An illustration of
someone being name called, sumber: http://ts1.mm.bing.net/th?id=HN.608021301778057472&pid=15.1
Oleh : Nasbahry Couto
Teori Seni Rupa
(revisi september 2014)
Catatan: Tulisan ini adalah cuplikan buku Seni Rupa Teori dan Aplikasi, karangan penulis, terbitan tahun 2009, Padang: UNP Press, buku ini sedang mengalami revisi dengan judul " Teori tentang seni dan teori dalam seni" sekitar 400 halaman. Bagi yang berminat dapat hubungi penulis
Teori Tentang Seni Rupa (Theory
about Art)
Teori tentang Seni Rupa di abad ke-20
Teori tentang Seni dalam Sosiologi Seni
Catatan Kaki
(revisi september 2014)
Catatan: Tulisan ini adalah cuplikan buku Seni Rupa Teori dan Aplikasi, karangan penulis, terbitan tahun 2009, Padang: UNP Press, buku ini sedang mengalami revisi dengan judul " Teori tentang seni dan teori dalam seni" sekitar 400 halaman. Bagi yang berminat dapat hubungi penulis
Lingkup Teori Seni Rupa
Sejak awal teori seni
itu dikembangkan melalui logika berpikir, teori yang pertama muncul
adalah teori keindahan (aesthetica),
yang istilahnya ditemukan oleh
Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-62), pemikiran ke arah itu sebenarnya sudah
lama. Misalnya, teori pemindahan bentuk (Plato), teori nilai estetik
objek (Immanuel Kant, David Hume, dan seterusnya), teori kreativitas
artistik (Beardsley, dan seterusnya.) teori karya seni (Annete
Barnes, Max Black, dan seterusnya.) teori pengalaman estetik (John Dewey,
George Dicki, dan seterusnya). Teori Kritik (Stuard Hampshire, dan
seterusnya yang fokus masalahnya adalah tentang keindahan.
Plato (400-500 SM)
misalnya, dalam dialog-dialognya di dalam Republic (380 SM) mempertentangkan
antara seni (art) dan seniman (artist). “Bunga yang indah”
menurutnya adalah tiruan dari bentuk “universal”(gagasan manusia di alam
Illahi), “fisik bunga” adalah satu
langkah pemindahan dari “realitas bentuk
asal Illahi”sedangkan “gambar bunga” adalah langkah kedua, yaitu
pemindahan dari “fisik bunga” ke “gambar”. Artinya seniman memiliki dua langkah
pengetahuan, seni dalam hal ini menurut Plato “sebuah kegilaan” seniman untuk
memindahkan satu realitas ke realitas lain yang asalnya “realitas
Illahi”(sebagian ahli menyebut teori ini
sebagai teori metafisik), bahwa keindahan “ideal” itu ada “di luar fisik”yang terlihat[1].
Aristotle,
mengkritik teori itu dalam tulisannya Poetics (sekitar 330 SM).
Menurutnya, seni itu bukan semata imitasi, tetapi “representasi (penggambaran).
Sebagai contoh, sebuah syair atau drama tentang kepahlawanan adalah sebuah
“representasi artistik” (mimesis) manusia tentang perang, bukanlah untuk
menciptakan atau meniru realitas yang sebenarnya (peperangan itu). “Artistic”
(artistik) artinya sesuatu yang “baik” dalam karya seni (kata sifat) yang
merupakan ciri khas karya seni yang memiliki tiga sifat (1) selera, (2) skill,
dan (3) imajinasi. Apa yang digambarkannya seniman adalah sebuah gambaran yang
justru dapat memberi kesenangan kepada penonton. Seniman memang peniru, tetapi yang ditiru (mimesis) itu mengandung
aspek “artistik”. Oleh orang Yunani kuno, aspek artistik dipikirkan, dicari,
dan dirumuskan. Rumusan artistik populer
adalah proporsi untuk patung dan arsitektur yang sering disebut dengan istilah “golden section” (perbandingan
keemasan). Banyak ahli seni yang membahas keindahan dan seni yang terpaut
dengan teori-teori yang dikemukakannya,
di antaranya adalah, Immanuel
Kant, Leo Tolstoy dan sebagainya yang mengemukakan teori-teorinya tentang seni
(lihat tabel 8.1).
Teori-teori klassik umumnya membahas
seni dari tiga sisi yaitu 1) seniman (artist), 2) karya seni
(work of art) dan 3) pengamat (user dan audience).
Ketiga unsur ini dipengaruhi oleh aspek
kultur dan sejarah sosial (Sumardjo, Yakob, 1995-6). Salah satu hal yang
penting dibicarakan ialah bagaimana manusia mempersepsi dan atau memahami
keindahan seni.
Walaupun yang
dipersoalkan adalah masalah yang sama, cara melihatnya masalah ini pada teori
seni modern sudah sangat berlainan. Atmazaki (2007), menjelaskan teori sastra modern yang mungkin mirip
dengan teori seni rupa dalam hal mengungkap makna seni. Menurut
Atmazaki di samping ketiga unsur di atas, ada unsur utama yang
mengikatnya yaitu “Universum” atau “kosmologi”. Demikian juga pendapat Sumardjo (1996). Kosmos berasal dari bahasa
Yunani “kosmos” = order yang memerintah yang mengatur, maksudnya adalah “alam
pikiran manusia, “universum” (the universe thought of as an ordered and
integrated whole ). Jadi, baik seniman, karya seni maupun pengamat seni
sebenarnya dipengaruhi oleh alam pikiran manusia, sosialnya dan kebudayaannya
(termasuk pendidikannya).
Dari sisi seniman,
seni sering disebut sebagai medium untuk menyampaikan ungkapan (ekspresi)-nya.
Teori ini dikemukakan oleh Leo Nikolayevich Tolstoy (Gie, The Liang, 1975).
Susanne K. Langer (1895-1985) mengemukakan teori simbol yang diekspresikan
melalui seni dalam bukunya Philosophy
in a New Key: A Study of the Symbolism of Reason, Rite and Art (1942).
Dari sisi karya
seni, Herbert Read (Sir Herbert Edward Read) (1893-1968) mengemukakan ekspresi
itu adalah menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Dia banyak menulis buku
antara lain Form in Modern Poetry (1932), The Philosophy of Modern
Art (1952) dan In Education
Through Art (1943),
Karl Marx (dalam
Walker, 1989) melihat karya kreatif manusia
itu sebagai komoditi, atau artefak konsumsi yang dipuja-puja (fetish)
oleh komunitas tertentu dan mungkin tidak dikenal atau ditolak oleh komunitas
lain.
Dari sisi ilmu lain,
filsuf, psikolog dan pendidik Amerika John Dewey (1859-1952), menulis buku Democracy
and Education (1916), Art as Experience (1934), Logic: The Theory
of Inquiry (1938), menjelaskan pentingnya seni dalam dunia pendidikan
sebagai sarana untuk pengembangan kreativitas dan kebebasan manusia secara
demokratis, seni itu dapat “memerdekakan manusia” sebab dipakai untuk
menyatakan eksistensi dirinya.
Dari sisi perkembangan mental anak
manusia, Victor Lowenfeld pada tahun (1947) menulis buku Creative And
Mental Growth. Penelitiannya mengungkapkan, adanya anak “tipe visual”
(logis) dan anak tipe emosional
(ekspresif) dan atau campuran, berikut tahapan kreativitas anak mulai dari
tahap corengan (2-4 tahun), pra skema (4-6 tahun), masa skema 6-9 tahun),
realis-awal (9-11 tahun), masa realisme-semu/“the pseudorealistic stage”
(11-13 tahun). Uraian lebih dalam yaitu pada
bagian Bab I.F.3.g akan di bahas, bagaimana akhirnya seni dipakai untuk tujuan kependidikan
dan pembelajaran, misalnya tulisan Herbert Read, tentang “Education Through Art”, yang akhirnya
menimbulkan dualisme dalam tujuan pendidikan seni.
Pandangan
pemikir-pemikir Barat ini secara tidak langsung , ikut mempengaruhi para ahli
pendidik seni di Indonesia, misalnya (Suryahadi, 2008:4) menyatakan sebagai
berikut.
“Dalam belajar seni rupa, ada beberapa hal pokok yang harus dikuasai dan dimiliki, yakni pertama, kepekaan estetik atau keindahan, keterampilan teknik dan imajinasi kreatif. Kepekaan estetik atau rasa keindahan harus dimiliki oleh setiap orang yang memilih profesi bidang kesenian karena inti dari seni adalah keindahan.”
Oleh karena
teori-teori seni di bidang pendidikan seni berusaha masuk kedalam bidang psikologi, akibatnya akan menanggung
resiko akan bertemu dengan bidang lain dengan
maksud yang sama, yaitu membahas tentang jiwa manusia. Robinson (2002) misalnya
berpendapat bahwa imajinasi kreatif seni itu bukan monopoli bidang seni, sebab bisa juga melalui
kegiatan matematika, fisika, teknologi dan bidang lainnya (yang bisa disatukan
dan tidak terkotak-kotak). Artinya, manusia tidak hanya berkreasi melalui seni,
tetapi juga melalui fisika, teknologi
dan seterusnya, walaupun caranya berlainan.
Pandangan bahwa
imajinasi kreatif hanya dalam bidang
seni seperti itu katanya adalah pandangan klise dan bisa menyesatkan, seperti
yang ditulis Robinson[2] berikut ini.
“Salah satu dari permasalahan dalam
sistem bidang pendidikan seni adalah bahwa pendidikan itu sudah sampai
kepada sebuah pandangan klise. Seniman dianggap bertujuan untuk menjadi
(manusia) kreatif dan hanya
memperhatikan masalah perasaan (felling) dan nilai-nilai; sebaliknya ilmuwan dianggap orang yang
objektif dan memfokuskan diri pada
fakta-fakta. Ini adalah sebuah
karikatur yang mengerikan. Salah satu dari langkah kita yang mungkin dilakukan
untuk masa depan adalah untuk menyatukan
kembali antara seni dan ilmu pengetahuan
dan teknologi dalam pelaksanaan pendidikan dan
diperlukan dukungan untuk memperkaya pengembangan bidang pendidikan ini.
Anehnya, di luar sistem persekolahan atau pendidikan itu, hubungan antara seni,
ilmu dan teknologi sangat luas dan berlimpah-limpah. Semakin kita dapat melihat
diri kita dalam bidang seni, sebagai bagian dari suatu pergerakan intelektual
yang lebih luas, semakin ada kesempatan
kita untuk membuat perubahan di dalam
pendidikan seni.”
Teori-teori lain yang
berdasarkan ilmu sejarah sosial dan kultur, juga dapat memberikan
pandangannya lain tentang seni. Claire Holt (1967) mengemukakan teori
perkembangan seni di Asia yang berangkat dari teori perubahan budaya (continue
and change), pendapat ini disokong oleh
Jhon Clark (1998) yang membahas seni di Asia dan Roxanna Waterson (1990)
yang membahas seni bangunan di Asia Tenggara. Dan ada pula yang melihat bukan
dari konsep kontinuitas budaya,
tetapi dari konsep transformasi budaya (Habermas, Scahari, dsb). Pada
dasarnya masing-masing konsep dan teori itu memiliki dasar filosofis yang
berbeda-beda. Selain dari uraian di atas, banyak sekali penulis buku lainnya
yang mengemukakan pendapatnya, yang tidak dapat dikemukakan satu persatu dalam uraian ini.
Teori Tentang Seni Rupa (Theory
about Art)
Menurut penulis teori
seni rupa itu ada dalam dua core besar yaitu teori tentang seni (“Theory about Art” ) dan teori di dalam seni (Theory in
Arts).
“Theory about Art”
bersifat memaparkan “what is art”, atau apakah seni itu atau apakah seni
rupa itu dan fungsinya dalam kehidupan manusia, misalnya seni dalam pendidikan,
apa fungsi seni itu dalam dunia pendidikan?. Artinya, teori ini lahir menurut
posisi teoretis penulis dan paradigma
yang dianutnya yang hanya berlaku
pada posisi teoritis berikut aplikasinya. Menurut pendapat penulis teori ini
cenderung berfungsi hanya untuk
memberi penjelasan (eksplanasi) apa seni dan seni rupa itu pada posisi
bidang teoritisnya. Dapat disimpulkan
teori-teori yang lahir dari teori tentang
seni (“Theory about Art” ) itu sangat luas.
Ilmu filsafat misalnya,
menjelaskan dari sudut filsafat (Lihat buku The Liang Gie, 1975. Filsafat
Keindahan). Gie, secara rinci menjelaskan apa seni itu dari sudut filsafat
dan penulis ini menyimpulkan bahwa kajian estetik seperti itu berguna untuk
kritik seni (respon kritik).
Teori pendidikan seni misalnya,
mencoba untuk menjelaskan peran seni rupa dalam pendidikan. Sebaliknya, teori
pengajaran menjelaskan bagaimana cara mengajar di bidang seni rupa. Teori-teori
tentang seni rupa adalah untuk menjelaskan apa seni dan bagaimana seni rupa
itu, kedudukan dan peran seni itu dalam berbagai aspek, seperti, filsafat,
ekonomi, sosial dan budaya dan pendidikan seni.
Umumnya “teori tentang
seni“(“Theory about Art” ) bukanlah
semata untuk praktik seni “an
sich”. Tetapi praktik di
bidang masing-masing ilmu itu. Yang termasuk teori tentang seni rupa itu
banyak jenisnya, diantaranya akan sedikit di bahas adalah: 1. Teori tentang Seni Rupa di abad ke 20-21-an, 2. Teori Seni tentang
Sosiologi Seni, 3. Teori seni tentang Respon Kritik dan Respon Estetik, 4.
Teori Seni tentang Berkarya dan Penelitian, 5. Teori Seni Rupa dalam dunia
Pendidikan.
Teori tentang Seni Rupa di abad ke-20
Pada teori seni
modern, perubahan yang sangat prinsipil
adalah cara pandang seniman sebagai “penangkap” atau”pemotret” estetik natural,
kepada seniman sebagai “penggubah” (pendesain) seni atau oleh Ken Wilber
disebut perubahan dari “eye of
flesh” ke “eye of mind” atau dari “mata sebagai mata”
ke “mata untuk pikiran” yang merupakan kebangkitan seni modern. [3]
Seniman mulai
melukiskan berbagai “dunia akal” dalam gubahan-gubahan simbolis, abstrak,
konseptual dan fenomenologikal dengan mengemukakan teori-teori tentang persepsi warna, bentuk, komposisi, ruang, tempat; atau
aspek-aspek emosional seperti riang, sedih, lucu, mengejutkan,
monumental dan sebagainya.
Bentuk-bentuk alam
mungkin masih dipakai sebagai perantara, tetapi tidak lagi terikat kepada
hukum-hukum perspektif, karya seni digubah sesuai dengan hipotesis yang mereka
cari.
Pada seni modern
“bukan alam” yang penting, tetapi pikiran dan kejiwaan. Sebab yang disebut
ekspresi bukan lagi “realitas” kehidupan manusia dan alam sehari-hari,
tetapi ekspresi sebuah gambaran
(figuratif), sebuah kesan sesaat (impresionistik), sebuah perlambangan
(simbolis), sebuah gambaran ilusi atau mimpi (surealistik), bahkan
sebuah gambaran abstrak (abstraksi), yang terpenting adalah bahwa
misalnya sebuah lukisan bukan lagi untuk mewakili sesuatu, tetapi realitas yang
ada di atas “kanvas itu”.
Cara “seniman” mengadakan penelitian tidak lagi
seperti kaum “naturalist” (penyelidik alam), tetapi seperti saintis, di mana studio adalah “laboratorium” untuk mengadakan
eksperimen. Kawasan studi seniman menjadi luas, seluas apa yang menjadi pusat
perhatian mereka antara lain berikut ini.
- Studi tentang kesan-kesan warna di dalam atau di luar ruang, misalnya, studi impresionistik yang diluaskan seperti, optik art, light art dan sebagainya.
- Studi aspek-aspek yang dapat memancing emosi, atau aspek penyaluran emosi melalui media tertentu.
- Studi perubahan bentuk, seperti abstraksi bentuk, deformasi bentuk, transformasi bentuk, studi bentuk-bentuk alami dan buatan.
- Studi persepsi visual terhadap bentuk dasar (yang tidak berubah dalam persepsi), elemen atribut visual (yang berubah berdasarkan persepsi).
- Studi media seni melalui medium teknologi tradisional dan mutakhir sebagai media seni, seperti penggunaan kompu-ter, material industri baru dan sebagainya.
- Studi penggabungan berbagai media (suara/bunyi, gerak, bentuk) dan sebagainya., untuk menghasilkan karya seni.
Banyak bidang yang
menjadi area studi seni rupa yang tidak dapat disebutkan satu persatu,
misalnya, pada akhir-akhir ini studi seni rupa merambah ke bidang web design, video, desain panggung dan
sebagainya.
Pada abad ke-20,
pandangan orang terhadap seni tidak lagi terfragmentaris (terkotak-kotak).
Rahasia faktor subjektifitas yang
terkait dengan estetik memang penting dan pengetahuan ini telah terkuak secara
luas.
Karya-karya seni
telah memberi manfaat yang besar dalam berbagi sisi kehidupan. Menurut penulis
yang penting adalah meretropeksi kembali
fungsi seni rupa dalam kehidupan masa kini.[4] Kita dapat
melihat bahwa seni dapat meningkatkan
kehidupan manusia (lihat Teori kebutuhan manusia dari Maslow).
Bahwa seni rupa telah
berkembang ke masalah yang lebih kompleks dalam kehidupan manusia, misalnya,
hubungan seni, sains dan teknologi, dibandingkan dengan hanya masalah
subjektifitas dalam seni yang sifatnya manual (keterampilan ).
Seni itu bisa menjadi
ajang komunikasi sosial, ekonomi dan
politik melalui internet (WEB design), dikomersialkan atau menjadi bagian dari
industri atau pendidikan, berguna untuk pembentuk suasana tempat,
peristiwa, even-even, upacara dan atau
perayaan, menghibur dan sebagainya;
berguna untuk informasi dan periklanan, untuk mengkritik keadaan sosial;
membentuk atau mengatur benda-benda menjadi artistik. Seni rupa dapat dilihat dan berfungsi sebagai
pembentuk lingkungan fisik di mana manusia hidup, misalnya, penataan interior,
penataan taman kota, penataan interior mesjid, penataan bangunan modern, yang tidak akan lahir tanpa pengetahuan dan
sentuhan seni rupa.
Jadi pada abad ke -20
dan ke-21, seni atau khususnya seni rupa,
tidak lagi dalam kerangka memikirkan ekspresi individu semata, tetapi
juga dilihat berfungsi sosial dan memperbaiki lingkungan hidup yang bermakna,
misalnya, manusia memanfaatkannya sebagai bagian perjuangan hidup dalam
komunitas (Hauser, 1982, Florida, 2002). Contohnya pembuatan film, sinetron atau animasi yang memberikan
pekerjaan dan hiburan kepada banyak orang, maupun yang terlibat dalam kegiatan
itu. Contoh lain, seorang pakar di bidang sejarah seni rupa, bisa saja terlibat
dalam pembuatan film, pembuatan majalah
atau buku, atau pembuatan iklan.
Oleh Couto, (2008 b)
disebutkan bahwa seni adalah modal budaya yang kreatif, bahkan seni dianggap modalitas
industri berbasis budaya. Konsep baru yang dikembangkan adalah seni itu sebagai
dasar (basis) industri abad ke depan sesudah abad ke-20. Gaimana pengaruh seni
musik yang nilai komersialisasinya sangat tinggi (lihat kasus kematian penyanyi
Michel Jackson, Juli, 2009). Namun, ada pula seni itu yang kurang lazim di
industrialisasikan.
Barrett, dalam The
Age Review, (5 February, 2005: 8), mengakui bahwa seni adalah sebagai
bagian dari cultural capital (modal budaya). Dan sejak lama Hauser (1982:134-185) mengatakan seni sebagai
bagian “intellegentsia”, bahkan “kekayaan”(property) sebuah masyarakat
atau komunitas.
Bagi yang ingin
memperdalam pemahaman seni sebagai bagian ekonomi kreatif dapat melihat pada
situs web, misalnya, pada Creative Economy Programme Website berbagai
negara, termasuk, Singapura, Hongkong, Australia, Inggris (UK) dan sebagainya. Di
negara Inggris misalnya, sebuah nilai ekspresi (expresive values),
didefinisikan sebagai bagian dari industri kreatif, yang dimaksud nilai
ekspresi itu adalah nilai estetik, nilai spirit, nilai simbol, nilai sosial,
makna kultur dan nilai sejarah, dsb) (lihat : pasal 4, Definisi Ekonomi
Kreatif, pemerintah Inggris) dan nilai ekspresi itu tidak hanya milik seni
rupa. Sebab, dia ada pada semua jenis seni.
Oleh karena seni rupa
bagian dari sosial, budaya dan ekonomi, yang sepadan atau yang memiliki tujuan
yang sama dengan seni rupa sangat banyak cabang dan rantingnya (Wikipedia,
2008). Cabang-cabang yang dimaksud
antara lain : arsitektur, seni visual (visual arts), “craft”,
tari, seni dekoratif, desain, gambar,
film, bahasa, literatur, musik, opera, seni lukis, fotografi, puisi,
patung, teater, seni pertunjukan dan banyak jenis kegiatan seni lainnya yang kehadirannya sesuai
dengan lokasi, budaya dan masyarakat pendukungnya.
Sesuai dengan uraian
di atas, ditinjau dari segi materinya
teori dalam seni rupa itu dapat diklassifikasikan dalam empat kelompok besar ilmu pengetahuan seni
yaitu :
- Teori yang mencoba mendeskripsikan bagaimana konsep-konsep cara produksi (production), teknologi dan tampilan (performance) seni, termasuk teknologi, baik yang lama dan terbaru misalnya melalui komputer.
- Teori yang mencoba mendeskripsikan tentang kaitan seni rupa dengan dengan kebudayaan (kultur),dan sejarah sosial manusia.
- Teori yang mencoba mendeskripsikan respon kritik terhadap seni rupa.
- 4) Teori yang mencoba mendeskripsikan respon estetik manusia dalam seni.
Sebagai contoh dalam aspek produksi seni rupa, ahli seni
rupa mencari prinsip-prinsip dasar yang
dapat memberikan suatu pemahaman umum tentang elemen dasar tata bentuk seni
rupa. Untuk menyokong produksi diperlukan teori-teori seperti teori persepsi, teori bentuk, pengetahuan
tentang material dan alat baik yang tradisional
maupun modern, di samping aspek setting
seni, yaitu pengetahuan tentang penempatannya (site), pameran (display)
dan pagelaran (performance) seni,
antara lain di mana ditempatkan dan untuk siapa. Secara khusus, teori seni rupa
dapat mencakup bagian pengetahuan yang menjelaskan pengertian-pengertian dasar
tentang seni-rupa, unsur-unsur yang membangun karya seni rupa, jenis-jenis seni
rupa dan perkembangan serta kerangka pemikiran para ahli tentang apa yang
mereka namakan seni rupa
Teori yang mencoba
mendeskripsikan tentang kaitan seni rupa
dengan dengan kebudayaan (kultur), dan sejarah sosial manusia. Misalnya mencoba
untuk menjelaskan bagaimana bentuk seni rupa itu dipengaruhi oleh selera publik yang selalu berubah,
baik dari aspek kebudayaan, politik,
agama dan sejarah. Teori respon estetik dapat memasuki wilayah teori resepsi
(penerimaan publik/sosial/pengamat seni).
Sejarah seni rupa adalah
bagian pengetahuan seni rupa yang menjelaskan perkembangan karya seni rupa,
tokoh-tokohnya dan ciri-ciri masing-masing tahap perkembangan tersebut. Dalam perkembangan
seni rupa terlihat karya-karya yang menonjol, aliran-aliran yang mendasari
suatu karya, situasi sosial masyarakat dan ideologinya yang semuanya
berpengaruh terhadap perkembangan karya seni rupa.
Kritik seni rupa (respon
kritik) adalah bagian pengetahuan seni rupa yang memperbincangkan tentang
pemahaman, penghayatan, penafsiran dan penilaian terhadap karya seni rupa yang
tidak semata dilakukan oleh pengamat, tetapi juga oleh orang biasa.
Semua bagian teori seni rupa
tersebut dapat saling berkaitan. Cara produksi, penampilannya tidak bisa
dilepaskan dari aspek kultur, pendidikan maupun penilaian. Teori seni rupa
tidak dapat dipisahkan dari sejarah dan kritik seni rupa; atau sebaliknya
sejarah seni rupa tidak dapat dipisahkan dari teori dan kritik seni rupa.
Apakah teori seni rupa itu hanya bersifat pemikiran
dan renungan (spekulatif)? Atau berdasarkan kepada manusia sebagai
subjek (subjektif)? Teori seni umumnya berdasar kepada konsep-konsep seni yang terkait dengan eksplanasi (penjelasan).
Ada teori yang dipakai dalam rangka
tuntunan praktik, atau pencerahan (iluminasi) suatu karya seni. Membahas semua persoalan
itu tidak cukup dalam uraian
ini ini, oleh karena itu, ada pembatasan dan
reduksi.
Teori tentang Seni dalam Sosiologi Seni
Istilah “sosiologi seni” (sociology of art) digunakan dari
sosiologi seni-seni (sociology of arts)
atau sosiologi seni dan literatur (sociology
of art and literature), sedangkan sosiologi seni-seni visual relatif jarang
dikembangkan daripada sosiologi literatur, drama, atau film. Implikasinya sifat
generik dari bidang kajian ini mau tidak
mau menimbulkan kesulitan-kesulitan dalam analisisnya, karena
tidak selalu terdapat hubungan
linier antara musik dan novel dengan konteks atau politiknya (Wolff, 2000:
41), tetapi demikian sosiologi seni, dapat dikatakan sebagai wilayah kajian
yang cair, karena di dalamnya tidak ada suatu model analasis atau teori yang
dominan.
Beberapa pendekatan yang banyak digunakan di
Eropa dan Amerika memang ada perbedaaan. Sebagai contoh, di Inggris dan Eropa
lainnya, pendekatan marxis dan nonmarxis masih ada pengaruhnya hingga tahun
1970-an. Sebaliknya sosiologi seni di Amerika Serikat yang sering kali
dinamakan sebagai pendekatan produksi-budaya (production-of-culture)
atau mainstream analisis
sosiologi, memusatkan diri
perhatiannya pada institusi dan
organisasi produksi-budaya (Kamerman dan Martorella, 1983; Becker, 1982).
Dalam tradisi Marxis para ahli seni bergerak
dari
- metafora-metafora sederhana yakni dasar-dasar dan suprastruktur yang mengandung reduksionis/pemiskinan ekonomi terhadap budaya, dan
- beranjak dari literatur-literatur serta seni semata-mata sebagai “pencerminan” faktor kelas sosial atau kelas ekonomi dalam masyarakat. Karena itu karya-karya pengarang Gramsci, Adorno, dan Althusser menjadi penting dalam penyempurnaan model yang bertumpu pada kelompok sosial
- antara kesadaran individual dan pengalaman spesifik tekstual (Wolff, 2000: 41-42).
Hal
ini berbeda dengan pendekatan
sosiologi seni sebagai ‘produksi-budaya’
yang sering mendapat kritik
karena dianggap mengabaikan
produk budaya itu
sendiri. Pendekatan
‘produksi-budaya’ (production-of-culture)
memfokuskan pada masalah
hubungan- hubungan sosial di mana karya seni itu diproduksi.
Para ahli sosiologi seni melihat peranan para
“penjaga gawang” seperti; para penerbit, kritikus, pemilik galeri dalam
memperantarai seniman dan masyarakat, hubungan-hubungan sosial dan proses
pengambilan keputusan di suatu lembaga akademi seni atau perusahaan opera,
serta mengenai hubungan antara produk-produk budaya tertentu seperti fotografi
di mana karya itu dibuat (Rosenblum, 1978; Alder, 1979).
Kebanyakan yang menjadi fokus kajiannya di
kebanyakan negara kecuali di Inggeris (studi literatur), yakni pada seni-seni
pertunjukkan yang menyajikan kompleksitas interaksi sosial yang dianalisis.
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya,
sosiologi seni adalah
suatu ilmu pengetahuan yang mempelajari perilaku individu, sekelompok
orang atau masyarakat yang dipengaruhi
oleh karya seni tertentu atau sebaliknya. Yaitu
karya-karya seni yang menciptakan situasi sosial tertentu
dengan pendekatan-pendekatan secara komprehensif, baik yang bertujuan untuk
analisis sosial atau untuk masukan
kepada para pelaku seni sebagai dasar untuk memecahkan permasalahan,
atau upaya untuk mencari jalan keluar melalui pendekatan seni
yang baru, ataupun kebijakan sosial baru. Seni, hakikatnya tidak
terlepas dari sumberdaya, manusia, sistem nilai, teknologi dan dinamika sosial
yang tengah berlangsung. Oleh karena itu, dalam obyek kajian Sosiologi seni, rona kegiatan dan keilmuan yang
berdekatan senantiasa harus menjadi pertimbangan utama.
Sosiologi seni adalah cabang sosiologi yang bersangkutan dengan dunia
sosial seni dan estetika. Mempelajari sosiologi seni sepanjang sejarah adalah
studi tentang sejarah sosial seni, bagaimana berbagai masyarakat memberikan
kontribusi terhadap munculnya seniman tertentu. Pada tahun 1970 dalam bukunya Meaning and Expression: Toward a Sociology of Art, Hanna Deinhard memberikan fitur
mendefinisikan sosiologi seni sbb. (hal 3):
"Titik tolak
sosiologi seni adalah pertanyaan: Bagaimana sebenarnya karya seni selalu
berasal atau produk dari aktivitas
manusia dalam masyarakat atau fungsi
tertentu dan waktu tertentu, meskipun
tidak selalu diproduksi sebagai 'karya seni' – dan dapat hidup di luar waktunya
dan tampak ekspresif dan bermakna dalam zaman dan masyarakat yang sama sekali
berbeda? Dengan kata lain, bagaimana bisa suatu zaman
dan masyarakat yang memproduksinya mengakui sebuah karya? "
Gambaran mengenai sosiologi seni dapat
berbentuk kajian seni sebagai alat
persuasi dan propaganda sosial, dan atau
obyek estetika yang dihargai, seni
sebagai komodi/ekonomi dan atau untuk pengakuan sebuah status sosial. Kelihatan
seni dapat memerankan banyak peran dalam masyarakat. Memandang seni secara secara sosiologis akan masuk kepada eksplorasi sifat seni “dalam masyarakat"
yaitu melihat bagaimana benda-benda seni
diproduksi, didistribusikan, dan dikonsumsi. Perspektif teoretis, akan terkait
dengan contoh-contoh historis dan
kontemporer dari berbagai media artistik, dengan melihat pada fenomena seni
misalnya pada musik, lukisan,
arsitektur, dan fotografi. Hal ini berguna untuk mengeksplorasi interaksi
antara seni dan masyarakat, serta keterkaitan antara seni yang berbeda itu.
Peran teknologi dalam berbagai seni adalah
tema lain dalam konteks hubungan seni dengan sosial. Reproduksi oleh
teknologi, misalnya dalam kegiatan fotografi, lukisan dan rekaman
musik, memungkinkan untuk
mengkonsumsi' karya seni dalam
waktu dan tempat yang sangat berbeda dari aslinya. Sehingga dapat mengubah
makna aslinya, sesuai dengan tujuan penciptaan awalnya.
Teknologi digital terbaru telah memiliki
implikasi lebih lanjut. Dengan demikian fokus dari sosiologi seni ini tidak
terbatas pada 'seni rupa', tetapi membahas aspek 'budaya populer'. Hubungan
antara mereka dalam hal hirarki menimbulkan masalah lebih lanjut bagi kita
untuk membahasnya. Agaknya menarik juga, bahwa sosiologi seni itu agak
terlambat dikaji dibanding bidang lain.
Epistemologi[5]
dan Metodologi dalam Sosiologi Seni: Tantangan untuk Abad Kedua Puluh Satu
Dari contoh di atas jelaslah bahwa masalah
sosiologi seni itu sangat luas. Contoh keluasan bidang sosiologi seni dapat
dilihat lagi dalam seminar Internasional
Sosiologi Seni yang di laksanakan
di Wina (Austria) bulan September 2012, terdapat topik-topik sebagai berikut.[6]
- Pembahasan domain (wilayah) tertentu dalam seni, termasuk arsitektur (architecture), perencanaan kota (urban planning), seni terapan (applied arts), seni dalam ranah kebudayaan populer (seperti film, televisi, dan musik populer) serta jenis seni tradisional 'tinggi' (traditional 'high' arts). Misalnya musik, seni visual, sastra, teater dan tari.
- Proses produksi, distribusi promosi, dan komersialisasi karya seni termasuk dampak teknologi, sarana produksi baru, bentuk kolaborasi, pembentukan teori seni, pengembangan pasar seni, dan proses evaluasi.
- Proses presentasi dan mediasi seni termasuk kritik seni dan publisitas seni di semua domain dari seni, museum, teater, konser, studi tentang audiens, studi tentang sikap penonton, dan program pendidikan.
- Pengembangan profesi di bidang seni termasuk kelompok amatir dan semi-amatir, pendidikan kejuruan, sekolah seni, diferensiasi profesional, pendapatan artistik, reputasi artistik, dan kaitannya dengan manajemen seni.
- Organisasi Seni, bukan hanya seperti museum, teater tetapi juga festival dan serikat seniman, penyelidikan perkembangan sejarah, hubungan kekuasaan, efek, pemilihan program, proses dalam organisasi seperti kepemimpinan.
- Kebijakan Seni (terutama aspek sosiologis daripadanya), termasuk masalah hukum, publik dan wacana dana swasta, dan debat publik misalnya dalam hal klasifikasi seni, seni dan simbol-simbol keagamaan, seni dan seksualitas, seni dan rasisme. Sensor, analisis dampak seni, keberlanjutan seni, pendekatan melobi, kementerian kebudayaan atau badan pemerintah lainnya yang terkait seni.
- Efek Sosial dan kognitif dari seni, termasuk: seni dan pembentukan identitas-identitas seni, seni dan tubuh manusia, pengalaman estetik, seni dan etika, coding dan decoding, praktik gender dan yang terkait, aspek etnografis, seni untuk perubahan/transformasi sosial, seni di masyarakat dan seni sebagai bagian dari budaya perkotaan.
- Seni dari perspektif macrosociological termasuk: (de-) institusionalisasi, economisation, globalisasi vs lokalisme, digitalisasi, mediamorphosis (perubahan media), seni dan kohesi sosial, seni dan etika, seni dan hegemoni dan seni dan kekuasaan.
- Pengembangan teori bidang sosiologi seni seperti produksi dengan pendekatan budaya, pasca-strukturalisme, teori medan, teori sistem, praksiologi serta isu-isu metodologis.
- Dapat disimpulkan teori tentang seni dalam domain sosiologi seni adalah melihat hubungan seni dengan sosial, teori-teori tentang ini masih berkembang dan dikembangkan oleh ahli-ahli sosiologi seni. Sebagian teori ini nanti di bahas pada bab VI. Tentang hubungan seni dengan sejarah, sosial dan budaya.
Teori di dalam Seni Rupa ( Theory in Arts)
Teori di dalam seni
yaitu teori apa saja yang dipakai dalam praktik berkarya atau teori ini cenderung
untuk diaplikasikan.[7]
Di antaranya
yang terpenting adalah teori-teori
dasar visual, teori bentuk, teori perspektif, teori warna, teori
persepsi, teori komunikasi, teori psikologi bentuk, teori proporsi canon, teori
gaze, teori simbol dan semiotika dan sebagainya. Banyak juga teori-teori di
luar bidang seni rupa ikut menyumbang lahirnya karya seni dan gaya seni
tertentu, seperti teori-teori dalam ilmu psikologi.
Misalnya, teori
fisika relativitas Enstein, menyumbang lahirnya
seni futurisme yang berdasarkan dimensi waktu. Teori psikologi analisis
Freud, melahirkan gaya seni lukis surealisme dan seterusnya. Teori anatomi
tubuh manusia misalnya, diperlukan saat menggambarkan bentuk tubuh manusia. Untuk
menggambarkan ruang pada bidang datar diperlukan teori perspektif. Teori
proposi canon, misalnya, diperlukan saat seniman ingin mengatur medium
seni berdasarkan proporsi matematis. Teori gaze diperlukan saat seniman ingin
memperlihatkan bagaimana seharusnya sebuah pose manusia di tampilkan, misalnya,
dalam seni film atau animasi.
Teori dalam seni rupa
dapat menuntun dalam praktik dan menghasilkan karya seni. Oleh karena itu,
dalam bidang pengajaran, penelitian dan evaluasi pendidikan seni rupa teori-teori
semacam ini sering dipakai dalam mengukur keberhasilan seorang siswa atau
seniman profesional dalam berkarya. Misalnya, apakah tepat proporsi sebuah
figur atau anatomi yang digambarkan. Apakah cocok antara konsep yang diutarakan
dengan tampilan karyanya. Apakah efektif
medium yang digunakan untuk tujuan ekspresi tertentu.
Dalam mencapai tujuan
ekspresi juga dibahas aspek keterampilan nya dalam teknologi, material dan
bahan yang dipakai, serta bagaimana caranya seni itu di kemas, dipamerkan,
didisplay dan digelar sehingga dapat di konsumsi oleh publik. Ini juga sebuah
keterampilan seniman. Keterampilan seniman
juga terlihat saat bagaimana dia mensosialisasikan dan membudayakan konsep-konsep barunya dari karyanya ke publik.
Teori atau konsep
seni dapat dikembangkan lagi dalam konteks yang lebih luas misalnya,
teori-teori tentang situasi/tempat, ruang , dan aksi seni untuk pemakai.
Teori tempat
misalnya, menjelaskan tempat sebagai
“peta ingatan” (mental map) warga di sebuah kota. Sebuah patung
misalnya dapat menjadi penanda tempat dan atau “ sense of place” dan
atau landmark (Kevin Lynch, 1960). Teori-teori seni rupa semakin komplek
dan rumit, secara akademis konsep-konsep atau teori biasanya dirumuskan
terlebih dahulu sebelum berkarya.
Daftar Kepustakaan
- Academic Standards for the Arts and Humanities, Pennsylvania Department of Education, p.1-11, http://www//edupensylvania.com. 18 Juli 2002
- Al-Hasan, Ahmad & Hill, Donal R.1986. Teknologi dalam Islam. Bandung: Penerbit Mizan
- Anarson,H. Moderen Art: Painting, Sculpture, Architecture. New York: Harry N.Abrams, Inc.Publiher
- Barrett, Estelle. 2007. “Creative Arts Practice, Creative Indus-ries Method and Process as Cultural Capital”, http://www.gu.edu.au/school/art/text/speciss/issue3/barrett.htm,Desember, 2007
- Bourdieu, Pierre. 1990. The Logic of Practice, Oxford: Polity Press.
- Barrett.E. 2004. ‘What Does It Meme? The Exegesis as Valo-risation and Validation Of Creative Arts Research’ TEXT, Special Issue Number 3 April. http://www.gu.edu.au/school/art/text/speciss/issue3/barrett.htm Beckermann,
- Clark, John. 1998. Moderen Asian Art, Sydney: Craftsman House.
- Couto, Nasbahry. 2002. Dinamika Seni Dan Teknologi di Bidang Seni RupaDaerah Sumatera Barat , (makalah Seminar) , kerjasama Lemlit UNP Padang dengan kementerian Riset dan Teknologi RI , tanggal 26-10-2002 di Universitas Negeri Padang
- --------------------. 2008. Sebuah Perenungan Terhadap Ke-cendrungan Seni dan Budaya: Praktik Seni Berbasis Riset, dan KISS (Keep it simple, and stupid), http://belanak.wordpress.com, artikel, Komunitas Belanak, Maret , 2008
- ----------------------.2008. Era Revolusi Digital dalam De-sain Grafis untuk Mendukung Industri dan Pendi-dikan Kreatif, Komunitas Seni Belanak, http://belanak.wordpress.com, artikel, Komunitas Belanak, Januari , 2008
- Feldman, E.B. 1967. Art As Image & Idea, New Yersey: Pren-tice Hall. Inc.
- Grenfell, Michael and James David, et al . 1998. Bourdieu and Education: Acts of Practical Theory, London, Falmer Press
- Jones, Cristopher, 1979, Design Method; Seeds Of Human Future, Toronto: Jhon Wiley
- Johnson, H.D. 2007. Realistic Art Tecnique and Style, http://www info@howarddavidjohnson.com
- Kranz, Stewart. 1974. Art and technology,
- Kurt, Herberts. 1958. Artists Technique
[1] Yang dimaksud di luar alam fisik adalah dunia Ilahi, dunia sorga, yaitu dunia yang tidak terlihat. Dianggap, bentuk-bentuk
ciptaan Ilahi adalah yang paling sempurna, seniman hanya menirunya. Kepercayaan
seperti ini juga mempengaruhi dunia seni Islam di kemudian hari, setelah zaman
Yunani Kuno, melalui penafsiran-penafsiran pemikiran Yunani.
[2] Lihat Robinson, Ken. 2002. dalam Art, Artist & Teaching,
(Summary from the symposium hosted by Bennington College and the J. Paul Getty
Trust at Bennington College, Vermont June 23–26, 2002 ( hal.2)
[3] Lihat di : http://en.wikiquote.org/wiki/Ken_Wilber,
tentang ken Wilber lihat di http://ahmadsamantho.wordpress.com/2011/04/26/manusia-sebagai-spektrum-telaah-atas-pemikiran-psikologi-transpersonal-ken-wilber-2/
[4] (Lih. Couto, 2008, dalam buku Dimensi
Teknologi dalam Seni Rupa)
[5] Epistemologi adalah cabang
ilmu filsafat tt dasar-dasar dan batas-batas pengetahuan
[6]
http://ebookbrowse.com/call-for-papers-vienna-5-8-sept-2012-esa-rn021-pdf-d314056890
[7] Teori dalam seni rupa ini terlihat dengan jelas pada babV saat membahas
Medium ide seni rupa