Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Selasa, 03 Maret 2009

Porspek Pendidikan Seni Rupa Berbasis Kompetensi (Konflik dua Pandangan)


Oleh Nasbahry Couto [2])


lmu pengetahuan itu tumbuh ibarat  menanam sebatang pohon. Kalau dipupuk di sirami dan dipelihara,  dia akan tumbuh dan berkembang. Walaupun buahnya tidak akan kita nikmati, buahnya adalah untuk generasi mendatang. Nurani kita dapat terusik jika ada mematahkan batangnya, sebab dia tidak akan dapat tumbuh menurut semestinya.

I. Latar Belakang Pemikiran

Sebenarnya  keputusan pelaksanaan kurikulum berbasis Kompetensi sudah 5 tahun berselang. Namun sampai tahun 2005 ini, masih saja dibicarakan, seakan banyak yang kurang paham. Tahun yang sama keluar pula Kepmen tentang Kurikulim Inti, terakhir Undang Undang Sistem Pendidikan Nasional tahun 2003. Jadi ada tiga peraturan yang dapat dipedomani untuk melegimitasi sah atau tidaknya  sebuah kurikulum di PT ( Kepmen,232/U/2000; Kepmen 045/U/2000, UU.No.20 Sisdiknas.)

Seperti yang kita ketahui, batas masa toleransi Kepmen tahun 2000 adalah tahun 2003. Pada  tahun 2004 atau sekurangnya tahun 2005 harus dilaksanakan. Oleh jurusan penulis pernah diikutkan dalam tim penyusun kurikulum. Dalam pengembangan jurusan, Seni Rupa memiliki otonomi, dengan pengertian harus mengurus diri sendiri. Dalam hal ini Ilmu seni rupa (kompetensi seni rupa)  tidak diurus oleh Universitas. Hakikat  dua Kepmen (232 dan 045, tahun 2000)  dan UU No.20. Sisdiknas 2003  menjelaskan bahwa ilmu pengetahuan  dasar yang akan ditransfer ke sekolah umum sebenarnya memiliki standar global, yang dapat berlaku di belahan manapun di dunia. Artinya ilmu pengetahuan itu bukanlah pengetahuan lokal, Masalahnya adalah banyak dosen yang tidak mampu membaca buku teks berbahasa asingsebaliknya pemerintah merasa tak perlu  menggurui tentang  apa yang akan di ajarkan, kecuali menerangkan batas-batasnya. Misalnya dalam Pasal 37, Penjelasan, UU No.20.Sisdiknas, tentang  bahan kajian  seni untuk pendidikan Dasar sampai Menengah tercantum, menulis, menggambar, melukis  dan menari.

Kalau kita hubungkan masalah kompetensi dengan kajian seni rupa akan terlihat bahwa masing-masing kompetensinya berbeda-beda. Menulis misalnya kompetensinya lain lagi. Dalam hal ini harus hati-hati sebab, secara global, tidak ada yang namanya kompetensi melukis dengan menulis, atau sebaliknya, kompetensi menulis sama dengan melukis.

Menggambar dan melukis jelas bidang seni rupa, bidang seni rupa ini sekarang telah melebar setidaknya sering disebut sebagai Fine Art, Aplied Art, Visual Art, dan design. Perbedaan masing-masing kompetensi dapat diperlihatkan pada bagan (1)
Pengelompokan bidang ini dan kombinasi dari masing, masingnya, telah berkembang sehingga di luar negeri terdapat setidaknya 246 cabang bidang studi seni rupa dengan 6 kelompok besar kompetensi ( khusus untuk program Diploma/ Basic)

Hal ini terjadi karena adanya spesialisasi yang merupakan campuran dan perkawinan dengan bidang yang kompetensinya berbeda-beda. Gabungan Fine art dengan design misalnya disebut dengan  Art and Design, kompetensinya berbeda dengan Fine Art (seni rupa murni). (Ucas and  Trothman & Co, Art & Design Courses, 2000, United Kingdom)


Bagan 1. Model kompetensi bidang studi seni murni (fine art), Disain, dan seni rupa dan Disain ( Art and Design), dan bidang Kriya (Craft), konfigurasi oleh penulis

Timbul pertanyaan, jika di dalam sebuah bidang studi  di PT dibutuhkan  50 buah mata kuliah dg 150 SKS, bagaimana  mengaturnya  sehingga dapat menunjukkan adanya perbedaan dan persamaannya dalam kompetensi ? 

Istilah kompetensi sebenarnya dapat diartikan sebagai batas kemampuan apa, yang diperoleh setelah proses belajar. Jadi kompetensi itu tidak bisa dikarang-karang, harus dilihat rujukannya terlebih dahulu, apa yang telah diakui secara Nasional dan global. Kompetensi utama suatu kegiatan belajar  dapat diketahui dari penting atau tidak pentingnya dikuasai oleh mahasiswa sesuai dengan level atau tingkat pengetahuan atau ketrampilan yang dipelajarinya.

Sebagai contoh, secara global diakui bahwa setidaknya ada 4  teknik menggambar dan 7 cara menampilkannya,  jika siswa mampu untuk menguasainya maka dianggap kompetensinya tercapai.( Wallschlaeger, 1991: 13-77). Demikian juga dengan melukis dan mematung, ada 4 tujuan melukis/ mematung dan 7 cara pula untuk menampilkannya (Bernadine Barnes, 2010, CD, Encarta Enc.). Tetapi tujuan menggambar dengan melukis berbeda. Walaupun memiliki maksud yang sama, apa yang dimaksud Wallschlaeger dan Barnes berbeda, sebab kompetensi melukis dengan menggambar itu berbeda. Artinya kompetensinya berlainan. Sebab ada kompetensi lainnya dalam melukis yang seyogyanya dikuasai antara lain masalah  pokok soal lukisan (subjec matter), gaya lukisan  (style), perkembangan bentuk lukisan dalam konteks sejarah, teori dan kritik Brness, 2004, CD, Encarta Enc.).

Setelah mengetahui  batasan-batasan ini maka lebih mudah untuk membuat  sebuah  deskripsi  dan tujuan mata kuliah, mana kompetensi yang seharusnya diberikan pada semester awal, semester tengah atau semester akhir kuliah, atau pada masing-masing mata kuliah.  Dapat terjadi setelah  mahasiswa belajar selama 4-5 tahun tetap tidak dapat menjelaskan  perkembangan lukisannya dan posisinya. Kemudian diketahui, salah satu sebabnya adalah tidak adanya mata kuliah Tinjauan Seni Lukis dalam kurikulum sebagai dasar penguasan kompetensinya Jadi yang salah bukan dosen melukis, tetapi kurikulum. Karena tidak mencantumkan mata kuliah penunjangnya.



Gambar Bagan 2. Kisi-kisi level kompetensi mata kuliah melukis
Di pihak  lain,  melukis dan tinjauan seni lukis  adalah penunjang  bagi mata kuliah fotografi. Melukis, nampaknya sepele  sebab dapat dilakukan oleh semua orang. Dan orang pameran sebebasnya, tetapi tunggu dulu, seni lukis adalah induk bagi pembahasan dari fotografi, video, filem, drama, advertising (art direction), tata ruang, dan pengaturan lanskap kota dan sebagainya.

Itulah sebabnya Universitas seni rupa dan Disain, mencantumkan seni rupa sebagai induknya, dengan anak cabang 246 bidang studi. Dan itu pula sebabnya di Inggris orang boleh mencapai Doktor atau master dalam bidang fundamental arts, yang diantara ini isinya membahas peran seni lukis. Orang boleh melukis, sebebasnya, tetapi  untuk menguasinya pembahasan seni lukis orang harus menguasai teori, kritik, sejarah seni dan kebudayaan visual. Itulah sebabnya, mata kuliah teori seperti sejarah, kritik dan sebagainya menduduki posisi sebagai MKK atau MKP bagi MKK  melukis.

Akan menjadi pertanyaan jika kaligrafi  dijadikan tugas akhir seni lukis mahasiswa, sebab kaligrafi bukan kompetensi melukis, dan bisa menjadi kompetensi rupa dasar atau nirmana dalam hal komposisi.  
Estetika adalah bagian dari kognisi, sebab estetika tujuannya untuk memahami  aspek sifat objek dan pengaruhnya pada subjek secara psikologis, bahkan bagian dari pembelajaran yang berguna untuk memahami persepsi manusia yang dilandasi oleh skemata memori ( pengaruh sosial-budaya)
Dalam seni murni orang tidak lagi mempersoalkan indah atau tidak indah sebuah karya seni. Hal ini dapat menjawab kenapa  orang awam  tidak mengerti lukisan kontemporer, sebab alat ukur yang dimilikinya adalah estetik berdasar budaya. 
Masalah bentuk (form) dan fungsi adalah alat ukur  bagi bidang disain, sebab desain berbeda dengan seni dalam hal tujuannya yang bersifat fungsional. Uraian ini hanyalah sekedar contoh kompetensi, jika kita tidak mengeti tujuan masing-masing  bidang pengetahun, maka akan lebih sulit lagi dalam memahami elem,en-elemen yang di dalamnya untuk merumuskan kompetensi. Jadi dalam menyusun kurikulum  ilmu murni perlu dikuasai, dan tidak akan bisa selesai hanya oleh orang yang hanya paham metode mengajar.

Jadi janganlah kita mengarang-ngarang ilmu atau kompetensi. Sebagai contoh, akan sulit nantinya menjabarkan kepentingan seni lukis kaligrafi kepada fotografi, video, filem, drama, advertising  tata ruang (3D Design), pengaturan lanskap kota (Urban Design) dan sebagainya. Apalagi ke bidang arsitektur yang sudah 18 tahun penulis ikuti secara teoritik (1979-2002). Hal ini dikemukakan. Sebab ini sangat erat hubungannya dengan  kurikulum kompetensi, profesi dan keilmuan seni rupa. Penulis menyadari manajemen keilmuan jurusan sudah 40th. masih sederhana, tidak ada koordinator  bidang ilmu, apalagi pusat studi.

II. Posisi Pendidikan Bidang Seni Rupa Secara  Global  dan Nasional

Pengembangan atau inovasi ilmu  seni rupa dan disain, memiliki ciri lintas program. Ilmu pengetahuan ini tidak terkotak-kotak  dan statis. Lembaga seni rupa di negara maju (develop country) lain sudah berbentuk Universitas Seni Rupa, atau Institut Seni Rupa. Malahan ada yang bernama Institut Teknogi Seni Rupa Dan Disain.

Hal ini menunjukan pesatnya pengembangan ilmu seni rupa  di negara lain, baik sebagai dasar pengembangan industri, maupun sebagai ujung tombak  ekspor negara maju  ke negara lain. Sering terdengar,  produk negara maju dianggap sebagai kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Pada hal  yang menjadi “dapur” industri maju adalah kemajuan seni rupa dan disain. Pemikiran seperti ini jarang terlintas  dikepala orang awam. 

Awam hanya mengenal seni rupa sebagai melukis. Dan seniman, sebagai orang berambut  gondrong, dan manusia kelas dua. Hal ini dapat tertanam di kepala para pemimpin daerah, para ilmuan perguruan tinggi di negara kita.  Ini salah bidang seni rupa juga. Setiap pameran selalu pameran lukisan. Jarang terdengar, pameran seni rupa  yang memamerkan disain. Orang dalam sendiri yang membentuk citra. Pameran kerajinan hanya menonjolkan model dan keprigelan tangan, bukan disain.

Dipihak lain, pemerintah selalu terlambat. Berbagai peraturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah, sebenarnya harus dipahami  karena ada yang keliru. Pendidikan di Indonesia sudah terpuruk menjadi peringkat 160-an dari sekitar 200 negara. Pemerintah sudah terlalu lama campurtangan dengan sistem terpusat yang sebenarnya memiskinkan ilmu, termasuk ilmu seni rupa.

Sebagai contoh, kita masih terbata-bata dalam menerangkan apa itu seni, kesenian, dan apa pula itu Departemen Kesenian, Kebudayaan dan Parawisata. Sama sulitnya menerangkan seni pada Fakultas Sastra, Bahasa dan Seni. Termasuk menerangkan bidang studi kependidikan Seni Rupa. Kalau kita periksa mungkin 40 % bukan lagi kompetensi bidang seni rupa. Tetapi bidang desain, aplied arts dan desain 3 D.

Di Eropah Art itu adalah produk Tangible Cultural Heritage (semua produk/pusaka budaya yang terlihat),  yang dibedakan dengan intangible cultural heritage. Sebab itu sebuah lukisan adalah artefak. sehingga di Inggris ada bidang studi yang namanya Visual Culture. Bidang studi Visual Arts mempelajari bahasa visual pada lukisan, patung, print making, fotografi.  

Fine Art adalah kegiatan melukis, mematung, seni cetak dan seni keramik, bukan kompetensi menganyam, mengukir kayu atau membuat lemari, itu adalah kompetensi bidang Disain dan Aplied Arts.. Disamping itu ada bidang studi Art and Drama, Art and Dance dsb. Jadi Art itu beda dengan drama dan musik. Kita masih menganggap bahwa dalam musik, drama  ada seni.  Sesuai dengan arti  art maka,  Seni Rupa kita itu dapat diartikan = Rupa-rupa ? Ilustrasi di atas adalah contoh campur tangan dan kekeliruan yang masih kita restui Yang berpengaruh kepada pelaksanaan pendidikan di negara ini.

Kapan misalnya, kita mengajarkan aspek seni dan disain pada siswa SMA ? Pada hal seni rupa itu mengandung multi aspek (filosifi, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, engineering, dsb.), bukan semata aspek estetik ( keindahan atau ekspresi semata).Umumnya di banyak bidang pendidikan ilmu tertentu, kondisinya terkotak-kotak, kalau tidak dikatakan terkoyak-koyak. Masing-masing bidang ilmu, jalan sendiri-sendiri. Misalnya perpaduan antar ilmu seni rupa dengan mesin hampir tidak dikenal. Ilmu disain pun dipecah sebagian masuk ke teknik sebagian ke ilmu budaya,  arsitektur masuk ke fakultas teknik. Akhirnya yang terjadi adalah tragedi. 

Misalnya urusan penataan lingkungan, proyek PKL Dirjen Tata Ruang dan Permukiman, yang sarat bernuansa tata lingkungan seni rupa, budaya dan tradisi  diurus oleh orang Teknik Sipil, yang sama sekali tak kenal dengan seni rupa apalagi budaya. Dengan enaknya  mereka mengatakan bidang sosial budaya tak kenal dengan teknik. Alasannya selalu teknik. In-efisiensi ini menghabiskan banyak uang rakyat Departemen-departemen selalu cerdik dalam mengelola proyek, yang   dijalankan dengan TOR ( Term of Refference) . Yang justru di negara maju, ini yang diantisipasi, baik melalui pengembangan  pendidikan maupun, melalui  pengaturan  profesi di masyarakat. Profesi disain dan seni rupa mendapat peran yang sangat besar dalam menata lingkungan hidup skala kecil maupun besar.

Misalnya kurikulum arsitektur standar ( ABET)  di luar negeri  25 % adalah ilmu seni rupa. Di Jepang PT nya memadukan ilmu seni rupa dengan Elektronik dan mesin, hasilnya adalah  berbagai disain produk  yang  menjadi konsumsi kita. Di Eropah sejak 100 tahun yang lalu ( BAUHAUS)  orang sudah mendirikan sekolah seni rupa dan disain. Yang merupakan perpaduan antara ilmu manajemen, seni rupa, kerajinan, dan teknik. Dan kita sendiri tahu bagaimana akibatnya, dalam semua bidang pendidikan kita kalah dari Papua Nugini ( sistem pendidikan kontinental), dari Malaysia ( sistem kontinental UK), Singapura ( Sistem USA), mungkin besok- lusa kita kalah dari Timtim yang baru merdeka. 

III. Pengaruh Peraturan Kurikulum Berbasis  Kompetensi Kepada Penyusunan Kurikulum 
       Seni Rupa Di PT
Secara filosofis kurikulum kompetensi sudah ada sejak lama, filosofinya berasal dari Unesco tahun 50-an. Namun di Indonesia, sejak tahun 60-an (jaman Presiden Sukarno) Konsep Unesco ini direduksi.  Dimana dari 5 aspek konsep Unesco, kita kenal hanya  3 aspek, terakhir kita kenal (MKDU-MKDK dan MKK). Pembentukan watak dan berilmu (pribadi) atau MPB  kita tidak  kenal. MBB kita kenal melalui Tri Darma Perguruan Tinggi  dan ini memang sudah usang dan mesti diperbarui.
Sistem pendidikan kita  memang warisan kolonial Belanda (sistem pendidikan  kontinental tahun 60-an/ Belanda-Jerman ) masih melekat erat sampai tahun 80-an. Yang di Belanda  dan Jerman sendiri sudah berubah. Sedangkan kita sendiri masih jalan di tempat.

 Setahu penulis, perubahan dan penerapan kurikulum kompetensi adalah sejak tahun 84-an, di bidang pendidikan engineering yang dilaksanakan atas kerjasama ITB dengan VHS Delf (sekarang Universitas Delf) di Belanda. Untuk meng-efisienkan proses belajar, di PT dan standar kompetensi dunia, hasilnya kemudian di terapkan kepada ITB dan beberapa PT lainnya. Sekitar (1991-1995)  penulis bekerja sebagai Kepala UPT Perencanaan Pendidikan di Fakultas  Teknik Univ.Bung Hatta yang dimana penulis ikut mengkonsep Teknik Kimia, Teknik Lingkungan dan Teknik Industri, konsep-konsep kurikulum berbasis kompetensi ini sudah mulai dibicarakan.

Diantara masalah saat itu adalah  bahwa  PII (Persatuan Insinyur Indonesia) ingin diakui profesinya, sehingga lulusan sarjana teknik Indonesia bisa bekerja di LN. Keinginan ini ditolak oleh negara-negara  sekitar kita termasuk Australia, karena pendidikan di Indonesia dianggap tidak standar. Oleh karena itu Nirwan Idrus dkk, yang dari IKIP  dikirim oleh Menteri PDK RI, ke New Zealand untuk mempelajari Quality Insurance dan Curriculum Development. Dan dia membentuk Tim Konsultan dengan orang Australia. Dapat dilihat dalam laporan ( J.Jones, Malcom, 2000, Curriculum Developmen, S1 Engineering Programs In Indonesia), Dijen Dikti RI. Hasilnya sejak tahun 1998-an  diterapkan pendidikan standar  engineering, dengan penataran yang terkenal dengan nama AA ( Aplication Aproach)/ Pendekatan Aplikasi ke seluruh fakultas-fakultas teknik dan fakultas yang punya fakultas basic enginerering, di Indonesia ( Matematik, Fisika, Kimia, Biologi). Di jaman Presiden  Gus Dur, melalui Menteri PDK, Yahya Muhaimin  dikeluarkanlah Kempen tentang kurikulum berbasis kompetensi yang berlaku sejak sekolah dasar sd PT. ( tahun 2000)

 Jenis bidang studi yang lain memang terlambat untuk dibenahi. Tetapi pada intinya bahwa, semua jenjang pendidikan  harus standar dan bersifat global.  Salah satu perkembangan terakhir adalah, Quality ansurance, adalah jaminan bagi orang belajar di PT, bahwa  lembaga pendidikan  juga bisa di hukum jika salah dan memberi janji-janji yang tidak benar melalui kurikulumnya. Bukan Rektornya yang di hukum, tetapi tentu ketua jurusan dan perangkatnya.

Dengan berlakunya aturan kurikulum berbasis kompetensi sejak tahun  2000. Beberapa  bidang studi di PT Indonesia, seakan kehilangan pedoman dan ragu dalam melaksanakannya. Karena sudah biasa diatur dari pusat. Namun ada juga yang menanggapinya dengan cepat,  ada yang mengadakan survey lebih dahulu dan menjadi fenomena yang menarik. 


Menurut Jones,2000. Struktur ini tidak jauh berbeda dengan stuktur kurikulum seni rupa, kecuali mas. Keb. Industri dan profesi. Tekanan pembahasan paper ini adalah mengenai domain of knowledge ( wilayah keilmuan) yg telah merambah kemana-mana. Kemudian solusi untuk merampingkan jumlah SKS melalui metoda mengajar dari teaching ke learning. Ilmu dasar memang boleh teaching, kompetensi lain di buatkan modul, pada kegiatan learning centre. Sehingga kurikulum bisa menjadi ramping.

Misalnya jurusan Arsitektur   Univ.Brawijaya, dalam menyusun kurikulumnya berorientasi kepada pendidikan arsitektur Perancis yang unggul dibidang seni rupa. GAMA  ( dg. jurusan komunikasi visual) tetap berorientasi kepada universitas Riset ( mengutamakan S2 dan S3). Karena menganggap S1 menjadi urusan sekolah lain. Seni Rupa dan disain ITB kelimpungan, terbukti dengan dikirimnya surat kepada alumni  S2 untuk memberi “nasehat” bagaimana seharusnya pelaksanaan S2, hal ini dapat dimaklumi, karena  kaderisasi dosen di Seni Rupa ITB kurang sempurna.

ITB orientasinya adalah Art and Design, dan mahasiswa yang tertarik kepada Fine Art sedikit dibandingkan yang tertarik kepada bidang desain, bibit S1-nya memang unggul, dg belajar mandiri, mahasiswanya bisa lulus 3-4 thn. sebab mereka umumnya dipilih melalui seleksi yang ketat. Untuk pendidikan Fine Art dan Aplied Art banyak orang melirik  ke ISI Yogya, sebab memang sejak lama sudah berkembang di sini, secara historis program studinya berorientasi kepada seni dan budaya Indonesia dan daerah. Jadi walaupun institusi seni seni rupa bernama sama orientasinya dapat berbeda-beda, demikian juga dengan LPKJ di Taman Ismail Marjuki Jakarta. Orientasinya  lebih ke Art & Design.

Sejak dikeluarkannya aturan kurikulum berbasis kompetensi, banyak PT mencoba mengarahkan kurikulum nya kepada standar global. Dan dapat diartikan  bahwa agak sulit untuk meniru-niru kurikulum PT lain tanpa pembanding kurikulum yang bersifat global.

Kita tidak tahu persis apa yang menjadi orientasinya secara global, latar belakangnya,  dan juga yang apa menjadi keunggulannya (NICE)  nya. Memang satu ciri dari kurikulum kompetensi adalah, disamping dia memiliki bakuan standar tertentu, dia juga harus memiliki keunggulan ( NICE) komparatif tertentu. Misalnya  dalam sistem pengajaran, sumber daya, dan pengembangan perilaku  mahasiswa. Yang tidak  ada ditemukan di tempat lain. Kalau standar  itu berarti ada di tempat lain.

Pengalaman lama berulang lagi pada waktu menyusun  kurikulum  D3 DISKOMVIS tahun 2004 dan kemudian merevisinya tahun 2005. Salah satu bahannya adalah dari kurikulum  D 3 yang berasal dari Yogya, yang isinya tak lain turunan dari ilmu Desain Grafis ditambah ilmu periklanan. Kurikulum sebelumnya perlu diperbaiki karena terlalu berorientasi kepada S1. Sebagai bahan pembanding dapat pula bahan dari negara Ingrris ( tahun 2000), ternyata yang menjadi core  pendidikan D3 DISKOMVIS  di Inggris ( tahun 2001) berbeda dengan yang ada di Yogya. Beberapa core utama  kurikulum bidang studi Seni Rupa dan Disain di Inggris tahun 2000  dapat di pelajari dan menjadi dapat menjadi wacana dalam melihat  perkembangan pendidikan seni rupa secara lobal. (Ucas and  Trothman & Co, Art & Design Courses, 2000, United Kingdom)




 Bagan Perkembangan pembidangan ilmu seni rupa di Inggris tahun 2001

Secara geografis dan sistem kependidikan,  negara Indonesia memang dikelilingi oleh negara-negara  yang  memiliki sistem pendidikan kontinental dan USA. Pengetahuan ini dapat menjadi pembanding   untuk menyusun  kurikulum  dan agar meningkat, ke taraf pendidikan yang ada di luar negeri. Paling tidak core utama dan orientasi masing-masing bidang studi  dapat diketahui.

IV. Pendididikan Seni Rupa Berbasis Kompetensi

Apa yang dibicarakan di atas erat hubungannya dengan pengembangan kurikulum kompetensi. Beberapa catatan adalah sebagai berikut.
  1. Diantara negara-negara maju, pendidikan seni rupa di Inggris memiliki standar pendidikan seni rupanya. Dengan melihat kepada perkembangan di luar negeri, dapat diketahui bagaimana percabangan ilmu seni rupa berkembang, kemana arahnya, dan apa saja kompetensi bidang studinya
  2. Dengan memeriksa pendidikan negara maju, akan terlihat bahwa.Program studi Seni rupa kompetensinya adalah: Patung, keramik ( seni 3D); seni lukis dan grafis ( seni 2D).  Dalam ukuran global bidang studi yang dipelajari di Seni rupa FBSS UNP Padang tidak dapat disebut dengan kompetensi bidang studi Seni Rupa Tetapi merambah ke bidang studi Seni Rupa dan Desain bahkan ke bidang studi Aplied Arts.  Hal ini terjadi karena  warisan yang berasal dari bidang studi Kependidikan Seni Rupa dan Kerajinan. Kompetensi Seni Rupa Murni berbeda dengan kompetensi seni rupa dan desain. ( Art & Design Courses, 2000;)
  3. Yang dimaksud dengan bidang ilmu Seni Rupa dan Disain ( Art and Design) adalah perkawinan ilmu seni rupa dan Disain.
  4. Disain memiliki disiplin ilmu tersendiri, orientasinya ada dalam pendidikan perancangan. Ketrampilannya adalah gabungan antara studio gambar  dan bengkel. Tetapi objek studinya adalah disain  ( 2 D/3 D) .
  5. Kerajinan masuk dlm. kompetensi Desain 3 D, khusus dalam konteks tata lingkungan 3 D. Kompetensi Kriya Keramik  misalnya, adalah studi tentang keramik untuk rumah, kantor, bangunan dsb). Proyeknya adalah untuk penataan lingkungan kantor, rumah, gedung dsb.
  6. Strategi dalam penyusunan struktur kurikulum berbasis adalah seperti pada (lihat bagan 4). Untuk merampingkan beban studi dan kelancaran studi mahasiswa maka jangan semua  hal dimasukkan ke dalam kurikulum. Mata kuliah yang mengandung kompetensi lifeskill, misalnya. Teknik menyablon (screnprinting), menganyam, mengukir dan sebagainya itu, yang seyogyanya sebetulnya hanya kepandaian yang ada di dalam masyarakat. Tidak perlu. dimasukkan dalam kurikulum. Sehingga kurikulum bisa menjadi ramping. Kegiatan ini dimasukkan kedalam kegiatan ekstra kurikuler dalam bentuk modul-modul latihan yang disediakan di kampus.  Dimana yang mengajar juga tidak usah dosen tetapi individu dalam masyarakat yang memang pekerjaannya  tukang sablon. Setelah mahasiswa lulus, dalam  laporan hasil studinya di laporkan apa saja modul latihan yang telah diikutinya. Demikian penjelasan  Jones ( 2000), yang bisa penulis analogikan dengan bidang seni rupa. Intinya adalah, di kampus tersedia fasilitas belajar mahasiswa di luar kebutuhan  akademik yang utama.
  7. Salah satu teknik  dalam penyusunan kurikulum kompetensi adalah dengan menyusun komponen-komponen kompetensi ( MK) ke dalam “ struktur tulang ikan” (teori M.Fish). Dimana kompetensi akhir belajar ditentukan lebih dahulu. Kemudian    disusun  komponen-komponen  pendukungnya  sepanjang masa studi. Dari struktur ini akan terlihat mana mata kuliah kompetensi utama, penunjang dan lainnya. Atau kompetensi yang sama sekali lain  pengelompokannya. Metoda ini berasal dari  hasil penelitian manajemen Industri yang dipergunakan untuk melihat hubungan antar  mata kuliah dan kompetensinya . ( dari Cornick, Tim, 1990). ( Lihat bagan 5)
  8. Secara umum  struktur pendidikan S 1 di semua bidang di UNP  berorientasi akademik ditambah dengan disiplin lain;  ( 60 % teori dan 40% Praktek). Yang proporsinya adalah 80 % ( 120 SKS)  Ilmu seni rupa dan 20 % ( 30 SKS)  disiplin Kependidikan ( Akta IV). Disiplin Kependidikan sudah ada yang mengurus ( FIP)
  9. Kurikulum berbasis kompetensi adalah kurikulum  yang menjelaskan batas-batas kemampuan yang harus dicapai, baik antara mata kuliah maupun antar program studi oleh mahasiswa. Misalnya kompetensi melukis untuk  program studi D3, S1 dan S2 walau objeknya sama kompetensinya berbeda.. Jika peta peringkat ini diperoleh. Maka baru kurikulum berbasis kompetensi dapat disusun dengan benar. Karena kecil kemungkinan untuk kompetensinya memanjat ke peringkat S2 atau turun ke peringkat bawah (kompetensi program Diploma). Jika diperiksa, ada beberapa mata kuliah di PT Seni Rupa termasuk di Padang, sebenarnya bukan kompetensi  S1, tetapi D3 (mata kuliah yang bersifat ketrampilan yang juga dipelajari di level bawah (SMU, SMKK, di pelajari di masyarakat dsb. yang bukan konsumsi S1),
  10. Oleh karena itu, jika kita memberikan kompetensi yang seyogyanya, hanya untuk anak SMA,untuk mahasiswa S1. Maka  pencapaiannya akan sama dengan apa yang dimiliki anak SMA. Hal ini salah satu alasan, kenapa masukan untuk menyusun  materi  keilmuan seni rupa di PT Kependidikan Seni Rupa  tidak harus hanya   terfokus demi kepentingan  kurikulum  Sekolah Umum (SD,SMP dan SMU/ SMKK), tetapi juga kepentingan  Seni Rupa dan Desain di PT (Lihat UU SISDIKNAS, 2003 ), jadi sebaiknya ada benang merah ilmu seni rupa dari tingkat dasar sampai ke PT.
  11. Buku ajar mengindikasikan adanya bahan untuk modul belajar mahasiswa. Bahan ini dapat dianggap sebagai bahan belajar standar jika kompetensinya dapat disusun dengan benar, dan materinya standar. Namun hasil belajar mahasiswa  paling tinggi hanya  A minus, sebab sesuai dengan prinsip kompetensi. Hasil belajar harus di atas  materi standar. ( Jones, 2000)
  12. Dalam menyusun buku ajar yang berbasiskan kompetensi, secara tidak langsung ada aturan untuk pemutakhiran ilmu pengetahuan. Oleh karena itu, sudah menjadi tradisi di PT agar tidak boleh menggunakan buku-buku yang umurnya  10 tahun ke atas, untuk bahan pelajaran, kecuali bidang ilmu tertentu seperti sejarah atau konsep-konsep yang masih berlaku. Tetapi tetap berpedoman kepada  buku yang terbaru sebagai bahan pembanding.( Jones, 200).
V.Prospek Kurikulum Berbasis Kompetensi  Terhadap Pengembangan Pendidikan Seni Rupa dan Langkah-Langkah  yang Diperlukan

 

a. Prospek

  1. Dengan mempedoman kurikulum berbasis kompetensi, sebenarnya kurikulum dapat disusun lebih ramping berdasarkan kompetensi dan mahasiswa dapat tamat 3-4 tahun, dengan beban 140-144 SKS.
  2. Kurikulum berbasis kompetensi memungkinkan untuk menghasilkan  berbagai corak lulusan (Multi exit)   dengan 4 kemungkinan corak kompetensi, 1. kompetensi  Fine art (seni rupa murni), 2. kompetensi  seni rupa dan desain), 3. kompetensi guru Seni Rupa dan Disain. Atau beberapa alternatif lain corak kompetensi. Dengan membekalinya masing-masingnya dengan ilmu dasar (MKK) pada masing-masing kelompok kompetensi.  Alasan nya adalah beberapa kelompok mata kuliah tidak perlu dirobah seperti MPK, MPB dan MBB. Untuk menyelaraskan sesuai dengan kompetensi maka  masing-masing kompetensi harus memiliki kelompok MKK dan MKB  tersendiri yang dapat dibongkar pasang.
  3. Kelemahan kurikulum sekarang ini adalah  mencampurkan MKB seni rupa dengan MKB  Desain dan Aplied Arts. Mahasiswa  memang memiliki dasar ilmu ( MKK) seni rupa, waktu memilih MKB Seni Rupa tidak ada masalah, Tetapi waktu memilih MKB lainnya terpelintir sebab ilmu dasarnya ( MKK-Nya ) tidak ada. Jadi MKB lainnya itu memboroskan waktu dan mereduksi   core  keilmuan Seni Rupa. Akibatnya, minimal terbuang percuma 1- 2 semester.
  4. Dengan membuktikan bahwa kurikulum Seni Rupa telah mengandung kompetensi yang benar, maka  jurusan ini bisa lepas landas untuk mengembangkan sayapnya, misalnya untuk meminta berbagai grand yang berasal dari dalam dan luar negeri, dana seperti SP4, kenaikan level Akreditasi  dari C ke B dan sebagainya. Penyusunan kurikulum berbasis kompetensi adalah masalah pokok/ penting  sebelum membicarakan fasilitas pendukungya.
  5. Dengan kurikulum kompetensi  sudah harus dipersiapkan  staf pengajar  setingkat dengan Doktor, yang khusus dibidang keilmuan seni rupa, bukan hanya kependidikan.
  6. Jurusan  seni rupa adalah satu-satunya  di  Sumatera bagian Tengah dan potensil  untuk menjadi pusat studi disain dan seni rupa
  7. Jurusan seni rupa  memiliki porspek  yang baik asal dapat  menyusun  staf pengajar maupun kurikulumnya  berdasarkan kompetensi.  Staf pengajar cukup banyak dan  masing-masing memiliki kompetensi  yang baik, tetapi belum di evaluasi sesuai dengan tujuan kompetensi
  8. Untuk mencapai  sasaran tersebut diperlukan pemahaman tentang pengembangan jurusan berikut komponen-komponennya. Pengembangan dosen, pengembangan  peralatan / sarana dan sebagainya sesuai dengan tujuan belajar/ kompetensi. Minimal paralel dengan tujuan belajar seni rupa   secara Nasional dan Internasional, walaupun tidak akan setingkat
b. Langkah-langkah solusi  
Diantara saran solusi untuk Seminar dan Lokakarya ini adalah agar dapat dirancang buku ajar berbasiskan kurikulum kompetensi. Tetapi sebelum rancangan buku ajar itu dibuat, harus memperhatikan hal-hal sebagai berikut ini.
  1. Pengelompokan mata kuliah  MKK, MKB, MPB dan MBB ilmu seni rupa  harus dirumuskan dan setujui secara bersama terlebih dahulu. Jika pengelompokan ini  selesai maka  kita tidak perlu merubah kurikulum  yang ada sekarang tetapi menyempurnakan  dengan menyusun  mana yang menjadi KU,KP dan KL  pada masing-masing kelompok (MKK, MKB, MPB dan MBB ) yang benar. Penyempurnaan kurikulum ini akan kita bicarakan pada waktu lain
  2. Kisi-kisi matrik ( bagan 2 ) bukan semata untuk seni lukis, tetapi juga dapat dipakai untuk seni murni yang lain dan pengembangannya. Seperti untuk kompetensi MK seni Patung, Seni Grafis, Illustrasi, dsb. dibidang seni murni. Dan Fotografi, Animasi, illustrasi dan Art Direction pada Diskomvis). Sekalian untuk membuktikan bawa seni lukis adalah induk bagi pengembangan kompetensi seni lainnya. Petunjuk ini dapat membantu untuk mengarahkan pembuatan kompetensi masing-masing mata kuliah.
  3. Agar tidak tersesat, maka sebagai rambu-rambu untuk domain (wilayah) bidang studi seni rupa dan disain yang sangat luas itu dari bidang seni rupa dan desain, maka sebaiknya pada setiap  buku ajar dicantumkan nama bahasa inggris dari domain  (wilayah) studi dengan pedoman wilayah studi yang dilampirkan pada  tulisan ini ( 246  bidang studi) dan mendiskusikan perkiraan isi materi kuliah perkelompok  dari kelompok  domain.
  4. Untuk penguji wilayah /domain lihat  bagan 1 ( satu)  yang memperlihatkan dasar (basic) kreasi wilayah studi (kompetensi)
c. Profesi Mengajar (catatan tahun 2010) sebagai catatan tambahan oleh penulis
Profesi mengajar memang berbeda dengan profesi sebagai lulusan bidang ilmu Seni Rupa. Oleh karena itu bidang studi Pendidikan Seni Rupa berbeda dengan bidang Studi Seni rupa. Keduanya dapat menjadi guru atau dosen di kedua bidang studi itu. Namun mana yang berkualitas jika lulusan kedua bidang studi itu menjadi guru di SD,SMP atau SMU. Untuk mencapai kualitas guru ada dua pendekatan. 
  1. Cara pertama Guru harus berasal dari lulusan bidang ilmu, kemudian ditambah dengan sertifikasi ilmu pendidikan (ilmu mengajar)
  2. Cara kedua guru harus berasal dari bidang PT Kependidikan yang bidang keilmuannya telah tereduksi karena lebih mementingkan bidang pendidikannya dari pada substansi bidang ilmunya. 
  3. Kedua cara itu telah menimbulkan konflik atas dua pandangan yang berbeda. Fakta menunjukkan bahwa di mancanegara, guru harus menguasai bidang ilmunya terlebih dahulu, baru berhak menjadi guru. Hasilnya, terbukti  mereka lebih unggul  dibidang pendidikan




Kebiasaan di Inggris yang jadi guru adalah lulusan bidang studi ilmu tertentu dengan nilai tertinggi ditambah kursus untuk jadi guru. Dualisme kedua pandangan ini (cara 1 dan 2) tidak jarang menimbulkan konflik internal dalam pengelolaan institusi pendidikan di Indonesia sampai saat ini. Misalnya seseorang yang berasal dari bidang ilmu murni tidak jarang mengalami diskriminasi sosial institusional ditengah institusi yang mendominasi kependidikan. Yang muncul dalam situasi ini adalah pandangan streotipe sosial, pengajar yang berasal dari bidang ilmu murni -menganggap pengajar dari ilmu kependidikan -tidak menguasai bidang ilmu murni. Sebaliknya streotipe sosial yang muncul dari pengajar lulusan kependidikan ,menganggap lulusan ilmu murni tidak menguasai  ilmu kependidikan dan proses pembelajaran yang baik. Diskriminasi institusional ini menurut Nurhijrah G.(2009) dalam bukunya Manajemen pendidikan adalah hal yang bisa menyebabkan strees individual, kehilangan motivasi kerja, dan achievement

Literatur :
  1. Encyclopaedia Encarta, CD, 2004
  2. UU.No.20.Sikdiknas ( 2003)
  3. ABET.ABET Engineering Criteria 2000, Program Self Study Instruction, 1998-99.EC 2000 Visit Engineering Acreditation Commission of the Acreditation Board for Engineering and Technology, USA.web site www.abet.org.
  4. ABET.Vision-obtained from the ABET web site.htttp/www. abet.org
  5. Brown.G & Atkins M.1988. Effective Teaching in Higher Education. London Routledge
  6. Jones, Dr.Malcom.J., (ed), Curriculum Development S1, Engineering Program in Indonesia, Engineering Education Development Project/ Academic Consultant Service. Dirjen Dikti
  7. Ucas And  Trothman & Co, Art & Design Courses 2000; 2000, United Kingdom)
  8. Wallsclaeger, C., & Snyder, Cynthia Busic,1991.Basic Visual Concepts And Principles: For Artists, Architects, And Designers.The Ohio State University:WBC
  9. Petrer, Green, Design Education, 1971
Catatan  Tambahan:
1.Dokumen SAP belum memperlihatkan rencana mata kuliah kompetensi, karena SAP diatur menurut rentang waktu ( 16-18) minggu  kemudian mengisinya dengan materi. Oleh karena itu model  Dokumen kurikulum (Jones, Malcom, 2000), lebih baik karena   uraian mata kuliah  di cantumkan per topik ( 5-10 topik) .  Kebaikannya adalah  apabila pelaksanaan mata kuliah dalam bentuk dosen tim, maka setiap dosen dapat dapat bertanggung jawab sepenuhnya pada topik tersebut. Tugas dan ujian dapat ditentukan berdasarkan persentase  topik. Tugas dapat ditentukan per topik pokok atau topik penunjang.
2. Konsep mata kuliah pilihan pendidikan seni di mancanegara (mis.di Amerika)
  1. Mata Kuliah Pilihan Terbatas (Elective I), 4 MK, 12 SKS. Mata kuliah ini adalah  MK hasil dari Penelitian dosen tentang keilmuan tertentu dan sebagai pecahan dari kompetensi utama. Jumlah yang disediakan   banyak, dan MK ini adalah bagian dari Co-Curriculer. MK ini terkait dengan kompetensi utama. Sistem ini adalah sebagai cara untuk mengantisipasi perkembangan ilmu yang sangat cepat dan sebagai persiapan jika ilmu lama dianggap sudah usang. Di Malaysia, unit Co-curriluler ini juga melayani alumni yang  ingin memperbaharui ilmunya.
  2. Pilihan bebas (Elective II), yaitu  MK yang disediakan oleh Universitas dan Fakultas, memilih 3 MK. Yang merupakan MK Live Skill dari masing-masing Fakultas. Sistem terbuka ini memungkinkan misalnya  mahasiswa hukum kuliah di teknik atau komputer. Jika ada kasus  kejahatan komputer maka lulusan ini dapat mengantisipasinya, karena sudah belajar. Sistem ini memungkinkan seorang ahli Fisika mengajar di fakultas Teknik, dibidang kesehatan bangunan.
  3. Sistem pilihan yang ditentukan oleh Jurusan tidak memungkinkan mhs. belajar ilmu lain, untuk menunjang kompetensi utama
  4. Struktur MK setiap program studi di USA umumnya adalah Mayor,  Minor dan Electif.
  5. Profesi, dapat diartikan dengan “orang merdeka” , dia tidak diperintah oleh siapa-siapa, tidak punya atasan, kecuali Tuhan. Dia bertanggung jawab sepenuhnya dengan pekerjaannya dan berjanji memiliki  ( responsibility = memiliki etika moral, ability = memiliki etika ilmu, artinya dia bekerja atas ilmu yang diperolehnya, bukan bidang lain, acountability  = dia memegang janji/ kontrak atas kerjanya. 
Fakta Pendidikan Seni Rupa dewasa ini di Indonesia
  1. Kelemahan UU Sikdiknas, masih mengangap  profesi sama dengan skill ( job), dengan keahlian tertentu. Akar msalahnya ada di UUD –45, kalau ingin merubahnya, maka UUD-45 harus dirobah.      Asal kata profesi adalah profatery= father = persaudaraan, berasal dari tradisi Kristen, dimana   Frater  bekerja  tidak atas bawahan Pastor, dia adalah pekerja sosial yang melayani masyarakat. Secara global arti dari profesi  adalah orang yang memiliki = ( acountability, ability dan  responsibility) . Dan menjadi anggota profesi tertentu dalam masyarakat ( profesi dokter, akuntan dsb).
  2. Beberapa bulan lagi akan keluar UU-Profesi  Tenaga Pengajar, yang sudah disusun oleh  DPR-RI, dan tinggal disetujui presiden. Pada draft rencana UU-Profesi Pengajar itu antara lain :
  • Tenaga pengajar PT minimal S2
  •  Untuk legalitas spg. pengajar disahkan oleh lembaga  profesi dg. Sertifikat dari  kelompok profesi (berasal dari profesi keilmuan) Misalnya profesi  dosen Kedokteran dari Lembaga Profesi Kedokteran. Beberapa bidang studi seni rupa dan disain sudah ada lembaga profesinya, misalnya bidang Komunikasi Visual (HDGI), Disain Interior, (HDII ), Yang menjadi masalah nantinya adalah yang belum pula lembaga profesi.
  •  Yang duduk di lembaga profesi bukanlah dari akademik. Jadi sistem ini mirip dengan sistem yang ada di Amerika dan Inggris sekarang.
  • Syarat guru SMA minimal S1.



[1] Seminar ini dilaksanakan di Jurusan Seni Rupa FBSS UNP Padang, 4 Agustus
     2005
[2] Penulis adalah Magister Seni ( S2) Fakultas Seni Rupa dan Disain, ITB, 1998


Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting