符号学在:标志(符号)它在印尼语意味着南
Semiotics in: Signs (sign) in the Language and Its meaning
Semiotics in: Signs (sign) in the Language and Its meaning
Oleh. Dr. Ngusman Abdul Manaf, M.Hum.
Cuplikan buku Semantik Bahasa Indonesia karangan Ngusman Abdul Manaf, ISBN: 978-602-881909-1 Terbitan UNP Press, tahun 2010. Buku ini adalah hasil penelitianpenulis yang dibukukan. Seperti yang dikatakannya.
Cuplikan buku Semantik Bahasa Indonesia karangan Ngusman Abdul Manaf, ISBN: 978-602-881909-1 Terbitan UNP Press, tahun 2010. Buku ini adalah hasil penelitian
快照语义学印度尼西亚文章Ngusman阿卜杜勒Manaf书,书号:978-602-881909-1发行统一国民党出版社,2010。这本书是笔者的研究结果谁张贴。因为它说
Bahasa dapat dikelompokkan menjadi dua, yaitu bentuk dan makna. Semantik membahas makna bentuk bahasa dalam hubungannya dengan konteks linguistik. Kata, frasa, klausa, kalimat, dan wacana adalah bentuk bahasa. Bentuk-bentuk bahasa itu mempunyai makna. Bentuk yang berbeda mempunyai makna yang berbeda. Perkembangan ilmu pengetahuan, teknologi, dan seni, serta sosial, budaya, ekonomi masyarakat menimbulkan perubahan dan perkembangan simbol-simbol bahasa yang juga berdampak kepada perubahan atau perkembangan makna simbol-simbol bahasa itu. Karena makna simbol-simbol bahasa berkembang, pemakai bahasa perlu mempelajari makna simbol bahasa terus-menerus.
A.Pendahuluan
Bagian ini berisi uraian tentang tanda bahasa dan maknanya. Pemamahan tentang hakikat tanda bahasa penting karena bahasa pada hakikatnya adalah sistem tanda. Pada waktu seseorang berbicara, orang memilih dan megorganisasikan tanda bahasa (yang berupa untaian bunyi bahasa) untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, pada waktu kita memyimak tuturan orang lain, kita berusaha menafsirkan tanda bahasa yang dituturkan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan tanda bahasa dan kemampuan memahami tanda bahasa. Untuk memahami hakikat tanda bahasa, diuraikan usur tanda bahasa, yang mencakup tanda antau simbol, gagasan atau konsep, dan acuan. Di samping itu, juga diuraikan hubungan tanda bahasa dan maknanya.
Tujuan yang ingin dicapai dalam bagian ini adalah setelah membaca uraian ini, pembaca diharapkan dapat sebagai berikut: (1) merumuskan pengertian tanda bahasa; (2) menjelaskan unsur-unsur tanda bahasa; (3) menjelaskan hubungan tanda bahasa dengan maknanya; (4) menyebutkan tiga jenis tanda; (5) dapat memberikan paling sedikit tiga contoh untuk setiap jenis tanda itu.
B.Tanda Bahasa
1. Komponen Tanda Bahasa dan Relasi Antarkomponen
Linguis yang membahas hakikat tanda bahasa secara mendasar, antara lain Saussure (1916/1970), Ogden dan Richard (1923). Konsep tanda bahasa dari dua linguis itu diuraikan di bagian ini karena dua konsep itulah yang umumnya dijadikan acuan para linguis dalam membahas tanda bahasa.
Menurut Saussure (1916), tanda linguistik (signe linguistique) mempunyai dua unsur, yaitu (1) yang ditandai (dalam bahasa Prancis signifie ; dalam bahasa Inggris signified dan (2) yang menandai (dalam bahasa Prancis signifiant; dalam bahasa Inggris signifier). Sesuatu yang ditandai diistilahkan dengan petanda. Sebaliknya, sesuatu yang menandai diistilahkan dengan penanda. Penanda itu berupa bunyi bahasa sedangkan petanda berupa benda, kegiatan, atau keaadaan. Konsep tanda bahasa Saussure itu dapat dilihat pada bagankan di bawah.
Bagian ini berisi uraian tentang tanda bahasa dan maknanya. Pemamahan tentang hakikat tanda bahasa penting karena bahasa pada hakikatnya adalah sistem tanda. Pada waktu seseorang berbicara, orang memilih dan megorganisasikan tanda bahasa (yang berupa untaian bunyi bahasa) untuk mengungkapkan pikiran dan perasaan. Sebaliknya, pada waktu kita memyimak tuturan orang lain, kita berusaha menafsirkan tanda bahasa yang dituturkan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan tanda bahasa dan kemampuan memahami tanda bahasa. Untuk memahami hakikat tanda bahasa, diuraikan usur tanda bahasa, yang mencakup tanda antau simbol, gagasan atau konsep, dan acuan. Di samping itu, juga diuraikan hubungan tanda bahasa dan maknanya.
Tujuan yang ingin dicapai dalam bagian ini adalah setelah membaca uraian ini, pembaca diharapkan dapat sebagai berikut: (1) merumuskan pengertian tanda bahasa; (2) menjelaskan unsur-unsur tanda bahasa; (3) menjelaskan hubungan tanda bahasa dengan maknanya; (4) menyebutkan tiga jenis tanda; (5) dapat memberikan paling sedikit tiga contoh untuk setiap jenis tanda itu.
B.Tanda Bahasa
1. Komponen Tanda Bahasa dan Relasi Antarkomponen
Linguis yang membahas hakikat tanda bahasa secara mendasar, antara lain Saussure (1916/1970), Ogden dan Richard (1923). Konsep tanda bahasa dari dua linguis itu diuraikan di bagian ini karena dua konsep itulah yang umumnya dijadikan acuan para linguis dalam membahas tanda bahasa.
Menurut Saussure (1916), tanda linguistik (signe linguistique) mempunyai dua unsur, yaitu (1) yang ditandai (dalam bahasa Prancis signifie ; dalam bahasa Inggris signified dan (2) yang menandai (dalam bahasa Prancis signifiant; dalam bahasa Inggris signifier). Sesuatu yang ditandai diistilahkan dengan petanda. Sebaliknya, sesuatu yang menandai diistilahkan dengan penanda. Penanda itu berupa bunyi bahasa sedangkan petanda berupa benda, kegiatan, atau keaadaan. Konsep tanda bahasa Saussure itu dapat dilihat pada bagankan di bawah.
Gambar bagan Hubungan antara Tanda Bahasa, Petanda, dan Penanda Menurut Konsep Firdinand de Saussure
Penanda itu dapat berupa bunyi bahasa yang berupa kata, frasa, kata, kalimat, atau teks. Petanda adalah sesuatu yang diacu oleh suatu penanda yang berupa leksem, kata, frasa, kalimat, atau teks. Dengan kata lain, petanda atau acuan merupakan makna dari tanda bahasa. Jadi tanda bahasa selalu berwujud bentuk tanda dan maknanya. Saussure melihat tanda hanya dari dua sisi, yaitu sisi penanda (bunyi bahasa) dan sisi petanda (sesuatu yang ditandainya). Berdasarkan bagan 2.1, tanda bahasa memiliki dua unsur, yaitu petanda (sesuatu yang ditandai) yang berupa hewan sapi dan penanda (yang menandai) yang berupa kata s a p i.
Ogden dan Richard (1923) mengkaji tanda bahasa dari tiga sisi, yaitu simbol (symbol), gagasan (thought or reference), dan acuan (referent). Relasi unsur tanda itu, digambarkan dalam bentuk segitiga dengan sisi bawah berupa garis putus-putus.
Gambar bagan Hubungan antara Simbol, Gagasan, dan Acuan Menurut Konsep Ogden dan Richard
Menurut Ogden dan Richard, simbol mewakili gagasan yang ada dalam pikiran. Gagasan yang ada dalam pikiran itu merupakan makna dari simbol bahasa. Gagasan mengacu ke acuan atau referen (benda, kegiatan, atau sesuatu yang lain). Contoh, jika ada simbol yang berupa leksem sapi, makna leksem itu adalah gagasan, yaitu ‘binatang berkaki empat, pemakan rumput, dan yang diperah susunya’. Gagasan itu mengacu ke benda (sesuatu) yang sebenarnya, yaitu hewan yang berupa sapi.
Hubungan antara simbol dan gagasan bersifat langsung. Hubungan langsung antara simbol dan gagasan maksudnya adalah antara simbol dan gagasan merupakan pasangan otomatis. Misalnya, ada simbol yang berupa leksem sapi, leksem itu otomatis mewakili gagasan ‘binatang berkaki empat, pemakan rumput, dan yang diperah susunya. Hubungan antara gagasan dengan acuan juga bersifat langsung. Hubungan langsung antara gagasan dan acuan ini dapat diartikan bahwa antara gagasan dan acuan merupakan pasangan yang otomatis. Sebaliknya, jika ada gagasan tentang alat tulis yang digunakan untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu otomatis mengacu kepada benda seperti di gambar 1. Sebalikya, hubungan antara simbol dan acuan tidak langsung. Oleh karena itu, garis yang menghubungkan simbol dan acuan ditulis putus-putus. Hubungan tidak langsung antara acuan dan simbol diartikan bahwa jika ada acuan, misalnya benda yang apabila digambarkan bentuknya seperti di gambar 1. Benda di seperti di gambar 1 itu tidak otomatis selalu disebut sapi, tetapi benda itu disebut lembu atau sapi oleh orang Jawa, jawi oleh orang Minangkabau, disebut cow oleh orang Inggris. Orang atau kelompok orang menyimbolkan benda (sesuatu) atau menamai benda tidak terikat harus mengikuti satu bentuk saja. Orang atau kelompok orang itu menyimbolkan atau menamai benda (sesuatu) bersifat mana suka atau arbitrer tergantung kesepakatan atau konvensi orang atau kelompok orang itu. Contoh hubungan simbol, gagasan, dan acuan itu dapat divisualkan dalam bagan 3.
2. Makna Tanda Bahasa
Makna tanda bahasa dapat dipahami dari segi asal makna tanda bahasa dan sifat hubungan antara simbol dan acuannya. Plato menjelaskan bahwa ada hubungan yang sistematis atau berarti antara simbol dengan acuannya. Adanya hubungan sistematis antara simbol dengan acuannya, didukung oleh adanya kemiripan bunyi yang menjadi simbol dengan acuanya. Misalnya, simbol yang berupa kata yang bersifat anomatope. Dalam bahasa Indonesia, binatang yang bunyinya, tokek.., tokek dinamakan tokek. Binatang yang suaranya meong..., meong... dinamakan meong. Suara air hujan yang jatuh jarang-jarang (tidak lebat), tik.. tik,..tik dinamakan rintik. Di sisi lain, Aristoteles berpendapat bahwa tidak ada hubungan yang sistematis antara simbol dengan acuan. Jika ada yang mirip, hal itu hanya suatu kebetulan saja (Chaer, 1995: 13). Pendapt Aristoteles itu didukung oleh data bahwa orang memberikan nama yang berbeda-beda terhadap benda atau sesuatu yang sama. Contoh, binatang yang berkaki empat yang larinya cepat, pemakan rumput, yang biasanya ditunggangi atau untuk menarik bendi dinamakan kudo oleh orang Minangkabau, kuda oleh orang Melayu, jaran oleh orang Jawa, dan horse oleh orang Inggris. Andaikata, ada hubungan yang berarti atau yang sistematis antara simbol dengan makna, tentu benda atau sesuatu yang sama itu diberi simbol atau diberi nama yang sama oleh semua orang di dunia ini. Kenyataanya tidak demikian. Odgden dan Richard (1923) dan Lyons (1977) mempunyai pendapat yang sama dengan Aristoteles, yaitu tidak ada hubungan yang sistematis atau berarti antara simbol dan acuannya. Hubungan antara simbol dan tanda bahasa bersifat mana suka atau arbitrer.
Berdasarkan data bahasa yang ada, penulis buku ini berpendapat bahwa hubungan simbol dengan acuannya sebagian bersifat sistematis (ada hubungan kemiripan dan hubungan penyebaban) dan sebagian lagi bersifat manasuka atau arbitrer (tidak hubungan kemiripan atau penyebaban). Pendapat penulis ini sama dengan pendapat Kridalaksana. Kridalaksana (2001: 3) menjelaskan bahwa banyak pembaca terutama yang hanya membaca materi kuliah Saussure yang kemudian diterbitkan oleh muridnya Ch. Bally dan A. Sechehaye dengan judul Cours de Linguitique Generale (1916) mengira bahwa bagi Saussure hubungan di antara petanda dan penanda itu bersifat arbitrer. Ternyata dalam rangkaian kuliah ketiga (1910—1911), yang tidak sempat diterbitkan dalam buku itu, tetapi dicatat oleh murid yang lain, yakni E. Constantin, Saussure tidak sepenuhnya mengakui kearbitreran tanda bahasa. Ia melihat adanya l’arbitraire absolu ‘kearbitreran mutlak’ dan l’arbitraire rélatif ‘kearbitreran nisbi’. Dalam kuliahnya pada 12 Mei 1911 ia menyatakan,”Au lieu d’arbitraire nous pouvons sire immotive” alih-alih “arbitrer” kita dapat menyatakan “tak bermotivasi”. Ia mengambil contoh numeralia Prancis vingt ‘dua puluh’ dan dix-neuf ‘sembilan belas’: yang pertama itu tidak bermotivasi, sedangkan yang kedua bermotivasi (dix bermakna ‘sepuluh’, neuf bermakna ‘sembilan’). Ia mengakui adanya limitatition de l’arbitraire ‘keterbatasan kearbitreran’. Selajutnya, ia menjelaskan bahwa kearbitreran nisbi itu menyangkut rélation intérieur ‘relasi intern’, yakni hubungan di antara penanda dan petanda dan rélation èkstérieur ‘relasi ekstern’, yakni hubungan di antara satu tanda dengan tanda lain. Jacobson (1965) juga menyatakan bahwa tanda bahasa tidak sepenuhnya arbitrer yang dibuktikan dengan kutipan ungkapan Julius Caesar veni, vidi, vici ‘aku datang, aku melihat, aku menang’ yang memperlihatkan urutan kejadian yang diungkapkan (temporal), kegiatan yang terjadi lebih dahulu adalah datang, setelah datang barulah dapat melihat berbagai hal di tempat yang didatanginya. Setelah itu, barulah memperoleh kemenangan melalui berbagai kegiatan yang dilakukan di tempat itu. Di samping itu, tanda bahasa juga diungkapkan secara hierarkis, seperti yang terlihat dalam kutipan The preisident and the secretary of state (attended the meeting). Dalam kutipan itu, the presiden yang dianggap lebih tinggi kedudukannya (lebih penting) diletakkan di depan. Sebaliknya, the secretary yang dianggap lebih rendah kedudukannya (kurang penting) diletakkan di belakang.
Bahasa merupakan sistem tanda yang merupakan cabang dari semiologi atau semiotika (Kridalaksana, 2001: 3). Atas dasar hubungan antara tanda dengan objek yang ditandainya, Pierce membagi jenis tanda menjadi tiga, yaitu ikon (icon), indeks (index), dan simbol (symbol) (Nörth, 1990:45). Ikon adalah jenis tanda yang ada hubungan kemiripan antara penanda dengan petandanya, misalnya foto wajah orang mirip dengan wajah orang yang difoto, leksem yang bersifat anomatope, misalnya cecak mirip dengan suara binatang itu cek...cek..., tokek sama dengan bunyi binatang itu tokek...tokek, rintik sama dengan suara titik... titik air hujan dan lain-lain. Indeks adalah jenis tanda yang ada hubungan sebab akibat antara penanda dengan petanda, misalnya, asap adalah tanda ada panas atau api, mendung adalah tanda akan ada hujan, tanda anak panah menujukkan arah yang dituju. Simbol adalah jenis tanda yang tidak ada hubungan antara tanda dengan objek yang ditandainya, misalnya orang boleh mana suka menamai benda yang berupa alat tulis yang lazim digunakan menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang, yaitu pituluik bagi orang Minangkabau, pensil bagi orang betawi, potlot bagi orang Jawa, pencil bagi orang Inggris. Berdasarkan konsep yang diuraikan di atas, ternyata ada tanda bahasa yang tergolong jenis ikon, antara lain leksem yang bersiafat anomatope, cecak, tokek, meong, maem, dan lain-lain dan ada tanda bahasa yang tergolong simbol (lambang), misalnya kata pensil, kuda, pohon, badan, dan lain-lain.
Faktor pembentuk makna tanda bahasa dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu (1) unsur intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal pada tanda bahasa, dan (3) konteks tuturan. Ullman (1977: 3) menjelaskan bahwa Aristoteles pernah menyatakan bahwa makna tanda bahasa bersumber dari (1) unsur makna dalam tanda bahasa itu sendiri (otonom), dan (2) proses gramtikal yang terjadi pada tanda bahasa itu. Konsep bahwa makna tanda bahasa itu bersumber dari unsur dari dalam tanda bahasa itu sama dengan makna leksikal sekarang ini. Makna tanda yang terbentuk karena tanda bahasa itu mengalami proses gramatikal sama dengan istilah makna gramatikal saat ini. Pernyataan aristoteles bahwa makna tanda bahasa bersumber dari unsur dari dalam tanda bahasa itu didukung oleh kenyataan bahwa banyak sekali leksem yang sudah mempunyai makna penuh sebelum leksem itu mengalami proses gramatikal. Contoh leksem makan yang bermakna ‘memasukkan makanan ke mulut, menguyah, kemudian menelannya’. Makna itu terbentuk karena di dalam leksem perempuan terdapat komponen makna [+ memasukkan makanan ke mulut, + menguyah, + menelan]. Makna otonom menurut Aristoteles ini sama dengan makna leksikal sekarang ini (Baca Chaer, 1995: 59—60). (Lyons, 1977: 174—224, Cruse, 1986: 80-290, Allan 2001: 247—282).
Pernyataan Aristoteles bahwa makna tanda bahasa terbentuk karena tanda bahasa itu mengalami proses gramatikal didukung oleh banyak sekali data bahasa. Contoh, leksem minum sebelum mengalami proses gramatikal bermakna ‘memasukkan zat cair ke dalam mulut kemudian menelannya’. Leksem minum setelah mengalami proses gramatikal, yaitu digabungkan dengan sufiks –an menjadi minuman yang maknanya ‘benda yang diminum’. Contoh yang lain adalah leksem bunga yang sebelum mengalami proses gramatikal dalam tataran kalimat bermakna ‘tumbuhan yang berfungsi untuk hiasan atau bagian dari pohon yang mengandung bakal buah’. Leksem bunga setelah mengalami proses gramatikal, yaitu leksem bunga itu diletakkan dalam koteks kalimat bunga desa itu sudah disunting oleh Aji. Dalam koteks kalimat itu, bunga bermakna ‘gadis tercantik di desa itu’.
Makna tanda bahasa juga dapat timbul karena dihubungkannya tanda bahasa (baca tuturan) dengan konteks tuturannya. Seperti yang telah dijelaskan di depan, konteks tuturan itu mancakupi, pelaku tutur, setting, topik, dan tujuan. Contoh, tanda bahasa yang berupa kalimat ruangan ini gelap sekali. Sebelum dihubungkan dengan konteks non linguistik, yaitu situasi tutur, kalimat ruangan ini gelap sekali bermakna ‘informasi dari seseorang bahwa ruangan yang sedang digunakan gelap sekali’. Setelah tuturan dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu penuturnya adalah seorang dosen yang sedang mengajar, tempatnya di ruang kelas, topik ruangan gelap, agar ruangan menjadi terang, makna tuturan ruangan ini gelap sekali bermakna ‘seorang dosen meminta kepada salah seorang mahasiswa agar membuka jendela atau menghidupkan lampu ruangan itu’. Makna yang terbentuk dengan menghubungkan tanda bahasa (tuturan) dengan konteks situasi tutur itu disebut dengan makna pragmatik. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan) dihubungkan dengan konteks tuturannya disebut maksud (Leech, 1983/1993: 1—23), Levinson, (1983: 1—47). Karena semantik hanya memfokuskan makna tanda bahasa yang hanya dihubungkan dengan konteks linguistik, makna satuan bahasa yang terbentuk karena satuan bahasa dihubungkan dengan konteks nonlinguistik, yaitu situasi tutur dan nilai-nilai budaya tidak dibahas dalam buku semantik ini. Makna yang terbentuk karena satuan bahasa dihubungkan dengan konteks nonlinguistik dibahas dalam pragmatik (Baca Gunarwan, 1994: 1--10).
C.Rangkuman
Bahasa adalah sistem tanda. Karena bahasa adalah sistem tanda, ilmu bahasa (linguistik), dapat digolongkan sebagai cabang dari semeologi atau semiotika. Pada waktu kita berkomunikasi, baik secara lisan maupun tulis sebenarnya kita sedang memanfaatkan tanda-tanda bahasa itu untuk menyampaikan pikiran dan perasaan kita kepada orang lain atau berusaha menafsirkan tanda-tanda bahasa yang disampaikan oleh orang lain. Efektivitas komunikasi sangat ditentukan oleh kemampuan kita dalam mengorganisasikan dan memahami tanda-tanda bahasa. Apakah sebenarnya tanda bahasa itu? Tanda bahasa adalah untaian bunyi bahasa yang mewakili objek tertentu. Objek yang diwakili oleh tanda bahasa itu dapat berupa benda, kegiatan, sifat, atau konsep. Tanda bahasa itu dapat berupa kata, frasa, klausa, kalimat, bahkan teks. Dalam bahasa tulis, tanda bahasa yang berupa bunyi bahasa itu dilambangkan dengan grafem atau huruf, serta tanda baca.
Menurut Saussure, tanda itu mencakup dua unsur, yaitu penanda yang menandai (signifié: Prancis; signified: Inggris) dan petanda yang ditandai (signifiant: Prancis; signifier: Inggris). Secara sederhana, dapat dijelaskan bahwa petanda itu berupa untaian bunyi bahasa, misalnya kata, frasa, klausa, dan kalimat dan sesuatu yang diacu itu merupakan petanda. Dalam hal ini, petanda itu dapat dianggap sebagai makna dari suatu tanda. Contoh, jika ada tanda, misalnya pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan penanda dan benda yang berupa ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di papan tulis yang terbuat dari kayu dan arang merupakan petanda. Petanda itu sekaligus merupakan makna dari tanda itu. Jadi, pensil bermakna ‘alat tulis yang lazim digunakan untuk menulis di kertas yang dibuat dari kayu dan arang’.
Menurut Ogden dan Richad (1923), tanda bahasa itu terdiri atas tiga unsur, yaitu simbol (symbol), gagasan (thought or refence), dan acuan (referen). Simbol mewakili gagasan, dan gagasan mengacu ke suatu acuan (objek tertentu). Contoh, jika ada leksem pensil, untaian bunyi [p-e-n-s-i-l] merupakan simbol, ‘alat tulis yang lazim untuk menulis di kertas yang terbuat dari kayu dan arang’ merupakan gagasan, dan wujud objek yang sebenarnya adalah acuan. Menurut Ogden dan Richard, gagasan itulah yang merupakan makna dari tanda bahasa. Hubungan antara tanda dengan acuan bersifat arbitrer atau mana suka.
Hubungan antara tanda bahasa dengan objek yang ditandai ada yang bersifat sistematis (ikonis) dan ada yang bersifat arbitrer. Leksem-leksem yang berupa anomatope menunjukkan ada hubungan yang sistematis anatara tanda bahasa dengan objek yang ditandainya. Leksem-leksem yang tidak berupa anomatope menunjukkan tidak adanya hubungan yang sistematis antara tanda dengan objek yang ditandainya.
Menurut Pierce, berdasarkan hubungan antara tanda dan objek yang ditandainya, tanda dapat dikelompokkan menjadi tiga, yaitu ikon, indeks, dan simbol. Indeks adalah tanda bahasa yang menunjukkan hubungan kemiripan antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, foto dan leksem anomatope merupakan tanda yang tergolong ikon. Indeks adalah tanda yang menunjukkan ada hubungan kausalitas antara tanda dan objek yang ditandainya. Contoh, asap, mendung, arah anak panah merupakan tanda yang tergolong indeks. Simbol adalah tanda yang antara tanda dan objek yang tidak ada hubungan apa-apa. Tanda itu dibuat semata-mata karena konvensi kelompok orang pemakai tanda itu. Leksem atau kata-kata, atau lambang-lambang tertentu (lambang negara, lambang organisasi) tergolong simbol. Sebagian tanda bahasa tergolong ikon dan sebagian tanda bahasa yang lain tergolong simbol. Sebagian besar tanda bahasa berupa simbol.
Ada tiga unsur yang menghadirkan makna tanda bahasa, (1) komponen makna intern tanda bahasa itu sendiri, (2) proses gramatikal pada tanda bahasa, (2) konteks tuturan dari suatu tanda bahasa. Makna yang terbentuk dari unsur komponen makna tanda bahasa itu sendiri (otonom) digolongkan sebagai makna leksikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa mengalami proses grmatikal disebut makna gramatikal. Makna yang terbentuk karena tanda bahasa (tuturan) dihubungkan dengan konteks situasi tuturnya digolongkan sebagai makna pragmatis. Makna leksikal dan makna gramatikal merupakan kajian semantik sedangkan makna pragmatis merupakan kajian pragmatik.
Kepustakaan
Allan, Keith. 2001. Natural Language
Semantics. Massa-chusetts: Blackwell
Publishers Inc.
Alwi, Hasan, Soenjono Dardjowidjojo,
Hans Lapoliwa, dan Anton M. Moeliono. 1998. Tata Bahasa Baku Bahasa Indonesia
(Edisi ke Tiga). Jakarta: Balai Pustaka.
Aminuddin.1988.
Semantik: Pengantar Studi tentang Makna. Bandung: Sinar Baru.
Brown, Penelope dan S. C., Levinson.
1978. “Universal in Language Usage: Politeness Phenomena” di dalam Question and Politeness. Cambrige:
Cambridge: University Press.
Chaer, Abdul.
1995. Pengantar Semantik Bahasa Indoneia. Jakarta: Rineka Cipta.
Chomsky,
Noam. 1965. Aspecs the Theory of Syntax. Cambridge: MIT Press.
Cruse, D.A. 1986. Lexical Semantics. Cambridge:
Cambridge University Press.
Djajasudarma, Fatimah. 1993. Semantik
I: Pengantar ke Arah Ilmu makna.
Bandung: Eresco.
Filmore, Charles J. 1968. “The Case for
Case” dalam Universal in Linguistics Theory. Emmon Bach dan Robert T. Harma (Ed.). New York: Holt, Rinehart and Winston, Inc.
Gunarwan, Asim. 1994. “Pragmatik
Pandangan Mata Burung”. Mengiring Rekan Sejati. Dalam Soenjono
Dardjowidjojo. Jakarta: Lembaga
Hockett,
Charles F. 1958. A course in Modern Linguistics. New York. The
Macmillan Company.
Kemson, Ruth M. 1977. Teori Semantik.
Ditermahkan Abdul Wahab pada 1995.
Jakarta: Airlangga University Press.
Keraf, Gorys. 1996. Diksi dan Gaya Bahasa. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
Kridalaksana, Harimurti. 1988. Beberapa Prinsip Perpaduan Leksem dalam Bahasa Indonesia. Yogyakarta: Penerbit Kanisius.
_______. 1992. Pembentukan Kata
dalam Bahasa Indonesia. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama.
_______1993.
Kamus Linguistik (Edisi Ke-tiga). Jakarta: Penerbit Gramedia Pustaka
Utama.
______2001.
“Paradigma Semiotik dalam Linguistik Melayu/Indonesia”.Persidangan Serantau
Bahasa, Sastera, dan Budaya Melayu,
Universiti Putra Malaysia.
Leech,
Geoffrey. 1983. Prinsip-Prinsip Pragmatik. Terjemahan oleh M. D. D. Oka. (1993). Jakarta:
Universitas Indonesia.
Levinson,
Stephen C. 1983. Pragmatics. Cambridge: Cambridge University Press.
Lyons, John. 1995. Linguitics Semantics: An Introduction.
Cambridge: Cambridge University Press.
_______
1977. Semantics Volume I.
Cambridge: Cambridge University Press.
_______ 1977. Semantics: Volume, 2. Cambridge: University Press.
Manaf, Ngusman Abdul. 2000. “Sintaksis
Bahasa Indonesia.” Padang: Universitas Negeri Padang.
Moeliono, M. Anton. 1989. Kembara Bahasa: Kumpulan Karangan Tersebar.
Jakarta: Gramedia.
Nöth, Winfried. 1995. Hand Book of Semiotics. Bloomington and Indianapolis: Indiana University Press.
Ogden dan Richard. 1923. The Meaning of Meaning. London. Routledge & Kegan Paul Ltd.
Pateda, Mansur. 1986. Semantik Leksikal. Ende
Flores: Nusa Indah.
Poerwadarminta,
W. J. S. 1983. Kamus Umum Bahasa
Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Penulis
Ngusman Abdul Manaf dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada 19 Oktober 1966. Ia lulus Sekolah Pendidikan Guru pada 1986 di SPG Negeri Pati; lulus Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada 1991 di IKIP Padang; lulus master di bidang humaniora pengkhususan linguistik pada tahun 1997 di Universitas Indonesia; lulus doktor di bidang Ilmu Pengetahuan Budaya pengkhususan linguistik pada tahun 2005. Ia merupakan dosen tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan dosen tetap di Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Karya Ilmiah yang sudah ditulis antara lain Kelas Sosial dan Kode Bahasa (tesis), Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Indone¬sia (disertasi), Sintaksis (buku teks), Melacak Siratan Makna dalam Teks Bahasa Indonesia (artikel), Strategi Kaum Wanita dalam Melindungi Citra Dirinya dan Citra Diri Orang Lain dalam Tindak Tutur (artikel).
Ngusman Abdul Manaf dilahirkan di Pati, Jawa Tengah pada 19 Oktober 1966. Ia lulus Sekolah Pendidikan Guru pada 1986 di SPG Negeri Pati; lulus Sarjana Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia pada 1991 di IKIP Padang; lulus master di bidang humaniora pengkhususan linguistik pada tahun 1997 di Universitas Indonesia; lulus doktor di bidang Ilmu Pengetahuan Budaya pengkhususan linguistik pada tahun 2005. Ia merupakan dosen tetap di Jurusan Bahasa dan Sastra Indonesia dan dosen tetap di Program Pascasarjana Universitas Negeri Padang. Karya Ilmiah yang sudah ditulis antara lain Kelas Sosial dan Kode Bahasa (tesis), Kesantunan Berbahasa dalam Bahasa Indone¬sia (disertasi), Sintaksis (buku teks), Melacak Siratan Makna dalam Teks Bahasa Indonesia (artikel), Strategi Kaum Wanita dalam Melindungi Citra Dirinya dan Citra Diri Orang Lain dalam Tindak Tutur (artikel).