Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Senin, 14 Februari 2011

Model-Bisnis Pemeliharaan Bangunan Bersejarah Warisan Budaya (Bagian I)

Maintenance Of Historical  Cultural  Heritage Buildings Business-Model

Oleh  HELDI1

 Ph.D Candidature (Fasilities Management)
Faculty of Geoinformation Engineering & Real Estate
Universiti Teknologi Malaysia


Editor: Nasbahry Couto
Abstrak

Sejarah warisan budaya adalah fasilitas yang sangat berharga, dan mengandung nilai-nilai peradaban sejarah manusia masa lampau. Mempertahankan nilai-nilai peradaban masa lampau itu, membutuhkan perlakuan pengurusan, pemeliharaan menyeluruh, dan berkelanjutan dari berbagai pihak. Belum optimalnya strategi pengurusan pemeliharaan kekayaan warisan budaya bangunan bersejarah  disebabkan rendahnya komitmen antar pemangku kepentingan antara lain stakeholder; pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta, dan masyarakat terhadap pengelolaan warisan itu. Sedangkan yang menjadi faktor penyebabnya, antara lain kurangnya pemahaman, apresiasi, kreativitas dan kesadaran pemangku kepentingan itu. Dimana arti dan pentingnya benda cagar budaya sebagai sarana bisnis, edukasi, rekreasi dan memiliki nilai ekonomis yang tinggi umumnya kurang mereka punyai.
Tujuan utama dari kajian tulisan ini antara lain (a) memaparkan potret pengurusan dan bangunan pemeliharaan warisan budaya di Indonesia, dilema, dan problemanya; (b) mengidentifikasi kasus-kasus dan pola perusakannya, (c) mengenal pasti upaya-upaya kebijakan advokasi yang sudah pernah dilakukan terhadap kasus-kasus dan perkembangannya; (d) membangun strategi pengurusan pemeliharaan warisan budaya berbasis model bisnis.
Untuk masa kini dan yang akan datang, pelestarian bangunan bersejarah warisan budaya merupakan isu strategis yang sangat mendasar dalam kehidupan masyarakat modern. Antara lain untuk kepentingan nilai-nilai kesejarahannya yang berharga dan dapat memberikan kontribusi signifikan bagi perekonomian lokal maupun nasional. Keragaman  bangunan warisan budaya  adalah faktor penting sebagai bisnis industri wisata budaya. Sebab hal ini adalah pemasok utama, dan sumber daya kreatif bagi perekonomian daerah.

Kata kunci :  Pengurusan, Pemeliharaan, Stakeholder, Warisan Budaya, Bangunan Sejarah, Model Bisnis

1 Mahasiswa Programme Doctor of Philosophy Ph.D
(Fasilities Management) Faculty of Geoinformation & Real Estate  Universiti Teknologi Malaysia

A. Model Kota Modern
Citra kemodernan telah banyak disalah artikan orang, termasuk oleh pengambil kebijakan pembangunan kota-kota di Indonesia. Bangunan-bangunan lama dihancurkan, kemudian di atasnya dibangun bangunan baru. Dengan penghancuran seperti ini maka hilanglah jejak dan nilai budaya historis masa lampau sebuah kota. Bangunan baru yang dibangun umumnya mirip dengan bangunan di tempat lain. Akibatnya tempat-tempat seperti itu hanya berfungsi untuk kepentingan komunitas lokal sebagai bagian dari aktifitas kesehariannya untuk berbelanja, ke kantor dan sebagainya. Tetapi bangunan itu samasekali tidak menarik bagi pendatang baru. Sebab bangunan seperti ini sama saja dengan bangunan di kota-kota besar lainnya di dunia. Sebuah mall, supermarket, toko-toko, bangunan pemerintah dimana-mana sama bentuk dan isinya, sama dalam desain, seni dan tekonologinya.

Hal inilah menjadi salah satu alasan kenapa perkembangan kota-kota modern, kemudian banyak dibentuk berdasarkan warisan sejarah masa lalunya, sebuah tempat atau bangunan akan ramai dikunjungi baik oleh penduduk lokal maupun pendatang karena sesuatu yang  unik dan khas, dan berbeda dengan yang ada di tempat lain. Keunikan ini menurut ahli perkotaan disebabkan oleh beberapa hal, diantaranya adalah  keadaan demografi, ekonomi, teknologi, organisasi, dan lingkungannya. (Gist dan Fava, 1964, Nas, 1979).

Para ahli perkotaan modern umumnya sepakat bahwa bangunan dan kawasan bersejarah dapat menambah citra dan identitas bagi suatu kota. Eksistensi bangunan bersejarah mampu membentuk nilai-nilai kearifan lokal dalam wujud sejarah arsitektural yang memberikan citra tersendiri bagi suatu kota (Johana, 2004).

Organisasi kemasyarakatan dunia juga telah mengarisbawahi pentingnya warisan budaya masa lampau ini. Sebab keragaman  warisan budaya menjadi elemen  penting dalam bisnis industri wisata budaya yang merupakan salah satu pasokan utama sumber daya profit kreatif (UNESCO, 2003). Sejarah warisan budaya merupakan aset fasilitas yang sangat berharga, merupakan nilai-nilai peradaban sejarah masa lampau dari suatu bangsa, (Bianchi, 2005). Tetapi mempertahankan nilai-nilai masa lampau ini membutuhkan perlakuan pengurusan dan pemeliharaan yang menyeluruh dari segenap bangsa.

B. Munculnya Sebuah Kota, Pergeseran dan Akibatnya

Secara historis umumnya sebuah kota lahir sebagai akibat pusat-pusat politik,  perdagangan, transaksi perkembangan bisnis, kantor dan istana-istana kerajaan. Kemudian terjadi pula perkembangan dan pembangunan kota serta  pergeseran-pergeseran akibat dinamika perkembangan politik di tingkat internal dan eksternal sebuah kota. Akibat perkembangan dan pergeseran ini, maka bangunan yang bernilai historis dan budaya masa lampau itu kemudian diabaikan tidak terurus dan terpelihara,  dan tidak lagi sebagai pusat-pusat dan transaksi bisnis (Antariksa, 2007).

Pengembangan, pergeseran kekuatan politik, dan ekonomi sebuah kota, umumnya lebih kuat dibandingkan keinginan untuk melindungi nilai budaya dan historisnya.  Banyak contoh yang terjadi selama ini, misalnya kasus kota-kota lama di Indonesia seperti di Jakarta, Bandung, Bogor, Semarang, Yokyakarta, Surabaya, Maluku, Aceh, Medan, Pakanbaru, Padang, Jambi. Palembang, Bengkulu dan kota lama lainnya di Indonesia


Bangunan-bangunan lama dihancurkan baik secara sengaja atau tidak. Walaupun ada aturan dalam mengelola bangunan lama, aturan itu dilanggar dan tidak diacuhkan. Bangunan-bangunan lama umumnya dihancurkan karena ada revisi master plan kota yang baru untuk diterapkan, adanya fungsi-fungsi baru yang ditambahkan, adanya wajah baru yang ingin ditonjolkan.  Beberapa bangunan-bangunan lama dianggap menghalangi semua kepentingan baru itu, terutama pertumbuhan ekonomi, pembangunan kota yang dianggap berwajah metropolit. Hal ini ditunjang dengan adanya kekuatan politik pengambil keputusan, adanya pemilik modal dan bentuk-bentuk sindikasi, kolaborasi  dan para perencana yang menunjang pergeseran-pergeseran dan perubahan itu  untuk membangun gedung, kantor, hotel ataupun mall moderen di tempat lokasi lingkungan binaan bangunan bersejarah warisan budaya itu.  




Gambar 1,2,3,4,5 dan 6:Bangunan warisan budaya bersejarah membutuhkan pemeliharaan Sumber: http://www1.kompas.com/wisata/portret
C. Usaha untuk Perlindungan dan Pemeliharaan

Abas, Dimardi, (2010) menjelaskan bahwa warisan budaya itu mengandung nilai ekonomi tinggi, dan nilai ekonomi yang ditumbuhkan daripadanya adalah yang paling besar di dunia saat ini. Suatu riset di Amerika menyimpulkan bahwa devisa atau pemasukan dari wisata paling banyak didapat dari industri wisata bangunan bersejarah warisan budaya.

Menurut Surbakti, Asmita, (2010) rendahnya tingkat pressure masyarakat terhadap perlindungan bangunan bersejarah adalah cermin dari belum terlaksananya pembangunan pariwisata berbasis bisnis. Mereka umumnya belum menyadari dan mengapresiasi manfaat nilai ekonomi industri pariwisata tersebut. Karena tidak merasakan manfaatnya, maka masyarakat yang berkepentingan kurang kritis dan kreatif terhadap peran penting bangunan bersejarah sebagai manfaat yang perlu dipelihara sebagai aset fasilitas untuk menghasilkan nilai profit yang berkelanjutan.



   Gambar7,8 dan 9 :  Bangunan warisan budaya sebagai Model bisnis industri wisata.    Sumber: http://www1.kompas.com/wisata/portret

Issu strategis

Belum optimalnya strategi pengurusan pemeliharaan kekayaan warisan budaya disebabkan rendahnya komitmen antar pemangku kepentingan yaitu  stakeholder, pemerintah, lembaga swadaya masyarakat, swasta dan masyarakat terhadap pengelolaan kekayaan warisan budaya, yang antara lain disebabkan oleh, kurangnya pemahaman, kreativitas, apresiasi, dan kesadaran arti pentingnya benda cagar budaya sebagai sarana bisnis, edukasi, rekreasi yang memiliki nilai ekonomis yang tinggi. Sementara itu, partisipasi masyarakat dalam pengurusan pemeliharaan kekayaan bangunan warisan budaya juga masih rendah (DKPPO,2009). Banyak dari peninggalan warisan budaya di Indonesia tidak terurus sama sekali oleh Pemerintah daerahnya (UNSFIR, Badan PBB Untuk Indonesia, 2002 )
           

 
Gambar 10. Dari daftar temuan Benda Cagar Budaya (BCB) di Indonesia
Sumber : Kementerian Kebudayaan dan Pariwisata, 2009 

Dapat disimpulkan bahwa 79,34 % benda cagar budaya yang bernilai sejarah tidak terpelihara sebagaimana seharusnya, suatu hal yang sangat mengkhawatirkan, karena kondisi bangunan warisan budaya tersebut mengarah kepada kehancuran. Dari total jumlah bangunan, hanya 20,66 % saja yang mendapatkan pengurusan dan pemeliharaan. Sebagai contoh bangunan lama di Jakarta,  menunjukkan bahwa 75 % dari 170-an bangunan cagar budaya dari abad XVI hingga awal abad XX di kota lama Jakarta, sekitar stasiun kota, Museum Fatahillah, hingga pelabuhan Sunda Kelapa dalam keadaan rusak dan terancam hancur (Kompas, 2006).

Pakar perencanaan kota dari Institut Teknologi Bandung (ITB) Widjaja Martokusumo menyatakan, pelestarian bangunan cagar budaya di Kota Bandung sudah sangat mendesak. Berdasarkan data Bandung Heritage,dari 600 bangunan cagar budaya di Bandung, hanya sekitar 240 bangunan yang tersisa. Dari 300 lebih bangunan cagar budaya yang hilang, satu di antaranya adalah bangunan cagar budaya di Jalan Braga. (Harian Seputar Indonesia, 2009).

Lebih dari 85% bangunan-bangunan kuno kolonial warisan budaya di Padang Sumatera Barat. mengalami kerusakan berat, akibat gempa, bumi di Sumatra Barat tahun 2007 dan  tahun 2009 tidak terpelihara oleh pemerintah kota (Heldi, 2009). Paling tidak 146 buah bangunan bersejarah rusak. Hanya sepuluh bangunan bersejarah, yang berdiri tegak.

Demikian juga pada pemerintah Kota Medan yang belum serius dalam melindungi bangunan bersejarah. Sebab dari 600 bangunan yang dinilai bersejarah oleh Badan Warisan Sumatera, hanya 42 bangunan yang dilindungi Pemerintah Kota Medan,  untuk itu, dibutuhkan kesadaran warga (Subakti, Asmyta, 2010).

Banyaknya muncul bangunan-bangunan modernis liar pada lingkungan binaan komunitas bangunan lama sebagai warisan budaya yang tadinya menjadi cikal bakal ‘cultural heritage’ mengalami pergeseran. Akibat lajunya modernisasi dan globalisasi, dan telah mengancam kelestarian bangunan warisan budaya di beberapa kawasan bersejarah, yang terdapat dikota-kota provinsi di Indonesia ( Ismu N, 2008).

Sebelum dilakukan pengkajian terhadap bangunan bersejarah di Kota lama Indonesia perlu digarisbawahi bahwa penghancuran bangunan bersejarah yang dimaksud meliputi hegemoni dan demolition by neglection serta pengabungannya. Hegemonisasi adalah proses penghancuran dengan cara menjebak masyarakat agar masuk ke dalam alam pikiran pemerintah (dan pengusaha pemilik bangunan bersejarah), sehingga seolah-olah penghancuran sah dan masuk akal dilakukan.Dengan kata lain, masyarakat setuju dengan penghancuran yang dilakukan. Hegemonisasi diambil dari konsep hegemoni Antonio Gramsci dalam bukunya Selections from Prison’s Notebook (1971). Tidak mudah menerjemahkan demolition by neglection tetapi, sudah pasti, bahwa yang dimaksud adalah penghancuran secara segaja dengan membiarkan sebuah gedung rusak dengan sendirinya. Dengan rusaknya gedung, otomatis tampak bahwa pembongkaran sah untuk dilakukan. Istilah demolition by neglection pertama kali diungapkan oleh; Hasti Teraket dari BWS (Bangunan Warisan Sumatera) yang memimpin perlawanan terhadap penghancuran bangunan bersejarah (Surbakti, Asmyta, 2006). Penghancuran bangunan bersejarah secara koersif berarti bahwa tindakan tersebut dilakukan dengan unsur paksaan, bila perlu dengan tekanan dan kekerasan, serta sering melibatkan aparat. Penghancuran dengan cara koersif adalah lawan dari cara-cara hegemonik karena hegemoni adalah kekuasaan yang halus, canggih, dan intelektual.

Pelestarian kawasan bangunan bersejarah warisan budaya belum menjadi suatu persoalan yang secara sistemik terencana dan terkelola sejalan dengan derap pembangunan yang berkelanjutan. Hal ini dapat dilihat dari indikator sebagai berikut ini.
  1. Mekanisme dan perangkat-perangkat pemerintah kota atau kabupaten di Indonesia sangat terbatas dalam mengelola  praktik  pelestarian bangunan bersejarah. Bahkan persoalan izin mendirikan bangunan baru umumnya tidak menyentuh aspek pelestarian.
  2. Aspek legal yang amat sangat terbatas dalam melindungi pelestarian bangunan bersejarah.
  3. Pembiayaan pemeliharaan dan pelestarian bangunan bersejarah ini dalam konteks pembangunan dengan sendirinya menjadi sangat terbatas karena belum ada satu sistem model pembiayaan pelestarian yang dibangun secara berkelanjutan.
  4. Terbatasnya kepedulian yang terkait erat dengan masyarakat luas, dunia seni, dunia pendidikan, profesi, sektor swasta, pemerintah maupun legislatif tentang pemeliharaan pelestarian bangunan bersejarah. 

D.Bangunan Bersejarah Warisan Budaya

Umumnya sebuah bangunan digunakan untuk berbagai aktivitas, dan harus dapat memuaskan pemilik atau penghuninya dalam rangka mendapatkan pengakuan sosial atau bernilai komersil. Seperti halnya pada bangunan bersejarah atau monumen yang dapat bertahan karena adanya undang-undang perlindungan atau daya tarik tertentu, ( Watt, David S, 1999)

Salah satu corak bangunan bersejarah dan bernilai budaya adalah peninggalan era kolonial. Bangunan-bangunan seperti ini cukup banyak di kota-kota besar di Indonesia. Bangunan-bangunan seperti ini terkait dengan tujuan politik monopoli  pemerintah kolonial dalam dunia perdagangan masa lampau.

Umumnya pemerintah kolonial membutuhkan sarana dan prasarana pembangunan infrastruktur seperti  jalan raya, bangunan tempat tinggal, kantor-kantor, hotel, rumah sakit, gudang-gudang penyimpanan dan fasilitas tempat beribadah. Bentuk bangunan seperti ini ada yang dirancang dan di bangun oleh arsitek zaman itu, dan ada juga yang tidak. Bangunan-bangunan seperti itu  umumnya mengikuti model bangunan yang populer di Eropah. Kadang-kadang juga memperlihatkan asal tempat gaya arsitektur yang berlainan di Eropah. Dan tidak jarang juga adalah campuran berbagai gaya baik yang berasal dari Eropah;  maupun campuran bangunan yang berasal dari budaya Asia seperti (China), India dan campurannya dengan bangunan gaya Eropah.   Berbagai gaya bangunan itu mengisi wajah kota-kota lama yang ada sekarang ini di Indonesia.

Akibat perkembangan modernisasi kota yang tak terbendung, maka para pemerhati, para ahli, dan masyarakat yang peduli akan warisan budaya, kemudian membentuk organisasi dan wacana untuk melindungi warisan zaman lampau itu. Mereka juga menyadari  pentingnya kota lama bangunan bersejarah warisan budaya sebagai kawasan industri pariwisata.

Keseriusan mengembangkan diri menjadi sebuah kota wisata terlihat di antaranya dalam upaya penzonaan wilayah kota ke dalam industri kawasan wisata. Kenyataan adanya begitu banyak bangunan bersejarah menunjukkan kerelevanan di kota-kota Indonesia dijadikan sebuah kota kawasan wisata berbasis bangunan bersejarah sekaligus dalam rangka melestarikan warisan budaya bernilai sejarah yang memiliki estetika tinggi, terutama dengan mengedepankan city tour (tur keliling kota) berupa kunjungan di setiap gedung lama yang masih tersisa.




Gambar11,12 dan 13:  Bangunan warisan budaya yang mendapatkan pemeliharaan     Sumber: http://www1.kompas.com/wisata/portret

E. Ungkapan Visual (Ekspresi) Bangunan Bersejarah
Bagaimana sebuah bangunan dapat ditangkap oleh pengamatnya mengandung unsur sejarah budaya atau tidak ? Hal ini yang perlu menjadi diskusi jika membahas bangunan bersejarah atau budaya tertentu. Bisa saja bangunan itu adalah komplek bangunan baru, tetapi ditangkap oleh pengamatnya sebagai bangunan benilai budaya dan sejarah. Jadi masalahnya bukan hanya bagaimana memelihara bangunan lama, tetapi juga bagaimana meniru bangunan bercorak lama. Masalah ini adalah masalah ungkapan (ekspresi) sebuah bangunan.

Para penulis dan teoritikus arsitektur meyakini bahwa ungkapan visual bangunan yang pertama terletak pada bangunan itu sendiri yang sifatnya relatip menetap, yang kedua adalah pada bahasa (language) visual dan verbal yang dipakai untuk mendeskripsikan karya arsitektur itu. Menurut Johnson, istilah ekspresi sering didiskusikan dalam studio-studio arsitektur sampai hari ini. Justru sebagai sebuah istilah, boleh mirip dengan istilah yang digunakan dalam berbagai bidang kreatif lainnya seperti seni rupa, musik, sastra dan literatur. Namun, Johnson mengulas, istilah ekspresi seakan-akan dapat menampung semua ungkapan, seperti yang ditemukan dalam berbagai wacana arsitektur. Istilah ini sering tidak tepat, tetapi cukup bermakna untuk diperbincangkan, terutama dalam kasus-kasus estetik dan komunikasi bangunan (Darwis & Couto, 2010)

Pengertian yang sejajar dengan kata ini, “express”, berarti kemampuan aktif dari berapa sifat elemen arsitektur yang diinginkan atau sifat-sifat yang ditunjukkan olehnya, sedangkan imbuhan 'ion', adalah pengaturan kualitas ini sebagai pikiran yang berada di antara efek aksi dan intrinsik dalam karya arsitektur (Johnson, 1994). Johnson menyatakan bahwa ada beberapa aspek yang dimasukkan ke dalam wacana ekspresi (ungkapan) arsitektur itu. Dia memberikan penekanan bahwa yang termasuk ekspresi ini adalah berikut ini.
a)    Estetika (Keindahan)
b)    Kecantikan (Beauty )
c)    Gaya (Style)
d)    Karakter
e)    Komposisi dalam Arsitektur

1. Estetik (Aesthetic)

Pengertian estetika yang umum adalah, hasil pencerapan terhadap sesuatu objek, komunikasi manusia dengan objek, dan timbulnya sebuah perasaan (misalnya tentang keindahan). Yaitu objek-objek  yang dapat menstimuli, membangkitkan pengalaman/kenangan  tertentu dari sebuah tempat, atau kenikmatan yang bersifat kontemplatif dan transendental (Dibia, 2006).

Aesthetics (estetika), secara luas diartikan sebagai filsafat yang mengandung hal-hal yang esensial (pokok) persepsi manusia tentang sesuatu yang indah atau tersembunyi dari  objek atau karya. Aesthetics berhubungan dengan pertanyaan terhadap kualitas objek yang dikemukakan pemikir estetik. Objek-objek yang dimaksud bisa berhubungan dengan suatu model atau gaya estetika. Yang lain adalah kualitas yang unik dari benda itu yang memberikan estetika yang unik pula. Filosofi estetik berkembang sejalan dengan munculnya pertanyaan tentang perbedaan antara keindahan dan hal-hal yang muskil terdapat padanya.





Gambar 14.  Estetika menurut Sukada (2002:118). Beauty adalah keindahan yang disadari atau objektif ditambah keindahan yang sifatnya subjektif (emosi) Sumber Darwis & Couto, (2010)

Istilah aesthetics pada awalnya dikemukakan tahun 1753 oleh  Filsuf Jerman Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-62). Tetapi studi terhadap beauty (keindahan) dari alam sebenarnya telah dikaji ulang selang beberapa abad lamanya. Sebelum istilah ini muncul, pokok persoalan estetika sudah menjadi kajian para filsuf. Misalnya, abad ke-19, beberapa pemikir memberi sumbangan dan pendapatnya terhadap estetika.

Istilah estetika sering dicampurkan dengan istilah artistik atau beauty (yang indah). Secara teknis beberapa cara agar bangunan itu kelihatan estetik, beberapa prinsipnya adalah.
  1. Adanya keharmonisan, keselarasan  (harmony) antar-elemen yang kelihatan pada bangunan misalnya warna, bentuk, garis  dsb.
  2. Adanya kesatuan bentuk yang terlihat (unity).
  3. Adanya fokus perhatian atau bagian yang ditonjolkan sebagai yang dominan.
  4. Adanya keseimbangan (balance.)
  5. Pilihan salah satu, atau gabungan dari elemen di atas.
Keindahan Bangunan dalam Sejarah Arsitektur

Dalam seni-rupa Yunani abad ke 4 SM; tatanan formil sebuah bentuk bagi mereka adalah keseimbangan, harmoni atau stabilitas. Seni visual diciptakan melalui pemakaian dalil-dalil proporsi dan ukuran, salah satunya dikenal dengan nama 'kanon" (Canonic), gaya seni rupa dengan hasrat mencapai keindahan semacam ini disebut gaya klassik.

Prinsip ini bermula dari seni-rupa Yunani klassik. Dalam arsitektur, arsitek Vitruvius (lahir 84 SM), mencoba mempelajari keindahan tertib tubuh manusia dengan analoginya pada bangunan. Sekitar tahun 27-30 SM; membuat buku "De Architectura", pengaruhnya terasa sampai abad ke I8, bahkan era moderen. Seperti yang kita lihat pemikiran ini menghasilkan bangunan Yunani dan Romawi klasik yang penuh kemegahan, kestabilan. Ukuran dan proporsi itu mengambil tubuh manusia sebagai analoginya. Misalnya tiang Doric adalah perbandingan kaki seorang laki-laki terhadap tinggi tubuhnya, tiang Ionic mengambil proporsi kerampingan seorang wanita dewasa, dan Corinthian, kontur kerampingan seorang wanita muda. Memang sumber tertib bentuk yang indah menurut visi Yunani klassik adalah tubuh manusia (Darwis & Couto, 2010)

Ekspresi formal merupakan  penampilan bangunan melalui keseimbangan dan stabilitas atau organiasi elemen karya yang dapat merangsang atau sensual. Tugas perupa tak lain mencari berbagai dimensi pesona bagi karyanya; sampal tercapai yang disebut 'beauty' (keindahan, kecantikan). Dorongan estetis (keindahan), dan formil timbul dari keinginan untuk menikmati dan mengagumi sesuatu yang dapat memuaskan diri person dengan atau tampa alasan yang jelas. Pada masa kini alasan-alasan estetik yang dianggap memuaskan itu, diluaskan pengertiannya tidak terbatas pada 'beauty' saja, tetapi kepada hal-hal lain misalnya kenyamanan, kepraktisan, kemudahan, kemurahan dan sebagainya, jadi batasan estetika telah demikian meluas.
Gambar 15. Parthenon: Sisa-sisa ekspresi formal pada arsitektur klassik
2. Gaya (Style) Bangunan
Beberapa kosa kata yang mirip artinya dengan style adalah berikut ini.( a) type/ tipe bangunan, (b) Varisasi bangunan, (c) karakter bangunan, d) Jenis/ kind, kategori, spesies, e) pola (pattern)

Style atau gaya adalah  kekhasan (distinctive) dan atau identitas, indentifikasi (identifiable) dari bentuk (form) misalnya karya seni rupa dan arsitektur. Menurut KBBI gaya adalah dapat berarti adat dan bentuk irama lagu (KBBI, 1989:494). Dalam bahasa Inggris, gaya disebut dengan “style” yang berarti, corak, mode dan gaya, misalnya gaya bahasa. Stilistik adalah ilmu gaya bahasa (Echols, 564). Kata gaya kadang-kadang disebut  dengan corak dan stilistik tetapi dalam pengertian yang lebih sempit. Dalam sastra terdapat istilah genre, yaitu kategori, atau jenis karya sastra, misalnya puisi.

Dari definisi diatas dapat dipahami bahwa  pengertian gaya arsitektur dapat ditafsirkan berbeda-beda. Bagaimanakah caranya kita dapat mengindentifikasi gaya karya arsitektur itu? Para ahli sepakat bahwa gaya hanya dapat kita ketahui jika kita mempelajari arsitektur dalam konteks budaya dan sejarah sosial. Misalnya, perkembangan gaya arsitektur Barat sejak jaman klassik, zaman pertengahan, renaisan, zaman barok, rokoko, neoklassik dan seterusnya, sampai ke gaya-gaya seni modern dalam sejarah seni, sehingga kita dapat mengetahui dan membandingkan karya seni seniman tersebut dengan salah satu atau beberapa gaya seni pada masa tertentu.

Menurut Feldman (1967) konsep gaya sangat diperlukan dalam studi seni visual, termasuk arsitektur. Namun, dia bisa menjadi sumber kerancuan.
Sebab kata gaya memiliki banyak arti. Gaya dapat diartikan sebagai suatu karya menurut periode tertentu dalam sejarah (langgam); tetapi dia bisa diartikan sebagai gaya arsitektur dari suatu bangsa (nation style); atau suatu daerah, perkembangan gaya karya arsitek dan sebagainya.

Selanjutnya; style dapat berarti gaya dalam pengertian mode karya. Misalnya sebagai persetujuan terhadap hasil karya seseorang dengan  gaya seni di suatu zaman. Misalnya, dalam desain pakaian yang Sebagai suatu cara ilmiah dalam pengklassifikasian, tentu berpedoman kepada fenomena atau kategori tertentu. Misalnya, fenomena yang umum, dengan perkataan lain, suatu pengelompokan gaya sebagai rumpun (keluarga), atau kategori aritektur tertentu. Di mana satu dengan yang lainnya, walaupun tidak memiliki persamaan yang mutlak, tetapi memiliki kemiripan. Menurut Feldman, untuk mempelajari suatu gaya dapat diring-kaskan oleh 4 alasan utama  sebagai berikut ini.
  1. Kesepakatan (konvensi) penggunaan ketegori tertentu untuk berpikir dan menyebutkan berbagai variasi karya yang diproduksi selama beberapa periode, jadi berhubungan dengan teori, sejarah dan kritik arsitektur.
  2. Membantu untuk memahami perupa di suatu periode tertentu dalam sejarah, atau dalam daerah tertentu
  3. Membantu untuk membandingkan ungkapan pikiran dan penilaian terhadap karya arsitektur yang terkait dengan suatu gaya tertentu, di mana terdapat kesamaan  disebut gaya dan dibandingkan dengan tujuan-tujuan penilaian atau kritik terhadapnya.
  4. Mengetahui beberapa gagasan/ide/inspirasi yang berkaitan dengan tujuan berkarya, atau ungkapan visualnya.
Gambar 16. Gaya Art Nouveau  atau  secession building: dirancang oleh arsitek Joseph Maria Olbrich (1898-1899) di Wina, Austria

3. Karakter (Citra) Bangunan

Karakter berbeda dengan gaya, sebab gaya adalah sebuah fenomena pengulangan  model bangunan. Karakter, berasal dari bahasa Inggris "character", artinya watak atau sifat. Sesuai dengan teori pengamatan, karakter itu dapat terbaca kalau kita memproyeksikan  bentuk arsitektur kepada  imaji (citra). Jadi karakter dapat membangkitkan imaji tertentu, atau kalau kita memproyeksikan bentuk dengan makna tertentu atau referensi tertentu.

Hal ini lebih jelas dalam tulisan Mangunwijaya (1988), dalam buku "Wastu Citra". Sebuah bangunan berwatak "Arjuna", yang lain berwatak "Bima" dan seterusnya, sebuah referensi dan proyeksi terhadap budaya Jawa, khususnya dunia pewayangan.

Contoh yang kontroversial adalah gedung Opera Sydney Gedung opera ini dirancang oleh Jom Utzon sebagai struktur cangkang bagaikan sejumlah layar yang menggelembung. Tetapi timbul pertanyaan apakah ini imaji yang layak bagi  gedung opera? Keluar dari wacana ilmiah  bagaimana seharusnya  arsitektur moderen untuk bangunan opera,  yang mementingkan akustik dan sebagainya, yang jelas gedung ini telah menjadi lambang yang indah untuk kota Sydney di Australia. Pada bangunan ini telah terbentuk "Citra" tertentu.

Menurut Yules, citra bangunan dapat terbentuk melalui selubung (kulit bangunan), yang membentuk karakter. Bagaimanapun juga bagusnya  konsep program  bangunan, kalau karakternya bentuknya kurang tepat, maka hasilnya juga akan  kurang baik dan dikritik

Jadi karakter  bangunan, dapat diperlihatkan melalui selubungnya, atau aspek-aspek fisik, sedangkan citra (imaji), terbentuk apabila arsitek atau pengamat memproyeksikan bangunan itu kepada sesuatu hal di luar bangunan itu sendiri, termasuk oleh pengamatnya. Sebuah bentuk, atau susunan gestalt bentuk, maknanya harus tunggal, dengan referensi tunggal pula. Citra atau imaji itu, tidak dapat lahir seketika, sebab imaji itu terbentuk menurut waktu dan wilayah sosial tertentu. Misalnya kawasan Pecinaan di sebuah kota memiliki karakter tertentu dari yang menggambarkan bahwa kawasan itu dihuni oleh penduduk yang berasal dari Cina, dan seterusnya. Kawasan kota lama misalnya, tentunya tidak boleh bercampur dengan citra kemoderenan.

Jadi dapat disimpulkan, dari tinjauan persepsi dan visual maupun estetika, sebuah ekspresi bangunan pada sebuah  kota tidak lain adalah ungkapan visual dari unsur-unsur visual perkotaan itu sendiri, termasuk yang dibentuk oleh adanya kehadiran kompleks bangunan bersejarahnya. Ekspresi bangunan pada kawasan bersejarah dari sebuah kota terlihat pada bagian dari kota lama yang dilestarikan karena memiliki baik citra,  karakter dan atau gaya arsitektur yang unik dan khas dari budaya tertentu yang berbeda dengan bangunan baru.

F. Masalah Kawasan Bersejarah di Sebuah Kota dan 
    Elemen-elemen Visualnya

Dalam kaitannya dengan bangunan bersejarah warisan budaya, secara konseptual, harus dibedakan antara art by destination (seni dengan tujuan tertentu) dan art by metamorphosis (seni dalam konteks perubahan) sebagaimana yang diungkapkan oleh Maquet (1986). Secara umum, nilai ungkapan bangunan lama harus dilihat pada pada masa sekarang dengan art by metamorphosis. Jadi, membahas “keindahan wajah” kota  atau bangunan di dalamnya adalah dalam kerangka transformasi atau metamorfosis yang ada padanya. Sebab waktu pertama bangunan itu dulu di bangun  tidak dalam kerangka konsep “bangunan sejarah”, dengan perubahan waktu,  perubahan pemakai, dan zaman dia menjadi bangunan bersejarah. Dahulu  sebuah bangunan mungkin hanya dilihat sebagai karya arsitektural yang indah dan bangunan fungsional biasa. Predikat “bersejarah” baru diberikan belakangan. Namun, bangunan bersejarah yang terbangun waktu itu merupakan art by destination. Hal ini karena, bangunan bersejarah sebagai sebuah karya agung yang artistik memang diciptakan dengan maksud dan tujuan untuk dipajangkan dan/atau dinikmati daya ungkapan bangunannnya.

Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa ungkapan atau ekspresi bangunan dapat dilihat dalam bentuk keindahannya, beauty, style, karaktere dan atau komposisi elemen arsitekturnya. Secara objektif adalah komposisi elemen arsitekturlah yang menjadikannya  indah, menarik dan sebagainya (estetik).

Tidak dapat dihindari bahwa jika kita membicarakan bangunan bersejarah, maka bangunan yang dimaksud  adalah sebagai bagian dari sejarah sosial Indonesia yang pernah di jajah oleh bangsa asing. Yang menjadi pertanyaan adalah bagaimanakah ungkapan bangunan dan elemen bangunan zaman itu.



Arsitektural bangunan warisan budaya seperti peninggalan Kolonial Belanda mulai marak dibicarakan dalam hal pelestarian belakangan ini. Bangunan-bangunan tersebut memiliki keistimewaan dalam hal rancangan arsitektur yaitu adanya perpaduan antara arsitektur vernakuler Belanda dengan arsitekturtropis. Kondisi iklim dan budaya nusantara turut membentuk suatu proses desain para arsitek Kolonial dalam perencanaan berbagai karyanya. Menurut Handinoto, (2006) dalam bukunya Perkembangan Kota Perpaduan dan Arsitektur Kolonial Belanda di Surabaya 1870-1940, Para Arsrsitek Belanda pada era1900-1920-an baik secara sadar maupun tidak sadar, turut membawa pengaruh arsitektur Vernakuler IokaI Belanda pada karyanya. Bentuk-bentuk tersebut dapat diidentifikasi dari penggunaan dormer, tower, dan gevel pada berbagai detail bangunan.

Dormer  adalah jendela ataupun dengan pembukaan seperti yang hadir diatas miringnya atap dan Arsitektur memiliki bentuk sendiri serta atap yang melingkupinya. Frame-frame dormer ini biasanya berlokasi vertikal di atas atap massa utama. Selain dormer, bentuk spesifik yang hadir adalah tower menara. Elemen berikutnya yang sering muncul adalah gevel atau gable. Gevel didefinisikan menurut Gottfried adalah sebagai bentuk segitiga pipih pada pertemuan tembok terluar dan miringnya atap. Material gevel dapat sama dengan dinding terluar, atau material lain yang memiliki karakter material, tekstur dan penampilan yang kontras.  Bentuknya sangat bervariasi, bahkan bentuk tersebut dihadirkan kembali pada masa kini pada tampak-tampak bangunan unian/ruko dengan berbagai macam warna yang cukup menarik. Detail-detail yang sering muncul antara lain cresting berupa renda-renda pada nok atap, balustrade pada atap datar,dan ornamen yang disebut dentils berupa hiasan pada sudut tertentu. amortizement adalah merupakan ornamen lain yang dapat muncul. Amortizement adalah rangkaian patung-patung dan molding yang biasanya berada pada bagian tertentu bangunan.
        
Gambar 17. Sumber Rumahku Foto Shidarta 1989



Gambar 18. Sumber Rumahku Foto Bobby 2006

Selain membawa elemen arsitektur dari Belanda, mereka juga cukup memperhatikan kondisi lokal di Indonesia yang beriklim tropis  Sehingga apabila kita perhatikan bangunan-bangunan tersebut rata-rata memiliki atap dan struktur plafon yang tingginya 5 sampai dengan 7 meter dari permukaan lantai. Ventilasi dan pengkondisian udara dalam ruang dapat diatasi dengan adanya pintu dan jendela yang lebar dan luas, juga didukung dengan sistematika pencahayaan yang baik sebagai isolasi terhadap panas matahari dan lansekap penghijauan tata ruang di lingkungan bangunan. 

Cara ini dilakukan untuk meningkatkan kenyamanan dalam ruangan. Bentuk struktur bangunan-bangunan bersejarah ini, berorientasi kepada  hunian atau bangunan yang berwawasan lingkungan, terutama dalam tata ruang yang mempertimbangkan aspek dan prinsip-prinsip perancangan yang terkait dengan interior dan eksterior seperti: penghematan energy, sirkulasi ruang, sirkulasi udara, sistem pencahayaan alami, hemat listrik, saluran air buangan, lansekap serta kaitannya dengan kondisi hunian yang sehat. (Heldi, 2006) (bersambung).

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting