Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 19 Desember 2018

Perbandingan Perkembangan Pendidikan Seni di Inggris dengan di Indonesia

(Bagian 2)


Konon kabarnya sejak awal abad ke- 16, setelah kedatangan Portugis ke Indonesia, ternyata mereka juga mendirikan sekolah yang bertujuan memberikan pendidikan baca, tulis, dan hitung sekaligus mempermudah penyebaran agama katolik.  Ketika Belanda memasuki Indonesia, kegiatan sekolah oleh Portugis ini berhenti, digantikan dengan sekolah yang dirintis oleh Belanda, masih dengan basis keagamaan. Oleh Belanda Ambon menjadi tempat yang pertama dipilih oleh Belanda dan setiap tahunnya, beberapa penduduk Ambon dikirim ke Belanda untuk dididik menjadi guru. Ketika Indonesia memasuki tahun 1627, telah terdapat 16 sekolah yang memberikan pendidikan kepada sekitar 1300 siswa.



Oleh: Nasbahry Couto

2. Perkembangan di Indonesia

2.1. Pendidikan Seni Pada Masa Pemerintahan Kolonial

Pada zaman kolonial sebenarnya ada pelajaran seni, khususnya pelajaran menggambar yang diajarkan di sekolah-sekolah yang dibangun oleh Belanda. Misalnya pada tahun 1856 pemerintah Belanda mendirikan Sekolah Raja untuk mendidik anak negeri melalui Surat keputusan pendirian Sekolah Raja untuk mendidik anak negeri yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 1856. Sekolah ini dipimpin oleh Van Ophuysen dan dibantu oleh seorang guru melayu bernama Abdul Latif. Anak Tuanku Imam dari Koto Gadang. Jumlah muridnya sepuluh orang, mereka dididik untuk menjadi guru. Lamanya pendidikan tiga tahun. Tahun 1869 guru Abdul Latif meninggal. Jabatannya digantikan oleh Saidina Asin dari Koto Lawas Padang Panjang. Beliau ini pernah menjadi guru di sekolah melayu Bangkahulu. [[11]] Diantara murid sekolah ini adalah pelukis Wakidi yang kemudian juga menjadi guru disini 

Menurut Soehardjo, 1998 pembelajaran seni sekitar tahun 1930-an, oleh pemerintah Belanda secara tidak langsung dipengaruhi oleh pendidikan seni yang menerus dari Eropa sebelum perang dunia ke Indonesia. Konsep pembelajaran seni saat itu di Eropah dianggap dapat untuk membantu kepentingan industri. [[12]]

Dalam masa ini pendidikan di Indonesia dikenal dalam dua strata yaitu sebutan sekolah kelas satu dan sebutan sekolah kelas dua. Sekolah kelas satu bagi warga Negara Belanda, kelompok priyayi dengan pembelajaran kualitas standart untuk menghasilkan seni tinggi. Sedangkan sekolah kelas dua bagi orang biasa dan warga pedesaan dengan kualitas pembelajaran alakadarnya, namun dilatih keteram pilan untuk dapat menghasilkan benda seni untuk kepentingan pemerintahan Kolonial Belanda.

Pada saat ini pelajaran menggambar muncul dalam kurikulum sekolah di Indonesia, khususnya di sekolah-sekolah pribumi. Pelajaran menggambar pada saat ini menekankan pada keterampilan menggambar dan keterampilan kerajinan (Soehardjo, 1984, 1998) [13]

Saat itu mata pelajaran menggambar dianggap sebagai mata pelajaran pendidikan seni dan dimasukkan dalam kurikulum sekolah sebagai pengganti mata pelajaran Ilmu Bangunan (dimaksudkan untuk peserta didik sebagai dalam bidang pertukangan dan industri yang memakai kemampuan menggambar. Tujuan dari mata pelajaran menggambar Ilmu Bangun adalah agar siswa memiliki keterampilan membuat gambar konvensional dan geometri).  [[14]]

Untuk mencapai tujuan penguasaan kemampuan menggambar untuk ketrampilan (skill) dan kerajinan (craft) para guru menggunakan metode mencontoh, mendikte dan metode mal atau “dam”. Materi pelajaran berupa materi kegia tan mencontoh objek gambar yang sudah ada dalam buku pegangan guru, berupa goresan putih diatas latar belakang hitam seperti papan tulis. Saat itu dikenal “papan tulis” yang dibuat dari bahan batu hitam tipis yang dipakai siswa, untuk menggambar dipakai alat runcing yang keras, ditorehkan ke atas permukaan batu itu, yang menimbulkan garis putih. Untuk menghapusnya cukup dengan lap yang diberi air.

Hal ini dapat dibandingkan dengan uraian sebelumnya, bahwa pembelajaran meniru ini berlaku sekitar tahun 1920-an, din kemudian ditentang.

Tema gambar merupakan tema keseharian masyarakat Indonesia, yaitu: lingkungan alam, benda budaya, sosok manusia, dan ragam hias. Isi buku berupa petunjuk tahapan menggambar dengan garis-garis bantu yang memudahkan guru dan peserta didik. Pola pembelajarannya diawali dari guru memberi contoh gambar sesuai buku pegangan kemudian diikuti siswa mencontoh gambar yang dibuat guru. [[15]]

Konsep dan pola penyelenggaraan mata pelajaran menggambar berlanjut hingga pecah perang dunia kedua yang berakibat jatuhnya pemerintahan kolonial Belanda, dan direbut oleh pemerintahan Jepang pada tahun 1942.

Selama tiga setengah tahun dijajah Jepang, dan dalam keadaan perang melawan sekutu. Kondisi ini berdampak rusaknya perekonomian negara dan penyelenggaraan pendidikan. Penyelenggaraan mata pelajaran menggambar dilaksanakan sesuai dengan kepentingan politik Jepang. Dalam hal cara melaksanakan pembelajaran menggambar dan buku-buku yang digunakan masih sama dengan masa pemerintahan Belanda yang diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia, namun objek contoh yang digambar tidak boleh memakai gambar-gambar yang berbau Belanda. (Jepang tidak menerbitkan lagi buku-buku teks mata pelajaran menggambar maupun buku pegangan guru ). Untuk memecahkan masalah ini guru mencari solusi dengan cara menyusun sendiri isi kajian dan bahan kajian termasuk objek gambar jadi yang diambil dari berbagai media masa, majalah-majalah bekas, dan selebaran-selebaran pemerintah “Jepang”. Karena kajian dan bahan pelajaran terbatas dan kemampuan guru juga terbatas, maka pelajaran menggambar berisi kegiatan mencontoh gambar apa saja yang didapat dan disukai siswa. [[16]]

Oleh karena itu penyelenggaraan kegiatan menggambar bisa mencontoh, mengeblat, mengedam gambar dari tema perang seperti mesin perang dan tokoh tentara; tema kerja bakti seperti pohon jarak dan kegiatan memetik buah jarak. Kebebasan kegiatan pelajaran menggambar sesuai situasi kondisi di sekolah masing-masing menyebabkan ketidak jelasan peran/fungsi pendidikan seni diberikan di sekolah, sehingga penyelenggaraan nya menjadi ala kadarnya bahkan bisa diisi dengan pelajaran lain atau kegiatan lain dengan syarat tidak mengganggu penyelenggaraan pembelajaran di sekolah.

2.2 Awal Bentuk Pendidikan Seni di Indonesia

Pada masa pemerintahan kolonial atau sebelum kemerdekaan, di Indonesia juga berkembang sekolah swasta yang didirikan oleh tokoh-tokoh pendidikan Indonesia yang terkenal.

Pada waktu itu ada sekolah Taman Siswa yang didirikan oleh Ki Hadjar Dewantoro yang didirikan pada tanggal 3 Juli 1922. Pendidikan seni menurut Ki Hajar Dewantoro dapat membentuk budi pekerti dengan mengembangkan rasa nasionalisme melalui menghargai dan membanggakan hasil budaya kesenian Indonesia. Sedang menurut Mohammad Safi’i pendidikan seni dapat mengembangkan keterampilan dibidang kerajinan guna mencari nafkah. Pendidikan masa ini lebih ditekankan pada pengenalan budaya tradisi yang dapat membentuk pribadi berbudi pekerti luhur.

Kemudian Sekolah INS, yang didirikan oleh tokoh pendidikan Moh. Syafe’i, di Kayutanam, Sumatera Barat tranggal 31 Oktober 1926. [[17]]

Orientasi sekolah ini juga kepada ketrampilan, dan kerajinan, dan ditambah lagi bahwa kepandaian itu untuk mata kehidupan dan pencaharian

2.3 Masa Awal Kemerdekaan Indonesia (1945 - 1960): Modus Ketrampilan dan
       Representasi

Usaha perjuangan mempertahankan kemerdekaan dan perlawanan bangsa Indonesia untuk menolak datangnya kembali penjajahan Belanda ke Indonesia telah menyebabkan terjadinya peperangan fisik maupun secara politis diplomatis. Perjuangan mempertahankan kemerdekaan bangsa Indonesia juga didukung oleh penggalangan kekuatan massa melalui berbagai cara, diantaranya melalui media dan pendidikan.  

Di sekolah ditanamkan semangat perjuangan melalui lagu-lagu perjuangan, baris-berbaris, menggambar poster mencontoh poster pemerintah yang anti penjajahan.
Selama masa revolusi pelaksanaan pelajaran menggambar masih sama seperti masa pemerintahan Jepang. 

Hal yang membedakan tidak ada larangan menggunakan buku-buku terbitan Belanda baik buku lama maupun buku baru. Sebelum tahun 50-an, sekolah-sekolah di Indonesia menggunakan buku-buku terbitan lama antara lain; “Cara Menggambar” karangan A.J. Cock cs; “Mari Menggambar” karangan J. Slechter yang berisi tentang petunjuk pelaksanaan pelajaran menggambar yang bertujuan agar siswa menguasai kemampuan menggambar dengan benar, yaitu yang mampu mempresentasikan bentuk senyatanya. Dalam hal ini siswa dituntut menguasai anatomi dan perspektif gambar yang benar.

Setelah tahun 50-an buku-buku mata pelajaran menggambar yang digunakan tidak lagi untuk memenuhi tutuntutan klasik melainkan untuk memenuhi tuntutan reformasi.[18]

Buku-buku baru tersebut antara lain ”Menggambar Sesuka Hati” dan “Menggambar Fantasi”. Buku lainnya berjudul “Beeldende Axpressie Het Tekenen van het Kind” (Ekspresi mewujud gambar anak-anak) karangan L. Gelder dkk tahun 1956; “Vrij Expressie in Aesthetische Vorming (ekspresi bebas dalam pembentukan rasa indah) oleh W. Hardenberg, tahun 1949. (Menurut penulis, perubahan ke arah menggambar ekspresi ini adalah pengaruh yang juga datang dari Eropa sesuai dengan konsep perubahan pelajaran dari ke trampilan ke tujuan ekspresi ,lihat tulisan sebelumnya). [[19]]

Pada masa ini pemerintah Indonesia menetapkan kebijakan terkait dengan pasal 32 UUD 1945 yaitu “Pemerintah memajukan Kebudayaan Nasional Indonesia”. Kebudayaan bangsa ialah kebudayaan yang timbul sebagai buah budi-daya rakyat Indonesia seluruhnya. Usaha kebudayaan harus menuju kearah kemajuan budaya dan persatuan dengan tidak menolak bahan-bahan baru dari kebudayaan asing yang dapat memperkembangkan atau memperkaya kebudayaan bangsa sendiri (Salam, 2003). Lihat tulisan Sofyan Salam. 2003. Memahami Pendidikan Seni. Makassar: FBS UNM.

2.4. Periode 1968 – 1974 ( Modus Ekspresi)

Adanya perhatian penelitian untuk memahami dunia anak, pengaruh pandangan Freud dan terjadinya gerakan dalam dunia pendidikan seni rupa telah mempengaruhi pandangan terhadap konsep pendidikan seni. Pada abad tersebut muncullah konsep baru dalam seni, yaitu seni sebagai ekspresi sebagaimana yang diungkapkan Wickiser, 1974 (lihat tulisan sebelumnya).

Bertolak dari konsep ekspresi ini para pendidik seni mulai mengkaitkan bahwa gambar atau lukisan kanak-kanak merupakan media untuk memvisualisasikan pengalaman batin nya sebagaimana seniman. Sejak itulah konsep pendidikan seni mulai ada peninjauan dan pembaharuan.

Pembaharuan konsep ini juga terjadi diberbagai negara dengan tokoh-tokohnya antara lain Van Prang, E.Cooke, G.Hirth, G.Kerschensteiner, Victor lowenfeld, Wickizer dan sebagainya. Pada saat itu mata pelajaran menggambar berubah menjadi mata pelajaran yang bersifat ber“ekspresi”. Pada masa ini secara konseptual para pakar pendidikan seni di Indonesia sudah mendapat pengetahuan dari buku-buku terbitan Amerika mengenai pendidikan seni ekspresi tersebut dan disosialisasikan ke sekolah-sekolah.

2.5. Kurikulum 1975 (Pengaruh Herbert Read (Seni untuk Pendidikan )

Pembaharuan konsep pendidikan seni muncul kembali setelah perang dunia dua. Herbert Read dengan bukunya yang berjudul “Education Through Art” secara fisiologis mengatakan keyakinan bahwa seni dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Pernyataan Read ini merupakan perubahan dari konsep pembaharuan yang terbalik, dimana yang dipentingkan bukan lagi seni, tetapi seni untuk pendidikan.

Konsep ini semakin populer diberbagai negara, karena didukung oleh tokoh-tokoh yang berpengaruh. Jika dikaji ternyata konsep ini terkait/didukung juga oleh konsep-konsep yang berkembang sebelumnya dan konsep-konsep sesudahnya. Comenius, J. Lock, Rouseau, Pestalozzi dan Frabel (dalam Suru, 1984) menyatakan kesadarannya, bahwa kegiatan seni banyak bermanfaat bagi perkembangan belajar anak didik.

Ungkapan ini  menggambarkan bahwa belajar seni yang diutamakan adalah dampaknya, yang oleh Dewey (seperti dikutip oleh Soetjipto, 1973) dikatakan seni adalah kulminasi dari pada pengalaman. Dampak pengalaman dari pembelajaran seni antara lain: dapat meningkatkan daya kreativitas anak (Dewey, Read dan Ross) dapat membantu pertumbuhan mental dan kreativitas anak didik (Lowenfeld), dapat membantu mengembangkan kepekaan perasaan anak (Ross), dapat digunakan sebagai sarana terapi/kesehatan mental Margaret Numberg), dapat meningkatkan kemampuan apresiasi (Chapman), dapat mengembangkan imajinasi, kreativitas dan kemampuan artistic serta intelektual (Kaufman), dapat membina pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak didik (Wickizer).

Atas dasar apa yang dikatakan Read bahwa tujuan kegiatan belajar seni adalah alat pendidikan mendapat dukungan pembenaran. Konsep Read berkembang tidak hanya konsep filosofisnya saja tetapi juga pada cangkupan lingkup kegiatan seni yang lebih luas. Kegiatan seni tidak hanya menggambar, melainkan jenis-jenis seni rupa yang lain, bahkan cabang-cabang seni yang lain. Dalam kurikulum 1975 Pendidikan Kesenian meliputi Bidang Studi Seni Rupa, Seni, dan Seni Musik.

Dalam kurikulum 1975 dikenal dengan penggunaan pendekatan sistem dalam Desain Instruksional. Desain Intruksional atau Rancangan Pengajaran terdiri dari komponen TIU, TIK, Materi, KBM, dan Evaluasi harus dirancang berorientasi pada tujuan yang mencakup kemampuan ranah kognitif, psikomotorik dan afektif.

Hasil pembelajaran harus dapat diukur, sehingga pendidikan seni dipandang sebagai disiplin ilmu yang harus dipelajari. Oleh karena itu sebenarnya pembelajaran pada kurikulum 1975 khususnya Pendidikan Seni sudah menggunakan pendekatan disiplin ilmu. Pendidikan seni sebagaimana jenis mata pelajaran lain diajarkan secara ilmiah melalui pendekatan komprehensif seperti CBSA atau PKP yang menekankan pada aktivitas penemuan sebagaimana bidang IPA. Pembelajaran dimulai dari penyajian teori kemudian praktek. Bahan ajar pendidikan seni bervariasi terdiri dari fakta, konsep, prinsip dan prosedur, yaitu meliputi: ada sejarah seni, kritik seni, estetika dan studio/praktek.

2.6. Pembukaan Jurusan Seni Pada Sepuluh  IKIP Di Indonesia dan Munculnya SMK)

Sebagai konsekuensi kurikulum 1975 mata pelajaran pendidikan seni, maka pemerintah perlu menyiapkan pendidik seni. Kemudian disusul PGSD di Perguruan Tinggi, dan PPPG Kesenian dalam bentuk Inservice Training. Sedangkan di sekolah khusus seni bermunculan Perguruan Tinggi Seni untuk mencetak sarjana Seni. Di level sekolah menengah muncul sekolah menengah seni untuk mencetak tenaga profesional seni di Industri.

2.7. Tahun 1990-An (Muatan Lokal) Kembali    ke Kerajinan dan  mulainya Seni-
       Budaya)

Sebagai respon atas tuntutan Pendidikan seni yang berpijak pada budaya lokal sebagaimana tuntutan pendekatan seni multikultural maka dalam kurikulum 1994 dimasukannya muatan lokal. Disini nama mata pelajaran Pendidikan Seni berubah nama menjadi mata pelajaran Kerajinan Tangan dan Kesenian.

Gambar bagan 1.2 Perbandingan perkembangan di Inggris dengan di Indonesia. Sumber: adaptasi oleh penulis

Cabang seni kerajinan sebagai bagian jenis bahan ajar muatan lokal dimunculkan, disamping tambahan mata pelajaran tersendiri sebagai mata pelajaran muatan lokal di sekolah. Namun yang terjadi ada beberapa jenis bahan ajar yang kurang cocok masuk pada wilayah pendidikan seni. [[20]]

Masuknya bahan kajian kerajinan tangan menimbulkan kebingungan bagi para pelaksana maupun para ahli dibidang seni. Bahan kajian kerajinan tangan pada kurikulum sebelumnya masuk pada mata palajaran Pendidikan Ketrampilan Kerajinan. Jika yang dimaksudkan bahan kajian kerajinan tangan adalah seni kerajinan tangan, hal ini tidak menjadi masalah. Namun ternyata ada pokok bahasan yang berisi bahan kajian memasak dan menjahit. (Pengaruh Pendidikan Seni di Inggris[21]

Dengan masuknya materi ini, konsep ideal mata pelajaran Kertakes sebagai satu sosok kesatuan/keluarga disiplin kesenian menjadi cacat.  Pada hal berdasarkan buku lampiran I tentang Kurikulum Pendidikan Dasar disebutkan, yang dimaksud “mata pelajaran adalah satu atau sekumpulan bahan kajian dan bahan pelajaran yang memperkenalkan konsep, pokok bahasan, tema, dan nilai, yang dihimpun dalam satu kesatuan disiplin pengetahuan” (Depdikbud, 1993:150). [22]

Menurut De Francesco (dalam Soehardjo, 1996) materi kajian memasak dan menjahit tidak termasuk mata pelajaran “Art and Craff” karena Amerika tidak termasuk bahan kajian yang bernilai kesenian dan tidak dijumpai dalam isi progam pengajarannya.

Jika kedua materi tersebut tetap masuk dalam materi pelajaran Kertakes, sebenarnya mata pelajaran ini sudah merupakan suatu mata pelajaran yang mengandung dua sosok ilmu, yaitu keluarga kesenian dan non-kesenian (ketrampilan).

Terjadi respon masyarakat terhadap kebingungan jati diri pendidikan seni. Respon masyarakat tersebut ternyata ditanggapi oleh pemerintah yang kemudian memberlakukan kurikulum 1999 Suplemen yang telah menghilangkan beberapa bahan ajar yang tidak cocok.

2.8. Tahun 2004 Kurikulum Berbasis  Kompetensi (Pengaruh Gardener)

Mata pelajaran kesenian dalam kurikulum 2004 sebagai inti pengembangan kemampuan dibidang estetika memiliki peran potensial yang dapat mendukung dan mewujudkan kepribadian manusia Indonesia seutuhnya. Dikatakan demikian karena pendidikan seni yang bersifat multidimensional, multilingual, dan multikultural tidak hanya menumbuhkembang kan kemampuan bidang estetika saja, tetapi juga memiliki andil dalam mengembangkan kemampuan non-seni melalui pendidikan seni dibidang logika dan etika (Kamaril, 2001).[23]

Dalam kurikulum juga disebutkan bahwa mata pelajaran kesenian memiliki peranan dalam pembentukan pribadi siswa secara harmonis dalam logika, rasa estetis, artistic, dan etikanya untuk mencapai kecerdasan EQ, IQ, AQ, CQ, dan SQ. Pendidikan seni juga berperan mengembangkan kreativitas, kepekaan rasa dan inderawi, serta kemampuan berkesenian melalui pendekatan belajar dengan seni, melalui seni dan belajar tentang seni. Oleh Eisner (1972) pendekatan belajar dengan seni dan tentang seni masuk kategori pembenaran esensial, yakni mengandung makna pembelajaran seni untuk meningkatkan kemampuan anak didik berkaitan dengan masalah seni itu sendiri, sedangkan pendekatan belajar seni melalui seni masuk kategori pembenaran kontekstual, yakni membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak.

Esensi pengertian Pendidikan seni dalam kurikulum 2004 merupakan semua aktivitas fisik dan cita rasa keindahan yang tertuang dalam kegiatan berekspresi, bereksplorasi, berapresiasi, dan berkreasi melalui bahasa rupa, bunyi, gerak, dan peran. Masing-masing bidang seni mencakup materi sesuai bidang seni dan aktivitas tentang gagasan-gagasan seni, keterampilan berkarya, serta apresiasi yang memperhatikan konteks social budaya masyarakat.

Pendidikan seni memiliki fungsi dan tujuan menumbuhkan sikap toleransi, demokrasi, beradap, dan mampu hidup rukun dalam masyarakat yang majemuk, mengembangkan kemampuan imajinatif intelektual dan ekspresi melalui seni, mengembangkan kepekaan rasa, keterampilan, dan kemampuan menerapkan teknologi dalam berkreasi seni, memamerkan dan mempergelarkannya.

Secara garis besar pengaruh perkembangan konsep pendidikan seni tersebut pada kurikulum pendidikan seni di Indonesia tahun 1968 hingga tahun 1974 dapat dikatakan cenderung menggunakan pendekatan disiplin ilmu, kurikulum tahun 1975 hingga tahun 1994 cenderung menggunakan pendekatan disiplin ilmu dan pendekatan berbasis anak (pendekatan ekspresi bebas), kurikulum tahun 1994 hingga tahun 2004 cenderung menggunakan gabungan pendekatan disiplin ilmu, berbasis anak dan berbasis multikultural.

Di berbagai negara termasuk Indonesia telah mengalami beberapa kali pengalaman penggunaan model atau tipe kurikulum dalam penyelenggaraan pendidikan di sekolah. Masing-masing negara memiliki pengalaman sendiri dalam menyelenggarakan kurikulum termasuk kurikulum pendidi kan seni. Pemilihan dan penggunaan kurikulum tersebut dalam  praktik penyelenggaraan pendidikan disesuai kan dengan determinan atau factor penentu yang mempengaruhi kondisi negara tersebut, bisa factor filosofi, psikologi, sosiologi, IPTEKS, budaya, politik bahkan factor ekonomi. Faktor inilah mempengaruhi konsep dan fungsi pendidikan seni yang seterusnya menjadi landasan program pengajaran seni.

Penutup

Dapat disimpulkan bahwa  jika kita bandingkan perkembangan pendidikan seni di Inggris dengan di Indonesia (bagan 1.1 dan 1.2)  terlihat bahwa sejak tahun 1982 di Inggris pendidikan seni sudah  dianggap bukan pengalaman intelektual (seni sebagai estetika dan pengalaman non-intelektual), justru di Indonesia tahun 2004, mendukung teori Gardener, yang menganggap seni bagian dari intelektual atau kecerdasan.

Telah banyak kritik terhadap teori kecerdasan ganda ‘multiple intelligencenya’ Gardner ini. Para ahli berpendapat bahwa Gardner hanya berdasarkan ide-idenya lebih pada penalaran dan intuisi dari pada studi empiris. Yang anti terhadap ini memperlihatkan bahwa tidak ada tes yang tersedia untuk mengidentifikasi atau mengukur kecerdasan tertentu dan bahwa teorinya sebagian besar mengabaikan hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan kemampuan yang berbeda untuk membuktikan korelasinya dengan faktor kecerdasan umum. [24]

Sesudah teori Gardner, Teori Kecerdasan Ganda, selanjutnya dikemukan oleh Psikolog Amerika Robert Sternberg,  tahun 1983, dia mengemukakan  segitiga kecerdasan manusia yaitu: (1) Kecerdasan menganalisa (analytic intelligence)(2) Kecerdasaan Kreatif (creative intelligence)dan (3) Kecerdasan Praktik (practical intelligence). Ini bukan kecerdasan ganda seperti dalam teori Gardner, tetapi bagian yang saling berhubungan dari satu sistem. Dengan demikian, banyak psikolog menganggap teori Sternberg sebagai kompatibel dengan teori kecerdasan umum. Dan hal ini sejalan pula dengan pendidikan seni di Inggris yang menonjolkan kreatifitas sebagai tujuan pembelajaran seni dalam kurikulum nasional mereka.

    Tabel Perkembangan Teori Kecerdasan sesudah Gardner


Sumber: Microsoft ® Encarta ® 2009

Kurikulum pendidikan seni 2013 di Indonesia, lebih rumit lagi karena seni dianggap setara dengan budaya, dan menyejajarkan semua cabang seni. Dapat diramalkan bahwa 10 tahun lagi bangsa kita hanya menjadi bangsa konsumen produk seni asing dan gejala-gejala ini sudah ada terlihat dari kegilaan anak muda untuk mengkonsumsi  produk seni dari Cina, Korea dan Jepang. Dan dengan kurikulum berbasis budaya  sekarang ini generasi muda bukannya acuh terhadap budaya Indonesia, malahan seakan membebani mereka di sekolah, hal ini diperoleh dari hasil pertanyaan kepada mereka (anak-anak muda). Dan hal ini dipastikan lagi dari hasil penelitian, jadi bukan asumsi saja. Gejala ini bukan saja pada anak muda tetapi juga dengan melihat kemerosotan hasil  tayangan film, video yang sangat rendah mutunya. Baru saja  penulis menerima petisi tentang penolakan terhadap penayangan sinetron yang kurang bermutu  di Indonesia dari indrianiamelia12@gmail.com dan sudah sekitar 7000 orang yang menangani petisi ini.





Gambar 1.4 Tiga teori seni yang menjadi modus penciptaan seni dalam pendidikan seni, Yaitu modus imitasi, modus bentuk, dan modus emosi, Fleming (2010) di modifikasi oleh penulis. Mudus penciptaan seni ini ada pula yang mengatakan hanya 2 modus, yaitu Imitasi dan Ekspresi 


Kriteria Penilaian Seni Berdasar Teori estetis


Dari tabel ini terlihat  tiga teori estetika yang berlaku – yaitu yang menjadi mudus penciptaan seni. Yaitu modus imitasi, modus bentuk, dan modus emosi. Ketiga modus ini menjadi  alat penilaian bagi dua faham pendidikan seni yaitu faham instrumentalis dan faham institusionalis.  

Faham instrumentalis menggunakan imitasi dan bentuk (estetik) sebagai kriteria keberhasilan seni. Yaitu penilaian dan apresiasi  karena seni dianggap memainkan peran penting dalam dunia sehari-hari sebagai seni yang dibuat untuk tujuan memengaruhi perubahan dalam masyarakat. Bagi pendidik seni yang berfaham instrumentalis, seni hanya dianggap sebagai alat untuk tujuan pendidikan.

Sedangkan institusionalis seni dinilai oleh kelompok (lembaga) komunitas maupun individu, yang terlibat dalam kegiatan pembuatan, kurasi, koleksi (pengumpulan), penjualan, pembelajaran (study) dan penulisan karya seni, dengan menggunakan  bentuk dan ekspresi sebagai  kriteria keberhasilan seni.


Pertentangan antara penganut Instrumentalis dan Institualisme dalam pendidikan seni

Menurut Smith, Ralph A. (2015) adanya dikotomi penggunaan seni untuk pendidikan sebagai instrumental "versus" non-instrumental juga menunjukkan pertentangan pikiran yang lain. Misalnya, estetika ekstra-estetika dari karya seni, nilai intrinsik "versus" ekstrinsik, penggunaan seni non-utilitarian dan sebagainya. Di satu sisi pendidikan seni selalu saja dianggap sebagai  instrumental, sarana, prosedur, dan apa yang dilayaninya adalah subjek, konten, nilai manusia, dan cara mengetahui.

Subjek yang dilayani oleh pendidikan seni tentu saja seni, yang terdiri dari intuisi para seniman yang diwujudkan dalam bentuk-bentuk material. Konten yang diajarkan berasal dari berbagai disiplin ilmu dan pengalaman manusia. Nilai seni yang unik adalah nilai estetika. Dan cara mengetahui seni adalah pengetahuan estetik. Namun pertanyaan tentang apa yang harus dilakukan dengan karya seni dan apa yang dilakukan oleh karya seni kepada orang-orang dan di masyarakat adalah pertanyaan strategis.

Penganut non-instrumentalism berkeyakinan bahwa karya seni harus dihargai secara intrinsik untuk kepentingan mereka sendiri. Namun gagasan nilai intrinsik itu juga ambigu. Tampaknya tidak ada yang dapat benar-benar dihargai untuk kepentingannya sendiri karena semua tindakan manusia memuaskan beberapa kepentingan individu atau kebutuhan sosial. Dalam beberapa teori terkenal, karya seni dihargai karena kemampuan mereka untuk memberikan pengalaman estetik.

Mereka demikian berperan untuk menyediakan pengalaman seperti itu. Namun rantai instrumennya tidak berhenti di situ. Memiliki pengalaman estetis dapat berkontribusi pada nilai-nilai lain sebagai hadiah kepada masyarakat. Pengalaman estetik mungkin tidak hanya dapat menenangkan impuls destruktif dan mencapai integrasi diri yang lebih besar, itu juga dapat memperbaiki persepsi dan merentangkan imajinasi. Dan jika dapat memiliki efek-efek ini, itu dapat lebih jauh membantu kesehatan mental, menumbuhkan simpati dan pengertian bersama, dan memberikan sesuatu yang ideal bagi kehidupan manusia (Beardsley, 1958/1981).

Smith, Ralph A. (2015) berpendapat, bahwa kegiatan seni sebenarnya  tidak terlibat (diragukan) dengan begitu banyak manfaat yang dikarang-karang  dan jangan dikaitkan dengan penggunaan karya seni dan kegiatan artistik untuk mencapai sejumlah tujuan yang tidak masuk akal, misalnya, peningkatan keterampilan dasar membaca, menulis, dan menghitung dan meluaskan berbagai masalah sosial, misalnya, peningkatan hubungan ras, pengurangan kekerasan di sekolah, dan penurunan tingkat putus sekolah
                         
                           Sumber: Arts, Education, and American Panel, 1977).  




[1] ] Pada saat itu yang disebut arts (seni) adalah seni rupa
[2] The Principles of Art (1938) adalah karangan  estetika Collingwood yang paling berkembang. Collingwood  kemudian diikuti  Croce bahwa karya seni pada dasarnya adalah ekspresi emosi. Bagi Collingwood, peran sosial yang penting bagi seniman adalah memperjelas dan mengartikulasikan emosi dari komunitas mereka.
[3] Lihat Slade, P. (1954). Child Drama. London: University of London Press.
[4] ] Read tidak melihat apa yang dapat digambarkan sebagai pandangan subjektivis 'ekstrem' - menurut Read, seni melibatkan bentuk keduanya yaitu 'aspek objektif universal' dan persepsi/subjektif (Read, 1956: 33)
[5] ] Lihat Abbs, dalam
[6] ] abdicating = turun tahta, menurunkan nilai dan jabatan guru
[7] ] Creativity, Culture and Education: Unlocking the creativity of children and young people | Creativity, Culture and Education". www.creativitycultureeducation.org. Retrieved 2016-06-01.
[8] ] Paul Collard | Creativity, Culture and Education". www.creativitycultureeducation.org. Retrieved 2016-06-01.
[9] ] Centre for Research in Arts, Creativity and Literacies, School of Education, The University of Nottingham. 2015-08-05. Retrieved 2016-06-08.
[10] ] Creative Learning - should England be ashamed of itself? - The University of Nottingham". www.nottingham.ac.uk. Retrieved 2016-06-01.
[11] ]  Sekolah Raja adalah istilah masyarakat minangkabau, sedangkan oleh pemerintah Belanda disebut dengan Hollands-Inlandsche School (HIS). Ambtenar adalah julukan untuk pegawai Belanda
[12] ] Statement ini perlu dipertanyakan karena pemikiran pentingnya seni untuk industri secara resmi di Inggris baru dimulai tahun 1976,   dengan pidato Ruskin James Callaghan  atau 'Great Debate' dalam Pendidikan, lihat  gambar bagan 1.1.  Pada pasca perang konsep pendidikan seni yang beredar di Inggris dalam modus seni untukliberal dan kemudian  ekspresi  . Apakah pendidikan seni oleh kolonial Belanda lebih maju dari Inggris, sebab saat itu Indonesia masih dijajah oleh Belanda.
[13] ] Lihat juga Soehardjo, A.J. 1984. Pendidikan Seni Rupa Di Manca Benua, Malang:  P3T IKIP Malang).
[14] ] Hal ini dapat dipahami karena konsep yang beredar di Eropah sejak tahun 1923 terutama di inggris adalah penguasaan ketrampilan seni (ketrampilan dan kerajinan). Lihat gambar 1.1
[15] ] Ibid, Soehardjo,  1998
[16] ] Ibid, Soehardjo,  1998
[17] INS Kayutanam yang merupakan kependekan dari Indonesisch Nederlansche School Kayutanam atau disebut juga Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah suatu lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus, yang didirikan di Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat pada 31 Oktober 1926 oleh Muhammad Sjafei, seorang tokoh pendidikan nasional yang pernah dipercaya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang ketiga setelah Ki Hadjar Dewantara dan Todung Sutan Gunung Mulia dalam Kabinet Sjahrir II.
[18] ] Ibid, Soehardjo,  1998
[19] ] Ibid, Soehardjo,  1998
[20] ] Mungkin penyusun kurikulum terpengaruh konsep seni murni (fine art) yang asli yang mengawali pendidikan seni di Eropah, lihat gambar 1.1  tetapi tidak faham tentang  seni liberal itu dan  salah arah, karena kecakapan liberal adalah untuk “seni tinggi”  atau golongan sosial tinggi. Pada awal-awal pendidikan  seni di Eropah adalah untuk ketrampilan atau craft dan kemudian disusul oleh modus ekspresi.
[21] ] Sebuah keyakinan yang tumbuh dalam kebutuhan untuk memperluas pendekatan seni ditemukan dalam laporan Norwood 1943  yang yakin bahwa ‘Art and handicrafts should in our opinion receive the broadest interpretation in schools’.
[22] ] Suhardjo, 1990, Pendidikan Seni Rupa, Buku Guru Sekolah Menengah Pertama, Jakarta: Departemen Pendidikan dan Kebudayaan
[23] ] Kamaril, Cut. 2001. Pendiddikan Seni Rupa/ Kerajinan Tangan. Jakarta: Depdiknas
[24] ] Lihat tulisan Nasbahry C., di http://visualheritageblog.blogspot.com/2014/09/teori-seni-dalam-dunia-pendidikan.html

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting