hal 2
Umumnya filsafat (kosmologi) Minang bersendikan kepada "alam terkembang jadi guru". Di zaman Minangkabau-Hindu/Budha lama penguasa alam itu ada delapan (ajaran hasta brata), yang empat dihilangkan, sehingga tinggal empat. (dalam awal pidato adat selalu disebut angka delapan ini, dikatakan dua pergi ke utara (Cina?), dua lagi ke selatan (Jawa?). Tafsiran sekarang lain lagi. Tetapi yang serba empat ini dipakai dalam kosmologi Minangkabau, misalnya "kato nan ampek", Nan ampek suku dsb. Tafsiran lain tentang kosmologi ini, dapat ditafsirkan "alam" itu adalah lingkungan sosial dan lingkungan geografis sendiri termasuk alam budaya serta masyarakat (sosial) yang mempengaruhinya.
Dapat dipahami bahwa wujud kebudayaan Minangkabau yang muncul kemudian disempurnakan dengan adanya persentuhannya dengan budaya luar. Dalam hal ini, banyak penelitian dari ahli sosial dan budaya yang melihat, bahwa pengaruh-pengaruh yang datang itu bukan oleh karena kedatangan masyarakat (budaya) lain ke Minangkabau. Tetapi oleh orang Minang sendiri dengan tradisi "merantau"nya -- dengan sengaja "belajar", menimba ilmu pengetahuan di rantau untuk dibawa "pulang". Jadi merantau bukan semata untuk mencari harta kekayaan, tetapi juga "ilmu pengetahuan" yang memperkaya kebudayaannya sendiri.
Berbicara mengenai kebudayaan, banyak takrif dan atau makna kebudayaan itu. Namun hal ini tidak akan di bahas panjang lebar dalam uraian ini. Singkatnya, kebudayaan itu dapat dilihat dari segi idea-idea, perilaku dan hasil perbuatan (pekerjaan) manusia yang diperoleh dari belajar. Kebudayaan itu juga dapat dilihat dari berbagai sistem-sistem yang lahir dari pola kehidupan manusia itu sendir,i diantaranya adalah (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup; (2) sistem mata pencaharian hidup; (3) sistem kemasyarakatan; (4) bahasa,(5) kesenian; (6) sistem pengetahuan; dan (7) sistem religi. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup terinci lagi atas beberapa aspek, satu di antaranya berupa senjata di antara aspek lainnya, seperti alat-alat produktif; alat-alat distribusi dan transportasi; wadah dan tempat menaruh makanan dan minuman; pakaian dan perhiasan; tempat-tempat berlindung dan perumahan (Koentjaraningrat. 11992: 8)
Terlahirnya sebuah senjata (alat membunuh dan berburu) pada mulanya tidak terlepas dari fungsi pakainya yang memang sangat dibutuhkan pada zamannya. la dapat dijumpai dalam bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang dikenal sekarang. Dari yang berbahan dasar tidak awet sampai kepada material yang tahan lama. Umumnya hasil penelitian para arkeolog menemukan bahwa artefak senjata itu pada awalnya sederhana. Alat ini dibuat dari batu-batuan, kayu-kayuan, gading dan tulang-belulang yang keras, yang dapat dipertajam. Bentuknya, umumnya sederhana.
Kemudian ditemukan material logam yang lebih keras lagi dan lebih efektif untuk menggantikan alat yang sederhana itu. Penemuan logam ini, memperlihatkan taraf penemuan dan pemakaian logam yang berbeda-beda pula. Hal ini memperlihatkan tingkat teknologi mengolah logam yang berbeda titik cairnya, mulai dari yang rendah sampai yang tinggi titik cairnya. Hal ini menginspirasi para arkeolog dan sosiolog untuk membagi temuannya berdasarkan tingkatan ini .
Misalnya Soekmono yang membagi secara kronologiy temuan logam ini atas tiga tingkatan zaman yaitu (1) zaman tembaga, (2) zaman perunggu, dan (3) zaman besi (Soekmono, 993:61). Dengan ditemukannya cara mengolah besi yang bersifat keras, kuat dan awet. Maka dapat diciptakan senjata seperti ujung panah, tombak, pisau, parang, pedang, badik, rencong, kujang, keris dan lain sebagainya yang lebih bervariasi bentuknya, karena sifatnya yang keras itu.
Umumnya filsafat (kosmologi) Minang bersendikan kepada "alam terkembang jadi guru". Di zaman Minangkabau-Hindu/Budha lama penguasa alam itu ada delapan (ajaran hasta brata), yang empat dihilangkan, sehingga tinggal empat. (dalam awal pidato adat selalu disebut angka delapan ini, dikatakan dua pergi ke utara (Cina?), dua lagi ke selatan (Jawa?). Tafsiran sekarang lain lagi. Tetapi yang serba empat ini dipakai dalam kosmologi Minangkabau, misalnya "kato nan ampek", Nan ampek suku dsb. Tafsiran lain tentang kosmologi ini, dapat ditafsirkan "alam" itu adalah lingkungan sosial dan lingkungan geografis sendiri termasuk alam budaya serta masyarakat (sosial) yang mempengaruhinya.
Dapat dipahami bahwa wujud kebudayaan Minangkabau yang muncul kemudian disempurnakan dengan adanya persentuhannya dengan budaya luar. Dalam hal ini, banyak penelitian dari ahli sosial dan budaya yang melihat, bahwa pengaruh-pengaruh yang datang itu bukan oleh karena kedatangan masyarakat (budaya) lain ke Minangkabau. Tetapi oleh orang Minang sendiri dengan tradisi "merantau"nya -- dengan sengaja "belajar", menimba ilmu pengetahuan di rantau untuk dibawa "pulang". Jadi merantau bukan semata untuk mencari harta kekayaan, tetapi juga "ilmu pengetahuan" yang memperkaya kebudayaannya sendiri.
Berbicara mengenai kebudayaan, banyak takrif dan atau makna kebudayaan itu. Namun hal ini tidak akan di bahas panjang lebar dalam uraian ini. Singkatnya, kebudayaan itu dapat dilihat dari segi idea-idea, perilaku dan hasil perbuatan (pekerjaan) manusia yang diperoleh dari belajar. Kebudayaan itu juga dapat dilihat dari berbagai sistem-sistem yang lahir dari pola kehidupan manusia itu sendir,i diantaranya adalah (1) sistem peralatan dan perlengkapan hidup; (2) sistem mata pencaharian hidup; (3) sistem kemasyarakatan; (4) bahasa,(5) kesenian; (6) sistem pengetahuan; dan (7) sistem religi. Sistem peralatan dan perlengkapan hidup terinci lagi atas beberapa aspek, satu di antaranya berupa senjata di antara aspek lainnya, seperti alat-alat produktif; alat-alat distribusi dan transportasi; wadah dan tempat menaruh makanan dan minuman; pakaian dan perhiasan; tempat-tempat berlindung dan perumahan (Koentjaraningrat. 11992: 8)
Terlahirnya sebuah senjata (alat membunuh dan berburu) pada mulanya tidak terlepas dari fungsi pakainya yang memang sangat dibutuhkan pada zamannya. la dapat dijumpai dalam bentuk yang sederhana sampai kepada bentuk yang dikenal sekarang. Dari yang berbahan dasar tidak awet sampai kepada material yang tahan lama. Umumnya hasil penelitian para arkeolog menemukan bahwa artefak senjata itu pada awalnya sederhana. Alat ini dibuat dari batu-batuan, kayu-kayuan, gading dan tulang-belulang yang keras, yang dapat dipertajam. Bentuknya, umumnya sederhana.
Kemudian ditemukan material logam yang lebih keras lagi dan lebih efektif untuk menggantikan alat yang sederhana itu. Penemuan logam ini, memperlihatkan taraf penemuan dan pemakaian logam yang berbeda-beda pula. Hal ini memperlihatkan tingkat teknologi mengolah logam yang berbeda titik cairnya, mulai dari yang rendah sampai yang tinggi titik cairnya. Hal ini menginspirasi para arkeolog dan sosiolog untuk membagi temuannya berdasarkan tingkatan ini .
Misalnya Soekmono yang membagi secara kronologiy temuan logam ini atas tiga tingkatan zaman yaitu (1) zaman tembaga, (2) zaman perunggu, dan (3) zaman besi (Soekmono, 993:61). Dengan ditemukannya cara mengolah besi yang bersifat keras, kuat dan awet. Maka dapat diciptakan senjata seperti ujung panah, tombak, pisau, parang, pedang, badik, rencong, kujang, keris dan lain sebagainya yang lebih bervariasi bentuknya, karena sifatnya yang keras itu.
Seperti yang kita ketahui, logam besi adalah bahan utama dari keris. Hal ini menunjukkan bahwa budaya keris ini juga muncul lebih kemudian, diperkirakan sejalan dengan kemunculan kerajaan-kerajaan di Nusantara ini yang membutuhkan bahan besi untuk persenjataan. Setelah munculnya senjata jenis baru (bedil dan meriam), maka keris tidak lagi dipakai sebagai senjata, tetapi sebagai bagian dari "ceremonial" (upacara-upacara) di kerajaan-kerajaan maupun di kalangan rakyat banyak.
Akhirnya, benda ini kemudian menjadi bagian dari atribut pakaian adat dan benda pusaka yang diwariskan turun temurun dari satu generasi ke generasi berikutnya. Uniknya -- keris yang dahulunya dipandang sebagai sebuah senjata yang mangkus dan oleh karena ditemukan senjata yang lebih efektif -- keris kemudian beralih fungsi sebagai atribut pakaian adat dan benda pusaka. Pandangan berikutnya yang muncul adalah memitoskan keris sebagai benda budaya peninggalan masa lalu yang sarat dengan nilai historis, filosofis, sosial, etis, dan bahkan religius-magis. la juga dinilai dan dihargai sebagai sebuah benda yang mengandung aspek bahasa rupa/tanda, seni rupa, dan pengetahuan metalurgi.
Gambar. Candi Bahal,
Candi peninggalan Kerajaan Hindu Padang Lawas, yang diyakini asal mulanya Namora Pande Bosi diketahui dari tulisan huruf Kawi pada Patung Tembaga Bhatara Lokanatha 946 Caka atau 1295 Masehi (Raja Gunung Tua) lebih tua 70 tahun dari huruf kawi di KitabNegarakertagama 1365 masehi.
Pewaris kerajaan Padang Lawas misalnya (lih. peta di bawah, disebut juga kerajaan Pasaman. (no.10) Sampai sekarang masih memiliki beberapa jenis senjata pusaka, seperti tombak berhulu janggi (tanda kebesaran) bertatahkan saga jantan (lidi ijuk enau, tidak beralur pada bagian tengahnya), tombak siamang, keris raja berhulu gajah menong binatang raksasa) bertatah permata dan salapahnya (warangka: Jawa) semuanya terbuat dari emas. Beberapa keris lain dinamakan keris panjang dan pedang" (Dt. Tuah.1985:106). Demikian pula sebagian besar penghulu kaum/suku sampai sekarang masih memiliki keris asli dan baliuang (tongkat) warisan dari para penghulu pendahulunya.
Lokasi Kerajaan-kerajaan kecil semasa pra-Islam .sd. Islam-Minangkabau. Sumber Seminar Sejarah Sumatera Barat sejak purba sampai Islam.-Minangkabau, tahun 2003 di Museum Adityawarman Padang. Kerajaan-kerajaan kecil ini umumnya tidak diketahui oleh generasi Minangkabau masa kini (penghilangan jejak sejarah budaya Minang oleh institusi Pemda dan pendidikan lokal?) Digambar kembali berdasarkan peta Sumatera Barat oleh Nasbahry Couto (2006)
Istana Raja Yang Dipertuan Sutan Besar Daulat Tuanku Rajo Bagindo Raja Adat Alam Surambi Pagu, Pucuk Pimpinan Kampai Nan 24: Balun (Istano Rajo Balun), di Muara Labuh (hasil penelitian Nasbahry Couto, 2004).
Pada istana-istana semacam ini banyak ditemukan benda-benda kuno, seperti senjata dan sebagainya. Perhatikan corak bangunan bergonjongnya berbeda dengan yang umum di temui di Minangkabau.
Bekas Istana Raja Koto Anau , di daerah Kabupaten Solok , Sumatera Barat yang masih ada sampai sekarang, (hasil penelitian Nasbahry Couto, 2004)
Pada masa kini, keris dipakai sebagai bagian dari pakaian penghulu Minangkabau, . Mereka memakainya ketika menggelar upacara adat. Di berbagai nagari Minangkabau keris juga merupakan bagian dari seperangkat pakaian marapulai (pengantin pria), meskipun tidak jarang keris yang disisipkan di pinggang pengantin hanya keris palsu sebagai atribut yang telah dipersiapkan oleh biro jasa yang bergerak di bidang penyewaan pakaian pengantin.
Artikel ini terdiri dari 7 halaman, klik hal berurutan
(1) Pendahuluan: Keris Pusaka Minangkabau, (2) Kosmologi Minangkabau dan Keris Pusaka Kerajaan, (3) Permasalahan keris dan Visualisasinya -1, (4) Visualisasi Keris, (5) Tipologi Keris Minngkanau , (6) Tipologi Keris Minangkabau dan fungsinya, (7) Lima Keris yang melegenda di Indonesia.
Artikel ini terdiri dari 7 halaman, klik hal berurutan
(1) Pendahuluan: Keris Pusaka Minangkabau, (2) Kosmologi Minangkabau dan Keris Pusaka Kerajaan, (3) Permasalahan keris dan Visualisasinya -1, (4) Visualisasi Keris, (5) Tipologi Keris Minngkanau , (6) Tipologi Keris Minangkabau dan fungsinya, (7) Lima Keris yang melegenda di Indonesia.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar