Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Sabtu, 01 Januari 2011

Dimensi Teknologi pada Seni Rupa: Sebuah Tradisi Seni Rupa Sepanjang Jaman


Oleh: Nasbahry Couto

A.    Akar Masalah: Terlepasnya seni dari Teknologi 

SEBAGAI sebuah istilah, seni dan teknologi sama abstraknya. Sebab tidak bisa dipegang, dia adalah hasil pikiran manusia yang disebut sebagai pengetahuan (science). Dalam praktiknya seni melahirkan objek yang bisa didengar (musik), yang bisa dilihat (misalnya lukisan dan patung), yang bisa dilihat dan didengar (tarian). Bisa saja seorang seniman mengatakan menari itu urusan perasaan. Tetapi bagi yang lain bisa juga mengatakan, bagaimana tekniknya ?

Karena memiliki multi dimensi, seni sering sulit untuk didefinisikan, apalagi jika dihubungkan dengan teknologi, banyak timbul keraguan terhadapnya. Sebagai contoh, banyak istilah yang dipakai untuk menerangkan seni. Seni adalah sebuah ekspresi (ungkapan), seni adalah ungkapan estetik atau artistik, seni adalah emosi, seni adalah imajinasi (ilusi), atau seni adalah semata hasil pekerjaan (keahlian) atau seni adalah proses pembentukan struktur dan bentuk dan sebagainya. Semuanya mungkin benar, termasuk apa yang anda katakan tentang seni. Hal ini disebabkan pengaruh sosial dan budaya, setiap bangsa bisa menafsirkan seni dengan perkataan (bahasa) serta interpretasi budaya yang dapat berubah dari waktu-kewaktu.


Jika kita menyimak tulisan-tulisan psikologi seni, banyak teori seni yang dibangun berdasarkan pelaku seni, pada hal tidak harus selalu begitu. Pandangan psikologi seni abad ke-20 misalnya, pada awalnya melihat seni sebagai hasil proyeksi kejiwaan dan anehnya selalu mengabaikan seni sebagai sebuah proses yang melibatkan pengamat atau penikmatnya. Padahal kedua sisi ini berbeda persepsinya tentang seni.

Dua pandangan ini, antara yang mementingkan aspek psikologi internal (dimensi kejiwaan seniman) dan yang menekankan aspek psikologi persepsi (pengaruh objek fisik) terhadap manusia (receiver) dapat dianggap sebagai titik awal berbagai persoalan seni yang sebenarnya, yang dapat menggiring kita ke berbagai masalah seni, yaitu teori proses.1)

Mungkin ini adalah contoh yang ekstrim, bahwa setelah karya seni lahir dan ada, keberadaan pelaku seni dan latar belakang dan dimensi kejiwaannya itu tidak jarang terabaikan, bahkan judul karya seni, latar sosial budaya pelaku seni, kurang penting dibanding apa yang dapat diamati receiver dari karya seni.  Hal ini bertolak belakang dengan definisi-definisi seni yang dikemukakan di atas. Namun buku ini tidak dimaksud untuk membuat sebuah interpretasi baru tentang seni. Tulisan ini berusaha untuk melihat seni sebagai sebuah proses kreatif, baik secara tradisional maupun cara yang dipakai pada masa kini (kontemporer).

Secara umum bidang psikologi seni memandang aspek kreativitas sebagai corenya (termasuk bidang pengajaran seni), yaitu untuk menjelaskan proses mental pelaku seni dan individu kreatif secara umum. Namun dengan fragmentasi demikian, psikologi seni bukan hanya membatasi pada pemahaman proses mental pelaku seni, tetapi juga proses mental tentang bagaimana pengamat merasakan objek seni (the thought processes of the perceiver). 

Dengan demikian bidang ini mulai mengalihkan perhatian untuk memberikan penjelasan tidak hanya gejala kreativitas seniman, tetapi juga proses mental, seperti halnya cara berpikir perceiver. Hal ini adalah sebuah pendekatan yang menyeluruh dan tidak hanya oleh karena cakupan penjelasannya, tetapi juga oleh karena psikologi seni melibatkan penjelasan tentang cabang psikologi lain seperti psikologi persepsi Gestalt, Psikologi Bentuk dan Susunan/Fungsi (psychology of form and function/order) dan tentang kompleksitas (complexity), Psikoanalisa Jung, psikologi atensi (psychology of attention) dan Psikologi eksperimental (Experimental psychology) sebagaimana halnya juga tentang psikologi Simbolisme Sigmund Freud (Roy, Saberi, 2008)



 Sambungan
Banyak bukti dalam sejarah seni, atau ahli antropologi sekalipun, tidak mempersoalkan bagaimana ekspresi seni seniman dari objek seni yang dihadapinya, ketimbang pertanyaan bagaimana teknik seni itu dibuat atau bagaimana perasaannya saat melihat. Atau akan sangat sulit untuk mengetahui bagaimana emosi Van Gogh sewaktu melukis “Starry in the night” kecuali hanya melalui interpretasi Bahkan mereka (ahli antropologi) dalam meneliti artefak yang mereka temukan sering tidak mengetahui siapa yang membuatnya.

Persoalan seperti ini nampaknya sudah lazim seperti halnya memandang lukisan yang tergantung di dinding kamar tamu kita. Atau melihat patung wayang golek yang diletakkan dalam lemari kaca. Kita tidak bisa lagi membayangkan bagaimana dimensi kejiwaan atau apa cerita (narasi) pewayangan yang ada di baliknya.

Tanpa mengenyampingkan aspek subjektif seniman (humanisme), bukankah berkesenian dapat dipandang sebagai sebuah proses psikologi dan proses teknis saja ? Bukankah seni sebagai yang dipikirkan atau seni sebagai hasil emosi baru dikenal di antara abad ke 15-19, sebelumnya seni hanya dikenal sebagai bagian dari keahlian (skill) atau teknik pada umumnya. Jadi apa yang salah selama ini ? Soalnya kita getol meniru-niru, dan seni itu tidak pernah dipikirkan secara serius, mungkin itu jawaban yang logis.

Ciri dari ilmu pengetahuan adalah pengembangan dan inovasi, bukan replikasi (peniruan), walaupun dalam pengembangan ilmu terdapat kecendrungan makna ilmiah yang bias. Sebagai contoh, kita mereplikasi pikiran-pikiran orang lain melalui kutipan buku atau pikiran, lalu menuliskan dalam sebuah tulisan - disamping kita menjelaskan pikiran-pikiran kita sendiri - atau mengajarkannya pada orang lain.

Boleh dapat dikatakan dalam pendidikan bidang apapun penuh dengan tindakan replikasi (pengulangan atau peniruan), hal ini dapat dipahami karena proses belajar usia dini manusia bertahap dan berkesinambungan. Sebagai contoh, dalam bidang seni kita juga melakukan peniruan, jadi dimana letak kreatifitas itu ?

Menurut James (T. Saw, 2001) replikasi dalam seni terjadi dalam proses, dan kreativitas dilihat jika kita mengadakan interpretasi, sampai inovasi ditemukan. Seperti teknik perspektif yang ditemukan orang di abad ke 15, bukan berarti kita mereplikasi temuan itu untuk kepentingan yang mirip dengan karya abad ke 15, tetapi studi teknik perspektif atau studi teknik seni lukis abad ke 15 untuk kepentingan  karya-karya baru.2) 

Replikasi dalam dunia pendidikan adalah sesuatu yang lumrah, yang menjadi persoalan adalah, dunia ilmu pengetahuan itu bukanlah sesuatu yang statis, selalu ada pembaruan untuk meningkatkan kualitas, fungsi, efektifitas serta perannya untuk kehidupan  manusia.  Jika sebuah pembaruan dan inovasi ditemukan, temuan tersebut menyebar. Replikasi terhadap pengetahuan baru itu menjadi penting untuk regenerasi ilmu pengetahuan.  Dan banyak yang tidak sadar bahwa kemajuan orang Jepang adalah dalam meniru.

Dalam seni, inovasi-inovasi itu selalu ada. Misalnya, cara mengabadikan wajah manusia mulai dengan coretan garis, hasilnya tidak memuaskan. Kemudian di temukan cara melukis dengan teknik chiaroscuro  (gelap-terang), dan material yang mampu menggambarkan kulit manusia. Kemudian  ditemukan pula kamera yang lebih efektif untuk tujuan yang sama. Walaupun ada cara yang baru, cara lama tetap dipelajari  dan dipelajari  sampai sekarang untuk digabungkan dengan cara-cara baru yang ditemukan . Cara melukis dengan cat minyak  dan kanvas, mungkin hal yang baru  di Indonesia se abad yang lalu, dan cara itu mungkin diperbarui oleh generasi kemudian dengan cara yang berlainan.

Cara melukis Affandi  mungkin hal yang baru  pada tahun 60-an, tetapi teknik itu menjadi usang pada masa kini dan replikasi pengetahuan seperti itu tidak penting dibandingkan dengan memperbaharuinya dengan cara baru.     Untuk memperbaruinya kita harus merubah cara memandangnya, kalau dahulu cara itu dianggap inovasi dalam seni sekarang bisa dianggap  sebagai  sebuah teknik ekspresi seni. Untuk mencipta dengan kreasi baru kita perlu melakukan interpretasi atas cara lama  itu ( James T. Saw, 2001)

Ranah ilmu seni memang tidak begitu luas, tetapi  tidak berarti dia tidak berkembang atau  tidak ada yang baru dan tidak ilmiah. Ilmu seni  melihatnya  sebagai ilmu pengetahuan tentang manusia (humanisme), sebagian lagi melihat dari dimensi psikologi, dalam penerapan dia sejajar dengan  ilmu teknik (teknologi), namun proses berkesenian bukan semata mekanisme keahlian (teknik) semata. Dia berada di antara kehendak manusia (pikiran, keinginan, keahlian), dan objek seni dan pengamatnya, bab-bab selanjutnya dapat  menjelaskan hal ini.

Untuk menggambarkan wilayah ilmu pengetahuan seni (ranah seni), pokok-pokok pemikiran di atas yaitu antara pelaku seni (artist), proses berkesenian (teknologi)  dan pengamat seni (receiver) dapat di jabarkan lagi secara luas. Untuk mengantisipasi penyimpangan interpretasi maka penulis mencoba mengambil pedoman dari standar pendidikan seni di mancanegara untuk menjelaskan hubungan kesejajaran seni dengan teknologi. Menurut hemat penulis, paling tidak ada empat aspek yang dibahas menurut standar pendidikan seni di tingkat perguruan tinggi  mancanegara, yaitu berikut ini.3)
1.    Aspek produksi dan tampilan dan pameran seni
2.    Aspek yang terkait dengan kebudayaan dan sejarah seni
3.    Aspek respon dan kritik seni
4.    Aspek respon estetik dalam seni


 

Bejana tanah liat: Seni selalu ada hubungannya dengan teknologi dan kemanusiaan

B.    Melihat Kembali Hubungan Ilmu,Teknologi dan Seni

Seni dan teknologi itu luas cakupannya. Tentu saja karena seni, ilmu, dan teknologi itu telah berkembang sejak lama dan cendrung terfragmentasi, misalnya pemisahan antara ilmu pengetahuan dengan teknologi. Sedangkan seni umumnya hanya dikaitkan dengan ilmu kemanusiaan (humanities) Tetapi apakah sebenarnya teknologi itu? Apakah memang dia terpisah dengan seni dan ilmu ? Atau sebaliknya apakah seni itu tidak mengandung teknologi ?

Mahzar, dalam Al-Hasan, (1986;17) menjelaskan bahwa teknologi itu ternyata adalah realitas keseharian. Dapat dikatakan apa yang kita kerjakan selalu melibatkan teknologi, walaupun tidak menggunakan mesin-mesin, atau menggunakan produk yang dihasilkan oleh mesin-mesin. Seperti kita menggunakan cat dan kuas, atau mesin cat semprot (air-brush) dan komputer untuk melukis. Mesin-mesin itukah teknologi? Tentu saja tidak.

Tetapi begitulah sekurang-kurangnya asosiasi orang kebanyakan jika mendengar kata teknologi. Bagi orang yang mengenyam pendidikan, penyamaan mesin-mesin dengan teknologi tentu saja mengundang senyum. Teknologi itu adalah benda abstrak seperti terbayang pada namanya. Teknologi itu bukan benda yang dapat dipegang-pegang seperti mesin. Bahasa Yunani =logia), ditambahkan pada kata techne. Dalam bahasa Yunani technelogia (teknologi), berakar dari kata art atau craft ( ketrampilan).Dalam-kamus-kamus, teknologi itu dapat berarti proses menggunakan peralatan atau mesin oleh manusia untuk memahami dan mengontrol lingkungan. Sebagai sebuah area studi teknologi adalah atau ilmu (science) tentang ketrampilan (craft) Antara seni dan teknologi itu sebenarnya berbeda tetapi memiliki kesejajaran, sebab sama-sama terkait dengan skill. 

Seni (art) dalam pengertian yang sempit adalah sebuah disiplin kegiatan yang terbatas pada keahlian (skill) atau dapat diperluas untuk meliputi cara melihat dunia. Kata art diperoleh dari bahasa Latin ars, yang artinya skill. Seni adalah keahlian melakukan satu tindakan khusus, seperti seni (keahlian) berkebun atau bermain catur.

Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI, 1989: 915), dijelaskan bahwa teknik adalah cara, atau kiat. Teknologi adalah kepandaian dalam membuat sesuatu berdasarkan ilmu pengetahuan (science), yang memanfaatkan alam untuk kesejahteraan dan kenyamanan hidup manusia. Manusia menggali tanah untuk mengambil minyak mentah, mengolah kayu untuk kertas dan bahan tekstil. Mengolah besi untuk berbagai peralatan dan seterusnya.

Menurut Mazhar (1986), teknologi itu berangkat dari ilmu pengetahuan, yaitu dalam usaha manusia dalam mencari kebenaran secara ilmiah yang kemudian diterapkan dalam kehidupan manusia. Boleh dikatakan dalam mengolah alam, diperlukan ilmu pengetahuan, penerapan ini kemudian dinamakan dapat dinamakan teknologi. Mazhar menjelaskan, teknologi bukan semata hasil kebudayaan negara maju, teknologi juga hasil dari kebudayaan tertentu di dunia, misalnya teknologi dalam kebudayaan Islam. Sebab di dalamnya terkandung pengetahuan berdasarkan ilmu pengetahuan yang Islami. Menurut kamus Encyclopaedia Encarta (CD. 2002), sebenarnya antara seni dan ilmu itu sama membutuhkan keahlian teknik (technical skill). 7)

Pada awalnya juga berangkat dari pengalaman manusia (human experience) dari penggunaan peralatan (tools) sederhana. Antara seniman (artist) dan ilmuan (scientist) mencoba memandang dunia untuk memperoleh sesuatu secara acak dan melalui berbagai pengalamannya. Keduanya mencoba untuk memahami dan menghargai dunia dan menyampaikan pengalaman mereka kepada orang lain. Namun demikian mereka menyatakan diri dengan cara sangat berbeda: ilmuan belajar dan melihat secara kuantitatif dan menemukan konsep-konsep serta hukum-hukum kebenaran universal. Sedangkan seniman memilih persepsi-persepsi kualitatif (qualitative perceptions) dan mengaturnya menjadi ungkapan pribadi serta pemahaman kultural. Dimana kalau dilihat dalam sebuah kerangka dalil-dalil scientific dapat menjadi invalid. Sebuah karya seni, pada dasarnya dapat berubah-ubah dalam kacamata artistik, karena dipengaruhi oleh seniman maupun oleh selera publik, validitas sebuah pernyataan artistik hanya ada pada pada suatu waktu dan tempat.

Kritik terhadap pandangan ini adalah bahwa manusia pada dasarnya tidak dilahirkan berdasarkan kualitas persepsi seniman, karena manusia bisa berbeda dan berubah oleh karena itu seni juga dapat juga dikaji berdasarkan persepsi yang umum yang dapat meliputi pandangan semua orang. Dan untuk pengembangan ilmu pengetahuan wajib dilakukan silang antar-ilmu pengetahuan untuk melahirkan pengetahuan baru.

C.     Aspek  Teknologi dan Kemanusiaan pada Seni

Dalam membicarakan seni ada dua unsur yang menonjol, yaitu unsur kemanusiaan dan unsur teknik. Kedua hal ini terjalin  satu sama lain dengan erat. Unsur kemanusiaan terlihat dari bagaimana manusia memandang seni sebagai bagian dari ungkapan perasaan dan pikirannya. Sedangkan unsur teknologi terlihat dari media dan alat yang dipergunakan untuk meujudkan karya seni. 

1.Teknologi

Pada zaman purba, mungkin manusia purba telah mengambil sebongkah batu untuk memecahkan biji buah-buahan berkulit keras. Lalu seorang jenius purba yang lain berhasil pula memecah batu dengan batu lain untuk membuatnya runcing atau tajam, sehingga dapat dipakai untuk memotong. Dan jadilah batu itu menjadi sebuah pisau, yang menjadi nenek moyang pisau sekarang. Jenius lain mungkin menemukan sejenis batu yang dapat meleleh jika dibakar, dan menjadi bongkahan mengkilat dan membatu pula. Berikutnya, dapat pula dibentuk menjadi sebuah pisau yang lebih kuat dan tajam ketimbang pisau batu lama, yang dipakai untuk memotong atau menusuk binatang buruan. Sekarang kita mengenal berbagai pisau yang terbuat dari logam. Dari bahan logam berbagai jenis perkakas kemudian diciptakan, dan inilah awal dari teknologi, dimana teknologi adalah perkakas yang diciptakan untuk menciptakan perkakas lain dan alat perpanjangan tangan manusia.

Demikianlah ihwalnya teknologi, pada awalnya (teknologi tradisional) adalah berbagai peralatan kecil-kecil yang tunduk pada kemauan manusia dan membantu kehidupan bercorak agraris. Sampai saatnya manusia mengembangan kehidupan bercorak urban (perkotaan). Lingkungan urban yang bercorak ekonomis mulai muncul di abad tengah dan Renesan di Eropah, kemudian timbulnya revolusi industri dan berbagai penemuan. Menciptakan mesin-mesin atau menciptakan peralatan yang lebih besar dan lebih canggih seperti mesin-mesin produksi, mesin pesawat terbang, mobil (untuk perpanjangan kaki manusia), pesawat televisi dan telpon selular, handphone (untuk perpanjangan mata dan telinga manusia). Kemudian komputer untuk menambah kemampuan otak manusia dalam memecahkan suatu masalah yang rumit. 8)

Rita Widagdo (1975) menjelaskan bahwa sejarah seni sebenarnya sudah setua manusia itu sendiri, paling tidak demikianlah pendapat para ahli anthropologi. Jika ditanyakan kegiatan manusia yang bagaimanakah yang berbeda dengan kegiatan-kegiatan lainnya sehingga kita dapat menyatakan itu kegiatan seni (art). Anthropologi dapat menunjukkan hal ini, yaitu pada masa purba manusia, pada waktu terbentuknya manusia dalam proses evolusi. Pada umumnya orang menyebut”alat-alatlah” yang membedakan hominid dengan manusia kera.

Peralatan menunjukkan manusia berpikir, dan dibedakan dengan binatang, tetapi pada penemuan antropologi, ditempat api yang tertuapun telah ditemukan tulang-tulang dan susunan batu yang sengaja diatur sebagai lingkaran. Lingkaran itu bukanlah suatu bentuk yang terjadi secara kebetulan, pembentukkan batu-batu itu bukan hanya didahului oleh suatu keinginan untuk bermain saja, tetapi adalah suatu hasil daya imajinasi manusia yang memiliki tujuan tertentu, ada suatu pesan yang dimaksud dengan lingkaran batu zaman itu, dan pesan itu tidak menuju kepada suatu yang praktis, atau sesuatu yang berguna bagi kelangsungan hidup manusia dalam menghadapi kesulitan praktis; melainkan dari suatu kebebasan mencipta.

Artinya, susunan batu itu menunjukkan kepada kita bahwa manusia telah dapat melepaskan diri dari perbuatan yang diarahkan kapada “daya guna” saja, dan menciptakan suatu tanda yang melambangkan suatu “pikiran”. Susunan batu, tulang-tulang purba, bukan lagi reaksi terhadap ancaman alam, lingkaran-lingkaran ini merupakan bentuk pertama mencerminkan pernyataan suatu makhluk untuk berpikir. Hal ini menunjukkan kemampuan manusia untuk memberi “arti” kepada kegiatannya dan “seni” dalam pengertian luasnya, dan dapat didefinisikan sebagai sebagai kemampuan manusia untuk menyatakan suatu pikiran, yang mengungkapkannya kedalam suatu bentuk. Apa saja yang dapat diungkapkan kedalam bentuk bentuk apapun juga ini adalah dapat disebut atau termasuk dalam kawasan “seni”

Stewart Kranz (1974), menjelaskan, pada awalnya ilmu, seni dan teknik tidak dipisahkan. Beberapa contoh produk seni zaman purba memperlihatkan hal itu. Guci hasil teknologi atau cara-cara sederhana dalam mengeksploirasi tanah liat. Guci dapat dilihat sebagai hasil seni, hal ini dapat dipahami dari pengolahannya, maupun pemakaiannya. Bagi masyarakat purba (primordial) ada dorongan memperbagus benda pakai itu, agar menyenangkan mata, disamping fungsi praktisnya.

Mungkin pula guci itu digambarnya, untuk menceritakan kehidupan saat itu. Demikian pula tari-tarian, nyanyian purba, pada awalnya adalah produk dari berbagai kepentingan. Dia tidak dilihat sebagai usaha tujuan menghibur (entertaiment), agar menyenangkan seperti pengertian modern. Dia juga tidak untuk tujuan komunikasi perasaan (ekspresi).

Sudjoko (1971) dan Yuswadi dalam Sachari (1986:28) dalam Paradigma Desain di Indonesia menjelaskan, Semula yang disebut karya seni, terkait dengan ilmu (ngelmu) dan teknologi (kiat), misalnya keris: terdapat unsur mitologi (pengetahuan), kepentingan ritual dan kepercayaan, magis dan seni, disamping kepentingan utilitas (benda pakai), seni menjadi bagian dari alat praktis yang disebut senjata. Pada awalnya, hal yang sama terdapat baik di Barat maupun di Timur. Kapan keterpisahan antara seni, ilmu dan teknik, tidak diketahui dengan pasti.

Sesudah zaman Renesan di Eropah, mulai muncul sikap mengadakan jarak dengan alam.
Sikap ontologis ini memandang alam sebagai objek empirik yang dapat diteliti. Alam dan objek dilihat sebagai substansi-subtansi yang terpisah. Sikap ini melahirkan ilmu pengetahuan, dan fragmentasi ilmu pengetahuan. Teknologi berkembang sejalan dengan perkembangan ilmu ekonomi dan sosial. Seni, ilmu dan teknologi berkembang berbarengan tetapi terpisah-pisah atau terfragmentasi.

Pemisahan, ilmu dan teknologi memuncak di abad ke-19. Sampai akhirnya timbul kesadaran, seni tidak perlu dipisahkan dari perkembangan ilmu dan seni tidak perlu dipisahkan dari perkembangan ilmu dan teknologi, karena seni dianggap hanya berkaitan dengan humanisme dan ekspresi.

Gejala perpaduan ini dibidang seni rupa sudah dilakukan berbarengan dengan modernisasi di Barat. Keinginan para seniman mencoba bahan baru produksi industri dan teknologi modern banyak menghasilkan konsep-konsep baru yang sebelumnya belum pernah terpikirkan.
Hubungan antara eksperimentasi bahan dan penemuan konsep seni tertentu, seni rupa dan produk yang menggunakan media fisik dan non fisik, antara lain: warna, bentuk, bunyi, gerak, cahaya merupakan media mengemukakan inspirasi dan ihwal batiniah serta nilai-nilai lainnya yang tidak berwujud. Kreatifitas dapat berkembang, sebab menemukan cara baru yang merupakan bagian dari kreatifitas seni modern.

Feldman (1967:308) menjelaskan jika teknologi baru dalam bidang komunikasi dengan ditemukannya kertas alat cetak oleh Gutenberg (1450) di Jerman. Maka seni rupa dimulai dengan penemuan cat minyak dan kanvas pada abad ke-15 di daerah Flam Belanda, telah mengubah seluruh persepsi seniman dalam melukis. Sebelumnya mereka mempergunakan teknik lukis tempera atau fresco untuk melukis dengan dinding sebagai kanvasnya. Selanjutnya dia menjelaskan adanya eksperimen dan penemuan teknik kolase, atau coller (bahasa Perancis = melem) mengubah cara melukis orang Eropa. Kemudian di zaman kubisme (Picasso, 1881-1975), merubah cara pandang melukis tradisional teknik cat minyak; yang semata bertujuan imitatif (meniru alam).

Cara ini berobah sebab yang penting sekarang adalah apa yang terjadi di permukaan kanvas, bukan semata meniru apa yang tampak oleh mata. Selanjutnya, penemuan cat enamel untuk keperluan rumah tangga, yang diproduksi secara besar-besaran oleh pabrik, memberi kesempatan bagi Jackson Pollck (1912-1956), menciptakan teknik dan sekaligus gaya melukis yang khas yang disebut dengan abstrak-ekspresionisme.
Demikian juga teknik otomatisme Max Ernst (1891-1976), yang dia sebut : Collage yaitu teknik menempel, memberikan kesan ilusi atau Ilusionisme. Frottage yaitu teknik menggosok dengan meletakkan sebuah benda di bawah kertas atau kanvas kemudian gosokkan itu menghasilkan gambar otomatis.

Grattage yaitu menggoreskan cat dengan pisau palet. Occilation, yaitu mengucurkan cat melalui kaleng yang dilobangi dengan mengayun-ayunkan kaleng tersebut yang tergantung pada tali. Di samping itu Ernst memakai pita rekat (adhesive tape) menciptakan garis-garis yang lurus.
Teknik-teknik ini mengotomasisasikan penciptaan yang disebut lukisan. Di Indonesia, Mustika (2001) menjelaskan tentang pelukis Afandi (1907- ) yang melukis dengan cara menggantikan kuas dengan jari-jari tangannya. Teknik celup batik, dipergunakan oleh pelukis untuk melukis, dan banyak contoh lainnya di tanah air kita dalam mengembangkan teknik melukis, misalnya melukis dengan bulu ayam, melukis di atas kulit dan seterusnya.

Teknik dan media yang dipakai dalam seni rupa sangat bervarisi, dan menarik untuk dikaji ulang. Kini orang dapat melukis dengan bantuan teknik fotografi dan komputer untuk menghasilkan sebuah lukisan atau gambar. Namun teknologi dalam seni tidak sama dengan teknologi dalam enginering yang dapat berkembang tanpa batas. Kemudian dapat pula dipertimbangkan bahwa tradisi seni rupa yang telah berlangsung berabad lamanya masih berlaku sampai sekarang. Sebab teknik hanyalah alat yang dipakai dalam berseni. Oleh karena itu teknologi tradisional dalam seni masih dipelajari sampai sekarang oleh negara yang paling maju sekalipun teknologinya.

Herberts, Kurt; dalam tulisannya The Complete Book of Artists Technique (1958); mencatat ada 38 teknik dalam seni rupa, namun harus dicatat pengertian teknik dalam hal ini adalah media, bukan medium dalam pengertian konsep seniman yang ingin diungkapkan. Teknik yang dimaksud, mulai dari teknik lukisan gua prasejarah sampai ke teknik-teknik yang lebih baru di Eropah. Dia membagi atas tiga kategori teknik.
  1. Teknik-teknik seni rupa yang ditunjang oleh latar belakangnya, seperti teknik lukisan kapur (Fresco-Secco, Buon-fresco); majolica, gelas, porselen. Pada teknik ini yang terpenting adalah tempat atau bidang untuk melukis atau menggambar. Misalnya dinding bangunan. Melukis pada dinding bangunan memerlukan keahlian yang khusus. Umumnya bahan melukis dinding atau bidang bangunan, mirip dengan bahan yang dipakai untuk bangunan. Misalnya kapur atau semen berwarna.
  2. Teknik seni rupa yang utama sekali ditunjang oleh materialnya seperti pastel, tempera, cat minyak, lukisan tinta Cina, lak, mosaik, dan kemudian kita kenal pula cat acrilik. Golongan yang kedua ini memberi tekanan pada material yang dipakai untuk mengecat pada sebuah bidang yang akan di lukis
  3. Kemudian, teknik-teknik seni rupa yang utamanya ditunjang oleh alat seperti gambar pena, etsa, litografi, cetak kayu dan sebagainya, yang utama adalah alat (bukan material dan latar). Berbeda dengan ke dua teknik di atas, maka teknik yang terahir ini semata tergantung kepada alat yang dipakai untuk melukis atau menggambar.
Kurt (1958), maupun Feldman (1967) berasumsi bahwa wilayah* yang lebih netral dalam membicarakan seni adalah teknik dalam berkarya. Masalah interpretasi yang berbeda-beda terhadap bentuk seni dapat dikesampingkan jika kita membahas karya seni dari segi teknik. Pendapat ini tidak salah, sebab dalam teknik yang penting adalah jawaban atas pertanyaan, bagaimana cara seniman menggambarkan sesuatu, bukan atas hubungan apa yang digambarkan dan penafsiran artinya.

2. Memahami Dimensi Teknologi pada Seni 

Untuk menjelaskan hubungan seni (art) dengan skill atau teknik James T. Saw (2001), membuat bagan definisi seni, terlihat bahwa peringkat seni yang tertinggi adalah yang memiliki kemampuan komunikatif, sedangkan yang terendah adalah dasar dari semua seni yaitu keahlian (skill) atau teknik 

ART    the highest level      =        Communication
Art      common meaning   =        Aesthetics
Art       basic meaning        =        Skill

Gambar tabel 1.6. Pengertian Seni dan tingkatannya

Seperti yang dijelaskannya, semua artwork memerlukan keahlian (skill), sebagaimana juga terdapat di pekerjaan lain seperti pekerjaan perawat di rumah sakit. Seni dapat dibuat dengan keahlian yang rendah, tetapi seni yang terbaik adalah seni yang menunjukkan keahlian yang tinggi. Aspek komunikasi yang terdapat dalam seni menunjukkan tingkatan seni yang paling tinggi yaitu ungkapan pesan pada karya seni yang berhubungan dengan perasaan manusia/psikologi. Seperti yang dikatakan oleh Saw, James T., (2001) seni memiliki kekuatan untuk menggerakkan kita untuk tertawa atau menangis. Seni dalam musium mempunyai tiga peringkat mulai dari dariSeni dengan kualitas ketrampilan saja
1.    Seni yang mengandung realitas estetik ,
2.   Seni yang mampu mengkomunikasikan kedua peringkat di atas dan yang dapat menstimuli perasaan kita.

Seperti yang dikatakannya :
All artwork requires skill, but so does surgery. Art can be made with modest skills but the best art is very skillfully made. The communication that is referred to in the highest level of ART is the profound message of the masters -- emotion. Art can move us to laughter or tears and that speaks of it’s power. The art in museums has a high degree of all three levels. It is skillfully crafted, aesthetically realized and communicates both facts and feelings to us.Penjelasan di atas sejalan dengan pemikiran Ryuji

TAKAKI dari Kobe Design University, (2007) dalam tulisannya Interaction of Science and Art through Educational System, dia menerangkan tentang hubungan seni, science dan teknologi ( takakir@kobe-du.ac.jp ) sebagai berikut ini.
The Science is an activity to construct concepts and natural laws from real objects and real phenomena. On the other hand, the art is an activity to create real objects based on the concepts and desires in the brains of artists. The technology is similar to the art since it has the same orientation as that of the art, i.e. from concepts to production of real objects (machines, materials, etc).
 

Gambar diagram kesejajaran seni dan teknologi menurut Takaki (2007)

Ilmu pengetahuan adalah suatu aktivitas untuk membangun konsep dan hukum alam dari benda nyata dan gejala riil. Pada sisi lain, seni adalah suatu aktivitas untuk menciptakan benda nyata berdasar pada konsep pikiran manusia. Teknologi itu mirip dengan seni karena mempunyai orientasi yang sama dengan seni yaitu dari konsep ke produksi benda nyata (mesin, material, alat dan seterusnya). Hubungan antara ilmu pengetahuan dan art/technology digambarkannya sebagaimana yang diperlihatkan pada gambar diagram di atas Dia hanya hanya berbeda dalam orientasi antara objek dan konsep.

Oleh karena pengetahuan (science) dalam seni itu banyak mengandung unsur-unsur tentang manusia itu sendiri, maka tidak jarang seni dianggap sebagai penerapan humanisme. Sebab yang diterapkan pada karya seni itu adalah fenomena yang ada dalam diri manusia sendiri, seperti masalah psikologi, persepsi dan emosi manusia dan sebagainya. Ilmu pendidikan misalnya banyak menggalinya dari masalah psikologi, yaitu bagaimana seni itu diterapkan untuk perkembangan jiwa dan kreatifitas anak. Tetapi hal ini bukan berarti seorang yang mendalami pendidikan seni rupa anak akan menjadi psikolog pula. Secara akademis, seorang dikatakan ahli seni jika dia banyak menguasai ilmu pengetahuan seni dan mampu pula menerapkan kepada karyanya.

3. Kerajinan Tangan (Craft), Ketrampilan ( Skill), dan  Teknologi 

Menurut Walker, Kriya (kerajinan) adalah pemula atau akar dari seni dan desain. Bahkan akar dari industri itu sendiri melalui revolusi industri. Artinya, antara seni dan produk industri pada awalnya berdasarkan ketrampilan tangan (skill), karya seni belum lagi dilihat sebagai produk hasil pemikiran (knowledge), misalnya di abad Tengah (abad ke 14-15).
Pengembangan pemikiran tentang hakikat seni telah dilakukan oleh ahli filsafat, tetapi klassifikasi dan percabangan yang drastis terjadi setelah revolusi industri di Inggris, dimana produksi seni dilaksanakan secara ilmiah dan kepentingan industri. Sejarah juga mengajarkan bahwa sebuah industri memiliki syarat-syarat tertentu sehingga dia dapat disebut sebagai industri, terutama dalam hal sistem produksi dan sistem distribusi produknya. Barangkali yang menjadi kunci dalam hal ini adalah budaya industri yang ditanamkan sejak dini dalam dunia pendidikan.

Dan perlu juga di lihat, fenomena setelah era pasca industri, dimana industri berskala besar jatuh dan runtuh menjadi industri berskala lokal, tidak harus di terjemahkan sebagai keunggulan handycraft. Sebuah industri tetap sebuah industri dengan ciri-ciri khasnya yang berbeda dengan handycraft.

Sebuah industri memiliki ciri pemisahan pekerjaan (division of labour, separate specialism), otomatisasi (growing automation), produksi massal (mas production), asembling dan sebagainya. Seni dan desain adalah pekerjaan inovatif dan kreatif, sedangkan memproduksi adalah pekerjaan bengkel. Kedua jenis pekerjaan ini dahulunya tidak terpisah dalam kegiatan handycraft. Munculnya industri, memisahkan pekerjaan seni, desain dan craft, seperti yang ditulisnya:

In the moderen period one of the key differences between craft and design is that in the former, the making proccess from conception to execution is undertaken by the same person or a small team of people. A division of labor between designer and makers, in the other words, does not exist, or not same extent – as it does in industry…..( Walker, 1978,hal. 38)
Lebih lanjut dia menjelaskan.One category of craft – the so called ‘rural’ or ‘country’ craft based upon the agricultural way of life – has certainly been virtually eliminated (Walker,1978, hal.39)

Industri kreatif sebagai seni terapan/komersil, adalah industri yang disokong oleh seni, atau seni terapan. Jadi yang penting sebenarnya adalah eksistensi industrinya. Industri kreatif akan terlihat jika seni terapan diperbanyak dan diterapkan untuk tujuan komersil. Seni komersil ini terutama menonjol pada produk grafis. Keragaman seni komersil ini terlihat secara nyata dalam produk grafis, periklanan, filem, animasi, musik, fashion, mebel, furniture atau produk interior dan sebagainya. 

Manusia tertarik kepada keindahan sesuatu tempat yang dilihatnya, dan melukiskannya, tidak menceritakannya melalui kata-kata, kadang sebaiknya (narrasi dalam seni) 

4. Estetika sebagai Dimensi Kemanusiaan 

Psikologi keindahan (beauty) sangatlah kompleks, tidak hanya disebabkan konsep keindahan hingga kini tak terdefinisikan, tetapi juga disebabkan sebagian besar kebenaran keindahan itu berada dalam pandangan mata manusia (pemirsa), atau bagaimana individu merasa dan melihat berbagai hal termasuk cara memandang manusia. Maka uraian ini ingin mendasari pemahaman estetika ini dari sudut humanistik dan psikologi.
Menurut (Saberi Roy, 2008) Keindahan dapat dihubungkan dengan semua hal yang menarik menurut perasaan kita dan semua objek yang cocok dengan pilihan pribadi kita. Keindahan yang kita rasakan menurut ahli psikologi sebagian besar adalah sebuah proyeksi dari kebutuhan-kebutuhan kita,pada orang-orang, objek-objek indah yang dapat menyalurkan fantasi kita, atau refleksi dan cerminan kebutuhan alami kita, untuk dihubungkan dengan semua hal yang menarik. Manusia umumnya dikendalikan oleh perasaan (senses), dan kita cenderung untuk mengulangi proses atau pengalaman yang menarik perasaan, kepada sesuatu yang harmonis dan yang memiliki struktur dan bentuk yang pasti. Keindahan menarik kepada sensasi penglihatan kita, dan ada kecendrungan pilihan untuk mengulangi pengalaman keindahan tersebut.

Tetapi bagaimana cara kita menyerap keindahan dan kenapa sebagian orang atau objek dipertimbangkan lebih indah ketimbang yang lain? Test psikologis sudah memahami bahwa simetri dan proporsi sangat penting bagi persepsi keindahan
Sesuatu yang indah (beauty) ternyata adalah sesuatu yang lebih menyeluruh (holistic) ketimbang sesuatu yang spesifik, obyek yang indah dinilai dari keseluruhan yang membungkusnya ketimbang menilai bagian-bagiannya.
Penjelasan keindahan (beauty), dari sudut pandang psikologi analisa atau teori Sigmund Freud jarang dilakukan, namun konsep psikoanalisa bisa dipakai untuk menilai perasaan keindahan kita sebagai sebuah proyeksi diri, yaitu pemenuhan harapan orang-orang kepada kita secara khas dan sebaliknya.

Misalnya orang-orang yang menghormati kita, atau yang dalam beberapa cara menghadirkan hasrat (desires) dan khayalan (fancies) kita sendiri.Psikoanalisa dapat juga sesuai dengan gagasan dimana keindahan adalah sebuah preferensi persepsi (preferential perception) yang khas dari orang tua. Kebanyakan orang-orang dipertimbangkan memiliki kecantikan saat mereka mempunyai wajah yang baby-faced atau polos seakan tidak bersalah pada wajah mereka dan sebuah kepolosan yang dapat menarik hasrat (menggiurkan).

Keindahan dapat juga muncul dari motivasi kultural (culturally motivated), terutama dalam kultur wanita Timur tertentu, misalnya kaki indah dan kecil dipertimbangkan oleh orang Cina masa lalu sebagai hal yang menarik, sedangkan di zaman Victoria di Inggris, kecantikan dinilai dari wanita yang anggun (elegance), lemah-gemulai, leher yang lembut, pinggang yang kecil. Wanita-wanita Barat yang modern umumnya dinilai dari dada, pinggul dan bibir mereka. Teori-teori tentang estetika yang dibangun oleh ahli estetik kadang-kadang dapat membingungkan kita sebab teori itu dibangun atas dasar cultural motivated.

Oleh sebab itu kita akan melihat estetika Barat, Estetika Cina, Estetika India atau misalnya estetika Islam, Jawa dan sebagainya memproklamirkan dirinya sebagai hal yang benar menurut budaya masing-masing.

Persepsi keindahan (beauty) dapat berubah, beberapa studi tentang keindahan menemukan bahwa wanita bisa disukai dariyang lebih lembut dan gaya kejantan-jantanan pada zaman tertentu, pada zaman lain dinilai pada siklus reproduktif mereka.

Beberapa teori tentang keindahan perlu di kaji ulang satu persatu untuk mencari penyebabnya.
Akhirnya, keindahan (beauty) adalah masalah sekitar bagaimana kita merasakan dunia luar, dan bagaimana kita mengintegrasikan kebutuhan kita dan merancang berbagai keinginan kita terhadap dunia luar yang dilihat dan dirasakan. Keindahan dalam pandangan mata (‘Beauty in the eyes of the beholder’), dan yang benar dari sudut pandang psikologis adalah atas pilihan kita sendiri yang berubah seiring waktu, demikian juga halnya tentang keinginan kita atas persepsi dan sensasi terhadap keindahan. 

D.    Seni Sebagai Medium Ekspresi

Unsur kemanusiaan terlihat dari gagasan dan ungkapan dan media yang dipakai dalam seni. Feldman (1967) misalnya menjelaskan bahwa alat dan material baik dalam seni maupun kriya relatif sifatnya. Yang penting baginya adalah konsep rekabentuk dan tujuan berkarya. Jika dalam karya tersebut terkandung maksud kemanusiaan, maka cara tersebut dapat dianggap sebagai sebuah cara menghasilkan karya seni yang komunikatif, jadi ada tiga hal yang terkandung dalam seni, pertama keahlian, kedua adalah tujuan atau maksud yang ingin dikomunikasikan liwat rekabentuk. Hal yang sama juga diungkapkan oleh Hertbert, Kurt (1958:15) tetapi dia melihat teknik itu sebagai agen ( medium) dalam hal penyaluran :

“Although the actual material that go into the making of a picture – such as wood, canvas, stone work, oil paint, tempera or crayon – are not in themselves of its essence, they contribute to it. Both they and the technique are agents with those help the idea in the artist’s mind is tranformed into a visible work of art

Dari catatan sejarah seni rupa, dapat kita ketahui, pada awalnya berbagai teknik dalam seni rupa itu seperti lukis, patung, gambar, cetak atau grafis, potret dan sebagainya, terutama dipakai untuk menggambarkan sesuatu. Termasuk dalam hal untuk bercerita (narasi). Pelukis atau perupa zaman lampau menggunakan berbagai gambar untuk bercerita, termasuk dalam hal ini menggunakan teknik cukilan batu atau ukiran pada batu. Menggunakan serat atau tenunan kain untuk menggambarkan dongeng atau legenda. Ukiran pada candi Borobudur misalnya, digunakan untuk menggambarkan karma manusia dan tingkatan manusia menuju alam nirwana liwat unsur-unsur visual dan teknik sebagai bahasa ungkapannya. Dari hasil artefak masa lampau dapat diketahui bahwa berbagai teknik gambar dan lukis telah diaplikasikan kepada benda pakai, kita tidak bisa membuat garis yang tegas apakah itu seni atau bukan.

Myers (1965) menjelaskan, seni lukis adalah seni yang memanfaatkan pigment atau cairan warna di atas permukaan (kanvas, panil, dinding dan kertas) yang menghasilkan sensasi ruang, gerak, tekstur dan bentuk, sebaik sebagaimana ilusi yang dapat diperoleh pada ruang, gerak, tekstur dan bentuk, atau kombinasi dari berbagai unsur itu yang asli. Oleh karena itu dapat dipahami, seni lukis sepenuhnya tergantung kepada keahlian teknik “tangan-mata” dalam menggunakan kuas dan cat dalam membentuk imaji di atas bidang datar.

Frans Boas (1955), seorang ahli atropologi yang telah mengamati berbagai budaya menjelaskan, keahlian menggambarkan imaji bentuk di atas bidang datar tergantung kebiasaan (tradisi) yang dikembangkan individu. Jika seorang urban diberi pensil dan kertas, dia dapat menggambar. Sebaliknya jika seorang yang tidak mengenal kertas dan pensil sebagai alat gambar tidak akan sanggup bekerja dengan alat ini. Orang eskimo sangat trampil dalam mengukir di atas taring beruang kutub karena media ini sudah dikenal mereka sejak kecil. Selanjutnya dia menjelaskan, seni rupa di lokasi dan waktu yang berbeda, hidup dan berkembang dari tradisi komunitas. Dalam masyarakat primitif, terdapat pembagian kerja berdasarkan gender, yang menenun misalnya kaum perempuan, laki-laki mengukir kayu atau membuat perahu.

Sejarahwan dan antropolog mencatat perkembangan seni berbagai bangsa. Melihat bagaimana tradisi dikembangkan dalam komunitas sosial dan budaya yang berbeda. Dari catatan-catatan tersebut kita mengetahui bagaimana seni pada awal kehidupan manusia, dan sambungannya pada masa sekarang. Seperti lukisan gua prasejarah, dekorasi atau lukisan pada tiang-tiang bangunan Mesir Kuno. Lukisan fresko pada zaman Romawi-Yunani atau pada hiasan gereja zaman Pertengahan. Pada masa lampau seni lukis dapat dilihat sebagai hiasan bangunan dan ilustrasi-ilustrasi buku agama. Hal yang sama ditemukan pada kebudayaan Timur.

Seperti yang telah diuraikan di muka, salah satu tujuan seni yang paling awal adalah untuk merekam apa yang terlihat. Keahlian ini berkembang setelah zaman Renesan, para seniman mulai tertarik untuk melukiskan wajah manusia dalam pengertian sebenarnya, disamping tumbuhnya penghargaan yang berlebihan kepada tokoh-tokoh tertentu yang ingin digambarkan. Misalnya dalam cara melukiskan para raja dan penghuni istana yang gemerlapan. Pada abad ke tujuh belas tumbuh kesadaran untuk menggambarkan realitas kehidupan sehari-hari, maka orang mulai melukis ke luar studio untuk melukiskan pemandangan alam dengan benar, disamping mengembangkan teknik melukis dengan cat minyak.

Sejak abad ke sembilan belas, seni lukis telah sangat berkembang, terutama dalam hal gaya melukis, cara menampilkan karya seni dan gagasan-gagasan yang melatarbelakanginya. Pengetahuan ini menyebar dari Eropah ke berbagai penjuru dunia yang disebut dengan seni Barat.

Dalam pandangan orang Barat, seni mereka tidak sama dengan yang dikembangkan dalam seni non-Barat, seperti seni Afrika atau Asia, atau seni Islam.
Perbedaan cara pandang dan bahasa bentuk seni ini dapat dilihat sebagai bagian dari perbedaan apresiasi seni. Misalnya dalam seni Islam menolak untuk menggambarkan manusia dan makluk hidup. Seni Cina terutama mengandalkan lambang-lambang seni tulis untuk melukis. Kelihatannya berbagai budaya mengembangkan cara berseni rupa yang sangat berbeda-beda sebagai bagian dari budaya nya. Hal ini dapat dipahami sebab dalam seni rupa masalah bentuk adalah salah satu kajian utama seni rupa.

1. Kreativitas

Kreatif dapat berarti mampu mencipta, tetapi mencipta berarti membuat sesuatu yang baru. Cara kreatif pertama bisa dilihat secara sesederhana sebagai menemukan sesuatu yang baru untuk pertama kali. Yang lain adalah kreativitas dilihat sebagai menemukan sesuatu yang belum pernah dikenal sebelumnya. Banyak dari kita dalam berbagai bidang seperti melukis, mencipta, menulis atau mengarang dengan cara pertama yaitu menemukan sesuatu yang baru untuk pertamakalinya, padahal bagi orang lain hal itu sudah usang). Memang sulit untuk menjadi kreatif, termasuk orang yang sudah mengalami pendidikan tinggi sekalipun sekaliber pendidikan S2 dan S3.

Sebab menciptakan sesuatu yang baru itu tidak mudah. Bagi seniman inspirasi itu tidak datang setiap hari, mungkin pada suatu hari kita dapat menemukan sesuatu yang unik—yang mampu menjadikan diri kita sebagai pribadi yang unik pula di alam semesta ini. Namun hal ini tidak harus menjadikan kita seorang yang frustasi atas tuntutan kreatif yang lemah. Sebab dengan cara pertama, dan juga motivasi yang didorong oleh potensi yang sangat besar untuk menikmati kreatifitas dalam setiap temuan baru mendorong untuk penemuan dan pertumbuhan baru yang unik. James T. Saw (2001), menjelaskan hal ini, sebuah makna kreatif dapat juga dilihat jika kita dapat untuk berubah dan melihat berbagai kemungkinan baru di dalam situasi yang lama.

Adalah penting untuk membedakan antara menciptakan dan memanfaatkan. Jika kita sedang membuat karya seni, pada umumnya kita membuat penemuan baru, tetapi ini hanya sebagai dasar, karena hanya pengulangan. Hal ini kadang-kadang terjadi, bagaimanapun, bahwa seniman tumbuh dan mulai menggunakan gagasan dan gambaran yang tidak baru ini adalah sebuah eksploitasi (pemanfaatan). Jika gagasan sebuah itu adalah hasil tiruan. Maka mereka adalah seniman buruk yang mati kreatifitasnya. Jika kita akan banyak mencipta, bisa saja kita menggunakan gagasan (konsep) orang lain sepanjang mereka diubah menjadi jadi kita sendiri dalam proses belajar.

Namun jika terlalu mengandalkan hal ini tidak mungkin itu kita akan menemukan apapun yang sungguh-sungguh baru dalam seni, sebaiknya semua yang akan kita lakukan dalam seni harus baru menurut versi kita. Yang terpenting adalah kita tidak boleh menduplikasi atau mengkopy karya orang lain – jika hal ini dilakukan sama halnya dengan mencuri. Jika kita harus menggunakan gagasan orang lain, sebaiknya diinterpretasikan kembali diolah menurut selera kita, sehingga gagasan itu dan karyanya dapat diakui sebagai miliki kita. 

2. Gagasan dan Konsep Seni 

Dilihat dari sudut subjektif, konsep berarti kegiatan akal manusia menangkap sesuatu. Dari sudut objektif, konsep adalah sesuatu yang ditangkap oleh kegiatan akal manusia sehingga konsep itu adalah “tangkapan akal” manusia tersebut (Komarudin, 1982:53-54) Sedangkan teori adalah seperangkat gagasan (konsep), definisi dan proposisi yang berhubungan satu sama lain.... (Komarudin, 1982:280)

Dalam dunia seni rupa, pengertian konsep dan teori tidak dapat dipisahkan satu dengan yang lainnya, sebab yang satu bisa memunculkan yang lain. Arti konsep dapat dikutip dari pernyataan : “Suatu konsep adalah gagasan yang memadukan berbagai unsur ke dalam suatu keseluruhan, unsur-unsur yang dimaksud “ gagasan”, “pendapat”, dan “pengamatan” (Attoe, dalam Snyder, 1984). Batasan ini tidak berbeda dengan makna konsep dalam kamus bahasa Indonesia: “Konsep berarti gambaran mental objek yang dibicarakan, di dalamnya terdapat pendapat, kesatuan pemikiran perihal suatu karya atau produk.”(KBBI, 1989)

Gambaran mental sesuatu objek, adalah yang mewakili benda, proses atau apapun. Namun konsep bukanlah masalah bahasa, konsep adalah proses atau apapun yang ada di luar bahasa, yang dipergunakan akal budi memahami hal-hal tersebut (Yusuf, Suhendra.1995:152).

Semua proses untuk memahami dunia dan fenomena fisik oleh ahli filsafat disebut dengan ontologi, sedangkan ahli antropologi dan ahli bahasa menyebutnya proses terbentuknya ilmu pengetahuan manusia dengan memberi lambang kata untuk kepastian perbedaan satu objek dengan lainnya.

Dengan adanya konsep, maka konsep itu dipakai sebagai alat untuk menciptakan karya seni secara kreatif Masalahnya tentu tidak sesederhana itu, sebab antara konsep dengan karya seni sering tidak berkaitan. Jadi konsep hanya alat atau jembatan untuk melahirkan karya seni. 
Namun teori atau konsep di bidang seni tidaklah seeksak teori ilmu fisika dan matematika. Karena teori seni tidaklah seeksak menurut paradigma ilmu fisika atau matematika, berarti dalil-dalil atau hukum-hukum (fisika atau matematika) yang pasti (eksak).

Konsep atau Teori bidang seni dan budaya menurut Attoe, memiliki ciri terbuka, berubah akibat berbagai pengaruh dan perkembangan kesepakatan sosial dan budaya.

Dalam uraian ini kita melihat sebaliknya, yaitu bagaimana manusia menciptakan karya seni berdasarkan gagasan sendiri atau pengetahuan seni yang telah ada sebelumnya.

Feldman (1967) menjelaskan bahwa, seni itu adalah hasil penerapan gagasan-gagasan seniman, dalam hal ini dia menyebut sebagai ekspresi (ungkapan ide-ide) untuk tujuan komunikasi. Ada tiga jenis gagasan yang pokok dapat diekspresikan, pertama gagasan yang berasal dari pribadi (subjektif), gagasan yang berasal dari sosial, dan gagasan tentang dunia benda buatan. Gagasan yang dimaksud Feldman diantaranya konsep-konsep seniman tentang kehidupan sep erti cinta, kasih sayang, perkawinan dan seterusnya, konsep tentang politik, ideologi, keagamaan ( sosial, budaya). 

Hal ini menjelaskan, bahwa objek seni melahirkan gagasan, dan sebaliknya gagasan tentang seni juga akan melahirkan objek seni pula. Jadi dalam proses seni itu tidak dapat dilihat secara linear, satu arah, sebab dia berada dalam suatu lingkaran tertutup. Seniman bekerja bukan semata karena dorongan emosional semata, dalam berkarya dia juga berpikir secara logis, memahami konsep-konsep yang sudah ada, menguasai keahlian menggunakan alat-alat.

Seorang mahasiwa yang telah belajar seni selama beberapa tahun, dinilai pada ujian kompeten seni, bukan dari seberapa tingginya keahliannya (skill) atau seberapa besar emosinya yang dapat diterapkan, tetapi dari sejauhmana penguasan, pengetahuan (konsep-konsep), interpretasi atau perluasan konsep melalui eksperimentasi. Kompetensi berkesenian terlihat dari skill yang tinggi, nilai estetik dan komunikatif atau tidak komunikatifnya karya seni seseorang

Dalam pandangan baru, media bukan hanya bahan atau alat yang dipakai dalam berkarya. Tetapi istilah lain yang mirip dengan ini yaitu medium. Medium juga media, tetapi lebih cendrung diartikan sebagai sarana atau kendaraan untuk meujudkan konsep-konsep dan pikiran seseorang.

Kita perlu untuk membahas masalah ini sehubungan dengan aspek teknologi dalam seni. Peberapa kutipan di bawah ini menjelaskan pengertian istilah yang dimaksud.
In the course of its history, Western painting has taken several major forms, involving distinctive media and techniques. The techniques employed in drawing, however, are basic to all painting……..(
Michele Vishny)  

Selanjutnya dia menjelaskan .
Keteknikan lukisan adalah seni memoleskan pigmen-pigmen atau cairan warna,di atas permukaan yang datar seperti pada kanvas, panil, dinding atau kertas, untuk menghasilkan sensasi atau ilusi ruang, gerak, tekstur dan bentuk, kombinasi dari unsur-unsur tersebut, atau penekanan salah satu dari padanya. Hal ini dapat dipahami, barangkali melalui teknik tersebut dapat terungkap kecerdasan, emosi, lambang, keagamaan dan nilai-nilai subjektif lainnya dari tempat yang berlainan

Selanjutnya Myers (1965) berpendapat bahwa, teknik dalam hal ini diartikan sebagai media untuk mengungkapkan emosi atau pikiran seniman. Dalam tulisan lain terdapat pernyataan bahwa teknik itu adalah pengetahuan dalam mengolah unsur visual seperti yang dikatakannya :

Chiaroscuro, Italian “light and dark”. The science of dealing with light and shade in painting, the use of strongly contrasting tones

Pendapat lain yang menyatakan teknik sebagai proses diperlihatkan oleh Christopher Lyon dalam menjelaskan seni batik sebagai berikut ini.

Batik is called a resist process. Some substance, usually liquid wax, is applied to the raw cloth. When it is then dyed, the wax in the fabric resists coloring. The wax is subsequently melted away, and the raw cloth remains as a pattern in the batik, which is normally a shade of blue or brown…..The technique was known in ancient China and is still practiced in some form throughout Southeast Asia and in several African nations. It reached its highest development in Indonesia, where it was originally a pastime for aristocratic women (Christopher Lyon) 

3.     Medium Ekspresi 

Menurut Feldman (1967:305), istilah material, medium dan teknik agak sulit untuk dibedakan. Istilah media sebagai alat dan bahan untuk membentuk mudah dijelaskan. Sebab material adalah semua elemen fisik seperti cat, batu, kaca, tanah liat dan metal. Semua jenis material tersedia, baik oleh industri maupun material konvensional dapat diperoleh seniman dari lingkungannya, untuk dijadikan bahan bagi karyanya. Dalam kamus, medium didefinisikan sebagai :”substance throught withc a force acts or and effecct is transmitted (substansi yang memiliki kekuatan untuk merubah, atau melakukan aksi perubah). Dengan perkataan lain medium adalah kendaraan (vehichle) pikiran manusia melalui material tertentu, yang mampu bertindak sebagai alat perantara dalam rangka mengutarakan maksud tertentu seniman. Selanjutnya medium didefinisikan sebagai:A person believed to be a channel of communication between the earthly world and the spirit world 

Pengertian medium di sini mengarah kepada pengertian atau maksud seni sebagai alat komunikasi. Dalam melukis, terdapat kecendrungan media menjadi medium ekspresi dan alat komunikasi. Misalnya bahan cairan, pigmen, minyak cat, cairan casein, putih telur, vernis, damar sintetis dan sebagainya sebagai alat untuk mengutarakan sesuatu ide. Dari catatan di atas terlihat bahwa ada dua hal yang perlu mendapat penjelasan tentang teknik yaitu berikut ini.
  1. Teknik yang semata berhubungan dengan keahlian atau proses dalam menggunakan media
  2. Teknik yang berhubungan dengan media atau medium seni sebagai alat untuk rekabentuk/design visual dan ekspresi Seni. Dalam istilah reka bentuk sudah terkandung makna ekspresi, atau konsep-konsep yang ingin diutarakan/dipikirkan seperti kesatuan, irama aksentuasi dsb.
  3. Namun definisi medium seperti ini tidak bisa dipakai dibidang seni patung, filem dan arsitektur Jadi medium adalah material khusus untuk maksud-maksud artistik dengan ide tertentu.
Misalnya, apakah medium patung atau seni bangunan oleh pematung dan arsitek adalah batu ? Ternyata tidak sepenuhnya benar. Medium adalah kendaraan (vehicle) untuk untuk mengutarakan ide-ide oleh arsitek atau pematung. Medium adalah bentuk-bentuk itu sendiri yang dihasilkan oleh persepsi manusia seperti garis, bidang, massa dan volume atau permainan ruang. Jadi media seni, seperti bahan atau peralatan mudah untuk dimengerti. Tetapi jika berhadapan dengan jenis seni yang lain istilah media bisa bias. Alat atau teknologi bahan tidak sulit untuk menjelaskannya, karena hanya terkait dengan unsur fisik. Sedangkan medium berkaitan dengan cara seseorang mengutarakan pikirannya melalui elemen rupa yang dihasilkan melalui persepsi. Dalam seni kedua hal ini (teknik pengolahan bahan dan teknik pengolahan rupa) dapat menyatu dimana kita tidak dapat memisahkan antara kepentingan teknik pengolahan bahan dengan kepentingan pengutaraan ide-ide rupa. Contoh di bawah ini memperlihatkan bagaimana penyatuan kedua gagasan visual

Gambar 1.1  Potongan  “Blue Poles”, Karya  Jacson Polloc, 1953, Oil, Duco and aluminium  paint di atas kanvas  lukisan asli (211-488 cm). Sumber: 1995 Compton’s NewMedia, Inc.









Gambar 1.2  Karya Van  Gogh, The Starry Night. Sumber: 1995 Compton’s NewMedia, Inc










Gambar. 1.3 Lukisan Salvador Dali,”The persis-tence of Memory”,1931, 25 x 36 cm. Sumber: 1995 Compton’s NewMedia








Gambar. 1.4 Lukisan Joan Miro,1933” (Composition), 1,3 x 1,6 m. Sumber: 1995 Compton’s New Media, Inc.

Gambar 1.1 dan 1.2 adalah lukisan yang konsepnya mirip tetapi secara visual penampilannya sangat berbeda. Demikian juga gambar 1.3 dengan gambar 1.4 Coba bandingkan lukisan Jackson Polloc (1.1), dengan lukisan Van Gogh yang meng gambarkan bintang-bintang di langit (1.2). Lukisan pertama pelukis menggunakan media tumpahan cat untuk pengungkapan emosi nya, seniman lain dengan ide yang mirip tetapi menghasilkan karya yang berbeda. Apa yang mirip dari kedua karya ini, secara visual memang tidak mirip. Genre luk isan juga tidak mirip, karena yang pertama disebut abstrak ekspresionisme, sedangkan yang kedua ekspresionisme saja. Yang mirip adalah gagasannya, yaitu lukisan sebagai medium berekspresi

Mungkin contoh di atas kurang tajam, dibandingkan dengan contoh gambar 1.3 dan 1.4 Kedua lukisan ini konsepnya adalah surealistik. Keduanya juga menggunakan media yang sama yaitu cat minyak dan kanvas. Tetapi secara visual karya surealistik Salvador Dali sangat berbeda dengan karya surealistik Joan Miro. Karena medium bahasa visual yang dipakai berlainan. Salvador Dali mengungkapkan karyanya melalui peniruan dan deformasi bentuk alam nyata, sapuan kuasnya diutamakan untuk membentuk ilusi atau khayalan. Sedangkan Miro, yang juga surealistik, tetapi menggunakan bahasa bentuk non figuratif, bahasa visual atau mediumnya adalah bidang-bidang, garis dan warna. Dali menggunakan imitasi alam yang digambar secara fantasinya, sedangkan Miro melalui medium bentuk dan warna.

Kedua contoh di atas memperlihatkan, teknik melukis dengan cat minyak dan kanvas maupun ide seni yang sama tidak ada pengaruhnya dalam perbedaan bahasa visual. Walaupun seniman memiliki ide yang sama dan menggunakan alat kuas dan cat yang sama, tidak menjamin bahwa lukisannya akan sama pula ciri-cirinya. Disinilah agak jelas apa yang dimaksud dengan medium itu. Pertama medium dapat diartikan sebagai cara untuk merealisasikan ide-ide seniman, atau dalam cara pengungkapan (ekspresi) melalui bahasa visual. Sedangkan media adalah material yang dipakai.

Feldman (1967), menjelaskan medium dalam pengertian media tidak bisa dipergunakan untuk semua jenis seni. Misalnya seni bangunan (arsitektur) Le Corbusier, Nervi dan Candela menggunakan teknik pribadi lewat bahasa visual yang tergantung bahan atau material dan cahaya ( cahaya buatan dan cahaya sinar matahari). Bangunan itu menggunakan teknologi yang sama. Tetapi teknik pribadi nya dalam menggunakan bahasa visual arsitektur yang unggul adalah suatu teknik yang dikembangkan secara khusus oleh yang bersangkutan untuk menghasilkan karya yang unggul.

Terlihat bahwa material sebagai sebuah alat dan teknik, memang dapat mempengaruhi apa yang ingin di ekspresikan. Tetapi teknik dan material seni sering memiliki batas kemungkinan dalam pemakaiannya. Seniman sering menyadari batas-batas teknik seni itu. Namun dalam keterbatasan kemungkinan teknik itu, mereka mencoba menghasilkan sesuatu yang menakjubkan. Hal ini dilakukan liwat suatu kesadaran, dan kepekaan atas apa yang dapat dan tidak dapat dilakukannya melalui bahasa visual. Dari uraian di atas medium itu dapat menjadi dua pengertian :
  1. Pilihan alat, bahan dan teknik oleh seniman dalam mengolah material menjadi suatu bahasa bentuk
  2. Medium bahasa rupa, yaitu cara seniman berbahasa rupa, yaitu unsur-unsur yang dipakai untuk mengutarakan pikiran maupun perasaannya. Media bahasa rupa itu antara lain, garis, bidang, tekstur, warna nada dan seterusnya.
Beberapa seniman memilih untuk mengabaikan batas-batas teknik, material yang diketahuinya itu, namun banyak juga yang gagal dalam lingkup keterbatasannya itu. Kehlian (craftmanship), dapat dipahami sebagai suatu pengetahuan tentang bagaimana mengolah suatu material dan bagaimana kemampuan seperti itu dipakai untuk suatu maksud tertentu.

Tetapi tidak dapat dilupakan bahwa hal itu, atas dasar pengalaman dan pemahaman seorang seniman dalam berkarya. Unsur keahlian maupun teknik mengolah material ada batasnya, sedangkan pikiran manusia hampir tak terbatas, seni sebagai hasil pikiran yang menggunakan medium visual adalah sebuah sisi seni untuk tujuan komunikasi, pada sisi ini dia menjadi bermakna. Jadi pemahaman dan penggalian pengalaman manusia atas seni, adalah pemahaman atas inquairy kreativitas seni yang tersembunyi pada kualitas fisik.

Seni adalah akar dari ilmu pengetahuan manusia. Lagipula pengetahuan itu tidak sama dengan penge tahuan yang logis. Pengetahuan seni ini disebut oleh Bourdieau (1990) sebagai pengetahuan yang tersembunyi (tacid knowledge). Oleh karena itu walaupun skill dan teknik itu mengatur dan menuntun seni, namun tidak berarti bahwa skill itu adalah segalanya. Sebab dia hanya sebagai alat untuk mencapai tujuan seniman dalam sebuah aksi.

Gambar 1.5 Drawing Michelangelo (1475-1564): Studi Lybian Sybil, Kapur merah di atas kertas.Ini adalah drawing pensil yang dikerjakan oleh seorang master Italia Michelangelo di zaman Renesan. Meskipun drawing ini tidak lengkap, keahlian seniman terlihat dalam rendering wajah yang mengutamakan bayangan terang gelap. Sejarahwan meyakini bahwa karya ini merupakan suatu studi, bukan sebuah karya seni yang lengkap. Sumber: 1995 Compton’s NewMedia, Inc.

Dalam pengolahan sebuah karya seni kita mencoba untuk menemukan bagaimana sebuah medium memiliki pengaruh dan memunculkan apa yang diinginkan atau yang tidak ingin diungkapkan. Pada saat yang sama kita menyenangi bagaimana isi ungkapan itu bekerja pada berbagai jenis karya seni rupa. Namun, sebagai sebuah pengetahuan yang tersembunyi (tacit knowledge), kita hanya melihat sebuah permukaan gunung es, sebab seniman sendirilah yang mengalami dan mengetahui bagaimana pengalaman itu di alaminya saat menggunakan media tertentu dalam menuangkan idenya.

Untuk menutup uraian ini kita dapat mengutip pendapat lain mengatakan bahwa teknik itu adalah cara medium itu dipergunakan misalnya James T. Saw (2001), menjelaskan bahwa:
Technique: refers to the way the medium is used. It is possible for a medium, like acrylic paint, to be used for several different techniques.” Sedangkan “Medium: (singular) refers to a material, media (plural) to various materials”  

Bermacam cara dan teknik dapat memberi peluang kepada perupa untuk mencapai hasil yang diinginkan. Namun banyak juga pelukis atau perupa yang hanya menggunakan satu atau beberapa teknik dan medium saja. Dalam hal ini terdapat juga kekeliruan, jika suatu teknik telah dikuasai dalam berkarya, dan menghasilkan karya-karya yang mirip, para seniman yakin bahwa mereka telah menemukan sebuah gaya pribadi, atau gaya menurut suatu kelompok seniman di zaman tertentu. Walaupun, hal ini tidak selalu benar. Sebab tugas penafsiran semacam ini adalah tugas kritikus atau kurator dan sejarahwan seni. Banyak seniman moderen seperti Picasso, membebaskan dirinya dari keterikatan terhadap gaya seni dan dia mencoba menggali berbagai teknik dalam berkarya. Tidak jarang berbagai penafsiran dikeluarkan oleh ahli seni untuk karya yang sama. 

Diantara Isi Ekspresi: Narrasi dalam Seni


Kata naratif atau narasi dalam kosakata seni rupa bukanlah berasal dari ranah seni rupa, melainkan merupakan pinjaman dari disiplin lain, yakni kesusastraan. Narasi dalam seni rupa terlihat menonjol dimensi kemanusiaannya, karena seni rupa dan elemennya dapat dipakai sebagai medium menceritakan segala aspek manusia.


Dalam kesusastraan, narasi atau narrative (Inggris) berada pada subranah prosa atau cerita rekaan. Subranah ini terdiri atas roman, novel, novelet, cerita bersambung, dan cerita pendek. Prosa bisa dibedakan dari puisi. Pembeda paling penting adalah hakikat yang dikandungnya. Hakikat prosa adalah peristiwa, tidak ada cerita jika tidak ada peristiwa. Sedangkan hakikat puisi adalah lirik sehingga kadang sulit dibedakan dengan nyanyian. Perbedaan lain dengan prosa adalah: jika prosa memaparkan, puisi memadatkan. Oleh sebab itu, diksi menjadi bagian penting dalam sajak.

Narasi dalam Seni Rupa

Pada dasarnya, elemen-elemen narasi dalam sastra mirip dengan elemen seni rupa. Dalam seni rupa elemen-elemen tersebut tidak harus seluruhnya hadir. Sebuah karya rupa bisa disebut bercerita jika, misalnya, terdapat elemen tokoh dan ruang yang berelasi membangun peristiwa. Jika relasi demikian muncul. Elemen-elemen lain dan ceritanya akan terbangun secara inabsentia (inplisit) oleh pengamatnya.

Cerita yang tercipta secara in absentia adalah cerita yang secara imajinatif muncul di benak apresiator setelah melihat gambar (after image). Sebuah karya seni rupa seperti lukisan dapat disebut mermiliki unsur narasi jika lukisan itu mengandung elemen cerita, misalnya adanya peristiwa, tokoh, seting, waktu, sudut pandang, dan vokalisasinya secara visual.




Artikel ini diringkas jadi 2 tampilan klik kanan hal berurutan









Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting