedur-prosedur yang lebih luas dan teknik-teknik yang rumit.


Daftar Pustaka (sebagian)

  • Aminuddin.1988. Pengantar Studi Tentang Makna, Bandung: Penerbit Sinar Baru.
  • Bakker, Anton. 1995. Kosmologi & Ekologi: Filsafat tentang Kosmos Sebagai Rumah Tangga Manusia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
  • Barthes, Roland.1967. Writing Degree Zero & Elements of Semiology. London: Jonathan Cape, Thirty Bedford Square.
  • Beakley, G.C, 1974, Design Serving The need of Man, New York: Macmil-lan Publishing Co., Inc.
  • Cassirer, Emst.1990. Manusia dan Kebudayaan. Terj., Alois A.Nugroho. Jakarta. Pen. Pt. Gramedia. Catanese, A.J. & Snyder, J.C.(terj)..1986. Pengantar Arsitektur, Jakarta: Penerbit Erlangga 
  • Ching, Francis D.K.1979, 1985. Architecture Form, Space and Order, Edisi I, New York. Van Nostrand Reinhold Company 
  • Compton: 1996, Interactive Encyclopaedia (CD.Room).
  • Comelis, Van de ven. 1987. Space in Architecture. Netherlands: Bocum & Comp., B.V.
    Encarta. 2009, Interactive Encyclopaedia (CD Room).
  • Nasbahry, Couto 1998, "Makna Dan Unsur-Unsur Visual Pada Bangunan Tradi¬ional Minangkabau: Suatu Kajian Semiotik", (tesis Pasca Sarjana tidak diterbitkan), Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB, Bandung.
  • Nasbahry, Couto, 2008.  Seni Rupa: Teori dan Aplikasi, Padang: Unp Press
    Dewey, Y. (1934). Artas Experience. New York: G.P. Putnam's Sons, 1980
    Falkenheim, Y, V. 1980. Roger Fry and the beginnings of formalistart criticism. Ann Arbor, M I:UMI Reseach press.
  • Feldman, E.B., 1967, Arts as Image and Idea, New Yersey: Prentice Hall Inc.,
    Fisher, B.B.Aubrey & Jalaludin Rachmat, (Ed). 1978. Teori-teori komu-nikasi, Bandung: Remadja Karya.
  • Green, Peter, 1974., Design Education, London, B. T.Batsford Li¬mited.
    Hartoko Dick. 1984. Manusia dan Seni, Yogyakarta; Penerbit Kanisius Hauser, 1882. The Sociology of Art.
  • Hepler, Donald E. & Wallach, Paul I.1977. Architecture Drafting and Design, New York: McGraw-Hill Book Company.
  • Heskett, John, 1980, Desain Industri, Jakarta, Pen.Rajawali.
  • Heyl. Bemard C.1952. New Bearings in Esthetics and Art Criticism: A Study in Se¬mantics and Evaluation.London: Yale university Press.
  • Ibrahim, Nik Lukman Nik., 2006. Teori & Idea Seni Bina.Selangor Darul Ehsan: Perpustakaan Negara Malaysia.
  • Ikhwanuddin. 2005. Menggali Pemikiran Pos modernisme dalam Arsitektur. Yo¬gyakarta: Gajah Mada University Press.
  • Jencks, Charles 1984, The Language of Post modern  Architecture, Lon-don:Rizzoli Pub.
    Johnson. Paul Alan, 1994, The Theory Of Architecture: Conceps Themes & Prac¬tices, New York: Van Nostrand Reinhold
    Jones, Cristopher, 1979, Design Method, seeds of human future, T oronto: Jhon Wiley Kamus Umum Bahasa Indonesia, (KBBI), 1985, Jakarta: PN. Balai Pustaka. 
  • Keraf. Gorys 1991. Argumentasi dan Narasi. Jakarta: Penerbit PT. Grarnedia
    Lang, Jhon.1897. Creating Architectural Theory, Van Nostrand Rein¬hold Com¬pany, New York. Langer, Suzanne K. 1993.Problematika Seni. Terj. F.X Widaryanto.Akademi Seni Tari Indonesia Bandung.
  • Laseau, Paul, 1986, Berpikir Gambar bagi Arsitek dan Perancang, Bandung: Pen.ITB Mangunwijaya. y.B.1988. Wastu Citra, Jakarta: PT. Gramedia.
  • McKim, Robert H,. 1980. Thinking Visually, California: Life Time Pub.
    Pepper, S.C. 1970.The Basis of Art criticism, (7 th ed.).
  • Peursen, Van, & Hortoko, Prof.Dr.C.A.Dick, 1976, Strategi kebudayaan, Yogyakarta: Yayasan Kanisius.
  • Peursen, C.A.1980.Susunan ilmu pengetahuan, sebuah pengantar Filsa-fat/lmu, TeIj. J. Drostt, Jakarta: Grarnedia.
  • Sudrajat. Perkembangan Semiotik dalam Arsitektur, Sebuah Tinjauan Kritis. dalam E.K.M. Masinambow & Rahayu S. Hidayat. 2002. Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
  • Sukada, Budi A., Utak-atik Semiotik Tektonik, dalam E.K.M. Masinambow & Ra¬hayu S. Hidayat. 2002. Semiotik: Kumpulan Makalah Seminar. Depok: Pusat Penelitian Kemasyarakatan dan Budaya Lembaga Penelitian Universitas Indonesia.
  • Shadily (ed), 1991, Ensiklopedia Indonesia, Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve dan Eellservier Pub. Projects.
  • Walker, John A. 1989. Design History and History of Design, London, Pluto Press, Ltd.
    Utami Munandar, 1999, Kreativitas dan Keberbakatan: Strategi Mewujudkan Potensi Kreatif & Bakat, Jakarta: Gramedia Pustaka
Artikel Terkait dengan Tulisan ini


Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting