Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Kamis, 28 Agustus 2008

Sebuah Perenungan Terhadap Kecendrungan Seni dan Budaya: Praktik Seni Berbasis Riset dan KISS (Keep it simple, Stupid)

Oleh: Nasbahry Couto

KISS (Keep it simple, and stupid)


Fenomena yang terdapat dalam dunia desain, perencanaaan pembangunan daerah atau strategi perang, bisa saja menggunakan strategi desain atau filosofi desain (design strategi). Kreatifitas desain dengan penggunaan filosofi desain dapat berorientasi kepada pemakai (user oriented), dan atau sebaliknya kepada peningkatan nilai dan fungsi benda (use oriented), yang ketiga adalah KISS, yang terakhir ini menarik karena keunikannya.



Dalam dunia desain, kreatifitas berdasarkan “KISS” (Singkatan dari Keep it simple Stupid), adalah praktik easy going, tanpa pikir panjang, dan bisa juga diartikan “tak perlu dipikirkan” atau buatlah sesederhana mungkin dan menghindari sesuatu yang rumit.
Catatan:
Kiss adalah singkatan untuk "Keep it simple, stupid" sebagai prinsip desain yang menjadi catatan Angkatan Laut Amerika Serikat pada tahun 1960 (kamus Slang Moderen Amerika). Prinsip ini menyatakan biasanya sistem akan bekerja dengan baik jika mereka tetap sederhana ketimbang dibuat rumit. Oleh karena itu kesederhanaan harus menjadi tujuan utama dalam desain, dan kompleksitas yang tidak perlu harus dihindari. Ini adalah Ungkapan telah dikaitkan dengan insinyur pesawat terbang Kelly Johnson (1910-1990), (Ben R. Rich 1995). Istilah "prinsip KISS" ini sangat populer pada tahun 1970. Variasi pada frase ini termasuk kata-kata  "tetap pendek dan sederhana", "terus sederhana dan mudah "dan" tetap kecil dan sederhana atau "kesederhanaan adalah kecanggihan tertinggi" (Leonardo da Vinci).
KISS adalah strategi atau filosofi yang dipergunakan dalam perang Irak-Amerika, namun konsep ini bukan tidak berakibat, dimana tidak lama setelah perang, Amerika mengalami depresi ekonomi setelah itu. Dalam menjalankan pemerintah daerah, jika tidak hati-hati maka RESTRA dan REPETADA yang direncanakan, akan terlihat seperti KISS sebagai dampak otonomi daerah dan kultur meme *): yaitu ingin meniru daerah lain, atau karena tidak punya gagasan sendiri yang orisinil, padahal kondisi daerah berbeda. Apakah naiknya harga minyak tanah bukan praktik KISS ? Prinsip KISS, juga dipakai teroris dalam melakukan aksinya. Strategi yang dipakai programer komputer, dalam membuat sebuah sofware, juga harus KISS. Alasannya, adanya segudang masalah yang terdapat dalam membuat sofware, seperti: “sudah usang”, tidak terpakai atau laku, dibajak oleh orang lain, tidak disukai pasar, dan masalah lainnya, akan menyebabkan kefrustasian desainer sofware jika tidak memakai filosofi KISS. Jadi KISS itu ada baiknya, tetapi juga ada sisi buruknya. Bentuk KISS, secara politik dan praktik diakui sebagai sebuah strategi, dia dapat terujud sebagai prinsip sebuah aksi. Secara psikologis dan kultural, KISS adalah akibat kultur meme atau “peniruan”. Namun secara ekonomi dan politik KISS adalah dampak dari masyarakat yang tertekan dan akibat otoritas dalam sosial
Dalam beberapa hal, praktik seni komersial masa kini di Indonesia dapat terlihat sebagai praktik KISS. Terutama bagi para pelaku budaya yang ingin cepat cari keuntungan. Bidang garapan seni yang banyak mengadakan peniruan di Indonesia adalah sinetron dan filem, lainnya adalah seni rupa dan desain. Apalagi jika tidak ada aturan organisasi profesi, manajemen, atau pakem seni yang mengerem aksinya agar tidak jatuh kepada KISSdan meme.Dalam bentuk lain, dapat dilihat dalam kehidupan manusia, seperti mode rambut, mobil, dan pakaian adalah hasil kultur meme (peniruan) dengan prinsip KISS.
Catatan:
Kata meme berasal Richard Dawkins '1976 buku The Selfish Gene. Dawkins mengutip sebagai inspirasi karya genetika LL Cavalli-Sforza , antropolog FT Cloak  dan etolog JM Cullen. Dawkins menulis bahwa evolusi tidak bergantung pada dasar genetik dan bahan kimia tertentu , tetapi hanya pada keberadaan diri yang mereplikasi unit transmisi - dalam kasus evolusi biologis, genetik. Dawkins, mencontohkan meme sebagai Unit yang mereplikasi diri, hal ini signifika dan potensial dalam menjelaskan perilaku manusia serta evolusi budaya.Seperti diketahui budaya itu menyebar melalui meme (peniruan), dalam segala segi, baik apakah peniruan kata-kata, gambar, perilaku, gaya hidup, berikut teknologi.
Menurut Wikipedia: Sebuah meme ( / m i m / mim )  adalah "sebuah ide, perilaku, atau gaya yang menyebar dari orang ke orang dalam budaya". Sebuah meme bertindak sebagai unit untuk membawa ide budaya, simbol, atau praktik-praktik yang dapat ditularkan dari satu pikiran ke pikiran orang yang lain melalui tulisan, ucapan, gerak tubuh, ritual, atau fenomena kemungkinan imitasi lainnya dengan tema peniruan. Para pendukung konsep ini menganggap meme budaya ini sebagai yang analog dengan gen dalam bahwa mereka mereplikasi diri, bermutasi, dan menanggapi tekanan selektif secara memimesis. 
Kegiatan  Seni perlu Kriteria ?
Para ahli umumnya sepakat bahwa seni dan desain itu harus memiliki pakem (patokan/kriteria) tertentu, agar seni itu tidak hanya duplikasi, imitasi, peniruan (kultur meme). Kriteria nilai seni yang paling umum, adalah aturan bahwa praktik seni itu harus mengacu kepada dua pilar utama, pertama mengacu pada konsep yang berkenaan dengan inovasi (inovation) dan tampil beda (differentation), dan yang kedua adalah keberhasilan persepsi visual (deals with visual perception).

Menurut (Daniela Büchler, Staffordshire University, England). Masalahnya adalah bagaimana konsumen seni dan aspek psikologi berbaur agar memperhatikan, bagaimana persepsi terhadap karya seni dapat meningkatkan pemahaman tentang differentation.  Keberhasilan  sebuah karya seni menurut kalangan akademik dapat diukur dengan berbagai kriteria, misalnya estetika yang muncul dari komposisi karya seni atau nilai sejarahnya. Berangkat dari pandangan ini maka pengulangan, peniruan (imitasi) karya-karya yang telah muncul sebelumnya bertolak belakang dengan prinsip inovasi. Namun demikian keberhasilan penerimaan (resepsi) oleh kalangan lain -- misalnya publik, lain lagi -- misalnya terpengaruh oleh pendapat publik, promosi seni atau nilai ekonomis. Walaupun karya seni itu sendiri dalam kacamata akademik tidak bernilai atau peniruan karya dari mancanegara. Jadi selalu ada perbedaan pendapat atau tafsiran nilai seni antara kelompok akademis atau institusi dengan masyarakat/ sosial yang berorientasi kepada tren atau pasar.

Beberapa Bentuk Praktik seni di Indonesia: Seni untuk seni dan seni komersial

Dengan demikian kita dapat menyorot bagaimana praktik seni kontemporer di Indonesia. Misalnya karya-karya yang pada dasarnya adalah tiruan dari karya-karya luar Indonesia. Bukankah ini adalah salah satu bentuk dari praktik KISS? Contoh yang populer dalam seni rupa, adalah pengulangan karya lama, seperti meniru pemandangan alam corak tertentu, atau meniru gaya seni yang sedang tren di tempat lain. Pengamat yang sadar dan mengamati seni bercorak KISS, akan cepat bosan karena disuguhi oleh praktik seni yang tidak inovatif. Prinsip ini justru bertentangan di alam seni kontemporer. Diakui atau tidak, satu sisi seni kontemporer adalah audience/market, dimana ada stimulan terhadap seniman, agar menyuguhkan sesuatu yang baru dan segar dengan prinsip perbedaan (differentation)

Pasar Seni 
Secara filosofis, praktik seni dengan prinsip use oriented, adalah seni untuk kepentingan peningkatan kualitas dan nilai seni itu sendiri, yang tidak banyak dipengaruhi oleh faktor eksternal (pasar). Terus-menerus bermaksud untuk tampil beda (differentation), inovatif dan untuk keberhasilan persepsi. Prinsip ini dapat dilihat dalam berbagai paras, seperti seni untuk seni (dlm.bhs, Perancis Ll’art pour art’), Seni untuk ekspresi seni (abad ke 19), seni sebagai ide dan konsep (abad ke 20) seni sebagai usaha seniman menciptakan sistem tanda lambang (semiotika), dan sebagainya. Maksud seni seperti ini tidak terlepas dari kepentingan peningkatan nilai, dan pandangan terhadap sejarah seni, dan hasil hubungan (subjek /pelaku dengan objek (artifak) seni itu sendiri. Secara tradisional, seni dihubungkan dengan kecakapan seseorang ber-seni, dan ini adalah bagian dari pada filosofi use oriented, dimana berbagai hal tidak selalu dikomandokan oleh faktor eksternal (user oriented), seperti tren seni, kolektor, galery, komunitas seni, pembeli dsb. Dalam sejarah seni seni, seorang seniman dianggap penemu “inquary” dari inspirasi-inspirasinya sendiri.

Tradisi Budaya Visual dan Seni Komersial
Sebaliknya seni komersial lain lagi, pada umumnya memandang pemakai yang penting. Oleh karena itu secara tidak sadar menggunakan filosofi user oriented. Walaupun kedua maksud filosofis ini tidak bertentangan, dan sejajar dengan kepentingan use oriented, sebab seni murni juga bermuara kepada kepentingan sosial dan ekonomi. Filosofi dan prinsip ini sebenar belum lama usianya, namun secara historis, filosofi ini berasal tradisi budaya visual. 

Budaya visual umumnya hadir dalam berbagai imaji, terutama sekali yang berhubungan dengan humanisme –dimana melalui performance-nya – telah menyeretnya langsung ke situasi komunikasi visual, khususnya dalam hal audience sebagai market. Misalnya dalam bidang seni komersial kartun, animasi, pertelevisian, perfileman dan grafis web. Bidang budaya visual seperti audio-visual, perfileman dan pertelevisian, seni digital dan musik panggung adalah beberapa contoh dimana kreator dikendalikan oleh pasar. Dengan demikian mau-tidak mau seni komersil berkreasi berdasarkan riset – kalaupun tidak – dia akan melihat kecendrungan audience/pasar (kecuali budaya visual tradisional).

Akhir-akhir ini, seni murni juga terseret masuk kedalam core ekonomi dan industri kreatif. Walaupun bukan hal yang baru, ada mata rantai yang menghubungkan seni dengan ekonomi atau industri. Memang istilah industri, atau ekonomi kreatif ini dapat memancing berbagai perdebatan bagi pelaku seni sampai masa kini oleh komunitas seni, atau akademisi seni. Terutama dalam hal kesulitan terminologinya. (lihat. Barrett, Estelle, 2007) Bagi Barret, yang diperdebatkan adalah ‘berbedanya tujuan seni murni dan inovasi seni dengan tujuan market (pasar)’. Bahkan Christopher Scanlon dalam (The Age Review, 5 February, 2005:8), menjelaskan keberatannya:
This is underwriten by ‘ that certain indefinable even mystical quality’ described by, as any endeavour that results in ‘turning pretty much everything into something that can be bought and sold on the market’. Maintaining a competitive edge and economic relevance is undoubtedly a major challenge faced by university art departments.
Tetapi Barrett ( 2007), akhirnya mengakui bahwa seni adalah sebagai bagian dari cultural capital (modal budaya),dan sejak lama pula Hauser (1978:134-185) mengatakan seni sebagai bagian “intellegentsia”, bahkan “kekayaan”(property). Bagi yang ingin memperdalam pemahaman seni sebagai bagian ekonomi kreatif dapat melihat pada situs web. misalnya pada Creative Economy Programme Website berbagai negara, termasuk, Singapura, Hongkong, Australia, Inggris (UK) dsb. Sebagai contoh, di negara Inggris misalnya, sebuah nilai ekspresi (expresive values), didefinisikan sebagai bagian dari industri kreatif, yang dimaksud nilai ekspresi itu adalah nilai estetik, nilai spirit, nilai simbol, nilai sosial, makna kultur dan nilai sejarah, dsb) (lihat : pasal 4, Definisi Ekonomi Kreatif, pemerintah Inggris), dan nilai ekspresi itu tidak hanya milik seni rupa, sebab dia ada pada semua jenis seni.

Budaya Visual
Daripada berdebat, apakah seni itu bagian dari pasar/user (market) atau tidak. Atau apakah sebuah lukisan (bagian ekonomi kreatif) mesti di jual atau tidak, atau industri hanya sekedar pabrik “lap kaki” atau musik bukanlah industri, perdebatan ini hanya akan memancing kesulitan terminologi seperti contoh di atas. Dan juga saat orang mencoba memahami fenomena industri kreatif (lihat tulisan penulis terdahulu).

Bagi penulis, akan lebih menarik, untuk sedikit membeberkan budaya visual itu sendiri – sebagai bagian telaah riset dalam seni dan sebagai disiplin ilmu yang baru dan sangat berkembang – antara lain pengembangan bahasa visual (visual language), komunikasi visual (visual communication), retorika visual, persuasi visual, semiotika, gaze, sublime, meme, intertekstual dan sebagainya (yang juga bagian dari seni kontemporer). Ilmu gaze misalnya, menyadarkan kita bahwa seorang pelukis wanita dan pria berbeda pandangannya dalam melukiskan objek yang sama, hal ini bukan hanya dipengaruhi oleh persepsi atau gender, tetapi oleh gaze (tatapan) wanita itu sendiri dengan latar psikologi analisa (lihat: Jacques Lacan, Griselda Polloc, Berger Rosalind Krauss, Bracha Ettinger, dsb.) Namun sayang, rincian mengenai budaya visual di atas belum dapat diuraikan satu persatu pada tulisan pendek ini.

Salah seorang pelopor pemikir budaya visual adalah Yohanes Petrus Berger (kelahiran 1926) di Inggris, yang rasanya perlu digambarkan dalam tulisan ini dan model bagi riset seni yang bersifat empiris (pengalaman pribadi). Terutama bagaimana dia merambah dan membuka dan masuk keberbagai wilayah seni dan profesi seni tanpa ragu-ragu dan dan mendapat pengakuan sebagai inovator dan kreator.

Coba saja lihat, dia diakui oleh dunia sebagai seorang kritikus seni, novelis, pelukis dan pengarang sekaligus, bahkan sebagai penulis skrip filem. Dia terkenal karena menulis dan berkarya berdasarkan hasil riset, dia adalah adalah salah seorang pemenang Booker Prize tahun 1972, dan mengantarkannya untuk menulis kritik seni “Ways of seeing”, yang ditulisnya dalam rangka rangkaian acara BBC London, kumpulan karangan ini kemudian dibukukan dan dipakai sebagai teks book berbagai perguruan tinggi dunia.

Berger mengenyam pendidikan di St. Edward, kemudian pada Chelsea School Art dan Central School Art di London. Dia memulai kariernya sebagai pelukis dan hasil pekerjaannya terpajang pada sejumlah Galeri di London sejak akhir 1940-an, antara lain galeri seni di Wildenstein, Redfern dan Leicester London. Berger tetap berkarya sebagai pelukis sepanjang karirnya.Sejak dia memberikan pelajaran menggambar dari tahun 1948-1955), Berger mulai menulis dan menjadi kritikus seni, dia banyak menerbitkan esei dan review dalam pandangan yang baru. Awalnya, dia adalah seorang yang berpandangan humanis markis dan opini-opininya yang kuat dan kontroversial tentang seni moderen, dan mengesankan dirinya figur yang gemar bertengkar. Dia memberi judul beberapa koleksi karangan awalnya dengan nama Permanen Red, sebagai statemen dan komitmen politisnya, dan tulisan-tulisan seperti itu muncul sebelum Soviet mendapatkan kekuatan nuklirnya, yang dirasakan tidak akan menghambat kritik-kritiknya, namun pandangannya kemudian berubah terhadap Soviet setelah itu, dan dia menjadi lebih kritis.

Tahun 1958 Berger menerbitkan novel pertama nya, A Painter of Our Time, yang mengisahkan hilangannya Janos Lavin, yaitu seorang Pelukis Hungaria fiktif yang terkucil, kisah tentang penemuan buku harian pelukis ini oleh temannya kritikus seninya yang bernama Jhon. Buku ini bertendensi politis dan secara terperinci menggambarkan bagaimana sebenarnya proses kegiatan seniman itu. Esei ini dapat menjebak pembaca seakan kisah ini adalah true story. Setelah beberapa bulan buku ini kemudian ditarik peredarannya oleh penerbit, atas paksaan dan tekanan Congress for Cultural Freedom Inggris. Novel lainnya yang setara kesuksesannya dengan A Painter of Our Time adalah The Food of Clive dan Cooke’r Freedom, yang menggambarkan bagaimana keterasingan dan melankolisnya kehidupan kaum urban di Inggris.Tahun 1962, dampak dari tulisannya dia merasa gerah hidup di Inggris kemudian hijrah ke Perancis.

Sepuluh tahun kemudian, sejak tahun 1972 stasiun TV-BBC London mulai menyiarkan beberapa rangkaian karya esainya Ways of Seeing, yaitu sebuah pengantar tentang studi imaji. Karyanya ini sebenarnya adalah bagian dari esai–esai Walter Benyamin yaitu The Work of Art in the Age of Mechanical Reproduction (karya seni di jaman reproduksi mekanis). Novelnya yang berinisial G., adalah sebuah fiksi romantik dengan setting Eropa tahun 1898, telah memenangkan baik hadiah James Tait Black Memorial Prize, dan Booker Prize tahun 1972.

Ketika menerima penghargaan atas bukunya itu, Berger menganggap penting mendermakan separuh uang hadiah itu kepada Partai Black Panther di Inggris, dan menahan separuhnya lagi untuk mendukung penelitiannya tentang pekerja migrasi yang kemudian dibukukan sebagai A Seventh Man, hal ini dianggapnya penting sebagai bagian dari perjuangan politisnya. Kebanyakan tulisan-tulisannya, adalah studi sosiologis yang dipakainya untuk karangan fiksi dan puisinya, dan tentu saja syarat dengan berbagai pengalaman empiris.Tulisan sosiologis Berger’s lainnya adalah A Fortunate Man: The Story of a Country Doctor (1967) dan A Seventh Man: Migrant Workers in Europe (1975). Hasil eseinya yang berasal dari riset berjudul A Seven Man telah mendorong minat dunia untuk memperhatikan masalah para pekerja migrasi dan latar belakang masalahnya: yaitu adanya isolasi masarakat rural.

Karyanya ini dilatar belakangi suatu pedesaan di Quincy, yaitu suatu desa di Haute-Savoie Inggris, dimana ia tinggal dan bertani sejak pertengahan tahun 70-an. Berger dan fotografer Mohr Jean sebagai teman sejawat dan kolaboratornya, mencari berbagai dokumen untuk memahami bagaimana keintiman dan pengalaman petani di tempat itu. Buku berikutnya Another Way of Telling mengisahkan dan mengillustrasikan bagaimana teknik pendokumentasian dan penerapan teori fotografi, kedua hal ini disampaikan dalam esei Berger berikut hasil karya foto Mohr.

Studi nya tentang seniman tunggal yang menonjol adalah The Success and Failure of Picasso (1965), karyanya ini adalah sebuah esei hasil riset tentang bagaimana kesuksesan dan kelemahan karir seniman moderen, masalah seni serta revolusi,. Kemudian tentang Ernst Neizvestny, Endurance, and the Role of the Artist, tentang bagaimana pertentangan yang terjadi antara pematung, politik dan estetik di Rusia. Tahun 1970 Berger bekerja sama dengan direktur filem Alain Tanner untuk pembuatan beberapa film; ia bertindak sebagai penulis skrip dan asisten penulis La Salamandre (1971), untuk filem The Middle of the World (1974) dan Jonah 2000 (1976). Karya fiksi utamanya tahun 1980, adalah tentang trilogi Their Labours ( yang diangkat dalam novel Pig Earth, Once in Europa, dan Lilac and Flag), yaitu yang berangkat dari kisah lingkungan petani Eropa yang dilandasi ekonomi, politik dan kemiskinan kaum urban Eropa kontemporer. Banyak dari Esei Berger yang berhasil mengisahkan kehidupan pedesaan ini adalah hasil riset sosiologis.Di dalam esei terbarunya Berger banyak menulis tentang fotografi, seni, politik, dan memoar; ia menulis The Shape dalam bentuk buku saku, dan menulis cerita pendek tentang kehidupan jalanan di suratkabar Threepenny Review dan The New Yorker. Dia menjual beberapa jilid puisi seperti Pages of the Wound, kemudian beberapa esei teoritis seperti And Our Faces, My Heart, Brief sebagai karya foto yang berisi puisi seperti halnya prosa.

Praktik Seni Berbasis Riset di Yogya
Salah satu model praktik seni berbasis riset di Indonesia adalah atas prakarsa Rumah Seni Cemeti, yang mengadakan pameran dengan tema Masa Lalu – Masa Lupa, 15 September – 8 Oktober 2007. Pameran ini diselenggarakan oleh enam seniman yogja yang ingin merefleksikan Sejarah Indonesia, antara tahun 1930 – 1960 antara lain Agus Suwage, Eko Nugroho, Irwan Ahmett, Prilla Tania, Wimo Ambala Bayang, Yuli Prayitno, adalah salah satu model dari praktik seni berbasis riset, dimana ranah seni dan pokok persoalannya digali melalui riset untuk merekonstruksi sejarah yang dianggap menyimpang. Melalui suatu tema tertentu kemudian seniman berkreasi. Domain-nya adalah riset sejarah (dimensi waktu), komunikasi (dimensi informasi) dan visualisasi atau representasi (bahasa rupa), dalam pengertian ingin mengungkapkan kebenaran sejarah republik Indonesia (1950-1960) melalui teks visual. Dalam situs web-nya, Rumah Seni Cemeti, Yogyakarta menjelaskan bahwa :

Di kalangan masyarakat seni, pendekatan yang kritis terhadap sejarah telah menjadi wacana yang populer, baik sebagai basis penciptaan karya maupun sebagai gagasan kuratorial. Para seniman mempertanyakan kembali kepercayaan kita terhadap apa yang selama ini ditunjuk sejarah sebagai kebenaran. Metode-metode yang dilakukan oleh para seniman ini menarik untuk ditelusuri lebih jauh, mengingat pendekatannya yang seringkali subversif dan cara presentasinya yang menekankan pada daya tarik visual.

Strategi yang dipakai oleh komunitas seni Rumah Cemeti adalah dengan memasang empat seniman dari Yogyakarta yaitu Agus Suwage, Eko Nugroho, Wimo Ambala Bayang dan Yuli Prayitno, satu seniman dari Bandung yaitu Prilla Tania, dan satu seniman Jakarta yaitu Irwan Ahmett. Setiap seniman memilih satu judul di antara tiga belas judul yang diperoleh dari Jurusan Sejarah UGM. Selain dipilih karena kekuatan visual dalam karya-karya mereka, para seniman ini juga menggunakan modus riset sebagai bagian dari proses kreatif.

Selama proses berlangsung, para seniman berdiskusi dan berkomunikasi dengan para peneliti, saling bertukar data dan mengelaborasi gagasan. Para seniman juga melakukan riset di situs-situs sejarah yang dirujuk dalam penelitian, melihat keterkaitan antara peristiwa-peristiwa masa lampau dengan apa yang terjadi di masa kini. Tujuan pameran ini ingin merepresentasikan cara pandang yang beragam tentang pergulatan untuk “Menjadi Indonesia” pada periode 1930 – 1960. Kisah-kisah personal berbaur dengan fakta-fakta formal untuk menunjukkan bagaimana situasi kolonial menjadi bagian besar dalam usaha membentuk identitas Indonesia tersebut. Melalui bentuk-bentuk visual yang dihasilkan para seniman, dimanfaatkan belajar memahami masa lampau yang terlupa.

Praktik Seni Berbasis Riset dan Riset Praktik Seni di Perguruan Tinggi
Dalam dunia akademik, praktik seni berbasis riset dan riset praktik seni dipelopori oleh Universitas Wollongong dan UTS di Sydney Australia, yang dimulai pada tahun 1984. (Linda Candy Creativity & Cognition Studios, http://www.creativityandcognition.com ). Praktik seni tidak lagi berbasis kepada konsep-konsep studio tradisional yang selama ini dipakai, tetapi kepada dua corak riset praktik seni, pertama disebut dengan studio berbasis riset (Studio based-research) dan riset praktik studio (studio practice-led).

Dimana yang pertama (studio based-reserch) memfokuskan diri dengan mengadakan riset sebelum berkarya dan memerlihatkan pengetahuan baru yang diperoleh baik melalui karya desain, musik, performance, media digital, maupun pameran. Sedangkan yang kedua (studio practice-led) memfokuskan studi teks yang mendalam tentang praktik seni itu sendiri tanpa dibebani membuat karya. Salah seorang pemikir studio berbasis riset di australia adalah G. Sullivan (2005) yang terkenal dengan tulisannya, dan bukunya menjadi buku teks praktik seni Perguruan Tinggi seni.

Pengalaman dan contoh praktik studio seni berbasis riset (Studio based-research) tergambar dalam proyek seni Annette Iggulden’ dari Universitas Deakin Australia. Dalam melaksanakannya, dia harus membedakan antara disposisi subjektif dan motivasi pribadi sebagai sumber inovasi dan pengetahuan, dalam proyek yang berjudul: (In The Space of Words and Images (2003). Dia meneliti produksi beberapa lukisan yang dipengaruhi oleh penyelidikannya atas naskah iluminasi (naskah buku kuno) dan embellishment (hiasan) biarawati, dari kelompok biara di Eropa abad Pertengahan.

Proyek ini dikembangkan sebagai tanggapan pribadi seniman, dimana dia merasa dan menempatkan diri sebagai seorang wanita di dalam masyarakat dan dalam pengalamannya sendiri yang merasa sunyi di masa kanak-kanaknya. Adanya motivasi subjektif dan perhatian pribadi atas riset ini, diakui sendiri oleh seniman.

Dia menjelaskan bahwa mustahil untuk memisahkan penulisan dan penelitian dari keadaan hidupnya, tanggapan, serta emosi pribadinya terhadap pengalaman sehari-hari (Iggulden, 2002). Melalui proyek ini dia berangkat untuk memahami rasionalitas sasaran itu sebagai respon sekunder intuitif, dan akhirnya dilepaskannya kepada material dan kebutuhan sementara, yaitu bagaimana membuat karya, dan menemukan makna pernyataan psikologis, yang tak dapat dilukiskannya dengan kata-kata. Menurutnya praktik berbasis riset ini memberi peluang untuk memunjulkan aspek subjektif dan di respon oleh pengamatnya sebagaimana merespon praktik seni non-riset.

Pada awalnya Iggulden, terlibat dengan suatu penelitan tentang pekerjaan biarawati yang asing dan termasuk mengcopi dan membaca teks mengenai hal tersebut sebagai suatu alat estetik pada lukisannya, kemudian baru dia melukis. Studinya yang lain adalah tentang tulisan Mesir kuno’ atau sebuah studi kode semiotik visual, kemudian dalam praktiknya dikembangkannya melalui penggunaan format warna abstrak dan bentuk ruang atau yang termuat pada huruf skrip itu. Ini adalah ‘bentuk’ dan lain dari sebuah tanda/ simbol sering muncul di garis tepi naskah kuno, yang kemudian dipakai sebagai gagasan untuk sebuah lukisan dan, sebelumnya hanya dipikirkan melulu untuk hiasan.

Riset Iggulden dan terutama praktiknya, sebetulnya lebih merupakan gabungan kegiatan intelektual dan estetik, dan dengan muatan naskah biarawati zaman pertengahan. Dia tidak hanya melakukan penelitian untuk mengungkapkan aspek isi naskah sendiri tetapi juga membuka mata tentang aspek baru tentang kehidupan dan aktivitas biarawati abad Pertengahan yang berhubungan komunitas biara, dalam hal ini juga dikaji aspek intelektual komunitas biara, keindahan, dan mungkin juga termasuk kegiatan ‘motivasi politiknya’. Informasi ini sampai sekarang tidak terdokumentasikan dan yang tak dikenal oleh sejarawan sebelumnya.

Karya Iggulden telah membuka suatu arah baru bagi Sejarah Seni abad Pertengahan, dan riset lainnya yang berhubungan dengan naskah abad pertengahan ini. Dalam praktik dia mengembangkan pengamatannya dan mengarahkannya ke arah suatu keseragaman pikiran dan tindakan (Iggulden, 2004), Menurutnya proses kerja seniman adalah ‘interdisiplin’, baik metodologinya maupun dalam kebermaknaan hasil nya . Konteks praktik mencakup penyelidikan pekerjaan visuil yang dikawal baik oleh teks seniman pertengahan maupun yang baru. Kerangka konseptual dan teoritis bagi risetnya ditarik dari bidang filosofi, sejarah, sosiologi dan studi feminis. Hasil riset nya tidak biasa, hasil proyeknya juga tidak terbatas dan terhitung nilainya. Risetnya telah menambah dan mendukung terhadap pemahaman orang tentang pengetahuan historis naskah Pertengahan tertentu. Kemudian, dalam praktik seni disajikan seniman dengan suatu bahasa pribadi atau bentuk visual/verbal untuk berekploirasi dan berekspresi tentang identitas gendernya sendiri. Menurut cerita, pameran karya akhirnya dengan kanvas telah masuk ke Musium Seni Stables di Melbourne tahun 2002, dan banyak dari karyanya terjual kepada publik dan koleksi pribadi di Australia saat itu.

Catatan akhir
Baik prinsip KISS, user oriented, maupun use oriented, bukanlah sebuah resep, aksioma atau dalil tertentu, yang hanya terpakai pada sebuah bidang pengetahuan. Sebab dia berada pada tataran filosofis, yang muncul, untuk menjawab pertanyaan tentang kebenaran (truth) etika (ethics) dan estetika (aesthetic). Dia tidak terbatas pada ‘will’ (keinginan) manusia seperti pada rancangan (design), perencanaan (planning), strategi, politik, atau will ekonomi, tetapi umumnya, dia adalah perilaku manusia (habitus), termasuk habitus dalam seni. Kenapa habitus ini perlu dikemukakan ?

Sebab, salah satu polemik yang berkembang dalam kebudayaan manusia abad ini, adalah kultur meme (lihat, Richard Dawkins, The Selfish Gene, 1976). Menurut Dawkins, semua kebudayaan manusia termasuk ilmu pengetahuan, seni dan teknologi, menyebar melalui peniruan yang kompleks (memepleks). Sebuah budaya apapun, adalah hasil dari evolusi meme, sama halnya dengan sebuah gen makhluk hidup, dimana munculnya makhluk baru, adalah hasil pembelahan dua gen induk, kemudian berjuta, untuk menjadi makhluk baru.

Seperti yang dikatakan Glenn Grant dalam (What is meme ?): “Slogan-slogan individu, frasa kata, nyanyian, ikon-ikon, inovasi-inovasi, dan fashion adalah ciri khas atau tipikal dari memes. Sebuah ide atau pola informasi bukanlah sebuah meme sampai seseorang mereplikasinya, atau untuk diulang oleh berbagai orang dan berbagai budaya replikator”. Sebuah drama, filem atau sebuah lukisan, adalah replikasi dari yang asli (eksternal), atau dari dalam diri (internal). Sebuah lukisan, parodi, tragedi, drama, sastra, adalah meme. Sebuah lukisan pemandangan alam, virus komputer dan komputer itu sendiri adalah meme.

Wisran Hadi, bicara mengenai budaya Minang adalah dalam rangka memepleks, dan bukan dalam rangka mengarang budaya Minang. Jadi melalui meme-lah sebuah informasi budaya itu terlihat, dan posisi meme-nya dalam budaya yang lebih besar. Bukankah wayang adalah memepleks dari India. Kenapa kita ribut kalau orang Malaysia memetics tari barong ? Bukahkah ini karena kekeliruan pakar budaya kita tentang meme? Selanjutnya dapat pula terjawab, untuk apa meme dilakukan. Semua pancaran ilmu pengetahuan (tidak terkecuali) adalah memetics”, dalam hal ini KISS dapat dilihat sebagai meme langsung (meme total).

Filosofi user dan use oriented adalah dalam rangka inovasi. Replikasi akan terjadi kalau sebuah inovasi itu menarik bagi replikator lainnya, disini terlihat fungsi metoda ilmu pengetahuan (riset), agar tidak terjadi replikasi langsung. Tidak mungkin manusia bertindak autisme, memesin, atau merobot, seperti adegan komedi Charly Chaplin, mengenai manusia moderen di pabrik. Sebab lain adalah, meme langsung harusnya dapat menjawab, untuk apa replikasi itu ? Seperti sebuah gen kanker atau tumor, yang tiba-tiba mereplikasi diri secara luar biasa, dia malah dapat membunuh gen aslinya. Seperti, pertumbuhan penduduk yang tidak terkendali, atau mereplikasi “suhu/guru” yang bodoh, adalah meme yang sia-sia dan ini adalah sebuah bom waktu. Apa kah KISS itu sebuah filsafat ?

Apakah seni tertentu adalah bagian dari industri, jawaban pertanyaan ini tidak bisa dikarang-karang, kecuali melalui memepleks. Meme adalah sebuah kodrat ilahi, dan sebuah kodrat Tuhan pula, bahwa manusia diberi kemampuan untuk berpikir, merenung dan berekspresi liwat meme, tetapi, sebaiknya tidak hanya sekedar replikator. Semoga tulisan ini bermanfaat dan menarik untuk pembaca.

Kompleks Melati Gunung Sari I, Air pacah, Padang, Maret 2008

Tulisan yang relevan lainnya:

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting