Mempelajari estetika itu sangat sulit, apalagi jika terjebak dengan, dan mencampukannya dengan filsafat. Salut dengan teman sekuliah di ITB dulu (1995) Dharsono Sony Kartika, yang nama aslinya sebenarnya Dharsono yang berani menulis buku estetika yang banyak beredar dan diiukuti secara ilmiah di Indonesia. Untuk mengingat sahabat ini saya ingin menyumbang sedikit essay ini.
Untuk memastikan teori apa yang cocok untuk membahas seni-seni yang berlatarkan budaya memang harus melihat kepada masyarakatnya. Terlihat bahwa kelahiran seni sedikit banyaknya bukan hanya oleh seniman secara individu (definisi individu), tetapi juga oleh masyarakat (kelompok orang) yang mungkin tidak sengaja dan sadar menciptakan serta memberi definisi tentang apa itu seni.
Namun ada juga yang tidak setuju dengan pandangan bahwa seni harus lahir dan didefinisikan oleh masyarakat atau budaya serta agama. Karena hal ini, seakan seni itu hanya demi kepentingan lembaga (kelompok budaya) dan kelompok masyarakat yang melahirkan seni, demikian juga sistem nilai yang disnutnya. Umumnya mengabaikan estetika mainstream terutama cita-rasa dan pandangan pribadi terhadap seni.
Pertama modus Formalisme adalah teori "seni demi seni". Menurut pemikiran Formalis, nilai dari sebuah karya seni dipegang dalam kapasitasnya untuk memperoleh respons yang signifikan pada pemirsa melalui pengaturan yang efektif dari unsur-unsur seni formal seperti garis, bentuk, warna dan tekstur, ruang, dll. Yang diselenggarakan sesuai dengan prinsip-prinsip seni seperti gerakan, ritme, pola, persatuan, dll.
Teori ini baru bagi perkembangan seni sekitar tahun 1930-an melalui tulisan-tulisan Clive Bell dan penekanannya pada "bentuk signifikan". Bagi Bell, konten naratif dalam sebuah karya adalah gangguan dari estetika dan harus diabaikan.
Formalisme adalah premis dasar di balik apresiasi seni modern. Termasuk dalam hal ini Herbert Read dalam bukunya “the Meaning of Art” yang menyatakan seni adalah bentuk-bentuk yang menyenangkan.
Termasuk kelompok ini juga adalah Clement Greenberg yang sekitar 1950-an dan 1960-an dengan tulisannya yang berpengaruh untuk mendefinisikan seni abstraks, khususnya Minimalisme.[2]
Kedua modus Imitationalism (Mimetic) mengikuti bahwa seni mencerminkan realitas dunia di sekitar kita. Oleh karena itu tugas seniman meniru keindahan alam sekitar manusia.
Teori ini setua umur orang Yunani kuno, yang didukung oleh otoritas Aristoteles yang menganut bahwa alam dunia adalah standar untuk keindahan dan kebenaran.
Seniman itu tidak bisa berbuat lebih baik daripada secara akurat menggambarkan alam semesta dalam keanekaragamannya yang tak terbatas. [3]
Banyak orang, termasuk sebagian besar siswa remaja, cenderung menilai seni sesuai dengan standar untuk Imitationalism. Lukisan dan seni pahat (patung) seringkali dinilai dari seberapa realistisnya mereka menggambarkan sosok sesuatu yang ditiru. Memang seniman dianggap sebagai "berbakat" sejauh ia dapat menggambar atau melukiskan hal-hal sebagaimana apa yang muncul dan terlihat oleh mereka. [4]
Ketiga modus Ekspresionisme berpihak pada seniman yang menciptakan seni untuk menghasilkan respons emotif dalam pemirsa.
Penganut modus ini percaya bahwa perasaan dan kekuatan pengalaman batin seniman adalah sumber seni bagi mereka.
Mereka menggunakan media dan berbagai bentuk dan materi tertentu untuk mengekspresikan diri mereka dengan tegas dan jelas, sehingga penonton dapat mengalami perasaan yang sama. Ekspresionis merangkul teori seni yang menggambarkan tentang jiwa dan kehidupan seseorang. [5]
Keempat instrumentalisme. Teori lain seperti, Instrumentalisme juga berperan penting di dunia dewasa ini sebagai bentuk komunikasi persuasif karena seni dibuat untuk tujuan mempengaruhi perubahan dalam masyarakat. Keberhasilan dalam dunia seni bagi mereka bukanlah tujuan utama seni.
Teori instrumentalis mengikuti bahwa identitas seniman dan pentingnya karya diselaraskan dengan kegiatan budaya karena melibatkan memikirkan kembali peran produksi, distribusi dan penonton sebagai komponen penting dari karya seni.
Kritik feminis dan Marxis sebagian
besar berakar dari modus dan teori instrumentalis. [6]. Lebih jauh lagi pendapat bahwa seni adalah alat untuk
pedagogy atau pembelajaran.[7] yang cendrung menggunakan ekspresi estetik
imitatif dan formalis dalam pembelajaran seni (lihat uraian selanjutnya)
Kelima adalah teori Kelembagaan (Istitusionalisme) mendefinisikan karya seni dengan cara di mana benda atau peristiwa diperlakukan dalam masyarakat.
Institusionalis bukan berfokus pada karakteristik objek atau kualitas ekspresifnya melainkan pada praktik sosial yang menyertai pekerjaan seni. Bagi mereka apa itu seni atau bukan seni adalah hasil kesepakatan pada tempat dan waktu tertentu dalam sejarah seni.l
Filsuf Arthur Danto menciptakan kata "artworld" untuk merujuk pada pentingnya keinginan komunitas individu yang terlibat dalam menciptakan, mengkurasi, mengumpulkan, menjual, mempelajari dan menulis apa itu tentang karya seni.
Contoh yang populer dalam hal ini adalah karya Marcel seni ketika anggota "artworld"
mengakui benda-benda tertentu sebagai yang dirasakan, ditafsirkan, atau dinilai
sebagai karya seni. [8]
Contoh lain misalnya dalam sejarah diperlihatkan bahwa benda-benda purbakala bisa saja suatu saat hanya disebut artefak pada saat yang lain disebut karya seni dengan alasan yang tidak jelas.
Kesimpulan Berbagai model Ekspresi Estetik
Imitatif, Representatif, Naratif
Seniman dianggap sebagai "berbakat" sejauh ia dapat menggambar atau melukiskan hal-hal sebagaimana apa yang muncul dan terlihat oleh mereka
Contoh Imitasi oleh perupa patung, dalam pembuatan patung pahlawan
Contoh Imitasi bentuk bunga, oleh penata tari
| ||
Formalisme
Karya seni dipegang dalam kapasitasnya untuk memperoleh respons yang signifikan pada pemirsa melalui pengaturan yang efektif dari unsur-unsur seni formal seperti garis, bentuk, warna dan tekstur, ruang, dll
Contoh formlisme dalam lukisan, mementingkan unsur dan susunan unsur, mennilai seni terutama dari susunan yang terlihat
Cotntoh formalisme dalam seni musik, komposisi musik
Contoh formalisme dalam seni tari | ||
Ekpresionisme
seni untuk menghasilkan respons emotif dalam pemirsa. Kehidupan batin para seniman kuat dan perasaan mereka tentang pengalaman adalah sumber seni mereka. | ||
Instrumentalis
Kegiatan seni sebagai bentuk komunikasi persuasif karena seni dibuat untuk tujuan mempengaruhi perubahan dalam masyarakat. Dan juga individu (anak didik) dalam pembelajaran
Contoh seni sebagai instrumen alat pendidikan dan alat propaganda
Institusialisme
Pengesahan seni ditentukan oleh kelompok atau lembaga seni. Keinginan komunitas individu yang terlibat dalam menciptakan, mengkurasi, mengumpulkan, menjual, mempelajari dan menulis tentang karya seni
| ||
IMITATIONALISM,
|
FORMALISME
|
EMOTIONALISM
| |
Karyaseni dihargai karena dinilai dari sisi bagaimana dia menyampaikan realitas
|
Karyaseni dihargai karena organisasi yang efektif dari unsur-unsur dan prinsip-prinsip susunan seni
|
Karyaseni dihargai karena kemampuannya untuk membangkitkan kualitas emosi manusia.
| |
INSTRUMENTALISM
|
INSTITUSIONALISME
| ||
Karyaseni dihargai karena memainkannya dengan jelas di dunia saat ini sebagai dibuat untuk tujuan mempengaruhi perubahan dalam masyarakat.
|
Karyaseni dihargai oleh komunitas individu yang terlibat dalam menciptakan kurasi, mengumpulkan, menjual, mempelajari dan menulis tentang karya seni.
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar