Nasbahry Couto
Isu-isu sekitar gaya arsitektur, umumnya hanya dikenal oleh orang “dalam”. Yaitu para partisipan seperti desainer atau arsitek. Partisipan yang lain adalah komentator dan pemerhati bangunan dan lingkungan, para penulis kritik arsitektur, yang tentu terbatas jumlahnya. Partisipan ini tidak mutlak selalu arsitek, bisa saja mereka adalah pemerhati yang memahami sejarah dan teori arsitektur. Seperti Charles Jenk, tokoh posmo yang melahirkan konsep enam tradisi arsitektur. Dia adalah seorang penulis dan pemerhati budaya ketimbang arsitek. Jadi kira-kira dalam posisi seperti ini pula tulisan ini ditulis. Dan muncul seadanya. Namun, tidak lupa pula penulis ucapkan terimakasih kepada sahabat penulis. Yaitu saudara Afriva Khaidir, MAPA., PhD. dari bagian perencanaan di UNP. Yang mendorong penulis untuk menyusun tulisan ini. Maksud lain diantaranya adalah untuk koran kampus Ganto, yang penulis maksud juga dimuat di blog penulis. Ada pula pembicaraan, bahwa dalam rangka peresmian pemakaian beberapa gedung baru di Universitas negeri Padang, rasanya perlu muncul tulisan seperti ini yang diprediksi cendrung bergaya arsitektur posmodern (posmo). Sebelumnya, pembicaraan mengenai bangunan-bangunan ini mungkin hanya sebatas fungsi, sedangkan dari sisi arsitekturnya tidak terperhatikan atau diperbincangkan.
Latar Belakang posmodern
Seperti yang telah
menjadi diskusi klasik dan diketahui, faktor pertama yang melatarbelakangi
munculnya posmo adalah gerakan post-Structuralism.
Yaitu ketidakyakinan terhadap dominasi mainstream
dari kultur yang lebih besar. Pada saat munculnya kekuatan-kekuatan baru dari
budaya pinggiran yang lebih kecil. Kecaman terhadap budaya barat adalah salah
satu bentuk dari post-strukturalisme ini. yang diantaranya memunculkan
arsitektur posmodern (posmo).
Dalam sosiologi,
antropologi dan linguistik, strukturalisme adalah metodologi dimana unsur
budaya manusia harus dipahami dalam hal hubungan mereka dengan yang lebih
besar. Yaitu sebuah sistem yang umum yang disebut struktur. Strukturalisme
adalah paham bahwa adanya struktur yang
mendasari semua hal yang dilakukan manusia. Baik yang dipikirkan maupun yang dirasakan.
Strukturalisme lahir dari keyakinan bahwa fenomena kehidupan manusia tidak akan
dimengerti, kecuali melalui keterkaitan diantara mereka. Post-strukturalisme
justru menentang hal itu. Inti dari post strukturalisme adalah penghargaan
terhadap subyek, atau eksistensi
manusia.
Faktor kedua yang
melatarbelakangi posmo adalah munculnya globalisasi di segala bidang kehidupan atau
kebudayaan global. Globalisasi dipicu oleh kemajuan teknologi berikut meledaknya produk industri dan sifat
konsumerasi. Tidak ada lagi batas-batas negara (nasional) yang jelas melalui
kekuatan korporasi. Konglomerasi mencengkeramkan kukunya melalui lintas negara.
Yang ketiga adalah kejenuhan dan kebosanan akibat industrialisasi dan berkembangnya
Teknologi Informasi. Tetapi lebih dari itu semua, yang penting lagi adalah
akibat gagalnya paham modernisme dalam mengekspresikan segi kemanusiaannya.
Misalnya munculnya lukisan-lukisan bergaya abstrak dianggap menghilangkan
dimensi kemanusiaan dalam seni. Dalam bidang arsitektur justru memuncul apa
yang disebut “arsitektur moderen” atau “international
style”, yang dianggap menghilangkan ciri
budaya Perancis, Jepang atau Amerika dan seterusnya. Sebab gaya arsitektur moderen
“international style” sama saja
bentuknya dimana-mana yaitu dalam bentuk kotak-kotak, dingin, kaku, mementingkan
fungsi, berikut sifat efesien dan ekonomisnya. Saat itu semua profesi desain
meng “amini” slogan “form follow function” atau “bentuk
mengikuti fungsi” Sebaliknya pemberian ukiran atau ornamen dianggap pemborosan
dan kejahatan. Hal ini terbalik dengan faham posmo yang muncul kemudian.
Mungkin dengan menerangkan sedikit latar belakang filosofi desain posmodern
ini, kita bisa mulai beranjak untuk memahami
apa itu arsitektur posmo.
Arsitek sebagai Source (sumber) Pesan Visual
Dalam pandangan ilmu
komunikasi source adalah sumber pesan. Yang bertindak sebagai source adalah
perancang (desainer) atau arsitek dengan konsep-konsep arsitekturnya. Sedangkan
pengamat bangunan disebut receiver sebagai penafsir atau penanggap yang akan
mengapresiasi karya-karya arsitektur. Dalam teori komunikasi dikatakan bahwa
komunikasi dapat terjadi karena adanya media (karya arstektur) dan terbaca atau tidak terbaca oleh pengamatnya melalui tanda-tanda (sign) apakah melalui tanda ikon (icon), simbol (symbol) atau tanda indeks
(indikasi), yang akan diterangkan pada bagian lain pada tulisan ini.
Seperti yang telah tercatat
dalam sejarah dan teori arsitektur, tokoh pemikir arsitektur pos-moderen itu
beragam, ada yang berasal dari penulis nonarsitek, dan ada yang dari arsitek. Yang
fenomenal misalnya Bruce Allsopp (1977) dengan konsep “format”nya. Menurutnya, arsitek
yang baik harus berangkat dari “arsitektur rakyat” yang seyogyanya memiliki
nilai ekologis, arsitektonis dan “alami” karena mengacu pada kondisi, potensi
iklim – budaya dan masyarakat lingkungannya. Menurut Bruce Allsopp kreatifitas
merancang yang tepat adalah mendesain peruntukan khusus bagi manusia yang
sesuai dengan iklim dan wilayahnya. Bahwa dalam merancang seharusnya juga melibatkan
pemikiran pengguna atau “design participation”.
Sebelumnya, konsep
posmo telah dikemukakan pula oleh Charles Jencks, yang mulai muncul sekitar
tahun 1920 sampai 1970. Dia mengemukakan, bahwa gaya arsitekur bisa dipengaruhi
oleh tradisi lokal, nasional, atau mancanegara yang memunculkan tradisi-tradisi
baru. Dia mengelompokan ide-ide arsitektur saat itu menjadi enam tradisi. Enam
tradisi itu adalah: 1). Tradisi Logis.
Tradisi ini adalah konsep desain berdasar cara berpikir sistematis, mengikuti
hukum alam dan teknologi. Teknologi adalah unsur utama tetapi harus disesuaikan
dengan keinginan masyarakatnya jika tidak ingin mengalami kejenuhan. 2) Tradisi Intuitif. Yaitu konsep desain melalui
kreatifitas dan emosi dengan hasil yang menakjubkan, tanpa tidak ambil pusing
terhadap reaksi-reaksi orang di luarnya. Kreatifitas desain ini umumnya banyak
hambatan dalam masyarakat karena tidak cocok dengan tradisi yang ada. Namun
bisa memiliki peran penting bagi arsitek untuk memperlihatkan pemikiran yang
progresif. 3) Tradisi Aktivis. Yaitu
konsep desain yang mampu memenuhi tuntutan hidup dan pemahaman masyarakat terhadap
desain karena komunikatif, selaras, serasi dengan lingkungan.4) Tradisi Idealis. Yaitu konsep arsitek yang
mementingkan desin yang berlaku umum dalam dimasyarakat dalam kurun waktu
tertentu. Gaya bangunan idealis ini mumnya klise. Misalnya gaya bangunan minang
yang harus bergonjong atau rumah gadang, dan dianggap ideal oleh orang minang. 5)
Tradisi Self-Conscious. Yaitu konsep Arsitek
yang mencoba menonjolkan karakter bangunan itu sendiri. Apakah akan mencitrakan
wibawa, feminim atau maskulin. Suatu faham yang mencoba menjembatani pemikiran
kearah verbalitas bangunan. Misalnya: sebuah bangunan pemerintahan mempunyai
bentuk, ciri dan corak pada pemerintahan jaman itu. Konsep ini biasanya
dipengaruhi dan di kendalikan oleh penguasa politik. 6.) Tradisi Unself-Conscius. Yaitu konsep arsitektur yang mencoba
menghasilkan karya-karya yang dipengaruhi pemikiran dan evaluasi ulang dalam rangka
mendukung kegiatan masyarakat dalam memperbaiki tatanan sosial, budaya, lingkungan
bukan oleh ideologi tertentu. Kelemahan ke enam tradisi ini dalam prakteknya
selalu tidak memadai, kaku bahkan tidak manusiawi, Akan tetapi ke enam konsep
tradisi Charles Jencks ini telah mampu
mempengaruhi sebagian besar lingkungan hunian dan bangunan di dunia.
Tokoh lain yang ikut meramaikan
konsep posmo dalam arsitektur adalah Michael Graves. Dia memproklamirkan konsep
ekletisisme bebas, dimana dia berpendapat saat kajian fungsi bangunan itu berakhir,
maka barulah kajian arsitektur itu dapat dimulai. Jadi dia memisahkan kajian
teknologi dengan kajian apresiasi terhadap bangunan.
Konsep yang lantang dari
arsitektur posmo adalah historisme,
yaitu keinginan untuk mendukung dan melahirkan kembali apa yang telah terjadi
pada masa lalu. Kelompok historis ingin melihat kebesaran masa lampau. Oleh
karena itu paham ini mengganggap gaya arsitektur yang berdasarkan budaya dan hiasan
gaya lama patut dihargai dan diikutsertakan dalam ungkapan desain. Gaya ini kadang
disebut dengan “vernacular architectur”
yaitu mengangkat elemen arsitektur rakyat/lokal yang bersejarah. Hal ini semata-mata
bukan ditujukan untuk arsitektur rakyat yang bersejarah dari budaya timur,
tetapi juga dari budaya barat. Penggabungan kedua elemen historis timur dan
barat ini melahirkan konsep “neo vernacular”.
Di mana keragaman budaya baik dari barat maupun timur) diolah kembali menjadi
bahasa ungkap arsitektur baru. Yang lebih ekstrim lagi adalah tokoh Robert
Venturi dimana dia benar-benar sangat anti terhadap moderenisme dalam
arsitektur.
Dapat disimpulkan
bahwa dari sisi si perancang sebagai sumber konsep arsitektur (source) terlihat desainer arsitektur
posmo berkeinginan mengadakan pendekatan pendekatan kontekstual yang meliputi,
a) sifat terbuka terhadap keinginan masyarakat (participation), b) sifat terbuka terhadap penggayaan terdahulu (historisisme), c) sifat terbuka terhadap
unsur lokal yaitu bahan, teknologi, kebiasaan, tradisi, dan selera (vernacularisme).
Sekarang tentu timbul
pertanyaan, bagaimana bahasa rupa post
moderen itu? Apakah ada ciri-ciri posmo itu pada bangunan baru di UNP
Padang.
Media Arsitektur Posmo (Bahasa Rupa Posmo)
Seperti yang
dijelaskan ahli semiotika, apa yang tampak (visual) adalah medium untuk dibaca
sebagai tanda yang bermakna. Yang dalam kontek semiotika (ilmu tanda),
tanda-tanda itu ditangkap melalui tanda ikon,
tanda simbol dan tanda indeks (indikasi).
Ikon artinya sebuah
tanda yang menyerupai sesuatu, misalnya gambar atau patung kuda adalah sebuah
tanda (sign) yang menyerupai kuda.
Sedangkan simbol adalah sebuah tanda yang maknanya berdasarkan kesepakatan
(konvensi), misalnya kata air, water, atau banyu adalah sebuah tanda
bahasa yang sesuai dengan kesepakatan
orang Indonesia, orang Inggris atau orang Jawa yang artinya sama yaitu
air. Sedangkan tanda indeks adalah tanda yang maknanya mengindikasikan sesuatu,
misalnya jejak kaki, atau asap adalah tanda bahwa ada orang yang liwat di sini,
atau tanda yang makna adanya kebakaran rumah. Atau seperti bangunan kantr
rektor UNP yang baru berbentuk tabung adalah indeks (mengindikasikan) sebuah
lumbung atau tempat menyimpan. Di sini terjadi metafora pemaknaan antara bentuk
tabung dengan lumbung dan rangkiang.
Yang sering rancu
adalah antara tanda ikon dan tanda simbol, sering diputar balik atau diganti
artinya, misalnya penulis pernah mengikuti seminar yang mengatakan bahwa ngarai sianok di Bukittinggi adalah ikon sumatera
Barat, atau alam takambang jadi guru
adalah ikon UNP Padang. Kita bisa masuk ke diskusi paling panas apakah ini ikon , simbol atau indeks, atau hanya sekedar latah saja?
Bangunan bagi arsitek adalah medium penyampaian gagasan
desain yang ada artinya atau bermakna. Dan medium arsitektur itu dapat muncul dalam
beberapa cara. Melalui tanda ikon, tanda simbol dan tanda indeks (indikasi) atau gabungan diantaranya.
Ungkapan perlambangan
atau simbol, misalnya bangunan pada
gambar 1) dapat melambangkan gudang ilmu, ini adalah ikon jika memang didesain
menyerupai gudang, tetapi ini adalah simbol jika kita sepakat bentuk ini berasosiasi
dengan lumbung padi. Dalam hal ini
terjadi metafora atau kiasan, dari kantor rektor ke gudang ilmu
terus ke makna lumbung padi (rangkiang)
dimana yang terakhir ini memang ada dalam bangunan tradisi minangkabau. Perlambangan
(simbol), metafora dan atau kiasan ini menurut ahli arsitektur posmo adalah
salah satu ciri dari arsitektur posmodernism. Berbeda dengan konsep arsitektur moderen yang membebaskan
diri dari aspek simbolisasi.
Gambar 1. Kantor Rektorat baru, yang bagian tengahnya melambangkan (menyimbolkan) bangunan rektorat UNP sebagai lumbung padi, sedangkan tiga cabang bangunan yang menyebar dari pusat melambangkan tigo tungku sajarangan (gambar koleksi penulis).
Yang kedua sebagai medium
arsitektur posmo adalah kosa kata rupa,
misalnya melalui unsur unsur visual desain, ornamen, atau warna seperti Gambar
2. di bawah ini. Bagian kiri adalah bangunan baru di UNP Padang, pada bagian
kanan adalah bangunan tradisional kota Padang yang disebut rumah kajang padati
Gambar 2. Beberapa bentuk elemen-elemen dekorasi bangunan
tradisonal Kajang Padati di Padang (gambar koleksi penulis).
Gambar 2. Beberapa bentuk elemen-elemen bangunan tradisonal yang
diterapkan pada bangunan baru pada UNP Padang (gambar koleksi penulis, foto
2017)
Ciri-ciri arsitektur posmodern terlihat dari usaha arsitek untuk
mengembil elemen-elemen rumah kajang
padati seperti bentuk atap, singok, kisi-kisi langkan dan ukiran tangga
yang diredesain dan diterapkan kepada bangunan baru. Dapat dikatakan hampir
setiap bangunan baru di UNP Padang
memakai elemen bangunan tradisi lokal ini. Elemen yang diambil itu misalnya
bagian kisi-kisi langkan yang
berfungi sebagai hiasan sekaligus sebagai lobang angin.
Yang ketiga bisa juga melalui sintaksis yaitu kesatuan,
komposisi, keseimbangan elemen rupa arsitektur seperti Gambar 3. di bawah ini.
Gambar 3. Gedung Fakultas
Sastra dan Seni (FBS) UNP Padang, mengambil sintaksis bentuk rumah gadang, yaitu
membesar ke atas dan mengecil ke bawah (gambar koleksi penulis, foto
2017)
Yang keempat melalui semantik yaitu pengembangan makna
sintaksis melalui denotasi dan arti arti
bentuk arsitektur. Denotasi artinya arti yang tunggal konotasi artinya arti
bentuk yang ditafsirkan secara bebas.
Gambar 4. Kolam renang
UNP Padang yang didenotasikan, bentuk kura-kura atau binatang laut, dapat
dikonotasikan dengan air. (gambar koleksi penulis, foto 2017). Yang kelima melalui pragmatik yaitu sesuai dengan
keinginan pemakai tentang arsitektur misalnya meniru secara prakmatis bangunan
tradisi lama.
Gambar 5. Kantor Rektor
UNP yang lama, terjadi karena keinginan pemakai untuk merancang bangunan secara
pragmatis, meniru bangunan rumah adat Minang Darat. (gambar koleksi
penulis)
Ciri khas dari Kreasi Arsitektur Posmodern
Dari kreatifitas
ujudnya terlihat bahwa unsur yang dominan dalam bahasa rupa arsitektur posmo
antara lain adalah bentuk geometri dan konsep
pemiuhan atau melengkung arsitektur posmo seperti contoh gambar 6.
Gambar 6. Contoh Bentuk
Geometri dan Konsep Pemiuhan pada bangunan baru di Universitas negeri
Padang , berikut elemen dekorasi yang mengambil elemen bangunan kajang padati. Gmbar kanan adalah
bangunan rumah sakit PT. Semen Padang, di Padang. (gambar koleksi penulis, foto
2017)
Dari kreatifitas
ujudnya yang kedua terlihat bentuk eklektisime (keinginan mencomot) yang radikal
dan bebas atau neo Vernakular, misalnya memasang
ornament bahasa rupa tradisi berbagai bangsa, mencomot konsep tradisi atau gaya
lama.
Gambar 7. Gambar kiri mesjid
di kampus UNP Padang. Unsur-unsur yang dicomot adalah kubah dari arab, ukiran
dari minangkabau, bentuk menara dari arab, percampuran dari berbagai elemen yang
berbeda dalam kesatuan desain disebut ekliktik. Demikian juga yang terjadi pada
bangunan Mesjid Raya Padang (gambar kanan) (gambar koleksi penulis, foto
2017)
Dari kreatifitas
ujudnya yang ketiga yaitu keinginan pemakaian bentuk motif ukiran yaitu pemberian
motif, elemen grafis, warna pada bentuk bangunan yang mengambil model rumah
kajang padati.
Gambar 8. Gambar kiri, Gedung Student center UNP Padang terlihat
keinginan pemakaian bentuk motif ukiran yaitu pemberian motif, elemen grafis,
warna pada bentuk bangunan. Gambar kanan adalah model bangunan tradisional
pesisir Minangkabau yang disebut rumah
adat kajang padati sebagai model yang ditiru(gambar koleksi penulis). Dari kreatifitas
ujudnya yang keempat yaitu keinginan pemakaian warna arsitektur posmo seperti penggunaan
warna yang bebas, seperti contoh gambar 7.
Persepsi Pengamat terhadap Arsitektur Posmo
Dalam catatan sejarah
dan teori arsitektur terlihat bahwa bahasa visual arsitektur posmo diyakini
sebagai ungkapan komunikasi baru yang pada era moderenisme, namun sejalan
dengan itu makna komunikasi sosialnya mulai kabur. Apa penyebabnya ? Tidak lain
karena penafsiran terhadap bentuk-bentuk desain baru yang muncul. Umumnya
desain posmo bisa jatuh pada ungkapan metaforis, ungkapan vernakular, arti
ganda atau gagas baru dengan penafsiran bebas.
Dalam situasi ini
ajang komunikasi dalam desain arsitektur posmo sebagai media interpretasi
bentuk memiliki dua kelompok partisipan atau receiver:
(a) mereka
yang mengerti dan faham akan makna bahasa rupa
(b) masyarakat
awam yang mengutamakan aspek kenyamanan, kebiasaan, budaya setempat
Gambar 9 Gedung Bagian Administrasi UNP Padang terlihat keinginan
bermain warna warna bebas pada bentuk bangunan (gambar koleksi penulis, foto
2017)
Diskusi ikon, lambang yang digunakan di Universitas Negeri Padang
Diskusi I: Dilema Filsafat
serba empat (Alam Takambang Jadi Guru) dan Hasta Brata
Yang dapat dikritik tentang ikon UNP sebagai “alam takambang jadi
guru” adalah maknanya yang tidak tepat, dan terbuka untuk kritik sebab hal ini
berbeda maksudnya dari zaman ke zaman di Minangkabau. Sebab yang dimaksud alam
pada zaman minangkabau bukan alam fisik tetapi metafisik sebagai bagian
kosmologi minangkabau.
Alam ini adalah alam “hasta brata” (delapan sifat kepemimpinan) yang berasal dari delapan sifat alam atau alam yang diwakili oleh delapan dewa. Sebab dalam politeisme minang ssebelum Islam masuk, alam dipandang dikuasai personifikasi mirip manusia. Konsep ini samar-samar dipengaruhi oleh konsep Hindu-Jawa kuno.
Bukti mengenai hal ini dapat anda lihat pada pidato adat (yang asli) minangkabau selalu di awali dengan ujaran sebagai berikut: “samulo alam tabagi salapan, duo pai ka utara (Cina), duo pai selatan (Jawa?)”, maka alam itu tinggal empat. Jika orang minang tidak mengenal “nan ampek” maka dia bukan orang minang, sbb: kato nan ampek, nagari nan ampek suku dan seterusnya.
Diantara penafsiran slogan Alam takambang jadi guru lihat blog jalius yang menafsirkan sebagai sumber belajar lihat di
https://jalius12.wordpress.com/2012/03/17/tut-wuri-handayani-dan-alam-takambang-jadiguru-2/
Slogan ini dituliskan pada gerbang dan lambang-lambang UNP Padang tanpa sempat bertanya kepada ahli budaya yang mengerti tentang makna slogan ini dari segi sejarah dan budaya minangkabau.
Alam ini adalah alam “hasta brata” (delapan sifat kepemimpinan) yang berasal dari delapan sifat alam atau alam yang diwakili oleh delapan dewa. Sebab dalam politeisme minang ssebelum Islam masuk, alam dipandang dikuasai personifikasi mirip manusia. Konsep ini samar-samar dipengaruhi oleh konsep Hindu-Jawa kuno.
Bukti mengenai hal ini dapat anda lihat pada pidato adat (yang asli) minangkabau selalu di awali dengan ujaran sebagai berikut: “samulo alam tabagi salapan, duo pai ka utara (Cina), duo pai selatan (Jawa?)”, maka alam itu tinggal empat. Jika orang minang tidak mengenal “nan ampek” maka dia bukan orang minang, sbb: kato nan ampek, nagari nan ampek suku dan seterusnya.
Diantara penafsiran slogan Alam takambang jadi guru lihat blog jalius yang menafsirkan sebagai sumber belajar lihat di
https://jalius12.wordpress.com/2012/03/17/tut-wuri-handayani-dan-alam-takambang-jadiguru-2/
Slogan ini dituliskan pada gerbang dan lambang-lambang UNP Padang tanpa sempat bertanya kepada ahli budaya yang mengerti tentang makna slogan ini dari segi sejarah dan budaya minangkabau.
J
Gerbang masuk kampus UNP Padang dengan slogan " Alam Takambang Jadi Guru", sumber gambar tulisan Jalius
Teori konvensi ini dikemukakan oleh Hauser (1982) dalam bukunya
yang berjudul "The Sosiology of Art". Sedangkan pengkajian terhadap
makna unsur-unsur visual dan verbal bangunan serta pembanding lainnya, yang
dalam kenyataannya dilakukan oleh komunitas secara berulang dapat ditafsirkan sebagai
ketidaksadaran kolektif (social-unconciousness), hal ini dapat ditafsirkan pula
sebagai kosmologi Minangkabau.
Unsur-unsur visual bangunan, bisa diproyeksikan kepada sikap
hidup dan budaya Minangkabau, seperti mitologi, kepercayaan dan sebagainya.
Misalnya konsep tripartit (serba tiga) misalnya tigo tungku sajarangan,
bermula dari Lareh Nan Panjang sebagai penengah dalam konflik kelarasan
Bodi Caniago dan Koto Piliang. Persepsi ini dapat dikaitkan dengan terbentuknya
tatanan tiga pihak atau tripartit sebagai tigo tungku sajarangan pada era
Islamisasi di Minangkabau.
Dualisme dan konflik yang dialami orang Minangkabau sebenarnya
berakar pada faham adat Bodi Chaniago (BC) dan kelarasan Koto Pilian (KP).
Dualisme faham ini secara tidak disadari masih berlanjut sampai sekarang,
dimana di satu pihak, ada yang masih mempertahankan sifat-sifat otokratik (KP)
dan pihak lain menginginkan demokrasi (BC). Dalam hal tertentu pengaruh BC
sebenarnya sangat kuat di bandingkan pengaruh KP, hal ini dapat dilihat dari
kecenderungan komunitas negari-negari di Minangkabau yang demokratis.
Dualisme ini berlanjut tetapi dengan konsep lain yaitu dualisme
adat (lama) dengan agama (baru). Alam pemikiran tripartit ini terlihat dalam
konsep pranata sosial tigo tungku sajarangan, yang dibentuk setelah Islam
masuk. Pertentangan itu melahirkan pihak ketiga yaitu kaum alim ulama (agama
Islam).
Konsep serba tiga ini kurang pengaruhnya pada dunia seni rupa dan
arsitektur, dibandingkan dengan konsep serba dua, sehingga dalam desain ada
kecenderungan memilih simetri dan menolak asimetri.
Di luar pengaruh dualisme antara adat KP dan BC, terdapat konf1ik
antara adat (lama) dengan agama (baru), filsafat alam adalah sebagai solusi
dualisme tersebut, pandangan serba dua yang bertentangan itu, mengakibatkan
pula pandangan dualisme yang lain, khususnya dalam dunia mikrokosmos.
Misalnya persepsi orang Minangkabau tentang alam mikrokosmis yang
bersifat matrilineal, dimana ibu adalah pusat kehidupan, dan bapak sebagai
unsur luar. Dalam kehidupan sehari-hari orang Minang, sang ayah diibaratkan
sebagai “abu di ateh tunggua” (abu di
atas tunggul) artinya dia kurang berperan dalam keluarga, kedudukannya sangat
lemah sehingga seperti abu kalau angin kuat dia bisa terbang ke mana-mana. Dari
segi kekerabatan lingkaran dalam digambarkan sebagai istri, lainnya adalah
cucu, anak, istri, ibu dari ibu, nenek, mamak, tungganai; penghulu. Sedangkan
lingkaran luar digambarkan sebagai ayah, suami ibu/urang sumando (semenda),
suami nenek/kakek.
Dalam perwilayahan istilah luar adalah rantau dalam adalah luhak,
atau orang darek (daratan pegunungan) adalah orang dalam, sedangkan pasisia
(pesisir) adalah orang luar. Dalam perkembangan wilayah luar adalah Koto Baru
sebagai tempat bagi pendatang yang diberi tanah, dalam adalah Koto Tuo, atau
Koto Tangah.
Jadi konsep dualistik atau antitesis ini terbaca pada tatanan
sosial, tatanan politik-geografis maupun ungkapan visual dan verbal. Antagonis
ini terlihat pada unsur-unsur visual bangunan tradisional Minangkabau. Timbul
pertanyaan kenapa persepsi dualisme dalam dan luar itu begitu kuat dalam seni
dan budaya Minangkabau? Misalnya dalam tarian Minangkabau kita melihat
gerakan-gerakan silat (keras) yang konflik dengan ketentuan bahwa tarian itu
harus dibawakan dengan gerakan lunak.
Konflik antara BC dan KP bisa disebabkan antara lain oleh:
persepsi tentang peran ibu sebagai pusat kehidupan yang dipertentangkan dengan
peran ayah sebagai pihak luar. Hal ini juga disebabkan oleh bawah sadar
komunitas yang secara geografis berada dalam isolasi. Ternyata orang Minangkabau
darek sebagai orang darek (daratan), relatif terisolasi selama berabad lamanya,
dan persepsi ini diperkuat oleh sistem matrilineal yang mereka anut yang
berpusat pada kehidupan ibu di rumah gadang. Hal ini berbeda dengan pendapat
beberapa budayawan Indonesia yang melihat orang Minangkabau itu sebagai orang
pesisir. Sama halnya dengan orang Mataram, Minangkabau dibentuk oleh budaya
pertanian pedalaman kalau tidak bisa dikatakan budaya pertanian pegunungan.
Persepsi dualisme antara dalam dan luar, kemudian bercampur
dengan ajaran tentang alam. Alam dengan segenap unsurnya dilihat orang
Minangkabau dalam serba empat. Misalnya jika orang Minangkabau memandang ke
luar, maka air-angin-api-tanah adalah kesatuan unsur alam yang tidak dapat
dipisahkan, demikian juga jika memandang ke dirinya maka dipercayai terdapat
daging-tulang-urat-darah sebagai unsur alam tak terpisahkan.(Lihat buku A.A.
Navis: Alam Takambang Jadi Guru)
Untuk menggambarkan unsur alam itu, di samping kelipatan empat,
terdapat juga kelipatan delapan misalnya tiang manti nan salapan (delapan),
delapan tiang ini mengapit empat tiang utama yang ada di tengah rumah adat;
yang disebut dengan manti nan salapan (manti=menteri pembantu raja).
Konsep ini secara samar-samar memperlihatkan pengaruh Hindu yang
disebut dengan ajaran Hasta Brata, yang menunjukkan delapan sifat kepemimpinan
pembantu raja yang diambil dari delapan sifat unsur alam (dahulunya
melambangkan delapan sifat dewa yang menguasai unsur alam).
Setiap unsur itu dianggap hidup dengan perbedaan eksistensinya
tetapi empat unsur itu hidup dalam suatu keharmonisan. Unsur itu berkumpul
dengan dinamis dalam suatu sistem sebab dan akibat. Sistem sosial di
Minangkabau dilihat dalam kerangka pemikiran ini.
Dianggap bahwa suku asal di Minangkabau ada dua, yaitu Bodi
Caniago (BC) dan Koto Piliang (KP), kemudian dibagi pula menjadi empat yaitu
Koto, Piliang yang KP; Bodi dan Caniago yang BC. Rumusan di atas menjadi dasar
adat Minangkabau yang juga terbagi atas empat macam adat dan syarat pendirian
suatu negari harus memiliki empat suku.
Seseorang dikatakan bukan orang Minang jika dia tidak mengenal
yang “si empat”, misalnya kata yang empat (kata menurun=cara bicara kepada anak
yang lebih kecil biasanya dalam rumah gadang, kata mendaki=cara bicara dengan
orang yang lebih besar, juga dalam rumah gadang atau rumah adat; kata mendatar
= cara bicara dengan orang yang dianggap sama kedudukannya dalam komunitas,
kata malereang=berbicara dengan cara tidak langsung atau dengan cara berkias,
yang terakhir ini lazim dilakukan dalam pertemuan adat (pidato adat) yang
dilakukan kepada pihak luar komunitas dalam rangka basa-basi. Kebiasan cara
berbicara terakhir ini terbawa-bawa saat berkomunikasi dengan suku lain di luar
wilayah Minangkabau, yang kadang-kadang dianggap negatif oleh suku lain, karena
lain yang dimaksud si penutur, lain pula yang diartikan sipendengar. Pada saat
ini tidak semua orang Minang bisa berbicara dengan cara seperti ini.
Diskusi II: Kemenangan
Arsitektur Lokal sebagai sumber gagasan arsitektur Posmo: Rumah adat Kajang
padati
Mengenai rumah gadang kajang padati ini tidak perlu diuraikan
secara detail sebab sudah penulis tulis di http://nasbahrygallery1.blogspot.co.id/2013/07/rumah-padang.html,
dan silahkan dilihat di internet atau melalui google. Singkatnya bangunan
inilah yang menjadi model arsitektur vernacular atau posmo yang lagi tren
sekarang ini. Jadi bukan lagi bangunan rumah adat darek yang menjadi modelnya.
Diskusi III. Basic Needs
Kita-kita yang di luar
partisipan atau komentator arsitektur, tentu akan lebih banyak jumlahnya
ketimbang para arsitek yang merancang bangunan. Ratusan dan puluhan orang pergi
setiap ke kantor yang bergaya tertentu. Setiap hari kita akan menentukan
arah ke gedung mana kita akan pergi dan
bekerja. Yaitu orang yang biasa menjambangi, memakai atau meliwati bangunan. Di
manapun akan lebih banyak orang yang berada di luar” bidang arsitektur yang
bereaksi terhadap arsitektur setiap harinya.
Menurut ahli ada tiga aspek apresiasi (memahami dan
menghargai) arsitektur. Yaitu aspek fisik, aspek logika dan aspek emosi. Namun
yang terakhir ini lebih menonjol dari yang lain, yaitu semacam “basic need”
manusia terhadap estetik yang terdorong oleh rasa. Bahwa di sebuah lingkungan
banyak gedung baru yang bagus, unik, megah atau monumental. Kebaruan, keunikan,
kemegahan atau kecantikan seorang wanita, akan dapat menjadi modus pujian.
Sebagai contoh seseorang
yang memiliki mobil baru, tidak perlu
pandai merancang, mengonsep, atau membuat mobil (aspek fisik), tidak tahu-menahu dari bahan
apa mobil dibuat (aspek logis), namun dia sangat senang dapat mobil baru dan
bagus, dan membanggakan ke
teman-temannya (aspek emosi).
Jadi dapat disimpulkan
manusia itu lazim bereaksi terhadap lingkungan berdasarkan basic needs ini yang
diperolehnya dari alam bawah sadar yang berkembang sejak dini, bukan untuk
mengerti, tetapi untuk merasakan (felling), indah tidak indah, suka atau tidak
suka, senang atau tidak senang. Namun banyak juga pendidik atau pembelajar yang
menganggap estetik adalah bagian yang dapat dipelajari (aspek logika).
Persepsi sebagai Modal Utama Memahami Seni Rupa dan
Desain
Modal utama dalam
memahami arsitektur (aspek logis) adalah mata (melihat), jadi sifatnya visual,
sedangkan memahami sifatnya verbal (melalui kata-kata, bahasa). Tak terhindarkan kajian tentang arsitektur mirip dengan kajian
tentang seni rupa atau bidang desain visual lainnya. Yaitu tentang persepsi,
atau psikologi persepsi.
Dalam melihat
(mempersepsi) ada dua mekanisme yang bekerja, yaitu persepsi “bottom up”, dimana
manusia hanya semata mengandalkan apa yang dilihatnya untuk mengerti. Sebaliknya
“top down” . Yaitu memahami dari apa
yang diketahui dari simpanan memori atau ingatan atau pengalaman. Sebagai
contoh anak kecil, orang awam dan orang dewasa sama-sama melihat, persepsinya
berbeda. Orang dewasa banyak tahu karena sudah memiliki “pengalaman” sebelumnya
tentang apa yang dilihat. Anak kecil jika ditanya tentang apa saja yang
terdapat pada seekor ayam, cendrung hanya akan menerangkan kepala badan dan
kaki demikian juga saat menggambarkan ayah atau ibunya.
Dari apa yang
diuraikan di atas terlihat kerumitan yang terjadi jika kita membahas sesuatu
yang terlihat (visual) hanya berdasarkan pengetahuan dan kesadaran kita
masing-masing. Hal yang sama juga terjadi pada basic needs, yaitu aspek emosi
manusia terhadap estetik, penilaian akan sangat berbeda-beda, sebagaimana
halnya yang terjadi pada bidang seni dan desain. Yang netral tentu adalah ilmu
pengetahuan, yang tidak berpretensi berpihak, tetapi dalam rangka mencari
kebenaran. Semoga saja.
Padang akhir februari, 2017
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar