Hal 2
Oleh
Artikel Teori Resepsi (Nasbahry Couto)
|
Artikel Kebangkitan Erotika Islam (Betwa Sharma) 2010
|
Gallery lukisan Is. Erotik
|
Gallery Lukisan Wanita Indonesia
|
Galery Lukisan Alwins
|
Diskrepansi makna adalah ketidakcocokan makna. Hal ini adalah fenomena umum yang terjadi dalam dunia seni modern dimana seniman memiliki visi dan persepsi khusus yang cendrung esoterik. Sedangkan pengamat seni makin tidak mengerti tentang apa yang digambarkan atau diinginkan seniman.
Catatan: Penulis sengaja memakai istilah "diskrepansi" yang sering dipakai dalam bidang perencanaan dan ekonomi. Misalnya dalam perencanaan pendidikan, diskrepansi antara perencanaan dengan hasil belajar. Tetapi pemakaian istilah ini juga sering ditemukan dalam semiotika (ilmu tanda) untuk menjelaskan ketidakcocokan makna. Istilah makna yang umum adalah makna denotatif (yang langsung, konsep) dan makna konotatif (makna tautan, kiasan), dan sebagainya dalam konteks kebahasaan.
Objek wanita sebagai objek gambar atau lukisan bisa saja dilatarbelakangi oleh konsep-konsep dan atau masalah kejiwaan seniman. Disini masalahnya menjadi menarik karena realitas karya seni beralih kepada realitas diri seniman dan atau realitas tentang jiwa manusia (pelukis) seperti dalam kasus "analisis senyuman lukisan Monalisa" karya Leonardo da Vincy. Dimana yang dibahas bukan lagi lukisan Monalisa, tetapi kenapa pelukis melukiskan hal itu.Dalam tulisan ini kita mungkin perlu menyimak lagi apa yang terjadi dalam diri pelukis atau orang-orang menurut analisis Freud dan dan Lacan, sehubungan dengan masalah pornografi.
Banyak ahli kejiwaan melihat bahwa yang lebih penting adalah pemahaman tentang "ketidakpuasan" yang berada dalam alam bawah sadar manusia (seperti yang diungkapkan Freud). Dengan adanya media seperti ini, umumnya akan mendapat "saluran pengganti". Yaitu melalui imaji-imaji visual baik dalam bentuk lukisan, video maupun film. Namun saluran pengganti yang dimaksud Freud tidak selalu harus dalam bentuk lukisan atau gambar. Hal ini mungkin dapat kita pahami, untuk alasan khusus disamping untuk pemasukan uang, pemerintah Belanda misalnya, malahan mengizinkan prostitusi untuk mengatasi orang-orang yang tertekan jiwanya atau stress (lihat artikel ini).
Aspek kejiwaan ini, mungkin dapat menjawab pertanyaan misalnya, kenapa ada pecandu judi, rupanya dia adalah seorang yang membutuhkan "stress" tinggi dalam hidupnya (yang berasal dari alam bawah sadarnya). Orang-orang yang membutuhkan stress tinggi ini juga bisa menjadi pecandu film horor, nonton bola atau adu tinju.
Catatan: Penulis sengaja memakai istilah "diskrepansi" yang sering dipakai dalam bidang perencanaan dan ekonomi. Misalnya dalam perencanaan pendidikan, diskrepansi antara perencanaan dengan hasil belajar. Tetapi pemakaian istilah ini juga sering ditemukan dalam semiotika (ilmu tanda) untuk menjelaskan ketidakcocokan makna. Istilah makna yang umum adalah makna denotatif (yang langsung, konsep) dan makna konotatif (makna tautan, kiasan), dan sebagainya dalam konteks kebahasaan.
Objek wanita sebagai objek gambar atau lukisan bisa saja dilatarbelakangi oleh konsep-konsep dan atau masalah kejiwaan seniman. Disini masalahnya menjadi menarik karena realitas karya seni beralih kepada realitas diri seniman dan atau realitas tentang jiwa manusia (pelukis) seperti dalam kasus "analisis senyuman lukisan Monalisa" karya Leonardo da Vincy. Dimana yang dibahas bukan lagi lukisan Monalisa, tetapi kenapa pelukis melukiskan hal itu.Dalam tulisan ini kita mungkin perlu menyimak lagi apa yang terjadi dalam diri pelukis atau orang-orang menurut analisis Freud dan dan Lacan, sehubungan dengan masalah pornografi.
Banyak ahli kejiwaan melihat bahwa yang lebih penting adalah pemahaman tentang "ketidakpuasan" yang berada dalam alam bawah sadar manusia (seperti yang diungkapkan Freud). Dengan adanya media seperti ini, umumnya akan mendapat "saluran pengganti". Yaitu melalui imaji-imaji visual baik dalam bentuk lukisan, video maupun film. Namun saluran pengganti yang dimaksud Freud tidak selalu harus dalam bentuk lukisan atau gambar. Hal ini mungkin dapat kita pahami, untuk alasan khusus disamping untuk pemasukan uang, pemerintah Belanda misalnya, malahan mengizinkan prostitusi untuk mengatasi orang-orang yang tertekan jiwanya atau stress (lihat artikel ini).
Aspek kejiwaan ini, mungkin dapat menjawab pertanyaan misalnya, kenapa ada pecandu judi, rupanya dia adalah seorang yang membutuhkan "stress" tinggi dalam hidupnya (yang berasal dari alam bawah sadarnya). Orang-orang yang membutuhkan stress tinggi ini juga bisa menjadi pecandu film horor, nonton bola atau adu tinju.
Gadis: Karya Pelukis Alwins
Di bawah ini adalah salah satu polemik tentang diskrepansi makna itu, misalnya tentang teori "modernis" dan "postmodernis" tentang ketelanjangan yang dikemukakan oleh Bur Rasuanto, dalam tulisannya di Kompas.
"Ketelanjangan yang diekspresikan lukisan Affandi bukan aspek seksual perempuan itu melainkan apa yang disimbolkannya (kesuburan, kelembutan, dan sebagainya); ketelanjangan yang diekspresikan pornografi adalah keperempuanan yang telah mendapat makna sosial sehari-hari (pembangkit gairah seks, komoditas yang bisa dijual, dan seterusnya). Estetika modernis membuat pagar pemisah antara yang disebut seni murni (high art) dari yang biasa-biasa atau sekadar seni pop.Posmodern menolak pandangan estetika modernis itu. Posmo membongkar pagar pemisah seni tinggi dan seni pop, dan menganggap seni tidak bisa dipisahkan dari bidang-bidang kehidupan lain, ekonomi, politik, dan sosial. Apakah seni tinggi atau seni rendah, sama-sama merupakan bagian dari kecenderungan yang mendominasi kehidupan sosial. Bagi posmodern tak masuk akal membedakan dua perempuan sama-sama terbuka auratnya, yang satu disebut perempuan dalam keadaan alamiah yang lainnya disebut wanita bugil, keduanya adalah perempuan telanjang sebagai obyek.Masalahnya bukan bahwa yang satu karya seniman yang lain bukan, melainkan bahwa perempuan-perempuan telanjang itu, sejak zaman klasik sampai ke mutakhir, ditampilkan sebagaimana lelaki ingin melihatnya. Gambar-gambar perempuan telanjang, apakah lukisan, patung, foto-foto, bagi posmo hanya menegaskan struktur masyarakat yang patriarkis. Taruhlah perempuan telanjang lukisan Affandi hendak menampilkan perempuan sebagai simbol kesuburan, tetapi siapa yang menentukan makna itu?"
(dari :Bur Rasuanto, Pornografi: Soal Etika, Bukan Estetika)
APA yang diungkapkan Bur Rasuanto itu mungkin benar, sebab " siapa yang menentukan makna?, Di sini akan terlihat perbedaan antara makna oleh seniman dengan makna yang muncul dari pengamat. Diskrepasi makna itu terjadi karena seniman memiliki ingatan, imaji-imaji yang bersifat individual yang mungkin terlepas dari masalah etika sosial yang ada. Walaupun etika sosial itu disadarinya, tetapi itu adalah masalah ekstrinsik (di luar konteks, hal-hal yang akan diungkapkannya).
Diskrepansi Pemaknaan antar Individu maupun antar Sosial Budaya.
Dalam lukisan Basuki Abdullah yang berjudul "menyisir rambut" seperti yang diperlihatkan di atas, adalah seorang wanita cantik yang miskin, karena lengan bajunya yang sobek. Bibirnya dipoles lipstik dan memakai gelang. Siapa wanita ini (apakah juga pelacur?) dan apa yang dipikirkan pelukis saat melukis kita tidak tahu. Tetapi dari struktur segi tiga maupun artikulasi lukisan ini memperlihatkan pengaruh seni lukis Romantisme dan zaman Barok yang seakan berpose laiknya sebuah adegan drama, yang menggambarkan kemolekan seorang wanita. Apakah lukisan ini mengandung aspek pornografi? Seorang teman penulis mengatakan ya!! Alasannya: "pakaian kebaya itu menonjolkan lekuk tubuh dan dada".
Di sini kita melihat sebuah diskrepansi makna antar budaya (etika sosial budaya yang berbeda). Pada hal bagi wanita di Jawa pakaian ini adalah pakaian tradisional yang dihormati. Benar seperti yang dikatakan oleh Bur Rasuanto, bahwa "wanita ditampilkan sebagaimana wanita yang diinginkan pelukis" hal ini terlihat dari gesture seperti polesan lipstik, senyum dibibir, gerak menggeliat, gerakan tangan, penonjolan bagian tubuh yang seksi dan sebagainya, yang merupakan ciri dari lukisan Basuki Abdullah. Sebaliknya, pengamat mungkin tidak menyadari bahwa lukisan itu adalah potret dari sebuah budaya. Jadi disini kita mendapat jawaban dari apa yang yang dipertanyakan oleh Bur Rasuanto, bahwa tanggapan pengamat sebenarnya berasal kebenaran dari sistem kognisi yang ada, yang kedua adalah kebenaran dari nilai-nilai budaya, kedua hal ini bisa berbeda yang akan menimbulkan diskrepansi makna.
Contoh-contoh desain pakaian adat yang akan menimbulkan diskrepansi makna antar sosial budaya
Di bawah ini adalah sebuah contoh dimana pengalaman pahit seniman yang ingin diungkapkan dalam karya seni, yang menurut pelukis terlepas dari masalah pornografi (cuplikan kuratorial lukisan Chusin).
"Disharmony" 1999 444x394 oil on canvas" karya Chusin Setiadikara
Dalam lukisan Basuki Abdullah yang berjudul "menyisir rambut" seperti yang diperlihatkan di atas, adalah seorang wanita cantik yang miskin, karena lengan bajunya yang sobek. Bibirnya dipoles lipstik dan memakai gelang. Siapa wanita ini (apakah juga pelacur?) dan apa yang dipikirkan pelukis saat melukis kita tidak tahu. Tetapi dari struktur segi tiga maupun artikulasi lukisan ini memperlihatkan pengaruh seni lukis Romantisme dan zaman Barok yang seakan berpose laiknya sebuah adegan drama, yang menggambarkan kemolekan seorang wanita. Apakah lukisan ini mengandung aspek pornografi? Seorang teman penulis mengatakan ya!! Alasannya: "pakaian kebaya itu menonjolkan lekuk tubuh dan dada".
Di sini kita melihat sebuah diskrepansi makna antar budaya (etika sosial budaya yang berbeda). Pada hal bagi wanita di Jawa pakaian ini adalah pakaian tradisional yang dihormati. Benar seperti yang dikatakan oleh Bur Rasuanto, bahwa "wanita ditampilkan sebagaimana wanita yang diinginkan pelukis" hal ini terlihat dari gesture seperti polesan lipstik, senyum dibibir, gerak menggeliat, gerakan tangan, penonjolan bagian tubuh yang seksi dan sebagainya, yang merupakan ciri dari lukisan Basuki Abdullah. Sebaliknya, pengamat mungkin tidak menyadari bahwa lukisan itu adalah potret dari sebuah budaya. Jadi disini kita mendapat jawaban dari apa yang yang dipertanyakan oleh Bur Rasuanto, bahwa tanggapan pengamat sebenarnya berasal kebenaran dari sistem kognisi yang ada, yang kedua adalah kebenaran dari nilai-nilai budaya, kedua hal ini bisa berbeda yang akan menimbulkan diskrepansi makna.
Contoh-contoh desain pakaian adat yang akan menimbulkan diskrepansi makna antar sosial budaya
Wanita Bali dengan pakaian tradisionalnya. Foto diambil tahun 1936. Sumber: Prentenkabinet Leiden
Orang-orang papua dengan pakaian adat tradisonalnya (koteka dan rok jerami, tanpa penutup dada)
sumber:https://blogger.googleusercontent.com/img/b/R29vZ2xl/AVvXsEgmVD35Tz0MIrAaKZobT_wfQfGLQzo8I9crL7rIeCAlyuh6DRYgqcpXGcvGpSUkqdqyUpiU4bZt0Z50TRtCnibp8g0D7nva8qNa3yvDwXx9G15mronjBYw_h7NV6cT1wQBbSC-79NQx3iw/s1600/IrianChoir.jpg
Di bawah ini adalah sebuah contoh dimana pengalaman pahit seniman yang ingin diungkapkan dalam karya seni, yang menurut pelukis terlepas dari masalah pornografi (cuplikan kuratorial lukisan Chusin).
"Disharmony" 1999 444x394 oil on canvas" karya Chusin Setiadikara
"Tanda yang bisa dijadikan dasar untuk melihat lukisan realistik Chusin sebagai bahasa metaforis adalah lukisan-lukisan ini mencerminkan upaya memahami realitas. Pada upaya ini Chusin tidak menciptakan bahasa baru. Seperti seniman di mana pun, bahasa ungkapan dalam berkarya diadaptasi dari berbagai pilihan yang disodorkan sejarah seni rupa. Chusin mengadaptasi seni lukis realistik—sudah berkembang dan digunakan untuk menyalin realitas—dan menjadikannya bahasa metaforis. Chusin mengkonversikan bahasa ini menjadi bahasa metaforis".
Lebih lanjut Jim menjelaskan sebagai berikut.
"Dalam sejarah, mob rape dan gang rape muncul berulang sebagai kejahatan perang (dari Zaman Jengis Khan sampai Perang Vietnam), sebagai bagian pada pertentangan etnis (seperti terjadi pada ketegangan Pakistan-Bangladesh), dan, media menyatakan kebencian rasial (menjadi upacara ritual gerakan Klu Klux Klan di Amerika Serikat). Kajian perilaku seksual menunjukkan penistaan tubuh perempuan ini selalu dilakukan untuk menjatuhkan mental sesuatu masyarakat. Pergolakan sosial yang terjadi pada Mei 1998, tidak bisa disangkal menyerang masyarakat Tionghoa sebagai akibat ketegangan rasial yang panjang pada pemerintahan Suharto.Chusin membuat dua lukisan dengan tema kejadian itu; Disharmony (1999) dan The Float and The Might (2002). Pada Disharmony, kegelisahan yang terlihat nyata membuat lukisannya menjadi tidak biasa. Lukisan ini, misalnya, memberitakan kekerasan lewat tanda-tanda jelas, dan, kesedihan sentimental lewat simbol bunga mawar. Namun The Float and The Might yang mencerminkan proses kontemplasi tidak lagi memperlihatkan tanda-tanda kejadian Mei, 1998. Chusin mengemukakan, akhirnya ia memang tidak punya pendapat tentang peristiwa ini. Paralel dengan lukisan-lukisan ini Chusin membuat serangkaian lukisan nude dengan warna khromatik yang kemudian dikenal sebagai white on white series. Lukisan-lukisan ini membangun kesan sublim." (lukisan di atas adalah salah satu rangkaian nude itu)
Jim Supangkat, dalam "Chusin Sang Pelukis Realis" (2011)
Pornografi itu umumnya berasal dari tampilan manusia, khususnya wanita. Penilaian masyarakat terhadap pornografi umumnya streotipe, karena proses persepsi umumnya bersifat "top down processing", yaitu berdasarkan pengetahuan yang telah ada (dimiliki) sebelumnya oleh pelaku maupun pengamat. Contoh nyata adalah, oleh karena orang Papua "hanya memiliki pengetahuan" berpakaian itu sudah sopan melalui "koteka" dan wanitanya pakai rok jerami dan "tidak berpenutup dada" dianggap lazim. Tetapi bagi masyarakat lain hal ini mungkin dianggap porno.
Lihat Juga
Hal 3. Kasus Pornografi Pada karya Grafis dan Desain | Hal 1.Persepsi terhadap Karya Seni |
tamdeğir
BalasHapus