Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Minggu, 26 Mei 2013

Partisipasi Politik: Pola Perilaku Pemilih Pemilu Masa Orde Baru dan Reformasi

Oleh: YALVEMA MIAZ, MA, Ph.D
(Editor Tulisan ini:  Nasbahry Couto)
Uraian lebih lengkap ada dalam buku ini, 

isinya antara lain: (1) pendahuluan, (2) teori tentang partisipasi politik dan perilaku politik, Partai politik dari masa ke masa, (3) Hasil penelitian penulis tentang Pemilu, (4) Faktor-faktor yang mempengaruhi Partai Politik, dll. Terbitan: UNP Press, Padang, 2012. Buku ini menarik di baca, menjelang hajatan besar pemilu di Indonesia 2014








1. Latar Belakang
   Era kemajuan teknologi informasi dan penyiaran media masa yang meluas telah memberikan kontribusi untuk meningkatkan kebutuhan hiruk pikuk informasi. Peningkatan status sosial ekonomi yang diiringi berkembangnya pengetahuan politik masyarakat dan menjadikan informasi, isu-isu aktual sebagai santapan sehari-hari. Era keterbukaan informasi dan komunikasi dari berbagai sumber media masa termasuk internet secara tidak langsung meningkatkan pula kesadaran masyarakat peduli kepada masalah politik. Pada gilirannya di masyarakat terjadi berbagai perubahan sosial dan bahkan pola pikir masyarakat ke arah maju.
Proses perubahan sosial tidak hanya di pengaruhi oleh program-program pembangunan regional, tetapi juga oleh berbagai pengaruh luar. Salah satu di antaranya perkembangan politik. Kemajuan teknologi komunikasi  informasi yang pesat pada era globalisasi telah mempersingkat “jarak” di antara penduduk yang mendiami seluruh pelosok dunia. Kemudahan berkomunikasi dan penyampaian informasi berlangsung sangat cepat dengan sistem teknologi yang semakin canggih seperti radio, televisi, telepon, internet, dan media cetak.  Warga dunia dalam tempo singkat bisa membahas isu-isu perkembangan sosial ekonomi, budaya, dan bahkan isu politik terBaru baik pada peristiwa nasional maupun internasional.


Ketika arus teknologi informasi yang semuanya berlangsung dengan serba cepat akan menjadi faktor utama dalam mengubah pola berpikir orang untuk mengetahui dan memahami hak-hak sebagai warga negara, sistem kenegaraan, dan kemasyarakatan. Asiah Sarji (1991:30) mengemukakan sebagian besar perkembangan kemajuan dan pola pikir kritis  masyarakat adalah pengaruh media masa terutama televisi yang telah banyak mengubah kepedulian terhadap masalah sosial, politik, dan ekonomi negara.
Sejalan dengan itu menurut Cahyono (1998:151), perubahan status sosial ekonomi, pendidikan dan kemudahan sistem informasi media masa yang gencar dapat meningkatkan pengetahuan dan partisipasi politik masyarakat. Secara positif informasi yang cukup mengenai perkembangan politik akan meningkatkan kualitas pengetahuan politik masyarakat dalam praktik demokrasi. Demokrasi itu sendiri mengandung pengertian sistem politik dan kuasa pemerintahan berada di tangan masyarakat (Giddens 1993:330). Demokrasi adalah suatu sistem politik di mana memberikan peluang kepada masyarakat untuk membentuk dan mengawal pemerintahan negara dan lembaga perwakilan (Sukdan 1999:45). Kemajuan pendidikan dan diiringi oleh berfungsinya sistem informasi, sangat berpeluang membuka minat masyarakat mengenal konsep-konsep demokrasi antara lain keinginan untuk melibatkan diri dalam proses demokrasi, seperti partisipasi di dalam kegiatan pemilu. Dalam pendidikan politik itu masyarakat akan menjadi peka terhadap isu-isu terBaru kenegaraan.
Menurut Rauf (1998:12) bahwa kemajuan di bidang politik yang terjadi di negara-negara modern oleh masyarakat akan menjadi inspirasi untuk menilai perkembangan politik negara. Setiap orang dengan cepat dapat menilai perkembangan demokrasi di negara masing-masing dan membandingkannya dengan negara lain. Hal ini sangat positif dalam upaya menumbuhkembangkan pemikiran kritis masyarakat agar negara mereka dapat pula membangun suatu sistem demokrasi yang maju. Ketika warga negara telah memiliki pengetahuan politik akan diiringi oleh kesadaran untuk ikut terlibat berpartisipasi politik seperti ikut memilih dalam pemilu dan  menegakkan sistem demokrasi yang terus berkembang ke arah demokrasi yang ideal. Artinya di tengah masyarakat akan melahirkan rasa tanggung jawab, motivasi, minat, dan persepsi yang baik di dalam suatu proses pemilu.


 Sambungan

Gejala adanya kepekaan politik yang terjadi akhir-akhir ini di kalangan masyarakat  di berbagai tempat di dunia menimbulkan bertumbuhnya sistem demokrasi. Menurut Huntington (1991:13) fenomena gelombang ke-3 demokrasi global telah terjadi di negara-negara modern dan perubahan praktik demokrasi telah dimulai di berbagai negara otoriter yang berkeinginan menggantinya menjadi negara demokrati. Dikatakan gelombang demokrasi dimulai di Portugis tahun 1974 dan meluas kepada 30 negara otoriter lainnya di Asia, Afrika dan termasuk di Korea Selatan dan negara-negara Amerika Latin yang menghancurkan sistem pemerintahan otoriter sejak tahun 1980-an dan di Eropah Timur sejak tahun 1990-an sejalan dengan era globalisasi.
Menurut Liddle (2000:5) kebangkitan demokrasi di negara-negara yang sedang membangun yang terjadi setelah tahun 1990-an seperti di Filipina, Thailand, Taiwan, Korea Selatan, dan Pakistan. Pemerintahan otoriter di negara tersebut telah digantikan dengan sistem demokrasi dan pemerintahan berdasarkan pilihan masyarakat melalui pemilu. Diawali dari krisis kepercayaan masyarakat kepada pemerintah dan tidak lagi mendukung para pemimpinnya seperti terjadi di Argentina dan Brasil. Di samping itu, ada indikasi tentang keinginan masyarakat untuk melibatkan diri dalam Reformasi politik. Di Filipina dan Pakistan bahkan ribuan pengunjuk rasa ingin menumbangkan rezim berkuasa ketika Presiden Filipina Ferdinand Marcos menjalankan kekuasaan bertahun-tahun secara otoriter. Masyarakat di negara tersebut akhirnya berhasil membangun pemerintahan yang demokratis.
Ketika rezim lama telah tumbang dan diganti oleh pemerintahan demokrasi, maka kekuatan masyarakat dalam  kekuasaan semakin besar dalam pemerintahan. Peranan dan kekuatan masyarakat yang datang dari lapisan bawah (people power) untuk menumbangkan pemerintahan otoriter terbukti berhasil  di banyak tempat di dunia (Noer 2003:26).      

2. Pemilu Dan Dinamikanya

Sebagai sebuah negara berkembang, Indonesia yang merdeka sejak tahun 1945, namun di dalam praktik  demokrasi seperti melaksanakan pemilu Baru berlangsung beberapa kali, hal ini karena Indonesia menghadapi banyak masalah internal. Pemilu demokratis pertama berlangsung pada tahun 1955 bertujuan untuk memilih anggota-anggota DPR dan Konstituante. Pemilu ini dipersiapkan di bawah pemerintahan Perdana Menteri Ali Sastroamidjojo. Namun, Ali Sastroamidjojo mengundurkan diri dan kepala pemerintahan akhirnya dipegang oleh Perdana Menteri Burhanuddin Harahap.
Sesuai tujuannya, Pemilu 1955 ini dibagi menjadi dua tahap, yaitu: tahap pertama adalah pemilu untuk memilih anggota DPR. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 29 September 1955, dan diikuti oleh 29 partai politik dan individu, tahap kedua adalah pemilu untuk memilih anggota Konstituante. Tahap ini diselenggarakan pada tanggal 15 Desember 1955. Lima besar pemenang dalam Pemilu ini adalah Partai Nasional IndonesiaMasyumiNahdlatul UlamaPartai Komunis Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pada masa pemilu waktu itu demokrasi di Indonesia berkembang sangat positif. Masyarakat dengan bebas memilih partai yang bertanding secara jujur dan adil. Namun, suasana pemerintahan ketika itu tidak cukup kuat karena pemimpin politik masing-masing berusaha merebut jabatan Perdana Menteri. Kabinet yang dibentuk bahkan sering berganti-ganti pemimpin.
Selama 16 tahun setelah pemilu (1955)  tidak ada lagi pemilu yang diadakan sampai rezim Soekarno berganti ke rezim Soeharto atau rezim Orde Baru (1966). Pemerintahan Soeharto menyebut era Soekarno sebagai rezim Orde lama (Orla). Pemilu dalam masa kekuasaan Soeharto Baru dilaksanakan tahun 1971 diikuti oleh 10 partai politik. Lima besar dalam Pemilu ini adalah Golongan KaryaNahdlatul UlamaParmusiPartai Nasional Indonesia, dan Partai Syarikat Islam Indonesia.
Pemilu pada tahun 1975 dilaksanakan berdasarkan Undang-Undang Nomor 3 Tahun 1975 tentang Partai Politik dan Golkar, ketika itu dilakukan fusi (penggabungan) partai-partai politik, menjadi hanya dua partai (Partai Persatuan Pembangunan dan Partai Demokrasi Indonesia) dan satu Golongan KaryaDalam masa rezim Soeharto berkuasa pemilu tercatat sebanyak enam kali antara tahun 1971 sampai 1997. Pemilu ini disebut juga sebagai "Pemilu Orde Baru". Sesuai peraturan Fusi Partai Politik tahun 1975, pemilu-pemilu tersebut hanya diikuti dua partai politik dan satu Golongan Karya. Pemilu-pemilu ini kesemuanya dimenangkan oleh Golongan Karya. Pemilu selanjutnya diselenggarakan pada tahun 1982, 1987, 1992 dan 1997.

Pemilu berikutnya, sekaligus pemilu pertama setelah runtuhnya Orde Baru, yaitu pemilu 1999 dilangsungkan pada tanggal 7 Juni 1999 di bawah pemerintahan Presiden BJ Habibie dan diikuti oleh 48 partai politik. Lima besar Pemilu 1999 adalah Partai Demokrasi Indonesia PerjuanganPartai GolkarPartai Persatuan PembangunanPartai Kebangkitan Bangsa, dan Partai Amanat Nasional.
Walaupun Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) meraih suara terbanyak dengan perolehan suara nasional sekitar 35 persen, yang diangkat menjadi presiden bukanlah calon dari partai itu (Megawati Soekarnoputri), melainkan dari Partai Kebangkitan Bangsa, yaitu Abdurrahman Wahid (pada saat itu, Megawati hanya menjadi wakil presiden). Hal ini dimungkinkan terjadi karena pemilu 1999 hanya bertujuan memilih anggota MPR, DPR, dan DPRD, sementara pemilihan presiden dan wakilnya dilakukan oleh anggota MPR yang sudah terpilih dalam pemilu.
Pemilu yang diadakan tahun 1999 yaitu pemilihan yang dipercepat oleh rezim Baru atau Orde Reformasi. Presiden Megawati Soekarnoputri yang merupakan presiden ketiga masa peralihan pendek setelah Habibie dan Gus Dur mencanangkan pemilu terbagi dua bagian yaitu pemilu parlemen dan pemilu presiden dan wakil presiden. Pemilihan parlemen diadakan pada 5 April 2004 yang dimenangkan oleh partai Golkar dan setelah itu diadakan pemilu presiden. Maka, Dr. Susilo Bambang Yudoyono (SBY) dan Drs. Muhammad Yusuf Kalla (JK) dicatat sebagai presiden dan wakil presiden pertama dalam pemilu tersebut yang menjabat  sampai tahun 2009. Pelantikan dilakukan oleh Majelis Permusyawaratan Masyarakat (MPR) pada tanggal 20 Oktober 2004. Sejak masa Reformasi tersebut, Indonesia boleh dikatakan telah menggunakan sistem demokrasi “Baru” seperti di negara-negara demokrasi lain di dunia.
Walaupun pemilu sudah berlangsung secara teratur setiap lima tahun, tetapi praktik demokrasi belum lagi berjalan menurut sewajarnya (Gaffar 1999:33). Pemilu belum memberikan kebebasan sebagaimana yang dituntut oleh sebuah sistem demokrasi, justru dipenuhi banyak kecurangan. Pemilu tidak lebih sebagai upaya rezim untuk memberikan informasi kepada dunia luar bahwa Indonesia sudah melaksanakan pemilu secara demokratis dan pemerintahan berkuasa (rezim Orde Baru) dicitrakan terbentuk berdasarkan pilihan rakyat secara demokratis. Padahal praktik demokrasi sama sekali tidak berjalan dan lembaga parlemen tidak lebih hanyalah sebagai stempel lambang demokrasi.
Rezim Soeharto yang berkuasa terdiri dari militer, elit-elit yang kebanyakan dari pejabat instansi negara termasuk pensiunan (purnawirawan). Menurut Lidle (2000:13) bahwa partai rezim tersebut menguasai mayoritas parlemen di lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Masyarakat (MPR) dan Dewan Perwakilan Masyarakat (DPR). Oleh karena itu, kekuasaan yang dijalankan oleh pemerintah seluruhnya berdasarkan pada kepentingan rezim Soeharto sehingga partai oposisi tidak berdaya di parlemen/legislatif.
Orde Baru di bawah kekuasaan Soeharto sangat dominan. Melalui kekuasaan itu pula Soeharto menjadi sangat kuat berkuasa selama 32 tahun. Kekuatan otoriter ini pula telah memberi peluang besar terjadinya korupsi, kolusi, dan nepotisme. Praktik-praktik korupsi terjadi di berbagai instansi pemerintah. Keuangan negara digerogoti tanpa bisa disentuh hukum. Pemerintahan dijalankan dengan praktik kolusi dan nepotisme yang memberikan perlakuan istimewa terhadap kerabat dan konco-konco pemegang kekuasaan.
Dengan pola pemerintahan sentralistik, menjadikan peranan pemerintah pusat sangat dominan, sebaliknya pemerintah daerah tidak punya peran yang signifikan. Dalam bidang ekonomi sebagian besar kekayaan dari daerah diangkut ke pusat. Pembagian yang tidak adil inilah mencuat deras di awal Reformasi menuntut berpisah dari pemerintah pusat terutama terjadi di daerah-daerah yang kaya sumber daya alam, seperti Aceh, Riau, Kalimantan Timur, dan Irian Jaya (Papua). Setelah Reformasi tuntutan itu semakin memudar karena sistem birokrasi pemerintahan diserahkan ke daerah (desentralisasi).
Kekuatan bangsa seperti gerakan mahasiswa, intelektual, media masa dan pers hampir tidak bisa leluasa bergerak menyuarakan aspirasi masyarakat. Kebebasan mimbar di kampus senantiasa diawasi rezim Soeharto. Kebebasan pers belum mampu diwujudkan, seluruh unsur pers dikawal pemerintah dan jika ada media masa yang dianggap merugikan atau menyiarkan pemberitaan yang kritis kepada pemerintah, maka izin penerbitan media bersangkutan akan dicabut. Banyak media masa yang mengalaminya seperti Majalah berita Tempo, Ekspres, koran Indonesia Raya, Sinar Harapan dan sebagainya. Perbuatan semena-mena ini justru membangkitkan semangat perlawanan kepada pemerintah.
Krisis politik pada akhir Orde Baru ditandai dengan kemenangan mutlak Golkar dalam Pemilu 1997 yang dinilai penuh kecurangan, Golkar satu-satunya kontestan pemilu yang didukung finansial maupun secara politik oleh pemerintah untuk memenangkan pemilu dengan meraih suara mayoritas. Kemenangan Golongan Karya dinilai oleh para pengamat politik di Indonesia dan asing sebagai pemilu yang tidak jujur dan tidak adil (jurdil) penuh intimidasi terhadap para pemilih. Dalam pemilihan presiden melalui parlemen, Soeharto selalu terpilih dan tanpa batas masa (periodesasi). Pemilihan Soeharto kembali dilakukan sebagai presiden dalam sidang umum MPR tahun 1998, waktu itu mayoritas anggota DPR/MPR mendukung Soeharto menjadi presiden untuk periode 1998-2003.
Golkar yang pada mulanya disebut sebagai Sekretariat Bersama (Sekber) Golongan Karya, lahir dari usaha untuk menggalang organisasi-organisasi masyarakat dan angkatan bersenjata, muncul satu tahun sebelum peristiwa G30S/PKI pada tanggal 20 Oktober 1964. Organisasi ini lahir dari pusat dan dijabarkan sampai kedaerah-daerah. Di samping itu, untuk tidak adanya loyalitas ganda dalam tubuh Pegawai Negeri Sipil maka Korpri (Korps Pegawai Republik Indonesia) yang lahir tanggal 29 Nopember 1971 ikut menggabungkan diri ke dalam Golongan Karya. Golkar ini kemudian dijadikan kendaraan politik Soeharto untuk mendukung kekuasaannya selama 32 tahun, tidak ada satupun kritik dari infra struktur politik yang berani mengusiknya. Di Golkar Soeharto diangkat sebagai Ketua Dewan Pembina, yaitu kekuasaan tertinggi di tubuh partai itu.
Demokrasi semu dan kedaulatan masyarakat hanya ada di tangan kelompok tertentu dan penguasa. Kedaulatan di tangan masyarakat yang dilaksanakan sepenuhnya oleh MPR yang sebenarnya sudah diatur dan direkayasa, sehingga sebagian besar anggotanya diangkat dengan sistem keluarga (nepotisme). Situasi itu terpendam di tengah masyarakat bagai duri dalam daging yang selalu mengentak.
Seusai  pemilu 1997, kekuatan perlawanan masyarakat makin tampak dipermukaan, dengan isu utama pemerintahan Orde Baru yang korup, penuh kolusi, dan nepotisme. Masyarakat kampus terdiri dari cendikiawan dan mahasiswa mulai menyusun kekuatan besar untuk menumbangkan Orde Baru. Di Jakarta dan kota-kota lain demonstrasi dan kemarahan masyarakat kepada rezim Soeharto sudah terang-terangan. Puncaknya ketika Soeharto dilantik parlemen/legislatif setelah pemilu 1997 untuk menjabat Presiden untuk periode ke tujuh kali.
Rasa ketidakpercayaan masyarakat kepada pemerintah, DPR, dan MPR memicu cepat gerakan Reformasi. Kaum reformis yang dipelopori mahasiswa, dosen, dan masyarakat menuntut pergantian presiden, reshuffle kabinet, Sidang Istimewa MPR, dan pemilu secepatnya. Gerakan menuntut Reformasi total disegala bidang, termasuk anggota DPR/MPR yang dianggap penuh dengan KKN dan menuntut pemerintahan yang bersih dan bebas dari kolusi, korupsi, dan nepotisme.
Gerakan Reformasi menuntut pembaharuan lima paket undang-undang politik yang menjadi sumber ketidakadilan, yaitu : (1) UU No. 1 Tahun 1985 tentang Pemilu; (2) UU No. 1 Tahun 1985 tentang susunan, kedudukan, Tugas, dan wewenang DPR/MPR; (3) UU No. 1 Tahun 1985 tentang partai politik dan Golongan Karya; (4) UUNo. 1 Tahun 1985 tentang Referendum; (5) UU No. 1 Tahun 1985 tentang organisasi masa.
Aspirasi masyarakat yang disekat parlemen telah mencetuskan unjuk rasa besar-besaran oleh ribuan orang terdiri dari mahasiswa, elemen-elemen organisasi masyarakat pada 13-15 Mei 1998 dan pada peristiwa tersebut ratusan orang menjadi korban Liddle (2001:94-116). Soeharto dipaksa meletakkan jabatan presiden pada 21 Mei 1998, maka rezim Reformasi lahir di Indonesia, kepemimpinan negara diganti oleh Wakil Presiden yaitu Prof. Dr. Burchanudin Jusuf Habibie.
Habibie pengganti Soeharto berusaha untuk menghilangkan citra otoriter pemerintahan sebelumnya. Beliau minta agar dilakukan perubahan ke arah pemerintahan yang demokratis dan mengganti undang-undang partai politik serta dapat menyelenggarakan pemilu dalam waktu yang singkat (1999) yaitu suatu pemilu yang bebas, jujur dan adil. Beberapa langkah perubahan diambil oleh Habibie, seperti liberalisasi parpol, pemberian kebebasan pers, kebebasan berpendapat, dan pencabutan UU Subversi.
Selain itu, dalam masa pemerintahan Habibie kebijakan untuk mengizinkan Timor Timur untuk mengadakan referendum yang berakhir dengan berpisahnya wilayah tersebut dari Indonesia pada Oktober 1999. Keputusan tersebut terbukti tidak populer di mata masyarakat sehingga sampai saat ini pun masa pemerintahan Habibie sering dianggap sebagai salah satu masa kelam dalam sejarah pemerintahan Indonesia. 
Pada pemilu awal Reformasi yang diselenggarakan pada 1999 partai PDI-Pimpinan Megawati Soekarnoputri berhasil meraih suara terbanyak (sekitar 35%). Tetapi karena jabatan presiden masih dipilih oleh MPR saat itu, Megawati tidak secara langsung menjadi presiden. Abdurrahman Wahid, pemimpin PKB, partai dengan suara terbanyak kedua saat itu, terpilih kemudian sebagai presiden Indonesia ke-4. Megawati sendiri dipilih Gus Dur sebagai wakil presiden. Sejak itulah pintu demokrasi Indonesia sudah terbuka (Liddle 2002:5).
Secara keseluruhan sejak merdeka sampai pada awal Reformasi pemilu parlemen telah diadakan sebanyak tujuh kali, pertama pada tahun 1955, enam kali dimasa rezim Orde Baru (1971, 1977, 1982, 1987, 1992, dan 1997). Pemilu tahun 1999 merupakan pemilu pertama Reformasi. Selanjutnya secara beruntun dilakukan setiap 5 tahun.
Setelah pemilu era Reformasi sukses dilaksanakan pada bulan Juli 2004, maka untuk yang pertama telah diadakan pula pemilu Presiden dan Wakil Presiden. Maka sejak tahun 2004 Indonesia dicatat dunia sepenuhnya telah mengamalkan demokrasi seperti yang dicita-citakan seluruh bangsa. Dari tiga rezim tersebut, maka penyelenggaraan pemilu yang difokuskan disini adalah khusus pemilu tahun 1997 dan 1999 yaitu antara dua masa rezim yang berbeda, rezim Soeharto dan era Reformasi politik di Indonesia. Hal ini penting karena selama rezim Soeharto sebanyak enam kali pemilu yang diadakan secara keseluruhan dimenangkan partai pemerintah (partai Golkar). Ini menunjukkan bahwa pola pemilihan partai mayoritas bertumpu kepada partai tertentu saja yaitu partai pemerintah.
Pemilu pada era Reformasi memperlihatkan perubahan pemilih yang cukup signifikan. Dukungan para pemilih kepada partai pemerintah yang telah berkuasa selama 32 tahun menurun. Partai Golkar hanya memperoleh 22 persen dan dibandingkan dengan partai oposisi yaitu Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) yang meraih sebanyak 34 persen. Jumlah partai politik yang bertanding pada tahun 1997 sebanyak 3 partai dan tahun 1999 sebanyak 48 partai, ini karena perubahan Undang-undang pemilu yang disahkan (1998) dan memberikan peluang untuk mendirikan partai Baru sebelum pemilu tersebut dilangsungkan (1999).
Bagi negara yang menganut sistem demokrasi, kekuasaan ditentukan oleh jumlah suara  dalam satu pemilu. Masyarakat diberi hak memilih partai atau pemimpin negara mereka sendiri (Abas 1987:3). Artinya, pemerintahan demokrasi adalah pemerintah yang takluk kepada persetujuan masyarakat dan menjalankan tugas-tugas dan kebijakannya untuk melaksanakan kehendak masyarakat. Apabila suasana demokrasi telah berkembang seseorang akan lebih terbuka untuk berpolitik dan akan banyak melibatkan diri dalam kegiatan politik, termasuk memilih dalam pemilu.
Menurut Milbrath (1965:68) bahwa seseorang akan merasa peka dan melibatkan diri dalam kegiatan politik apabila telah mempunyai sikap, persepsi, minat, dan pemahaman yang cukup mengenai politik. Keterlibatan seseorang dalam kegiatan politik itu seperti mengadakan komunikasi, memasuki organisasi politik dan mengikuti perkembangan politik melalui media masa.
Bagi seseorang yang sudah memiliki pemahaman politik, mereka akan memilih secara bebas dan jujur menurut hati nuraninya. Oleh karena itu, substansi pemilu adalah sebuah proses berpolitik yang terpenting, karena akan berpengaruh bagi penentuan kekuasaan dan kepemimpinan politik. Sistem pemerintahan demokrasi telah menekankan supaya wakil-wakil masyarakat mestilah dipilih secara terbuka berdasarkan kelayakan dan persyaratan  pencalonan. Apabila sesuatu pemilu diadakan untuk memilih anggota parlemen atau DPR daerah, persaingan ketat akan terjadi di kalangan partai politik. Partai-partai politik yang menang dan mendapat perolehan suara tertinggi secara otomatis akan membentuk pemerintahan. Ini berarti partai yang menang akan terus memimpin pemerintah atau menggantikan partai yang pernah berkuasa sebelumnya.
Pemilihan Umum (pemilu) merupakan salah satu instrumen terpenting dalam sistem politik demokrasi modern. Pemilu menjadi salah satu parameter utama untuk diakui masyarakat internasional untuk melihat demokratis tidaknya suatu negara. Bagi Chehabi dan Linz (1998) menyatakan bahwa ketika perang dingin berlangsung, hampir semua negara ingin berusaha mengidentifikasi diri sebagai negara demokratis dengan cara melaksanakan pemilu secara berkala. Walau pada saat yang lain, pemilu seringkali dilakukan hanya untuk melegitimasi tindakan nyata rezim yang otoriter. Karena dalam kenyataannya, masyarakat internasional kini hampir menyepakati bahwa tidak ada satu pun negara yang dikategorikan sebagai negara demokratis apabila tidak menyelenggarakan pemilu, terlepas dari bagaimana kualitas pelaksanaannya.
Pemilu hakikatnya merupakan proses sekaligus sarana demokratis untuk menyalurkan aspirasi masyarakat. Pemilu merupakan proses sirkulasi elit yang bersifat inklusif di mana semua warga secara terbuka memiliki kesempatan untuk memilih dan dipilih. Melalui prosesi pemilu, masyarakat memiliki kesempatan untuk menentukan beragam harapan, keinginan, dan berbagai kepentingannya melalui pilihan-pilihan politiknya yang disalurkan dalam pemilu. Dalam tataran idealitas-normatif, bahkan, melalui mekanisme pemilu inilah masyarakat menentukan pilihan haluan kehidupan bernegara secara paripurna. Karena itulah dalam konteks pemilu, masyarakat sebagai pemilih memiliki urgensi tersendiri. Karena itu pula, dalam konteks pemilu, perilaku pemilih menjadi salah satu elemen penting untuk dikaji. Kajian atas perilaku pemilih bukan saja dimanfaatkan untuk mendulang suara, namun terutama untuk melihat dan memahami konstelasi harapan dan kepentingan masyarakat dalam konteks politik demokratik.
Selanjutnya, pemilu adalah ruang memilih wakil masyarakat atau parlemen yang kelak akan berjuang untuk memenuhi seluruh harapan dan keinginan masyarakat (Gaffar 1999:xi). Maka negara yang bercorak demokrasi, kekuasaan ditentukan oleh jumlah suara sesuatu partai yang memenangi suara terbanyak pemilu. Masyarakat diberi hak memilih partai atau pemimpin negara mereka sendiri, pemilu sebagai praktik proses demokrasi menjadi arena satu-satunya ruang politik yang terbuka bagi masyarakat untuk menyatakan pendirian dan sekaligus memberikan suara terhadap partai yang bakal memerintah. Ini bermakna bahwa, negara bercorak demokrasi adalah negara yang takluk kepada persetujuan masyarakat dan menjalankan tugas-tugas dan kebijaksanaan untuk melaksanakan kehendak masyarakat.
Menurut Lidle (2000:13) bahwa partai rezim berkuasa telah menguasai mayoritas parlemen yaitu di lembaga tertinggi negara seperti Majelis Permusyawaratan Masyarakat (MPR) dan Dewan Perwakilan Masyarakat (DPR). Oleh karena itu, kebijakan yang dijalankan pemerintah secara keseluruhan menurut kepentingan dan kemauan Soeharto dan parlemen tidak berdaya, apa lagi partai oposisi.
Para pemerhati politik di Indonesia melihat bahwa fungsi partai politik di Indonesia tidak berkembang menurut sewajarnya. Walaupun partai Golkar senantiasa menang mayoritas pada setiap pemilu, tapi partai tersebut tidak dapat memainkan peranannya dalam pemerintahan karena kebanyakan jabatan-jabatan dalam pemerintahan tidak diberikan kepada partai Golkar tetapi kepada orang-orang yang terdekat dengan Soeharto seperti teman-teman atau keluarganya. Ini bertujuan agar kekuasan negara tetap terpusat seluruhnya di tangan Soeharto. Keadaan inilah yang menjadikan Soeharto dikatakan sebagai pemimpin otoriter. Masyarakat beranggapan Soeharto sebagai pemimpin yang dipenuhi oleh KKN (Korupsi, Kroni, Nepotisme).
Pada masa rezim lama berkuasa partisipasi politik pada pemilu sangat diragukan validitasnya. Rezim Soeharto melakukan banyak melakukan kecurangan di mana pada akhirnya selalu dimenangkan Golkar. Berbagai cara untuk melemahkan partai lain kasusnya terjadi di mana-mana. Masyarakat pemilih yang datang ke tempat pemungutan suara tidak seluruhnya atas kesadaran sendiri. Dalam hal ini, sulit untuk melihat bentuk partisipasi politik yang murni pada setiap pemilu berlangsung.
Fenomena partisipasi politik di Indonesia dalam Pemilu era Reformasi diduga berubah sejalan dengan pergantian rezim Orde Baru kepada Orde Reformasi. Sebagaimana diketahui, hal ini akibat perubahan sistem politik di Indonesia. Masalah partisipasi politik di Indonesia yang telah berubah adalah menarik untuk menjadi bahan perbincangan dalam diskusi.
Era kebangkitan demokrasi mencuat terutama sejak tahun 1990-an. Setelah berkuasa lebih dari 32 tahun Soeharto dinilai sudah sangat jauh menyimpang dari tujuan negara. Kekuasaan yang dipenuhi KKN (Korupsi, Kolusi, Nepotisme) ditambah krisis ekonomi yang memburuk dan utang luar negeri yang sangat besar, terhitung bulan Pebruari 1998 tercatat utang swasta nasional Rp. 73.962 miliar dolar AS dan utang pemerintah Rp. 63.462 miliar dolar AS, jadi utang seluruhnya mencapai 137.424 miliar dolar AS. Data ini diperoleh dari pernyataan Ketua Tim Hutang-Hutang Luar Negeri Swasta (HLNS), Radius Prawiro seusai sidang Dewan Pemantapan Ketahanan Ekonomi dan Keuangan (DPKEK) yang dipimpin oleh Presiden Soeharto di Bina Graha pada 6 Pebruari 1998.
Perdagangan luar negeri semakin sulit karena barang dari luar negeri menjadi sangat mahal. Negara eksportir tidak percaya kepada para importir Indonesia yang dianggap tidak akan mampu membayar barang dagangannya karena itu  menerima letter of credit (L/C) dari Indonesia. Hal ini disebabkan sistem perbankan di Indonesia yang tidak sehat karena kolusi dan korupsi.
Pemerintah Orde Baru berusaha menjadikan Indonesia sebagai negara industri yang kurang memperhatikan dengan seksama kondisi riil masyarakat agraris, dan pendidikan masih rendah, sehingga akan sangat sulit untuk segera berubah menjadi masyarakat industri. Akibatnya yang terpacu hanya masyarakat kelas ekonomi atas, para orang kaya yang kemudian menjadi konglomerat. Meskipun gross national product (GNP) pada masa Orba pernah mencapai di atas US$ 1.000,00 tetapi GNP tersebut tidak menggambarkan pendapatan masyarakat sebenamya, karena uang yang beredar sebagian besar dipegang oleh orang kaya dan konglomerat. Masyarakat secara umum masih miskin dan kesenjangan sosial ekonomi semakin besar.
Pengaturan perekonomian pada masa Orba sudah menyimpang dari sistem perekonomian Pancasila, seperti yang diatur dalam Pasal 33 ayat (1), (2), dan (3). Saat itu yang berkembang hanyalah ekonomi kapitalis yang dikuasai para konglomerat dengan berbagai bentuk monopoli, oligopoli korupsi, dan kolusi. Hal ini bertambah gawat karena suasana ekonomi dan krisis mata uang di Asia Timur 1997-98 telah turut menyumbangkan kegawatan politik yang hebat di Indonesia. Krisis tersebut mencetuskan pertukaran rezim pemerintahan di Indonesia dan Thailand (Mohd.Yusof Kasim dan Ahmad 2002:9). Nilai tukar mata uang rupiah Indonesia terhadap satu dolar Amerika bulan Juni 1997 adalah Rp 2.350, telah meningkat menjadi Rp 16.500 pada bulan Januari 1998 dan turun menjadi Rp 9.000 pada April 1999 (Suryadinata 2002:43).
Fenomena perkembangan teknologi informasi membuka peluang masyarakat  menerima informasi dengan cepat dan berkomunikasi dengan bebas sesamanya, termasuk membicarakan masalah politik. Sejalan dengan perubahan yang terjadi di dunia, keadaan seperti itu juga melanda Indonesia terutama setelah perubahan sistem demokrasi dan pergantian antara Orde Baru dan Reformasi. Sebagai negara demokrasi Indonesia menjalankan sistem politik Baru yang dilaksanakan terutama sejak pemilu tahun 1999.
Menurut Rauf (1998) perkembangan ke arah menciptakan demokrasi di Indonesia banyak juga disumbangkan oleh informasi yang disampaikan media masa dan perkembangan pendidikan meluas dan urbanisasi yang pesat. Sejak tahun 1990-an di berbagai tempat di Indonesia terjadi peristiwa unjuk rasa yang terus meluas mulai dari kalangan para buruh, mahasiswa dan intelektual serta masyarakat banyak terhadap pemerintah. Masyarakat sudah berani  memprotes kebijakan pemerintahan yang menyimpang.
Sebagai salah satu negara yang membangun, Indonesia yang berpenduduk melebihi 200 juta orang memang telah melaksanakan pembangunan negara yang pesat sejak tahun 1966, perkembangan taraf sosial ekonomi umumnya telah meningkat, tingkat  perkembangan ekonomi negara naik setiap tahun dan dari tahun 1987 sampai tahun 1992 dicatat laju pertumbuhan ekonomi 6.7 persen (Hal Hill 1996:15-17). Pendapatan per kapita meningkat pesat dari $ 60 pada tahun 1966 menjadi $ 800 tahun 1976 dan meningkat lagi $ 1200 awal tahun 1990-an, namun turun kembali 800 dollar pada tahun 1997 seiring dengan krisis ekonomi yang berlaku di Asia.
Trend ekonomi negara yang meningkat terus selama 20  tahun kepemimpinan rezim Orde Baru yang sebenarnya hanya menguntungkan kroni Soeharto. Terutama semenjak akhir tahun 1980-an ekonomi negara telah dikuasai oleh rekan-rekan Soeharto dan bahkan anak Soeharto (Siti Hardiyanti, Bambang Triatmojo, Tommy Soeharto) memiliki perusahan besar, mereka hidup dalam kemewahan tetapi masyarakat Indonesia masih banyak yang miskin. Ini merupakan salah satu puncak ketidakpuasan masyarakat kepada pemerintah.
Perubahan besar akhirnya terjadi, rezim Soeharto tidak mampu mengendalikan kemarahan masyarakat yang sudah memuncak dan Orde Baru tumbang. Persoalan  yang timbul sekarang adalah, mengapa setelah 32 tahun Rezim Soeharto berkuasa dan kemapanan partai Golkar mampu dikalahkan di dalam pemilu tahun 1999. Benarkah partisipasi politik, pola pemilihan telah berubah di Indonesia, termasuk pula di kota Bukittinggi seiring dengan berakhirnya kekuasaan rezim Orde Baru ?
Tujuan buku ini membahas fenomena politik terkini yang terjadi di antara dua masa pemilu (Orde Baru dan Orde Reformasi) di Indonesia dengan sebuah studi kasus di kota Bukittinggi. Kajian ini mencoba untuk memaparkan faktor-faktor yang dapat mempengaruhi pola partisipasi politik, dan pola perilaku pemilih pemilu antara masa Orde Baru dan Reformasi.
Menurut Hussain (1987:2) pemilih dan pemilu adalah salah satu proses politik terpenting bagi masyarakat dalam memberikan mandat mereka kepada pemerintah atau partai politik. Ini sekaligus berarti amanah untuk menjalankan pemerintahan negara. Pemilihan partai dalam  pemilu adalah sebuah proses terpenting dalam negara yang mengamalkan corak pemerintahan demokrasi (Mohd. Fuad dan Osman 2002: 117).
Untuk tujuan penulisan ini, maka point berikut menjadi tumpuan kajian: (1) melihat pengaruh identifikasi partai kepala keluarga terhadap anggota keluarganya yang telah berhak memilih;  (2) melihat pengaruh individu pemimpin/tokoh suatu partai terhadap sikap politik pemilih; (3) bagaimana pengaruh pimpinan pemerintah terhadap partisipasi politik di kawasan kajian; (4) melihat pengaruh tingkat pendidikan dan umur (usia) terhadap pola memilih partai,  dan; (5) meneliti pengaruh informasi media masa terhadap tanggapan dan sikap memilih sesuatu partai.

3.    Rangkuman

Berkaitan dengan hal yang telah dibicarakan di atas, terdapat tiga permasalahan yang utama dalam kajian ini; pertama, masalah partisipasi politik yaitu sejauhmana individu peduli terhadap pemilu yang dilangsungkan. Apakah mereka mempunyai sikap dan persepsi yang positif terhadap proses pemilu seperti terlibat mengikuti pemilihan, berkampanye, dan sebagainya. Kedua, pilihan partai, adalah sejauhmana individu terikat kepada sesuatu partai politik. Apakah mereka mudah berpindah keanggotaan atau memilih partai lain selain partai lama yang sekian lama telah didukungnya ?. Ketiga, perilaku memilih, sejauhmana partai politik menjadi identifikasi pemilih dalam pemilu ?. Apakah pemilihan seseorang pemilih didorong oleh faktor dirinya sendiri atau faktor lain seperti keluarga, pemimpin, media masa, manifesto partai atau program partai,  dan isu-isu tentang reformasi politik dan lain-lain.
   Tulisan ini merupakan sebuah kajian sosial yang lebih difokuskan kepada partisipasi politik dan pola perilaku pemilih dalam dua pemilu antara masa rezim Orde Baru (1997) dan Orde Reformasi (1999). Kajian ini juga menganalisis perilaku pemilih dalam konteks perubahan sistem politik, pembangunan negara, dan pengaruh globalisasi seperti informasi dari media masa.
Rasionalnya kajian ini adalah untuk melihat sebuah kasus sejauhmana trend dan corak pemilu dalam konteks Kabupaten/Kota. Kesan yang paling kentara dapat dilihat dewasa ini di Indonesia yaitu semakin berkurangnya jumlah pemilih partai Golkar pada pemilu tahun 1999. Hal-hal seperti ini sangat penting untuk memberikan sumbangan ke arah pengembangan teori partisipasi politik dan pola pemilihan di negara yang sedang berkembang umumnya dan di Indonesia khususnya. Hal ini diharapkan memberikan pertimbangan dan manfaat dalam mengikuti perkembangan demokrasi untuk meningkatkan kepedulian kita terhadap reformasi politik dan praktik demokrasi yang benar di masa datang.
   Kajian ini minimal guna mengetahui proses perkembangan perilaku pemilih sehingga tampak perbedaan sikap tindakan memilih antara masa rezim Orde Baru (1997) dan Orde Reformasi (1999). Adakah perubahan pemilihan ketika itu karena di Indonesia telah terjadi suasana perubahan sistem demokrasi politik yang sejalan dengan era reformasi Indonesia.
Dalam pembahasan selanjutnya, dilihat kesan perilaku seseorang dalam memilih akankah dipengaruhi oleh beberapa faktor sikap dan persepsi memilih partai. Realitanya di dalam pemilu era reformasi di Indonesia telah terjadi kemerosotan jumlah suara cukup signifikan pemilih partai Orde Lama terutama Golkar. Artinya, telah timbul pembagian baru pemilih yang jelas di antara dua masa yang berbeda antara pemilu  Orde Baru dan Reformasi. Hal-hal seperti ini sangat penting untuk melihat proses perkembangan demokrasi baru di Indonesia dan dapat menyumbangkan khazanah ilmu khususnya ke arah pengembangan teori pola pemilihan yang kebanyakan telah dibuat para ahli di negara maju. Sedangkan kajian perilaku pemilih di negara yang sedang berkembang masih terbatas termasuk di Indonesia. Keberhasilan kajian ini diharapkan juga akan memberikan kontribusi kepada pemegang kekuasaan maupun partai politik untuk meningkatkan reformasi (pembaharuan) di bidang politik dan praktik demokrasi sebenarnya di masa depan.

Daftar literatur

Achwan, Rochman. 2000. Manifesto Politik Abad ke 21. Kompas: 28 Juni 2000. 4.­­­­
Alfian. 1977. Demokrasi di Indonesia. Prisma. 4. 1977. Jakarta: LP3S.
Alfitra Salamm. 1993. Pemilu dan Peta Kekuatan Politik Malaysia. Jurnal Ilmu Politik UI Jakarta. 13:  20-40.
Alfitra Salamm. 1997. Dimensi Kepemimpinan Dalam Masyarakat Kewargaan Dalam Politik Malaysia. Jurnal Ilmu Politik UI Jakarta, 17: 45-57.
Almond, Gabriel A., Sidney Verba. 1965. The Civic Culture. Boston, Mass: Little Brown and Company.
Ambardi, Dodi, “Kata Pengantar” dalam Roth, Dieter (2009). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, Friedrich-Naumann-Stiftung dan LSI, Jakarta.
Ambardi, Kuskrido dan Ratnawati (2010) “Bahan Bacaan Mata Kuliah Teori Perilaku Politik” Program Studi Ilmu Politik, Program Pascasarjana, FISIPOL-UGM, Yogyakarta.
A.M Mukhtie Fadjar. 2010.Konstitusionalisme Demokrasi. In-TRANS Publishing. Malang.
Asfar, Muhammad. 1992. Beberapa Pendekatan Memahami Perilaku Pemilih. Jurnal Ilmu Politik UI Jakarta. 16. 46-55.
Babbie, Earl. 1992. The Practice of Social Research. Belmont, California: Wadsworth.
Bappeda.1985. Bukittinggi Dalam Angka 1985.
_______.1994. Bukittinggi Dalam Angka 1994.
_______.1998. Bukittinggi Dalam Angka. Bukittinggi: Pemda.
BPS. 2000. Kantor Statistik Bukittinggi.
_______.2001. Kantor Statistik Bukittinggi.
Cahyono, Heru. 1998. Pemilu dan Pendidikan Politik dalam Mochtar Pabotingi Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
Campbell, Angus, . Gurin Gerald dan Miller Waren.1954. The Voter Decides. Evanston: Row Peterson.
 Chehabi, Houchang Esfandiar & Juan José Linz, Sultanistic Regimes (1988), Johns Hopkins University Press, Baltimore.
Dahl, Robert. 1966. Patterns of Opposition. New Haven: Yale University Press.
_______. 1978. Modern Political Analysis. New Delhi: Prentice-Hall of India.
David, Hagerti. 1997. Pemilihan Umum di Papua New Guinea. Jurnal Ilmu Politik.       Jakarta: UI. 13. 1998.
Deliar Noer.1977. Partai Politik Islam Indonesia. Jakarta: Rajawali.
Deutsch, Karl. 1974. Politics and Government: How People Decide Their Fate. Boston: Houghton Mifflin.
Duverger, Maurice. 1954. Political Parties. London: Metheun and Co.
Downs, Anthony (1957). An Economic Theory of Democracy, Harper, New York.
Eldersveld, Samuel J, Moris Janowitz.1956. Political Behavior. Illionis: The Free Press.
Feith, Herbert. 1962. The Decline of Constitutional Democracy in Indonesia. New York: Cornel  University Press.
Fiorina, Morris P (1981) “Retrospective Voting in American National Elections” dalam Roth, Dieter (2009). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, terjemahan oleh Denise Matindas, Friedrich-Naumann-Stiftung dan LSI, Jakarta.
_______.1975. The Paradox of Not Voting: A Decision theorieic Analysis, American Political Science Review, Nombor 68, hal 523-536.
FS Swantoro, Ketua Departemen Politik "Soegeng Sarjadi Syndicated" Jakarta-33i)
Gunawan, Bondan S.2000. Indonesia Menggapai Demokrasi. Jakarta: Pustaka Sinar Harapan.
Hal Hill. 1996. The Indonesian Economy Sice 1966. Cambridge: Cambridge University Press.
Haris, Syamsudin. 1988. Menggugat Pemilihan Umum Orde Baru. Jakarta: PPW LIPI.
_______.1997. Pembinaan Politik, Demokrastisasi dan Pembentukan Civil Society: Problematik Kepartaian Indonesia, Jurnal Ilmu Politik.Jakarta.
Huntington, Samuel P. 1968. Political Order in Changing Societies. New Haven: Yale University Pres.
_______., Nelson.1994. Partisipasi Politik, di Negera Berkembang (terj.). Jakarta Rineka Cipta.
Irwanto 1994. Psikologi Umum. Jakarta: PT Gramedia.
Karim, Rusli. 1993. Perjalanan Partai Politik Di Indonesia. Sebuah Pasang Surut. Jakarta: Rajawali Pers.
Kerlinger, F.N. 1973. Foundations of Behavioral Research. New York: Halt Renehart and Winston, Inc.
Kristiadi, J.1996. Pemilihan Umum dan Perilaku Pemilih di Indonesia. Prisma. Jakarta: LP3ES.
KPU.  2000. Lembaga Pemilu. Jakarta.
_______.2001. Lembaga Pemilu, Jakarta.
Lazarsfeld, P.B. Berelson, and H. Gaudet (1968). The People’s Choice. Columbia University Press, New York.
Liddle, R. William. 1992. Pemilu-pemilu Orde Baru. Jakarta: LP3ES.
_______. 2000. Memastikan Arah Baru Demokrasi. Jakarta FISIP UI.
_______. 2001. Indonesia’s Democracy Opening. Jurnal Commonealth & Comparative Politics. 39. Mac 2001. 94-116.
Lipset, Seymour Martin. 1960. Political Man: the Social Bases of Politics. Bombay: Vakils, Feffer and Simons Private, Ltd.
Mashad. 1999. Korupsi Politik Orde Baru. Bandung: Erlangga.
Mar’at. 1992. Sikap Manusia, Perubahan Serta Pengukuran. Jakarta: Ghalia            Indonesia.
Mardjono, Hartono.1998.Reformasi Politik, Suatu Keharusan. Jakarta: Gema Insani.
Mee, Wendy Ting Swee.1997.Urbanisasi dan Perubahan Corak Pengundian Dalam Pilihanraya Parlimen 1982 dan 1990 di Sarawak. Latihan Ilmiah. Bangi: Jabatan Geografi UKM.
Miaz, Yalvema. 1987. Bukitinggi Kota Wisata. Jakarta: Prioritas 22 Jun 87.
_______.1997. Pola Pembauran Maklumat Kesihatan di Kota Bukittinggi. Bangi: Tesis Master of Art. Universiti Kebangsaan Malaysia.
Milbrath, Lester. 1965. Political Partisipation, How and Way, Do get Involved in Politics. Chicago: Rand McNally.
Miriam Bidiardjo. 1998a. Dasar-dasar Ilmu Politik. Jakarta: Gramedia.
_______. 1998b. Partisipasi Politik dan Partai Politik: Sebuah Bunga Rampai. Jakarta: Yayasan Obor.
Mohamad Foad Sakdan. 1999. Pengetahuan Asas Politik Malaysia. Kuala Lumpur: Dewan Bahasa dan Pustaka
Mohamad Salleh Abas. 1987. Pilihanraya Malaysia. Kuala Lumpur. Dewan Bahasa Dan Pustaka.
Mujani, Saiful, “Survei dan Perilaku Pemilih,” dalam Kompas, Jakarta: Edisi 14 Juni 2004.
Naim, Muchtar. 1985. Merantau, Pola Migrasi Suku Minangkabau. Yogyakarta: Gadjahmada University Press.
Neumann, Sigmund. 1963. Modern Political Parties. London: The Free Press of Glencoe.
Newcomb, T.M. 1978. Social Psychology. Third Impression. New York: Tavistock Publication.
Nurhasan Syah. 1997. Kualitas Hidup Penduduk Dalam Pembangunan Berwawasan Lingkungan dan Upaya Peningkatannya. Forum Pendidikan IKIP Padang. 04, 415-437.
Panitia Pemilihan Daerah Bukittinggi, 1997.
_______. 1999.
Purwantana. 1994. Partai Politik Di Indonesia. Jakarta: Rineka Cipta.
Rauf, Maswadi. 1991. Ciri-ciri Teori Pembangunan Politik: Kasus Partisipasi Politik. Jurnal Ilmu Politik . Jakarta: UI
_______. 1998. Demokrasi dan Demokratisasi: Penjajakan Teoritis Untuk Indonesia. Syarahan Profesor Madya FISIP-Universiti Indonesia Jakarta 1 Nopember 1997.
_______. 2000. Arti Penting Pemilu 1999. Jakarta: FISIP UI dan Mizan
Roth, Dieter (2009). Studi Pemilu Empiris: Sumber, Teori-teori, Instrumen dan Metode, terjemahan oleh Denise Matindas, editor Dodi Ambardi, Friedrich-Naumann-Stiftung dan LSI, Jakarta
Richard R. Lau & David P Redlawsk (2006). How Voters Decide: Information Processing during Election Campaigns, Cambridge University Press, UK.
Sanit, Arbi. 1995. Ormas dan Politik. 1995. Jakarta: LSIP
_______.1985. Perwakilan Politik Indonesia.Jakarta: Radjawali.
Sastroatmodjo, Sidijono.1995. Perilaku Politik. Semarang: IKIP Semarang Press.
Scates, D.E., C.V. Good. 1954. Methods of Research Educational Psychological Sociological. London: Appleton-Century Crofts.
Sekjen DPP Golkar 1997. Jakarta: Kantor DPP.
Sherman, Arnold K., Aliza Kolker. 1987. The Social Bases of Politics. California: Division of Worswath.
Sumarno.1989. Dimensi-dimensi Komunikasi Politik. Bandung: Citra Aditya Bakti.
Sundhaussen, Ulf. 1996. Sebuah Agenda bagi Demokratisasi di Indonesia. Prisma Jakarta. 3. 3-21.
Taqwa, M. Ridhah. 1996. Perilaku Politik Umat Islam: Kasus di Lekong, Enrekang 1971-1992. Prisma Jakarta.3. 35-46.
Trelease, S.S 1960. How to Write Scientific and Technical Papers. Baltimore: The Williams & Wilkins Co.
Verba, Sidney dan Norman H. Nie. 1972. Participation in America. Political Democracy and Social Equality. New York: Harper and Row.

Majalah Surat Kabar

Gamma.2001. 20 April.
Gatra.1998. 25 Juli.
Kompas.1977. 17 Agustus
Kompas.2000. 28 Jun.
Kompas.2001. 31 Oktober.
Kompas.2002. 19 Januari.
Prisma.1978. 7 Agustus
Utusan Malaysia .1997. 6 Januari.
Tempo.1999. 4 Januari.
http://www.pks-pusat-jaksel.or.id/Article/hal112.html/ tanggal 16 April 16, 2009/ jam 23.00

BIODATA PENULIS

 YALVEMA MIAZ, dilahirkan di Sumani Solok, 22 Juni 1951. Menamatkan pendidikan Geografi Fakultas Ilmu Sosial FIS Universitas Negeri Padang (dulu IKIP Padang) tahun 1981. Menjadi dosen PGSD FIP UNP sejak tahun 1992 dan mengajar di program Pascasarjana UNP sejak 2010. Melanjutkan pendidikan program S2 dan S3, program Sains Sosial konsentrasi Geografi komunikasi dan politik di Universiti Kebangsaan Malaysia.
Selain berkarir dalam bidang pendidikan, pernah menjadi anggota DPRD kota Bukittinggi (1982-1992), kepala Dinas Pendidikan Pemuda dan Olahraga kota Bukittinggi (2003-2010). Banyak menulis artikel dan tulisan ilmiah di media masa (Haluan, Tribun, dan Singgalang), dan jurnal pendidikan. Menjadi pembicara pada seminar-seminar nasional dan internasional. Melakukan studi komperasi bidang pendidikan di Amerika (2004), Australia (2010) dan merintis sisters school antara kota Bukitinggi dengan kota Seremban Malaysia, kota Savanna Georgia Amerika dan kampus pendidikan di Margaret River Australia.
Sebagai mahasiswa pascasarjana di UKM Malaysia, melakukan penelitian dalam kajian komunikasi sosial (1997) dan geografi politik (2005) dan menjadi assistant lectural pada Fakultas Sains Sosial Kemanusiaan dan Kemasyarakatan UKM (1995-1998).


Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting