Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Selasa, 06 Desember 2022

Turbulensi Politik 2023

Oleh: Yasraf A Piliang

(Atas seizin penulis)

Dunia global kini tengah diselimuti "awan gelap resesi ekonomi disertai badai ketegangan politik dan prahara gejolak sosial sebagai efek perang Rusia-Ukraina yang tak kunjung usai.


Kondisi ini diprediksi berlanjut pada 2023 dan juga akan melanda laju pertumbuhan ekonomi, kelesuan dalam perdagangan, pemutusan habungan kerja meningkatnya angka pengangguran, melemahnys daya beli masyarakat, mengerasnya tekanan sosial, meningginya suhu politik, dan menumpuknya beban kehidupan

Padahal, 2023 adalah tahun mulai menyalanya gairah politik menjelang Pemilu Serentak dan Pemilihan Presiden 2024. Masalahnya, pemilu langsung menuntut dana besar, baik bagi penyelenggara maupun para kontestan

Oleh karena itu, ia sangat rentan terhadap politik uang, mahar politik, dan aneka bentuk suap. Sementara kondisi ekonomi 2023 diperkirakan semakin sulit. Diselimuti awan gelap resesi ekonomi, kehidupan sosial-politik pada 2023 akan dihantui hawa ketegangan, kecemasan, dan ketidakpastian yang dapat memicu permusuhan, konflik, dan pembelahan anak bangsa

Jika situasi ekonomi terus memburuk pada 2023 konsentrasi anak banga akan terpecah di antara dua arah partisipasi politik. Pertama, partisipasi politik terkait pemilu (kampanye, pengumpulan massa, dan arak-arakan). Kedua, partisipasi politik non-pemilu (demon strasi, petisi, protes, dan pemogokan massal

Kedua partisipasi politik ini dapat saling bertubrukan satu sama lain yang dapat memicu turbulensi sosial-politik serta eskalasi kekerasan. Tekanan resesi ekonomi dan himpitan beban kehidupan bisa menyulut ketidakpuasan, kekecewaan, dan kemarahan dengan risiko pemakzulan "the political turbulence"


Kontestasi dalam Resesi

Jika demokrasi dimaknai sebagai kekuasaan di tangan rakyat, partisipasi politik adalah keniscayaan sebagai "kendaraan untuk menunjukkan kedaulatan rakyat melalui pilihan politik di kotak suara untuk memengaruhi keputusan politik (Dahl, 1971) Partisipasi politik ditunjukkan lewat keterlibatan dalam kontestasi publik di antara kontestan

Akan tetapi, dengan digantinya demokrasi perwakilan oleh demokrasi langung budaya politik permusyawaratan diambil alih budaya "pertarungan terbuka dengan segala risikonya (Fish kin, 2009), Pertarungan terbuka memiliki risiko eskalasi gesekan, perselisihan, bahkan benturan politik sehingga memerlukan semacam penyeimbang.

"Kontestasi-inklusif"adalah salah satu model semacam ini yang memadukan "kontestan publik sebagai arena menunjuk aktabilitas dan kepekaan pada kepentingan sifat berupa akses luas bagi peran rakyat dalam keputusan politik (Vribliková, 2017). Namun, prinsip "presidential threshold" telah mengubah watak pemilu demokratis menjadi eksklusif karena ia "mempersempit ruang bagi warga negara untuk memilih kandidat sesuai preferensi.

Sejak Pilpres 2004, pemilihan langsung telah meninggalkan banyak masalah terpartisipasi rakyat, dan pembelahan anak bangsa. Beberapa indikator menunjukkan, hal ini bisa muncul lagi pada 2021.

Pertama, kesenjangan antara ideologi negara yang mengutamakan "permusyawaratan dan praktik politik yang menyakan "individualisme" sebagai "coes" (tanda) demokrasi langsung. Praktik politik tercerabut dari akar budaya hanya dengan merayakan kultus individu, pencitraan personal, dan manipulasi psikologi massa.

Kedua, pemilihan langsung mendorong kembali kekuasan oleh segelintir". Meskipun dalam impitan resesi ekonomi, para "oligarkhi" akan tetap bergentayangan untuk mendapatkan posisi dan keuntungan sosial-politik eksklusif dari pemilu (Winters, 2011). Pada Pemilu 2024, melalui kekuatan uang, mereka tetap akan mencari cara untuk memengaruhi, bahkan mengendalikan proses demokrasi Mereka akan "membiayai" partai yang dianggap dapat memuluskan kepentingan mereka, khususnya biaya komunikasi politik, penggalangan masa, dan pencitraan.

Ketiga, efek "presidential threshold" (ambang presidential) tetap akan mengiring ke lorong gelap pembelahan anak bangsa. Bangsa berjiwa gotong royong dipaksa mengikuti budaya politik "individualisme" dengan melenyapkan fondasi sosial permasyawaratan.

Ironisnya, berkah kebebasan individual yang dihadiahkan oleh reformasi diekspresikan melalui aneka ujaran kebencian, perang buzzer, fitnah, hoaks, dan disinformasi. ⁶Selain itu, gerak-gerik aktor politik akhir-akhir ini juga menunjukkan gestur (isyarat) yang mengarah pada terancamnya kembali kesatuan bangsa jika tak ada gerakan apa pun bagi rekonsiliasi nasional

Keempat, erosi kepercayaan rakyat terhadap penyelenggara pemilu Pengalaman pilpres sebelumnya-yang oleh berbagai kalangan dianggap tak menunjukkan obyektivitas dan netralitas-masih menampilkan aroma ketidakpercayaan sebagian masyarakat pada penyelenggaraan Pilpres 2024 dengan dua skenario

Pertama, skenario menurunnya partisipasi politik dalam pemilu karena sikap apatis rakyat dalam memberikan hak suara

Kedua, kian mengentalnya kelamnya pemilu, ketidakpercayaan justru memperkuat kekuatan masyarakat madani untuk secara ketat dan intensif mengawasi jalannya pemilu.


Hantu-hantu Turbulensi

Beberapa indikator ekonomi dan sosial-politik di atas menandakan bahwa 2023 tidak baik-baik saja secara ekonomi, sosial, dan politik. Prediksi akan berlanjutnya resesi ekonomi global pada 2023 akan membawa anak hangsa pada keadaan antara kemajuan dan kemunduran, antara kepastian dan kekacauan. Kita digiring pada situasi "penundaan" penundaan investasi, produksii, distribusi, dan konsumsi. Semua ini akibat tekanan psikis kebimbangan, keraguan, kecemasan, dan tepian kegalauan (the edge of chaos).

Jika awan gelap resesi ekonomi tidak menunjukkan tanda-tanda cerah-bahkan lebih gelap-tahun 2023 akan membawa bangsa pada turbulensi ekonomi, sosial, dan politik. Inilah percampuran agregat antara keteratur an dan kekacauan, antara keadaan yang bisa diprediksi dan tak dapat diprediksi, antara determinasi hukum dan indeterminasi hukum, antara kekuatan rasionalitas dan irasionalitas (Serres, 1996). Semua menimbulkan ketidakpastian dalam ekonomi, politik, hukum, dan sosial. Misalnya, turbulensi politik akan tetap menyelenggarakan pemilu atau menundanya.

Turbulensi adalah ketidakstabilan dalam berbagai skala, ditandai "entropi sosial yg tinggi" saat apa pun tak terkendali karena banyaknya recok (noise) dan semua bekerja secara acak (Malapina, 2018). Dan setiap orang menyelamatkan diri masing-masing ketimbang bersatu.Turbulensi menguras energi nansial, fisik, psikis, dan sosial) dan menciptakan semacam kondisi kelangkaan, bahkan kehabisan energi (Gleick 2008).

Emang anak bangsa pada 2023 akan terkuras untuk menghadapi aneka tekanan resesi global dan ketidakpastian sosial-politik. Peningkatan skala dan intensitas turbulensi dapat membawa bala. Turbulensi akibat gesekan partisipasi pemilu (pengerahan massa, arak-arakan, dan debat politik) dan partisipasi non-pemilu (demonstrasi, petisi, dan pemogokan massa) bisa membawa pada eskalasi ketegangan dan benturan kekuatan (Dahl, 1975).

Pergesekan turbuleni ekonomi dan turbulensi politik berisiko pada runtuhnya batas antara "yang-ekonomi" dan "yang politik" yang membawa pada anomali dan distorsi pada praktik demokrasi politik transaksi, politik uang atau aneka kekerasan. Misalnya, dominasi kekuatan uang dalam demokrasi akan mematikan kekuatan demokratis rakyat sendiri.

Turbulensi politik sering diikuti respons instan, desakan kebutuhan, keputusan refleks, koalisi temporer, dan distorsi arah kebijakan yang membawa efek kegamangan. Inilah garis abu-abu antara konflik dan kerja sama, antara keterbelahan dan kesatuan, antara rivalitas dan aliansi, antara oposisi dan koalisi.

Belum usainya perang Rusia-Ukraina akan meningkatkan eskalasi turbulensi ini. Efek besar turbulensi akibat perang dan ketimbang masuk perang (Rosenau, 1990). Artinya, efek ekonomi, sosial, dan politik perang Rusia-Ukraina masih akan menghantui kehidupan anak banga pada 2023


Pemburu Hantu

Mengatasi hantu resesi ekonomi dan turbulensi politik adalah tantangan berat bangsa ke depan Terkait Pemilu Serentak dan Pilpres 2014, upaya-upaya terinteg
rasi harus dilakukan untuk mengantisipasi terbelahnya anak banga sebagai ekses pertarungan terbuka.

Pertama, sangat diperlukan sistem "perwasitan" yang berintegritas, netral, dan tepercaya dalam Pemilu Serentak dan Pilpres 2024. "Wasit yang memiliki legitimasi tinggi akan meningkatkan kualitas demokrasi. Untuk itu, KPU serta aparat kepolisian dan TNI harus menunjukkan integritas, profesionalitas, dan akuntabilitas yang hanya berpihak pada kepentingan bangsa

Kedua, penguatan masyarakat madani untuk menginspeksi, memantau, mengawasi, dan mengevaluasi gerak-gerik para aktor politik dan penyelenggara pemilu.

Melalui masyarakat madani, rakyat dapat mengendus "hantu-hantu politik" yang melalui kekuatan uang dan demi keuntungan ekonomi dan politik sesaat mengaduk-aduk emosi anak bangsa yang berujung pembelahan anak bangsa. Untuk itu, perlu dimaksimalkan fungsii "demokrasi tandingan" (encunter democracy), yaitu pengawasan, pemantauan, dan penyelidikan atas bekerjanya kekuatan tak tampak yang menekuk prinsip-prinsip demokrasi (Hosanvallon, 2008)

Ketiga, membangun kembali kesadaran kolektif seluruh komponen bangsa untuk merawat ideologi negara-bangsa yang didasari semangat persaudaraan dan gotong royong. Dalam impitan hidup, jiwa "gotong royong akan diuji apakah hanya sekadar jargon atau dapat menjadi kekuatan energi bangsa dalam menghadapi impitan resesi ekonomi dan turbulensi politik, seperti yang telah ditunjukkan anak bangsa ketika menghadapi pandemi Covid-19

Tahun 2023 adalah batu ujian besar bagi bangsa ini, apakah mampu belajar dari sejarah atau malah membiarkan diri terpeleset oleh "kulit pisang yang sama, oleh irasionalitas politik yang sama dengan pembelahan bangsa.





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting