Rabu, 13 Februari 2013

5Bruno Latour dan ANT (Actor Network Theory)

hal 5

Penutup
Uraian di atas adalah bagian dari kajian Sosiologi Seni yang relatif baru dikenal di Indonesia, terutama untuk dipakai sebagai alat penelitian di bidang seni dan budaya, hal ini dapat dipahami karena kajian sosiologi seni secara internasionalpun masih relatif baru, misalnya kalau tidak salah seminar internasional tentang sosiologi seni yang pertama diadakan di Spanyol, baru tahun 2005.


Komitmen teoretis ANT dalam penataan sosial, yakni komitmen untuk bersandar pada prinsip kemitraan, konsultasi, dan proses pengambilan keputusan yang bersifat partisipatif dan bukan akumulasi kekuasaan dan kelembagaan. Itulah sebabnya mengapa ANT relevan sebagai dasar teoretis maupun kerangka analitis bagi tata kelola (governance) dan teknologi.

ANT umumnya memakai Principle of generated symmetry, dimana manusia dan non manusia digabungkan dalam sebuah framework konseptual yang sama. Kedua aktor manusia dan non-manusia dapat direferensi sebagai ‘actant’. Aktan (actant, yaitu istilah yang dipakai untuk aktor yang dapat mengatur aktor lain, misalnya dalam jaringan Akademik, dosen dan mahasiswa adalah aktan), yang membentuk suatu jaringan yang terhubung satu dengan yang lainnya. Actor Network Theory menjelaskan kaitan antara artefak dan konteks sosial, termasuk proses penyesuaian antara karakteristik teknologi dan kemauan manusia. Dengan teori ini, maka semua aktor, baik dari pihak artefak maupun dari pihak pemanfaat atau pengguna, masuk dalam hitungan.


Latour menyatakan dalam Actor-Network-Theory bahwa kehidupan sosial ibarat tubuh dan manusia sebagai sel jaringan yang membentuk tubuh itu sendiri. Menurut Latour, tidak ada pengetahuan dunia yang begitu saja terjadi. Pengetahuan ada karena “dibangun” melalui bahasa dan semua tanda-tanda bebas yang kemudian disepakati bersama.


Latour berpendapat bahwa ada yang dianggap hilang dari teori-teori sosial sebelumnya, yaitu elemen nonmanusia (nonhumans). Oleh sebab itu, dibutuhkan pendefinisian ulang mengenai apa itu ”masyarakat” (sosial). Dalam hal ini, masyarakat merupakan suatu kolektivitas yang terdiri dari dua elemen. Elemen manusia (entitas sosial) dan elemen nonmanusia (entitas teknis). ANT memandang masyarakat sebagai asosiasi-asosiasi heterogen yang terdiri dari elemen-elemen yang tidak stabil, yang saling memengaruhi, dan yang mencoba mendefinisikan ulang secara terus-menerus.


Lampiran

Dunia pendidikan seni di Amerika telah memetakan sosiologi seni yang disosialisasikan sejak Pada Kamis, September 20, 2012, para pemimpin seni muncul berkumpul di Universitas Amerika untuk berpartisipasi dalam forum publik NEA.untuk membicarakan " How Art Works ". Forum ini dipakai untuk "mengeksplorasikan laporan NEA yang baru dirilis berjudul Bagaimana Peta Sistem Karya Seni: The National Endowment for the Arts’ Five-Year Research Agenda, with a System Map and Measurement Model”.Termasuk untuk menjelaskan tentang bagaimana Kerja Seni oleh NEA untuk keterlibatan warga yang mewakili berbagai membentuk pengalaman dan perspektif termasuk seniman dan non-seniman, akademisi, pembuat kebijakan, dan orang-orang bisnis untuk mengembangkan pandangan umum dari hubungan antara seni dan hasil individu dan masyarakat. Rangkaian pertukaran menghasilkan sistem peta seni dan dampaknya.



(klik kanan untuk melihat gambar lebh detil)
Partisipan Seni (Arts Participation). Yaitu siapa saja yang bertindak (1) memproduksi, (2) menafsirkan, (3) mengkuratorial, dan sebaliknya juga mendapatkan (4) mengalami seni. Partisipan Seni (arts partisipant) adalah salah satu aspek penting dari pendorong hasil atau Kreasi Seni (Arts Creation). 
Time spent adalah waktu yang terpakai dalam (1) pengalaman (pengamatan), (2) produksi, (3) interpretasi dan (4) kuratorial seni. Misalnya mengamati arsitektur bisa sekilas, membaca buku novel bisa seminggu, menikmati musik di mobil bisa, sepanjang jalan, menonton film bisa dua jam.
Agen Penciptaan Seni secara luas adalah seniman, dan secara inklusif didefinisikan sebagai orang yang menyatakan dirinya, atau dirinya sendiri dalam batas-batas serangkaian praktik seni yang diketahui, atau yang muncul dan dipentingkan, dengan tujuan mengkomunikasikan karya seni kepada orang lain. Seni, dalam sistem ini, dibuat oleh seseorang dengan maksud tertentu.
Tentang perbedaan antara seni tinggi dan seni rendah tidak perlu lagi dilakukan, karena keduanya dapat ditampung dalam peta ini. Tetapi mengubah "luas" dari definisi seni akan mengubah jumlah orang yang terlibat, dan karena berapa banyak orang dapat dipengaruhi dan dampaknya, seberapa besar (relatif terhadap total penduduk) yang terkait. Apakah konsep peta ini juga meliputi penerbitan, radio, dan atau film, misalnya, sangat mempengaruhi berapa banyak orang yang terlibat dengan seni dan, khususnya, seberapa banyak manfaat ekonomi langsung yang timbul dari seni. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala masyarakat demokratis dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Di lingkungan sekolah yang tidak demokratis partisipasi hanya oleh kelompok yang diinginkan oleh orang yang berpengaruh (mis.pimpinan), yang tidak disukai disingkirkan.

Pendidikan dan Pelatihan mencakup spektrum (1) seni sebagai subjek pendidikan, melalui pendidikan formal dan informal, misalnya sekolah non-formal, kursus, magang, otodidak (belajar sendiri) dari internet seperti belajar ke sajian YouTube. (2) Spektrum kedua adalah sekolah non-seni yang menghasilkan seni. Sekolah non-seni seperti sekolah kriya, desain, arsitektur dan enginering bisa saja menghasilkan sesuatu produk yang bersifat artistik atau seni walaupun seni itu bukan tujuannya. Enginering dapat menjadi bagian dari kegiatan militer dan ekonomi, misalnya pembuatan pesawat tempur. Tetapi jangan dianggap/dikelirukan bahwa spektrum pendidikan non-seni adalah wilayah terapan ilmu seni. Masing-masingnya memiliki kegiatan, sistem instruksi dan disiplin berbeda-beda. Demikian juga dalam hal evaluasi dengan sistem instruksi dan disiplin berbeda pula.Kerajinan atau musik tradisi misalnya, memiliki kegiatan dan sistem evaluasi tersendiri.


Salah satu risiko pemetaan sistem ini adalah kecenderungan untuk mencoba untuk mengakomodasi segala sesuatunya  ke dalam peta. Untuk membatasi risiko ini dalam konteks Bagaimana Karya Seni, telah diasumsikan bahwa sebuah karya seni adalah tindakan ekspresi kreatif yang dilakukan dalam batas-batas serangkaian praktik yang diketahui atau muncul dan didahulukan dengan tujuan untuk mengkomunikasikan karya kepada orang lain (misalnya, kinerja simfoni, proyek karya akhir seni seorang remaja, dan sebuah praktek merenda seorang nenek). Dalam hal ini,  kita dapat tertarik secara khusus dalam hal dampak seni pada individu dan masyarakat. Dalam  definisi ini ditetapkan bahwa setidaknya ada satu orang pelaku (dapat juga sekelompok orang), selain artis yang diperlukan untuk terlibat dengan pekerjaan seni.


Catatan Kaki



[1] Kontrofersi dan profokasi karena gerakan ANT membuat Bruno Latour menegaskan ada empat kata yang dapat dikelirukan penafsirannya dalam ANT, kata Actor, Network, Theory dan Hypen. Dia kemudian berceramah untuk meredefinisi term-term itu dan untuk menempatkannya pada diskursus yang dia bantu untuk ciptakan sendiri.

[2] Seperti yang ditunjukkan sebelumnya, Bourdieu secara khusus telah menyatakan bagaimana, dalam pandangannya tentang struktur harapan (illusio, orthoand heterodoksi, nomos, dll) dan peran (posisi, pendudukan posisi, habitus, dll) serta fungsi.

[3] Meskipun studinya praktek ilmiah berada di satu waktu yang berkaitan dengan konstruksionis sosial, pendekatan filsafat ilmu, Latour telah menyimpang secara signifikan dari pendekatan tersebut. Latour terkenal karena menarik diri dari divisi subjektif / obyektif dan mengembangkan pendekatan untuk bekerja dalam praktek Seiring dengan Michel Callon dan John Law, Latour adalah salah satu pengembang utama dari aktor-teori jaringan (ANT),. pendekatan konstruksionisnya dipengaruhi oleh ethnomethodology dari Harold Garfinkel, semiotika generatif Greimas, dan (baru-baru ini) sosiologi saingan Durkheim Gabriel Tarde. Monograf Nya membuatnya mendapatkan tempat 10 di antara yang paling-dikutip penulis buku di humaniora dan ilmu sosial sejak tahun 2007.
[4] HVM adalah Hierarchical Value Map: Sebuah HVM direpresentasikan oleh total kumpulan ladder yang membentuk beberapa rantai (chains) di dalam sebuah peta. Tujuan dalam membuat sebuah HVM adalah untuk menghubungkan semua rantai yang memiliki arti di dalam sebuah peta. Setelah penyusunan selesai dilakukan, dapat diperhatikan jumlah hubungan langsung dan tidak langsung dari elemen – elemen untuk menentukan orientasi persepsi dominan
[5]   Actor–network theory (Aktor-teori jaringan), sering disingkat sebagai ANT, adalah pendekatan berbasis agen (agent-based approach) untuk teori sosial dan penelitiannya, yang berasal dari bidang studi ilmu, yang memperlakukan benda sebagai bagian dari jaringan sosial. Meskipun terkenal karena penekanan yang kontroversial di lembaga non-humans, ANT juga berkaitan dengan kritik konvensional yang kuat dan sebagai sosiologi kritis. Dikembangkan oleh penelitian ilmu pengetahuan dan teknologi sarjana Michel Callon dan Bruno Latour, sosiolog John Law, dan lain-lain, dapat lebih teknis digambarkan sebagai metode "semiotik-materi" ("material-semiotic"). Ini berarti bahwa dia memetakan hubungan yang simultan antara materi (antara hal-hal) dan semiotika (antara konsep-konsep). Ini mengasumsikan bahwa banyak hubungan yang baik material dan semiotik. Secara umum, ANT adalah pendekatan kelompok konstruktivis , yang dalam hal itu menghindari penjelasan esensialis peristiwa atau inovasi (misalnya menjelaskan teori sukses dengan mengatakan itu adalah "benar" dan yang lain adalah "palsu"). Namun, dibedakan dari STS lain dan teori jaringan sosiologis (sociological network theory) untuk membedakannya dari pendekatan semiotik-materi
[6] Dalam karyanya Reassembling the Social (2005) Latour meminta maaf karena memakai istilah ANT, daripada orang (bidang sosial konvensional) terus mengkritik istilah Actor Network Theory yang dikemukakannya. Sekarang justru ia melihat akronim ini netral, dan terbuka untuk koneksi apapun.

[7] Bagi Anti-Esensialisme, tidak ada kebenaran, subyek, ataupun identitas yang berada di luar bahasa. Dalam pandangan ini, kategori—sebagai konstruksi diskursif—mengubah maknanya sesuai waktu, tempat dan penggunaannya. Sebagai contoh, karena tidak mengacu pada esensi, identitas dianggap bukan sebagai sesuatu yang universal, melainkan deskripsi-deskripsi dalam bahasa. Bahasa dipandang tidak memiliki acuan tetap, dan karena itu tidak mungkin bisa merepresentasi identitas atau kebenaran-kebenaran yang tetap. Dengan demikian, identitas kulit hitam bukan sesuatu yang tetap dan universal, melainkan deskripsi-deskripsi (Barker, 2005: 27). Pada dasarnya, Anti-Esensialisme tidak melarang kita bicara tentang kebenaran identitas. Hanya saja, Anti-Esensialisme memandang bahwa kebenaran atau identitas bukanlah sesuatu yang universal, yang berasal dari alam, melainkan hasil produksi budaya dalam waktu dan tempat tertentu. Subyek yang berbicara selalu tergantung pada posisi-posisi diskursif yang lebih dulu ada. Kebenaran bukan sesuatu yang ditemukan, melainkan diciptakan, dan identitas adalah konstruksi diskursif. Jika Esensialisme memberikan kepastian ilmiah, maka Anti-Esensialisme menawarkan ironi, yaitu suatu kesadaran akan sifat tidak tetap dan terkonstruksi dari keyakinan dan pemahaman-pemahaman kita yang tidak memiliki landasan universal.

Literatur


  • Abdulsyani, (1987) Sosiologi Kriminalitas, Bandung: Remadja Karya.
  • Adler, J. (1979) Artist in Office: An Ethnography of an Academic Art Scene, New Brunswick, NJ: Transaction Books.
  • Adorno, dan Horkheimer, (1949) Dialectic of Enlightenment, New York: The Seabury Press
  • Bauman, Zygmunt (2000) “Sosiologi” dalam dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000)
  • Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada.
  • Becker, Carl, L.(1932) The Heavenly City of the Eighteenth Century Philosophers, New Haven: Yale University Press.
  • Becker, H. (1982) Art Words, Berkeley, CA: University of California Press.
  • Berlin, Isaiah (1956) “The Age of Enlightenment”, vol.iv dalam The Great Ages of Western Philosophy, Boston: Houghton Mifflin.
  • Bordwell, David. “Part Time Cognitivists: A View from Film Studies.” Projections Vol. 4, Issue 2, (Winter 2010): 1-18.
  • Collins, Randall, (1975) Conflict Sociology: Toward an Explanatory Science, New York: Academic Press.
  • Durkheim, Emile (1964b) The Rules of Sociological Method, Terjemahan Sarah A. Solovay dan John H. Mueller, dan George E.G. Catlin (ed), New York.
  • Dutton, Denis. 2009. The Art Instinct: Beauty, Pleasure, and Human Evolution. New York: Bloomsbury Press (paperback edition with afterword, 2010)
  • First ISA Forum of Sociology,  Sociological Research and Public Debate, Barcelona, Spain (2008)
  • Foucault,  Michel  (1967)  The  Order  Things:  An  Arkheology  of  Human  Science,  Terjemahan  dari bahasa Prancis, New York: Vintage.
  • Foucault, Michel (1973) The Archeology of Knowledge, Diterjemahkan oleh A.M. Sheridan-Smith, London: Tavistock.
  • Gie,The Liang. 1976.Garis-garis Besar Estetik, Yogyakarta: Penerbit Karya
  • Gordon,  Milton,  M.  (1964)  Assimilation  in  American  Life,  New  York:  Oxford  University  Press. Reprinted with permission.
  • Hauser, Arnold, 1979, 1982. The Sociology of Art, The Chicago Press., Ltd.,London
  • Holt, Claire, 1967.Art In Indonesia:  Continuities and change,  New York:Cornell University Press,
  • Johnson, Doyle Paul, (1986) Teori Sosiologi: Klasik dan Modern, Jilid 1,, Diindonesikan Oleh; Robert M.Z. Lawang, Jakarta: PT Gramedia.
  • Kaplan, Abraham (1964) The Conduct of Inquiry, San Francisco: Chandler Publishing Company. Kennedy,  Paul  (1995),  Menyiapkan  Diri  Menghadapi  Abad  Ke-21,  Penerjemah  Yayasan  Obor Indonesia (Maimoen S), Jakarta: Yayasan Obor Indonesia.
  • Kayam, Umar. 1981.Seni, Tradisi, Masyarakat. Jakarta: Pen.Sinar Harapan.Bacaan untuk sosiologi dan antropologi
  • Maanen, Hans Van, 2009, How To Study Art Worlds: On The Societal Functioning, Of Aesthetic Values, Amsterdam: Amsterdam University Press
  • Marx, Karl da. Engels, F. (1970) Manifesto of the Communist Party, Peking: Foreign Language Press. Marx, Karl (1955) The Communist Manifesto, New York: Appleton-Century-Crofts.
  • Mc Kim, Robert H.,1980, Thinking Visually: A strategy manual for Problem Solving, California, Wadsworth., Inc.
  • Nagel, Ernest (1961) The Structure of Science, New York: Harcourt, Brace and World, Inc. Newby, H. (1980) “Rural Sociology: a trend report”, Current Sociology, 28
  • Parsons, Talcott dan Shils, Edward.A., (1951a) Toward A General Theory of Action, New York: Harper & Row.
  • Purnama, Ari Ernesto, http://cinemapoetica.com/esai/memetakan-kompleksitas-kajian-dan-teori-film
  • Sanderson,  Stephen,  K.  (1995)   sosiologi   Makro:  Sebuah  Pendekatan  Terhadap  Realitas  Sosial,
  • Simmel, George, (1968) The Coflict in Modern Culture and Other Essay, translated with an introduction by K. Peter Etzkorn, New York: Teacher College.
  • Spencer, Metta dan Inkeles Alex, (1982) Foundations of Modern Sociology, Englewood Cliffs, New Jersey: Prentice Hall, Inc.
  • Walker, John A,.1989. Design History and History of Design, London, Pluto Press,Ltd.
  • Weber, Max, (1949) The Methodology of Social Sciences, diterjemahkan dan disunting oleh Edward A.
  • Wolff, Janet, (2000) “Sosiologi Seni” dalam Kuper, Adam & Kuper, Jesica, (ed) (2000) Ensiklopedi Ilmu-ilmu Sosial, Jilid I, Diterjemahkan Oleh Haris Munandar dkk, Jakarta: Raja Grafindo Persada, hlmn.41-42.
  •  
Artikel ini terdiri dari 5 halaman, klik halaman yang dituju



Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar