Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Minggu, 03 Maret 2013

Kerja Seni dan Istilah Seniman

Hal 2

Beberapa Istilah yang Dipakai untuk Kata Seniman (artis)
  1. Pelukis. Dalam dunia seni, pelukis adalah orang yang menciptakan karya seni dua dimensi berupa lukisan. Selain pelukis, istilah yang pernah populer sebagai padanan kata ini adalah ahli gambar. Hal tersebut dibuktikan dengan pernah berdirinya sebuah komunitas para pelukis Indonesia dengan nama Persatuan Ahli Gambar Indonesia (Persagi) pada tahun 1938. Komunitas ini bertujuan sebagai ajang belajar dan berbagi di antara para pelukis Indonesia saat itu 
  2. Pematung. Dalam dunia seni, pematung adalah orang yang menciptakan karya seni tiga dimensi berupa patung 
  3. Aktor. Yaitu orang yang memerankan tokoh tertentu dalam suatu pertunjukan di panggung, acara televisi, atau film. Semula sebutan ‘aktor’ secara eksklusif diperuntukkan bagi pemeran laki-laki, tapi istilah itu sekarang dipakai untuk pemeran laki-laki maupun perempuan. Meskipun demikian, sebagian orang menyebut ‘aktris’ untuk pemeran perempuan. Aktor atau aktris biasanya adalah orang yang dididik atau dilatih secara khusus dalam suatu kursus atau sekolah akting. Istilah pemeran sering dirancukan dengan istilah artis (kata artis dalam bahasa Inggris mengacu kepada artist/seniman). Mungkin kemiripan bunyi dengan actress (pemeran perempuan) yang menjadi penyebabnya. Seorang aktor adalah juga seorang intelektual, harus mempunyai minat besar untuk belajar, membaca, mendengar, dan bergaul. Intensitas dalam kegiatan menuju tataran sebagai intelektual itu menyebabkan seseorang mampu mencapai kepekaan dalam banyak hal. Kepekaan atau sensitivitas inilah yang nantinya menjadi bekal utama seorang aktor dalam menyikapi dan menafsirkan perannya, sehingga dia tidak hanya menjadi robot yang digerakkan sutradara. Aktor harus memberi bentuk lahir pada watak dan emosi pelaku. Watak yang harus diperankan itu mempunyai tiga bagian yang harus tampak, yaitu: watak tubuh, watak pikiran, dan watak emosi. Aktor dituntut untuk menciptakan keseluruhan hidup sukma manusia di atas panggung. Sukma manusia itu harus dapat dilihat dari segala segi, baik fisik, mental, maupun emosional. Pemeranan yang baik ditentukan oleh:- casting yang tepat,- make-up yang tepat,- pemahaman dan penghayatan yang cerdas terhadap tokoh yang diperankan,- kecakapan pemeran menampilkan emosi-emosi tertentu,- kewajaran dalam akting,- kecakapan menggunakan dialog,- timing yang tepat,- adanya adegan dramatik untuk dibawakan oleh pemain. 
  4. Aktris. Pemeran perempuan dalam sebuah film. dsb
    7. Peran kerja dalam Pembentukan Identitas
    Dari uraian di atas jelaslah, bahwa pekerjaan umumnya ditafsirkan dalam pengertian ekonomi konvensional, karena dibayar atas status kerja atau ditafsirkan lebih inklusif sebagai berbagai kegiatan. Pekerjaan dapat menjadi sumber utama kepercayaan dan pemuasan harga diri 'individu dan sementara itu juga menjadi penting bagi pembentukan standar hidup, status mereka sebagai warga negara. Seperti sebuah kutipan tentang pekerjaan. 
    “ kerja adalah bagian tak terhindarkan dari semua kondisi manusia. Banyak dari kita menghabiskan sebagian besar jam bangun kita terlibat di dalamnya. Ini menyerap energi kita dan menyibukkan pikiran kita. Ini melibatkan kita dalam hubungan kedekatan dengan orang lain dan memberi kita rasa identitas diri. Bahwa dalam memahami bagaimana orang memilih untuk mengidentifikasi diri mereka tidak mengejutkan karena berpusat pada aktivitas kerjanya, terutama jika diingat bahwa ketika orang asing bertemu, pertanyaan 'Apa yang Anda lakukan?' Adalah bentuk standar dan kebiasaan pengenalan pertama. 
    Gagasan bahwa kerja adalah salah satu bagian yang penting dari individu dan memainkan peran penting pula dalam kisah seorang individu dalam kehidupan mereka diperkuat melalui berbagai studi. Selanjutnya elaborasi hubungan antara pekerjaan dan identitas, misalnya Glaeser (2000) dari Berlin, mengidentifikasi lima cara yang berbeda untuk mengungkapkan makna kerja: 
    1. oleh kegiatan dan proses kerja, 
    2. oleh produk akhir kerja; 
    3. oleh prestise yang terkait dengan pekerjaan tertentu, 
    4. oleh prestise dari konteks sosial di mana pekerjaan terjadi, 
    5. dan dengan posisi kerja yang dibandingkan dengan lainnya. 
    Individu memperoleh rasa diri tidak hanya dari pekerjaan tetapi juga dari budaya kerja bersama. Banyak seniman tidak berbagi hak istimewa ini. Tanpa lingkungan fisik kerja yang sama, mitos dan stereotip menjadi sumber informasi penting tentang apa artinya menjadi seorang seniman seni rupa profesional dan bagaimana identitas yang dapat tepat diungkapkan kepada orang lain. 

    8. Mitos Identitas dan Kerja Seni Streotip dari 
    Budaya Barat
    Mitos telah didefinisikan sebagai keyakinan yang berakar dalam diri seseorang yang memandu dan melampaui tindakan kita. Kekuatan mitos, berasal dari kemampuan untuk tidak hanya menafsirkan realitas, tetapi juga untuk membuat dan menciptakan realitas baru /khayalan. Malinowski (1954: 125-6) menjelaskan ini:
    “hal yang sangat penting tentang mitos adalah karakter dari aktualitas, retrospektif selalu ada di dalam dan selalu muncul lagi dalam pikiran mahkluk hidup. Ini adalah. .. bukan cerita  fiktif atau sejumlah cerita dari masa yang telah mati, itu adalah pernyataan dari sebuah realitas yang lebih besar dan sebagian besar masih hidup.”
    Sebab, seperti uraian Malinowski selanjutnya menunjukkan bahwa mitos selalu mengalami regenerasi dan berkelanjutan, baik di masa sekarang oleh individu dan kelompok, untuk mencari legitimasi dari kontinuitasnya dengan masa lalu yang bermakna. 

    Dengan demikian, sejarah, adalah sumber daya yang berharga dalam identifikasi individu maupun kolektif. Dengan demikian, banyak tulisan yang dapat menjelaskan tentang kesan bagaimana status dan peran seniman di masyarakat Barat telah berubah dan bagaimana sosok mitos seniman itu dibangun. 

    Bagaimana Mitos Profesi seni dibangun dalam Sejarah Seni Rupa Barat
    Selama periode Kristen abad pertengahan, Allah dianggap pencipta primer dan seniman dipahami hanya sebagai saluran untuk meneruskan inspirasi ilahi. Dalam kerangka agama seniman laki-laki bekerja secara anonim dan kolektif sebagai pengrajin dalam serikat Gilda. Guilds/Gilda berfungsi sebagai 'penjaga perdagangan kriya' melalui penciptaan dan penegakan aturan yang diatur dengan metode produksi dalam berbagai seni, penetapan standar, kondisi kerja dan organisasi Gilda (Coleman, 1988: 70). 

    Serikat pekerja ini dikendalikan melalui pelatihan/keterampilan dan selanjutnya murid Gilda ini (disebut aprentis) magang di toko sebagai journeymen milik master (Krause, 1996). Setiap pelatikan diawasi oleh seorang empu yang mempekerjakan asisten yang mampu memproduksi kriya dalam jumlah besar, berkualitas tinggi, dengan jadwal yang ketat, disamping mengawasi pemagang dan muridnya(aprentis). 

    Dalam mempelajar bagaimana guru besar' (Master) melukis pemagang belajar unsur-unsur praktis dari profesi ini, dan berkonsentrasi pada semua jenis kerja dalam bengkel produksi (Krause, 1971). Pada jaman ini, seniman visual relatif memiliki memiliki status sosial yang rendah. Namun, pada jaman Renaisan akhir, status sosial seniman secara radikal menjadi tinggi dan terhormat (Woods-Marsden, 1998). 

    Pada awal abad 17, terjadi pergeseran budaya dan ukuran atas segala sesuatu dan mengubah seniman harus sarjana, dimana manusia dinilai dari keterpelajarannya dengan potensi yang tak terbatas untuk menciptakan karya seni yang asli (Apostolos-Cappadona dan Ebersole, 1995). Dengan lepasnya patron dan persyaratan yang ketat dari sistem gilda, seniman itu diangkat ke status sosial elit dan intelektual, sebagai individu yang ber kemampuan kreatif. Seniman semakin dihormati dan muncul mitos seniman sebagai genius, dan pria yang heroik. 

    Getzels dan Csikszentmihalyi (1973: 101) menjelaskan bahwa 'ketika lingkungan budaya Renaisan telah menjadi agresif, inovatif, dan memandang orisinalitas sebagai yang terbaik, seorang jenius, yang visinya benar, harus mengisolasi dan menarik diri dari pusat perhatian' sosial. Pada akhir abad ke-18, seniman telah menjadi 'semakin dipisahkan/terasing dari arus utama kehidupan sosial' (Coleman, 1988: 78) dan semua gagasannya yang aneh dianggap sebagai sifat penting dari setiap seniman sejati. 

    Selama era romantis muncul sebuah pengakuan umum tentang seniman adalah orang yang terasing dan tokoh menggelora diperkuat oleh penekanan pengertian/pemahaman seni sebagai gelora perasaan, imajinasi jenius, dan mencari 'keindahan' abstrak ciri gaya romantisme itu (Steptoe, 1998). 

    Seperti yang diceritakan Kristeller (1990:250) menjelaskan bahwa seniman tidak lagi dibimbing oleh alasan dan atau oleh aturan tetapi oleh perasaan dan sentimentil, intuisi dan imajinasi'. Imajinasi semakin dipuja sebagai 'sumber kebenaran yang lebih dalam, memberikan akses kepada realitas kepuitisannya, dan di bawah permukaan peristiwa sehari-hari yang hanya bisa dieksplorasi melalui kepekaan artistik' (Coleman, 1988: 78). 

    Semangat Romantisisme ini diwujudkan dalam citra stereotip tentang kehidupan seniman yang kelaparan dan tinggal di loteng rumahnya. Akhirnya gambaran keglamoran dan kegentingan hidup seniman, diperlihatkan dalam definisi baru oleh kritikus sebagai seorang pemberontak Bohemian, yang mengorbankan status, uang dan kenyamanan materi demi kebebasannya, dan semata mengejar ekspresi kreatif individu itu semua adalah a-sosial. Dan dapat diduga semuanya ini adalah mitos  dan pandangan streotip.
    Catatan: Stereotip yaitu menilai seseorang bedasarkan persepsi seorang terhadap kelompok orang itu. Misalnya kita menilai bahwa orang yang gemuk malas, maka kita akan mempersepsikan semua orang gemuk secara sama. Generalisasi seperti ini dapat menyerdehanakan dunia yang rumit ini dan memungkinkan kita mempertahankan konsistensi, namun sangat mungkin juga bahwa stereotipe itu tidak mengandung kebenaran ataupun tidak relevan.
    Jadi apa yang benar ? Sebenarnya kehidupan pribadi seniman, ide tentang sistem Gilda, ide jenius, keintelektualan, kebohemianan, itu sangat bertolak belakang dengan kebutuhan sosial dan ekonomi yang membutuhkan karya seni (musik, sastra, film, seni publik dan banyak lagi yang lain). 

    Dengan pandangan streotip itu, status seniman hanya jadi pekerja seni (semacam tukang) yang melayani kebutuhan sosial, misalnya dalam hal estetika dan hiburan. Jadi seyogyanya dalam masyarakat moderen Indonesia seniman harusnya tidak direndahkan.(umumnya mereka pekerja keras untuk kesejahteraan dan kesenangan hidup masyarakat).

    Bahkan lembaga pendidikan pun berpandangan demikian seperti kutipan di bawah ini (lihat lima mitos, klik ini). Meskipun mitos marjinalitas, keterasingan, dan statusnya sebagai 'orang luar'. Bagi seniman "yang asli " kebebasan kreatif seniman tetap kuat dan atau dipegang kuat oleh seniman sendiri. Kutipan di bawah ini dapat memperjelas pernyataan itu. (sebagai tambahan lihat lima mitos dalam pendidikan seni dan budaya).
    "Art adalah bisnis dan didekati oleh setiap perusahaan kapitalis. 'Seniman abad ke-21 dituntut untuk bereksperimental dan inovatif, dan untuk mendorong batas-batas seni, disamping memanfaatkan pengembangan vidualitas yang khas dan berharga. Dalam peran pasar dan kewirausahaan, seniman didorong untuk meningkatkan dan mengeksploitasi individualitas mereka dan untuk memberi makna mitos populer untuk memperkuat keaslian pekerjaan mereka. Namun, sebaliknyabanyak seniman kontemporer secara sadar atau tidak sadar berusaha untuk melanggengkan lambang-lambang keterasingan simbolik mereka secara sosial, ekonomi atau budaya,(yang berakhir pada langgengnya mitos keterasingan mereka."
    Referensi (Sumber Bacaan) 
    Abdulkadir Muhammad. 2001. Etika Profesi Hukum, Bandung: Citra Aditya Bakti, ,
    Kurikulum Bidang Kria, ITB, lihat di http://www.fsrd.itb.ac.id/?Page_id=12
    Kurikulum seni rupa murni ITB dan  kurikulum Bidang Desain ITB, lihat http://www.fsrd.itb.ac.id/?Page_id=13
    Malinowski (1954: 125-6) Malinowski, Bronislaw. 1916.  Baloma: Spirits of the Dead in the Trobriand Islands.  In     Magic, Science, and Religion. Paperback ed.  Garden City, N. Y. (1954).
    Mitos Identitas dan Kerja dan Budaya Stereotip dari  Seniman Barat
    Pengertian Profesi Seniman  dan Kerancuan  Maknanya, lihat http://hyphen.web.id/seniman-atau-seniman-11-september-2-oktober-2011/
    Profesi: wikipedia, lihat di http://id.wikipedia.org/wiki/Profesi
    Tunjangan Hari Raya Keagamaan Bagi Pekerja Di Perusahaanperaturan Menteri Tenaga Kerja Nomor: PER-04/MEN/1994,  sumber: http://indosdm.com/per-04men1994-tunjangan-hari-raya-keagamaan-bagi-pekerja-di-perusahaan
    Zaeni Asyhadie2007Hukum Kerja  dalam Hukum Ketenagakerjaan Bidang Hubungan Kerja, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hal 78

    Tidak ada komentar:

    Posting Komentar

    Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar

    Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting