Model Diskontinuitas Sejarah Seni di Indonesia
Oleh Drs. Nasbahry Couto, M. Sn.
Ada beberapa artikel di blog SMK-N 4 Padang, yang mungkin sudah basi bagi pembaca. Tetapi masih menarik untuk dibicarakan. Oleh karena kerja rutin, baru beberapa waktu berselang, dapat saya perhatikan tulisan-tulisan seperti ini. Momentum ke arah itu, mulai dari keterlibatan saya untuk mengkaji unsur budaya lokal pada KTSP-2006 untuk SMP dan SMA,dengan tokoh maupun pribadi, yang mengelola sekolah ini -- yang dahulunya disebut -- SSRI kemudian SMSR dan terakhir SMK. Disamping itu banyak pula artikel lainnya yang terkait dengan sejarah dan budaya lokal ini. Alih-alih ingin mengangkatnya di suatu pihak, tetapi menafikannya dipihak lain. Sesuatu yang dapat menyentuh rasa, sebagai anak bangsa, etnis, atau apapun.
Beberapa tulisan yang menarik, adalah artikel Suwarno Wisetrotomo (SW), 2005, mengenai ungkapan Darvies Rasjidin tentang Minangkabau dalam seni lukis. Yang saya rasa mengakhiri karir seorang seniman, karena apresiasi yang berbeda dengan komunitasnya. Seperti yang diungkapkan SW, Darvies menyingkir jauh-jauh ke kota Yogya untuk meneruskan cita-citanya, karena merasa dikecewakan oleh lingkungannya sendiri. Ada lagi tulisan Dirwan A. Darwis di Posmetro Padang, yang saya anggap sebagai perubahan perilaku orang minang (pedagang Bukittinggi) yang menjadi kasar (2008). Kemudian pandangan Afrizal, tentang filosofi alam takambang jadi guru (Maret, 2008). Berbagai artikel ini mungkin dapat ditarik benang merahnya.
Sebagai anak kelahiran tahun 50-an, saya telah mengalami kehidupan antara tahun 1958-1968. Dimana terjadi gejolak ideologi dan fisik. Beberapa peristiwa sebenarnya adalah rentetan pertikaian, yang dahulu menjadi sesuatu yang menakutkan. Hal ini mungkin berlainan dengan apa yang dialami generasi pejuang sebelumnya, antara tahun 1940-1950-an, yang dianggap sebagai pahlawan kelahiran republik ini, sesudah itu tidak ada lagi pahlawan, karena mungkin kita tidak bisa menghargai apa yang dipikirkan pergenerasi. Setiap generasi mengalami hal yang berbeda, sampai muncul generasi sekarang, yang hidup dalam keserbaadaan tetapi juga dapat mengerikan (narkoba, AIDS, flu burung, pengangguran, dsb). Sebagai sebuah sejarah kultur lokal, ada yang ditutup-tutupi, dan ada yang diterangkan sejelas-jelasnya.
Dari tulisan-tulisan yang saya baca itu, terutama tulisan Suwarno Wisetrotomo (2005), penulis mungkin dapat membenarkannya, bukan saja karena tulisan itu ditulis oleh seorang berlatar akademis (yang memiliki referensi yang kuat). Yang memahami fenomena tradisi, dan bagaimana sikap sebagian besar orang Indonesia terhadap tradisi lokal. Tetapi juga, tentang kedalaman pandangannya. Tentang bagaimana komunitas lokal, secara umum telah terputus, atau sengaja memutuskan mata rantai sejarah masa lalunya. Yang oleh SW, dianggap tergambar pada karya-karya Darvies. Coba simak atas apa yang dilontarkan oleh SW dalam tajuk artikelnya “ Meminang Minangkabau yang mulai membatu”, sbb:
Karena tiba-tiba kita, juga siapapun, seperti kehilangan pijakan, kehilangan asal-usul atau identitas aslinya, sementara itu identitas yang baru masih belum (sulit) didapatkan. Menafikan, karena seiring dengan irama zaman yang terus bergulir, maka perubahan menjadi keniscayaan. Karena itu identitas baru menjadi godaan, dan terus menghadang untuk segera diraih. Dalam kondisi seperti itu bukan tak mungkin yang terjadi adalah kebimbangan, limbung bahkan mungkin kehilangan orientasi.
Lalu kenapa, masyarakat yang tadinya dianggap memiliki tradisi yang kuat, kemudian disebut memutus rantai sejarah ? Ahli sejarah adalah penulis juga, manusia juga, yang bisa mengaburkan fakta, memerjelas atau memertajamnya. Salah satu akibat kekaburan sejarah dan budaya, generasi selanjutnya tentu akan terbata-bata, ilusif, bahkan bisa sangat imajinatif, dalam menggambarkan sosok kultur itu. Seorang pengarang/penulis sejarah, sebenarnya mirip dengan seorang pelukis dalam menggambarkan sesuatu. Jika penulis, memainkan kata-kata untuk mengungkapkan fakta, peristiwa atau fantasi fakta. Maka seorang pelukis, menggunakan unsur bentuk, warna, garis, dan tekstur; atau menyusunnya menjadi sebuah rekaman peristiwa, ilusi fakta atau imajinasinya. Kedua jenis stimuli itu (baik verbal/tulisan maupun visual/rupa) mempunyai fungsi yang sama, yaitu membentuk imaji-imaji kepada publik atau komunitasnya.Gambaran-gambaran itu kemudian ditafsirkan, dimaknai. Tidak jarang (sering terjadi), dalam memaknai gambaran itu, justru membuatnya tergelincir ke dalam sebuah diskrepansi makna. Dalam sebuah lukisan, ketidakcocokan makna itu terjadi jika ikon yang dipakai, tidak mewakili referensinya. Yang menjadi pertanyaan tepatkah para ilusionis itu menggunakan ikon-ikon itu untuk sebuah gambaran ?
Sebagai misal, Darvies Rasjidin, atau bahkan pelukis lain, banyak menggunakan rumah adat beranjung untuk menggambarkan kultur minang. Padahal jika kita periksa di Kabupaten Tanahdatar saja, hanya ada lima buah bangunan seperti ini, puluhan atau ratusan lainnya tidak seperti itu. Di kabupaten Agam, malahan hanya bangunan museum di kebun binatang Bukittinggi yang beranjung, lainnya tidak (kecuali bangunan baru). Apakah gambaran yang diungkapkan itu, mewakili sejarah dan kultur lokal, yang disebut budaya minangkabau? Contoh lain, misalnya bagaimana A.R Nizar melukiskan rumah gadang surambi papek di Bukittinggi yang membelakangi gunung Merapi (menurut penulis adalah sesuatu yang mustahil, jika itu memang tradisi lokal yang asli)[1]. Dalam “pameran besar seni rupa tradisi minangkabau tahun 2004” memang saya tidak terlibat (dilibatkan). Saya kemudian merasa, masih banyak keganjilan dalam ekspresi seni lokal ini. Dalam buku katalog yang sama, penulis melihat ada pelukis yang menggambarkan kincir di daerah yang datar, ini juga sebuah gambaran yang mustahil (pelukisnya atau kurator “Pameran Seni Rupa Mempertimbangkan Tradisi tidak kritis/ tidak tahu). Zulfikri (dalam blog Portal guru), malahan menggebu untuk menggambarkan ukiran dan bangunan rumah adat megah “elite dan elit kolonial” sebagai yang mewakili Minangkabau. Hal ini adalah keliru, karena tidak dilandasi fakta dan penelitian sejarah yang benar.
Afrizal (Posmetro Padang, 2005) menggambarkan bagaimana filosofi alam takambang jadi guru-lah yang seakan membidani kebesaran tokoh-tokoh minang di jaman pra kemerdekaan. Saya yakin apa yang pernah ditulis tentang filosofi ini, termasuk tulisan A.A. Navis (1984) sekalipun, adalah sebuah penafsiran juga. Ada argumen yang kuat untuk ini, terutama karena, yang membidani filosofi ini bukan budaya minang seperti yang pernah (selalu) digambarkan para penulis itu. Umumnya, pergenerasi, membentuk dan menafsirkan budayanya, menurut caranya sendiri. Perubahan budaya, katakanlah perubahan perilaku, sekaligus perubahan pandangan, atau penafsiran terhadap budaya minang adalah hal yang wajar, karena perubahan kebudayaan pergenerasi, yang akarnya (root culture) adalah kultur lokal.
Putusnya sebuah rantai sejarah, bisa saja berbilangan tahun, puluhan tahun, dan tidak usah berbilangan abad. Misalnya, siapa yang pernah menulis sejarah kota Bukittinggi ? Kalau kita ingin tahu kemana kita akan bertanya ? Ke museum ? Sikap orang kita, tidak sama dengan sikap orang di Eropah atau Amerika. Kalau di sana apapun even yang terjadi dalam masyarakat di rekam dan di museumkan. Misalnya peristiwa tokoh seniman, pagelaran seni atau budaya, sampai kepada artefaknya, direkam dan dikoleksi dan bukan direkayasa. Sehingga generasi mendatang mengetahui apa yang terjadi, apa sebabnya terjadi, bagaimana perkembangan pikiran manusianya, dan kebudayaannya, dari masa ke masa. Pemda dan juga anggota DPRD karena asik dengan bermain politik saya rasa tidak pernah berfikir kearah itu
Misalnya, sebagai orang yang di besarkan di pasar (sarok balai) saya tersentuh juga membaca tulisan Dirwan (Pos Metro 2005). Apa yang digambarkannya itu menurut saya bukan kultur orang Bukitinggi asli, yang urbanis dan terbuka. Bukittinggi itu memang berubah, tetapi tidak banyak merubah sifat-sifat orang Bukittinggi asli yang moderat, hormat dan terbuka kepada pendatang. Penulis mengenal beberapa kata sarok balai saat itu: “urang gaduik panjua ubi, urang kamang panjua kursi, pandai sikek tukang ukia, ampek koto suntiang jo perak, urang kaliang habih dek bumbu, sungaipua pakak dek basi”; “urang guguak panjua ameh, urang lawang panjua saka, ampek angkek panjua baju, urang matua panjua jawi, kampuang cino habih dek gigi, tapi nan duduak sanjo ari, di bawah jam gadang, panakjawi”. (Tentang artinya, mungkin orang pasar asli Bukittinggi yang tahu)
Dan seperti di manapun di sebuah komunitas lokal, biasanya pribumi itu merasa memiliki tanah kelahiran, karakter dan sifat-sifatnya cendrung defensif, tidak agresif, akhirnya tersingkir. Tidak jarang kemudian hanya menjadi penonton bagi pertarungan atau pertaruhan pendatang yang lebih gigih, agresif dan kuat. Konon kabarnya, sekarang uang yang beredar lebih dari tiga miyar perhari di pasar aur kuning saja. Namun, gambaran tentang perubahan watak pedagang seperti itu bukanlah gambaran yang mewakili masyarakat Bukittinggi atau minang secara keseluruhan.
Sifat-sifat urbanis masyakat lokal ini, sudah berlangsung sejak akhir abad ke 19, di satu pihak karena pergaulan masyarakat lokal dengan berbagai kultur dan etnik lainnya, dan juga pengaruh intelektualitas kolonial. Misalnya, kakek penulis sudah menjadi guru tahun 1918. Ibu penulis, yang lulusan Normalschool Padang Panjang, juga seorang guru. Penulis memang dibesarkan dalam lingkungan guru dan sekaligus lingkungan pasar sampai tahun 1969. Penulis juga bergaul lebih 7 tahun (1963-1969) dengan pelukis Wakidi sebagai murid, sehingga kenal sekali dengan lukisan-lukisan pelukis lain yang tiruan karya Wakidi. Ayah penulis (asli Bukittingi suku guci) dahulu memiliki toko buku Pustaka Sri Aneka, adalah agen koran Respublika, Angkatan Bersenjata yang diterbitkan di Padang. Yang memungkinkan sejak kecil, penulis dapat memahami apa yang terjadi di lingkungan sosial dan budaya, walaupun akhirnya, ayah kemudian berusaha di bidang kerajinan.
Penulis dapat mengamati dan ingat secara mendalam bagaimana kehidupan pasar di Bukittinggi, sebelum terbakar (dibakar) tahun 1972 . Yang menyebabkan hilangnya hak untuk memperoleh nafkah hidup di salah satu tempat di sana. Sekaligus memupus kenangan masa kecil dahulu. Orang pasar itu, umumnya ramah tamah dan sopannya, dan betapa indah dan megahnya, pasar los galuang di pasar atas Bukittingi itu, dengan dua gerbang pintu masuk yang di atasnya ada patung harimau agam. Di hadapannya, terhampar Singgalang dan Merapi. Penulis masih ingat, bagaimana bermain dari satu lorong ke lorong yang lain di pasar itu. Kemudian menonton di bioskop yang megah dan menimbulkan mimpi-mimpi tentang masa depan, tentang kemajuan, dan negeri orang. Memiliki Taman Puti Bungsu (kebun binatang) tempat bersenda gurau dan lingkungan kota yang asri. Jika ada pelukis, yang mampu melukiskan dengan cermat, dan dengan studi yang mendalam, tentang kota dan pasar Bukitinggi masa lampau ini. Rasanya penulis ingin memiliki lukisan seperti itu, atau memiliki buku yang melukiskan sejarah urbanis seperti itu. Sebab yang lama itu telah hilang, pupus dan terputus dari imaji-imaji yang muncul atau dimunculkan pada masa sekarang.
Pasar Bukittinggi antara tahun 1892-1905 , (sumber: Geheugenvannederland)
Pasar Bukittinggi tahun 40-an. Toko Agam.
Pasar Bukittinggi tahun 40-an. Toko Agam.
Sering diucapkan (tetapi dibelokkan), bahwa tugas seniman adalah mengekspesikan lingkungan budayanya, menyuarakan nafas dan gaya zamannya, bagaimanapun buruknya keadaan zaman itu (seperti keadaan sekarang). Budaya rural (pedesaan) atau alam geografis seperti yang digambarkan Wakidi, adalah untuk “alam pikiran naturalistik romantik” (Mooi indie) masa lalu. Dimana beliau sebagai pendatang, memang terpesona dengan romantika naturalistik sumatera barat dan mengangkatnya ke pada sapuan kuas. Timbul pertanyaan, apakah generasi sebelumnya tidak mengekspresikan diri kepada budaya visual? Ternyata ada, tetapi dengan cara lain. Dan bagaimana pula generasi sesudah era romantik lokal/Indonesia menyikapi alam geografis seperti itu ? Generasi sesudahnya tentu punya pengalaman lain dalam hidup dan kebudayaannya. Dia tidak akan memandang seperti kuda bendi yang tertutup mata. Kemudian tetap terpaku dengan gaya seni romantik seperti itu. Kalau iya tentu alam pikirannya telah “membatu, memfosil” (seperti yang dikatakan SW). Karena tidak tersentuh dengan kultur, yang terus hidup dan berkembang, di dalam budaya urban, dimana situasi dan kondisinya sangat berbeda.
Menurut penulis inilah salah satu faktor daya penarik dari sebuah lukisan atau (katakanlah) sebuah sejarah, dimana kebenaran budaya lokal dapat digambarkan. Gambaran yang mampu memancing rasa ingin tahu seseorang (bahkan wisatawan asing sekalipun). Gambaran yang mampu mengikat dirinya, dengan sebuah ingatan/imaji, dengan sebuah warna yang khas, dari sebuah pikiran manusia dan budayanya, dari masa ke masa. Dan bukan sekedar lipstik atau tipuan mata, seakan waktu itu telah berhenti untuk selamanya.
Kita atau bahkan Darvies Rasjidin bukannya tidak punya kepribadian (identitas), sebab hakikat seni yang sebenarnya, bukanlah soal identitas. Saat menikmati seni, kita dapat mengatasi (melintasi) keragaman identitas dan budaya. Seperti seorang yang dapat menyenangi dangdut, tembang Sunda, Jawa sekaligus musik klassik Barat, hal itu bukanlah karena soal identitas kultur. Tetapi soal kualitas seni, yang secara universal, dapat membuat jiwa manusia lebih tenang dan berperasaan. Bahkan untuk membuat orang lebih santun, tertib dan sopan.
Namun gambaran seni apapun, selalu membentuk after-image (imaji-imaji yang muncul kemudian), dan di saat itulah, mulai muncul pikiran kritis. Di mana orang mulai melihat nilai-nilai etis, moral, kebenaran format seni, dan strukturnya dalam sebuah sejarah budaya. Disamping menikmati seni, apresiasi seseorang berkembang akibat munculnya pikiran kritis. Saat itulah mulai nampak, apakah seorang penulis, penyair, sastrawan, pelukis, kurator, pengarang sejarah hanya mengecoh publik. Atau peran pelindung seni atau politik yang hanya mengarahkan dan menggembalakan seniman. Seperti yang terjadi di zaman raja-raja masa lampau.
1. Catatan: Penulis adalah pemerhati budaya, dan penulis buku “ Budaya Visual Seni Tradisi Minangkabau” (2008), terbitan UNP Press. Dalam tulisan terdahulu penulis mencontohkan bagaimana kreasi seni yang berorientasi ke masa lampau, yang dilandasi oleh riset (penelitian).
Padang, Maret 2009
2.Dikutip dari situs: http://senirupa.net, dipublikasikan pertama kali Senin, 16 Maret, 2009