Percikan 3) Realisme dan
Naturalisme
Realisme, kadang-kadang disebut juga naturalisme, dalam seni umumnya adalah upaya
untuk merepresentasikan sesuatu objek atau peristiwa secara jujur, tanpa artifisial dan menghindari
konvensi artistik, atau elemen-elemen supranatural yang tidak masuk akal,
eksotis, dan eksotis. Realisme lazim ditemukan dalam berbagai periode sejarah senide,
dan sebagian besar masalah seni realis adalah masalah teknik dan pelatihan, dan
penghindaran dari stilisasi. Stilasi adalah cara menggambar suatu objek dengan
merubah menjadi bentuk baru atau dengan menyederhanakan bentuk yang ada tanpa
meninggalkan karakter dan bentuk objek aslinya.
Sedangkan
naturalisme adalah istilah yang kurang
tepat untuk genre lukisan lanscape (pemandangan alam). Sebab naturalisme seperti realisme adalah
salah satu faham filsafat dan agak lain dengan lukisan lanscape. Lukisan
lanskap adalah seni lansekap, yaitu penggambaran bentang alam dalam seni -
pemandangan alam seperti gunung, lembah, pohon, sungai, dan hutan, terutama di
mana subjek utama adalah pemandangan luas - dengan unsur-unsurnya disusun
menjadi komposisi yang koheren.
Lahirnya faham atau filsafat realisme atau naturalisme bermula
dari Filsuf Perancis, Auguste Comte (1798-1857) memiliki keyakinan bahwa dalam
mencari kebenaran manusia itu menempuh tiga tingkatan, yang pertama melalui
kepercayaan animisme, polytheisme, dan monotheism; yang kedua dalam tingkatan
filsafat metafisika, yaitu manusia menerangkan rahasia alam dengan cara berpikir
abstrak; sedangkan yang ketiga atau positif menurut Comte manusia dapat
menyelami diri sendiri untuk menerangkan rahasia alam, melalui ilmu
pengetahuan, yang dilakukan lewat penyelidikan, dan usaha menarik kesimpulan
dengan cermat. Dijelaskan oleh Comte, bahwa segala sesuatunya itu tidak betul-betul
nyata, kecuali dengan pengamatan yang teliti. Dari titik tolak pemikiran
filsafat Positifisme inilah awal lahirnya pandangan realisme di Perancis.
Dengan pesatnya kemajuan dibidang jurnalistik, kemudian ditunjang
oleh penemuan alat potret oleh Daquerre tahun 1839. Kemudian juga timbulnya
faham realisme dalam kesusastraan, di Perancis. Faham realisme kemudian meluas
ke seluruh benua Barat (1850-1880).
Menurut para realis zaman itu, sesuatu itu tidak boleh diperindah, atau dilukiskan lebih buruk, dari keadaan yang sebenarnya. Ini adalah suatu pandangan yang objektif. Hal ini berbeda dengan pandangan "Romantik", dimana para romantikus suka memandang kebesaran dan kemegahan zaman silam, atau negeri asing yang belum diketahuinya; Kemudian dilukiskan secara semarak, dengan penuh perasaan. Ada yang berpendapat, bahwa pandangan seperti ini adalah suatu cara untuk melarikan diri dari kepahitan hidup di negerinya akibat ketimpangan sosial dan ekonomi jaman itu. Seniman-seniman romantik, suka menggambarkan segala sesuatunya secara berlebihan, mengikuti perasaannya sendiri.
Menurut para realis zaman itu, sesuatu itu tidak boleh diperindah, atau dilukiskan lebih buruk, dari keadaan yang sebenarnya. Ini adalah suatu pandangan yang objektif. Hal ini berbeda dengan pandangan "Romantik", dimana para romantikus suka memandang kebesaran dan kemegahan zaman silam, atau negeri asing yang belum diketahuinya; Kemudian dilukiskan secara semarak, dengan penuh perasaan. Ada yang berpendapat, bahwa pandangan seperti ini adalah suatu cara untuk melarikan diri dari kepahitan hidup di negerinya akibat ketimpangan sosial dan ekonomi jaman itu. Seniman-seniman romantik, suka menggambarkan segala sesuatunya secara berlebihan, mengikuti perasaannya sendiri.
Kaum realis menganjurkan agar masyarakat menjawab masalah sesuai
dengan kenyataan (realitas). Realitas itu perlu digambarkan, bukan untuk
dimanipulasi. Oleh karena itu banyak perupa pada saat itu, melukiskan keadaan
keseharian, dengan catatan bahwa realitas itu dapat direkam dan diceritakan.
Akhirnya lukisan mereka
mengandung sifat narratif dan illustratif. Para realis menentang
semboyan seni untuk seni (L'art pour l'art); mereka lebih menyetujui seni rupa
dimanfaatkan untuk menggambarkan realitas. Lepasnya dukungan finansial para
perupa dengan kaum bangsawan, agamawan saat itu, dan timbulnya golongan
pedagang kaya baru. Maka para perupa terpecah
ke dalam dua perhatian dalam menggambarkan realitas 1) realitas masyarakat biasa atau umum, 2)
realitas masyarakat kelas menengah para pedagang. Pelukis Barat yang pertama melukis
yang bercorak realisme adalah :Honore Daumier (1808-1879), yang dikenal sebagai
pelukis karikaturis, salah satu contoh karyanya : "The Third Class
Carriage"
Lukisan Honore Daumier (1808-1879), "The Third Class Carriage"
Pada lukisan “The Third-Class Carriage” menunjukkan minat Daumier
terhadap kehidupan kelas pekerja di zamannya. Lukisan ini adalah narasi tentang
Gerbong kereta api kelas tiga dengan kompartemen yang sempit, kotor, dan
terbuka dengan bangku-bangku keras, penuh dengan orang-orang yang tidak mampu
membeli tiket kelas dua atau kelas satu. Di bangku yang menghadap penonton, sebelah
kiri duduk seorang wanita memegangi bayinya, dan di kanannya duduk seorang
wanita yang lebih tua dan tangannya menggengam pegangan s keranjang, di selah
kanan terlihat seorang anak lelaki tertidur. Duduk di belakang mereka adalah
barisan wanita dan pria. Lukisan ini pada zaman Daumier dianggap tidak lazim
sebab saat itu yang dihargai sebagai seni lukis bergenre romantik yang
menarasikan kisah heroik atau kisah dari
kelas golongan tinggi dalam masyarakat.
Lukisan-lukisan yang Bercorak Naratif,
Realistik dan Lanscape pada Pameran “Kapacak”
Karya Dirja Putra, Spirit dari Pedalaman". Lukisan ini menggambarkan kehidupan suku pedalaman, di sebelah kiri digambarkan sedang memegang dan memainkan laptop, merepresentasikan kehidupan yang kontradiktif, antara keprimitifan dan kemoderenan yang bersatu padu, lukisan ini semacam ktitik sosial terhadap kurangnya perhatian pemerintah terhadap maslah suku terasing di Indonesia
Kritik sosial yang lain dapat kita lihat pada lukisan Karya Romi Kumik dengan judul 'Fashion'. Lukisan itu dibuat di
atas kanvas berukuran 146 x 190 sentimeter dengan menggunakn cat minyak dan
acrylic yang diselesaikannya pada tahun 2018. Lukisan tersebut memperlihatkan
seorang perempuan Minang bermata biru, berparas khas masyarakat tradisional
dengan mengenakan suntiang yang merupakan hiasan kepala yang biasa dikenakan
oleh seorang pengantin perempuan di Minangkabau. Melalui lukisan tersebut, Romi
ingin menyampaikan kegelisahannya terhadap keadaan saat ini dimana modernisasi
perlahan-lahan mulai mempengaruhi kebudayaan tradisional. "Baik disadari
atau tidak, hal tersebut terus terjadi hingga saat ini dan tidak tertutup
kemungkinan akan terus berlanjut untuk masa-masa yang akan datang,"
tuturnya.Ia menjelaskan, perubahan atau pengaruh terhadap kebudayaan
tradisional divisualisasikannya melalui mata sosok perempuan yang ada dalam
lukisan tersebut. Sosok perempuan tersebut memiliki bola mata yang berwarna
biru, mata inilah yang menurutnya menjadi perwakilan dari kondisi yang yang
terjadi saat ini, sebab biasanya warna bola mata masyarakat Indonesia berwarna
coklat atau hitam. Lukisan ini adalah penanda yang dipakai sebagai penanda adalah pengaruh terhadap sosok perempuan.
Muhammad Ridwan- "Solok"
Percikan (4). Gesture,
Ekspresionisme, dan Abstrak Espresionisme
Gesturalisme, adalah suatu faham yang berkaitan dengan teknik melukis
dan menggambar yang merepresentasikan sapuan kuas. Gestur adalah ibarat sebuah
tulisan tangan yang memperlihatkan subjektifitas. Terdapat anggapan bahwa
seniman juga mampu membuat karya seni
yang memperlihatkan subjektifitas dirinya melalui sapuan kuas. Ungkapan
artistik yang mengandalkan jejak-jejak sapuan kuas dapat dilihat ke waktu
sekitar abad ke 17, dimana Frans Halss (pelukis Belanda) dan Diego Velasques
memperlihatkan karya dengan sapuan kuasnya yang khas.
Ciri gesture ini dapat dilihat dalam perupa moderen Edouard Manet.
Menurut para ahli seni modren, gesturalisme ini muncul sebagai
akibat gerakan ekspresionisme, yang
dimulai oleh pelukis Van Gogh, dan banyak mempengaruhi perupa kemudian. Namun
gerakan gesturalisme yang paling menonjol adalah para perupa yang tergabung
pada "Ekspresionisme Baru" (Neo-Expresionist). Misalnya pada gaya
seni pelukis Vasiliy Ryabchenko
Vasiliy Ryabchenko, Ruang Merah I, 1989
Pemanfaatan gesture itu pada pameran “Kapacak” terlihat pada
lukisan Ibrahim, Eka Susilawati, Erizal As, Irwandi dan Abdul Rozak
Ibrahim (Untitled), 200x200, Acrilic, pastel, pencil on canvas,
(2018), akibat gesture objek yang digambarkan menjadi berkesan impresionistik,
dan lebih menonjolkan kode-kode estetik (tujuan keindahan). Gesture dan Impresionisme
bisa saja menyatu dalam aksi seni. Seperti Ibrahim adalah realitas yang sudah
terdistorsi sedemikian rupa oleh
gesture.
Eka Susilawati, “Village”. 100x100, acrilic on Canvas, village
atau kampung, adalah realitas yang sudah terdistorsi sedemikian rupa oleh gesture. Gesture dan ekspresionisme bisa saja
menyatu dalam aksi seni. Seperti lukisan Eka Susilawati, yang digambarkan sesuai dengan judul
lukisannya adalah village atau kampung, adalah realitas yang sudah terdistorsi
sedemikian rupa oleh gesture.
Erizal AS, Lapis Alasan, 150x150 Acrilic on canvas, Ibrahim memanfaatkan gesture untuk menciptakan simbol metafor tertentu, seperti yang ingin diungkapkannya, dalam diskusi dan gunjingan banyak alasan yang muncul untuk pembenaran, dan memiliki warna dan tektur yang beragam.
Irwandi, Tarian Kuning, 170x125 ( 3 panel), acrilic on canvas, adalah jenis lukisan di mana realitas yang sudah terdistorsi sedemikian rupa oleh gesture, yang muncul adalah komposisi sapuan kuas di atas kanvas, yang dapat mendorong realitas baru, lukisan adalah semacam dorongan irama jiwa pelukis (lirisme). Tarian kuning bisa ditafsirkan gambaran orang berbaju kuning sedang menari (arti objektif), bisa juga dalam pengertian metaforis (kiasan).
Dapat disimpulkan pada lukisan-lukisan yang memanfaatkan gestur (pemanfaatan sapuan
kuas), biasanya pelukis menggunakan kuas yang agak besar, dan objek yang
dilukiskan masih bersifat representatif. Suatu representasi adalah suatu
penggambaran seseorang, tempat atau benda. Sedangkan representasional adalah
karya seni rupa yang menunjukkan
kenyataan suatu objek, yang terakhir ini
berseberangan dengan pengertian abstrak.
Sedangkan ekpresionisme dapat didefinisikan sebagai kekebasan
mendistorsikan bentuk dan warna untuk melahirkan emosi ataupun sensasi dari
dalam. Tetapi biasanya sensasi dari dalam itu dihubungkan dengan penderitaan,
jadi Cara ekspresi adalah suatu kecendrungan dalam seni-rupa yang awalnya lebih dirangsang oleh nilai
subjektif misalnya dalam lukisan-lukisan jenis “Die Brucke dan Blaue Reichter”
dan gejala ini dapat kita lihat pada
lukisan-lukisan “post-ekpresionisme. . Dalam sebuah pribadi (perupa
maksudnya) ditemukan akan kesadaran isolasi, dan keterpisahan, serta adanya kesedian perupa
untuk menemukan inspirasi dalam isolasi itu. Umumnya Seni-rupa Ekpresionisme dipandang sebagai sarana untuk
menginterpretasikan dunia dalam diri perupa
atau dunia emosi.
Percikan (5). Seni Lukis Abstrak
Banyak orang berpendapat bahwa seni rupa moderen itu adalah seni
abstrak, dalam kenyataannya "arus besar" (mainstream) seni rupa
moderen memang cendrung abstrak. Namun demikian beberapa perupa moderen seperti Salvador Dali, Willem
de Kooning, Pablo Picasso bukanlah perupa abstrak.
Walaupun kata abstrak itu
menunjukkan suatu kata sifat (adjektif); kata abstrak juga dapat dianggap
sebagai kata kerja. Sebab mengabstraksikan artinya adalah menggenalisir. Di
contohkan oleh Atkins (1990:35) tentang proses representasi dan abstraksi
tentang gambaran sebuah wajah manusia; yang disebut abstrak disuatu pihak dan
representasi dipihak lain, yang diproses
dengan menghapus bagian-bagiannya.
Misalnya ada duabelas gambar yang sama dari suatu wajah. Gambar
pertama memperlihatkan representasi yang lengkap dan sangat detail. Gambar
kedua dan seterusnya beberapa bagian sudah dihapus, dan yang terlihat adalah
sketsa saja yang memfokuskan pada mata.
Gambar kesepuluh dan seterusnya hanya memperlihatkan jenis kelamin. Akhirnya
gambar ke duabelas hanya bentuk oval tanpa isi. Proses ini disebut dengan
abstraksi. Disimpulkan bahwa pertentangan antara abstraksi dan representasi
adalah suatu batas-batas dari sesuatu yang menerus (continuun). Gambar pertama
disebut dengan representasi, sedangkan gambar keduabelas adalah abstrak. Gambar
ke seepuluh lebih abstrak dari gambar kedua.
Sifat abstrak dan benda abstraksi sebenarnya dipengaruhi oleh proses
pengerjaan. Jadi imaji abstrak sebenarnya dilatarbelakangi oleh realitas juga,
seperti gambar keduabelas yang disebut abstrak, atau pemberian bentuk atau
sesuatu, yang inheren (melekat) dengan sesuatu yang nonvisual. Misalnya warna
merah, yang dapat merepresentasikan bahaya.
Ide-ide tentang sensasi yang ditimbulkan oleh sebuah musik, rupa atau
tulisan yang populer pada abad ke 19, yang disebut dengan "Synesthesia", membantu kita untuk
memahami apa yang disebut dengan "abstraksi". Sistem tanda dalam
bidang bahasa mungkin contoh lain dari
abstraksi.
Beberapa pelukis yang
memiliki kecendrungan seni abstrak antara lain : Randi Pratama “Celebrating The
Rain”, dan Hamzah dengan judul “Ada Antara Tumpukan”.
Randi Pratama “
Celebrating The Rain”
Hamzah dengan judul “Ada Antara Tumpukan”.
Kiasan (Allegories), Metafora
Kiasan adalah suatu imaji dari sebuah
cerita yang berhubungan dengan sesuatu hal, misalnya tentang konsep mengenai
kebaikan dan keburukan. Meskipun Simbol
dan alegori memiliki hubungan, penggunaan simbol terkait dengan makna yang
disepakati, walau antara simbol dan alegori
berbeda namun agak sulit membedakan makna keduanya.
Banyak lukisan simbol yang berakar dari realitas, misalnya simbol
simbol cinta berbentuk hati. Namun allegori tidak seperti simbol, misalnya
kesadaran tentang hubungan Venus dengan cinta yang romantis sifatnya abitrer.
Yang memiliki hubungan langsung dengan allegori adalah personifikasi, misalnya
seseorang yang berdiri di depan, mengkiaskan pemerintahan yang baik. Secara
tradisional penggunaan kiasan, adalah dengan adanya sebuah informasi disamping
sebuah karya seni, berarti pengamat harus mempelajari kiasan tersebut dari
referensi tertentu.
Penggunaan allegori adalah sebuah tahap gaya pada seni
Barat, yaitu saat para seniman mencoba mulai untuk mencari makna karyanya
melalui berbagai tulisan, biasanya berasal dari
literatur lama. Beberapa seniman yang menggunakan allegori ini antara lain Max Beckman, Georges Brague,
Giorgio de Chirio, Max Ernst, Paul Gauguin,
Ferdinand Leger, Jose Clemente Orozco, Pablo Piocasso dan Odilon Redon,
tema yang mereka ambil umumnya menyorot tentang kemanusiaan.
Beberapa perupa dan karya seni sekitar tahun 1950 sampai pertengahan
tahun 1970-an, masih sedikit bersifat alegoris, misalnya pada karya-karya
pelukis New Realis (realis baru), seperti pada pelukis Jack Beaal. Pada gerakan
Posmoderen allegori ini berubah. Kembalinya imaji historis dan figuratif,
seakan-akan bertentangan dengan seni abstrak. Pelukis Amerika Robert Colescott,
menggunakan istilah "masterpieces in Black face", yang menggambarkan kiasan tentang rasialisme di
Amerika. Kecendrungan formalisme dalam seni moderen, memang memiliki kelemahan yang mendasar, yakni melecehkan
fenomena makna sehingga dia terjebak pada fenomena perseptual-formal-kongkrit
semata. Sebagai salah satu jalan keluarnya para seniman menggunakan allegori,
simbolisasi dalam karyanya.
Gejala gejala alegoris ini jelas terlihat dari
judul-judul karya yang memperlihatkan secara tipis antara judul dengan objek
yang digambarkan. Misalnya pada karya Yasrul Sami, dengan “restorasi” nya, kemudian Gusmen
Heriadi “ Dendang Bentang”, Martwan M- “Hilang”
Karya Yasrul
Sami, “Restorasi”, alegoris yang abstraksinya tinggi.
Jelas sekali pelukis membuat sesuatu melalui simbol, simbol
tertentu, kita dapat memeriksa lukisan
yang latarnya didominasi warna tanah, coklat muda yang merupakan lambang bumi
atau tanah. Dan di lukis memanjang ke bawah125x225. Kemudian meletakkan
objek-objek yang mengabur di sebelah kiri atas yang mengeriput yaitu tempelen
kertas yang di lem, kemudian dua objek yang sama pada kanan bawah, ketiga objek
itu bertabur cat yang meleleh berwarna coklat sampai ke bagian bawah lukisan. Dan
ketiga objek itu merupakan tokoh cerita, atau figur dalam lukisan ini, yang
melambangkan keterpisahan, ketidak harmonisan dan ketidaksatuan. Kemudian ada
jejak-jejak angka 4 di bagian kanan di
tengah dan kiri bawah. Kita bisa saja menafsirkan semua itu merupakan simbol-simbol
dari tajuk restorasi (perbaikan). Dimana
dalam perbaikan itu tidak ada kesepakatan dan berdarah-darah. Angka empat dan bentuk gonjong pada bagian bawah kanan lukisan ini berasosiasi dengan simbol dan tradisi Minang. Secara keseluruhan lukisan ini mudah di tebak bahwa adat Minang itu jelek, sebab masyarakatnya pecah dan tidak bersatu.
Karya Gusmen
Heriadi “ Dendang Bentang”
Dalam lukisan ini Gusman menggambarkan
ojek-objek yang sama sekali tidak mudah dikenali, kecuali bentuk-bentuk dasar
seperti bulatan putih sebagai lambang
yang bersih, kemudian bentuk kelopak bunga di bagian atasnya berwarna merah
muda, kemudian ada bentuk monumen kecil warna biru di bagian tengah atas. Semua
objek ini berlatar warna abu-abu. Secara keseluruhan lukisan ini menggunakan
warna ceria, dan judul lukisan ini “dendang” adalah nyayian atau lagu.
Sedangkan bentang asalnya sebenarnya
bahasa sunda, yang artinya “bintang:. Dari judul kita bisa menginterpretasikan
makna lukisan ini tentang sebagai nyayian bintang, jika memang ini yang
dimaksud maka objek yang digambarkan bisa jadi adalah seorang artis yang sedang
menyanyi.
Martwan M- "Hilang"
Pada lukisan Marwan yang berjudul hilang, mudah ditebak dan
menginterpretasikann, sebab kata “hilang” , berasal dari kiasan “hilang di
telan bumi”, dan tanda-tanda bumi adalah warna coklat muda yang mendominasi
lukisan ini. Kemudian rongga putih di
tengah lukisan menggambarkan rongga atau lobang.
Alegori Seni Naif
Ungkapan kenaifan, sebenarnya bagian dari seni narasi, tetapi
dengan mengkias (Alegories). Menurut kaca mata Barat Seni Naif, diciptakan oleh
perupa yang tidak memiliki pendidikan formal yang baik, namun mereka memiliki
obsesi untuk menciptakan karya seni rupa. Seni Naif ini terlihat innosen,
kekanakan dan memiliki spontanitas dan biasanya sederhana. Para perupa naif
memiliki komposisi dan teknik yang mapan, dan banyak diantaranya yang memiliki
konsistensi dalam berkarya. Sebuah sinonim virtual dari Seni Naif adalah
"Outsider Art", (seni rupa orang pinggiran), meskipun pengertian yang
terakhir ini sedikit banyaknya berkaitan dengan seni rupa pinggiran dari
masyarakat "mainstream" (arus besar), seakan berbau psikotik.
Norma Fauza “Memilih Duka”
Percikan (6) Seni Konsep (Conceptual Art),
Seni Rupa yang Mengabaikan Material
Umumnya perupa Konseptual lebih mengutamakan gagasan atau ide
dari pada yang lainnya. Mereka menawarkan sikap ekstrim, yang berkeberatan dengan media seni rupa konvensional, dan
mencari kemungkinan yang paling radikal
dengan konsep dan sungguh-sungguh memperjuangkannya pada karya mereka.
Konseptual Art dapat disatukan oleh suatu sikap penggunaan bahasa verbal,
dimana bahasa, ide menjadi penting dalam
seni. Sedangkan aspek visual yang menyenangkan mata hanyalah bersifat sekunder,
apa saja halal dilakukan, baik yang puritan, yang berpengaruh atau tanpa
pengaruh secara visual.
Romi Armon “Menyentuh Rasa
Mencari Kemungkinan”
Sejak kehadiran Seni-rupa Konsep pengkotakan seni-rupa yang satu
dengan yang lain secara fisik mulai kabur. Seni-rupa konsep mengambil
(annexation) hampir semua potensi jenis seni-rupa maupun tidak seni rupa.
Mereka menemukan nuansa baru dalam seni-rupa sebagai pengganti lukisan atau patung.
Bahasa, surat kabar, majalah, advertising, pos, telegram, buku-buku, katalogus,
foto copy, filem, video, anggota badan, penonton, bahkan dunia ini isa dijadikan medium maupun objek seninya.
Tidak semua karya yang dipamerkan di bahas pada tulisan ini-- namun paling tidak --semua model katya seni yang diuraikan di atas, adalah beberapa pengaruh yang mungkin kepada para perupa secara langsung atau tidak lansung, baik belajar melalui otodidak maupun akademis. Sebaliknya klaim atas pengaruh ini juga bisa kurang tepat, sebab ini hanya baru dugaaan (interpretasi), tetapi paling tidak uraian ini sebenarnya ingin membongkar kesamaan-kesamaan konsep seni yang sudah ada selama ini digunjingkan di dunia kesenirupaan dengan yang apa yang dipamerkan pada pameran "Kapacak" yang di pamerkan di Museum Bung Hatta, pada tanggal 11 hingga 17 September 2018, di kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Percikan (7) Seni Optik (optical Arts)
Menurut Murray ), Seni Optik didasari oleh gagasan pelukis atau
pematung yang dapat membuat efek-efek optik
yang mampu untuk menghasilkan kesan ilusi ( sebagian dari karya itu
mengesankan gerak dan kedalaman yang disebut kinetik). Tetapi menurut Smith, gagasan ini
dikembangkan oleh jurnalistik yang suka mengelompokkan gaya-gaya seni sesudah
gaya Seni Pop [1]).
Menurut Smith, lukisan optis, akarnya
ada pada tradisi Bauhaus, dan Seni Optik adalah akibat dari berbagai eksperimen
yang telah dirangsang oleh Bauhaus.
Sebagai sebuah nama, Seni Optik telah digunakan secara umum sejak
musim gugur tahun 1964, yang diterapkan secara bebas pada karya-karya yang
mengeksploirasi warna kromatis atau atas karya yang berhubungan dengaan arti
ganda. Dalam kenyataannya setiap lukisan berhubungan dengan ( seperti yang
dijelaskan oleh Josef Albers) : ‘ ketidak sesuaian antara kenyataan fisik dan
kesan psikis’. Istilah Seni Optik ini diciptakan di Amerika Serikat , dan
digunakan pertama kali di surat kabar Time (oktober 1964) dan dua bulan
kemudian menjadi berita utama di Life.
Lukisan Yan Indra "Konstruksi
Huruf-Huruf dalam Dimensi Ruang II"
Memang tidak semua seniman ingin mengemukakan konsep, berekspresi atau berkias dan melukiskan lambang-lambang tertentu dalam karyanya. Ada saja perupa yang ingin bermain dengan ilusi optik. seperti karya Yan Indra (2018) ini. Yaitu menggunakan huruf (font) semagai media menciptakan ruang ilusi. Jenis seni ini termasuk seni konkret, yang tidak dibebani oleh makna tertentu, dan semata bermaksud menggelitik mata untuk menciptakan ilusi.
Penutup
Tidak semua karya yang dipamerkan di bahas pada tulisan ini-- namun paling tidak --semua model katya seni yang diuraikan di atas, adalah beberapa pengaruh yang mungkin kepada para perupa secara langsung atau tidak lansung, baik belajar melalui otodidak maupun akademis. Sebaliknya klaim atas pengaruh ini juga bisa kurang tepat, sebab ini hanya baru dugaaan (interpretasi), tetapi paling tidak uraian ini sebenarnya ingin membongkar kesamaan-kesamaan konsep seni yang sudah ada selama ini digunjingkan di dunia kesenirupaan dengan yang apa yang dipamerkan pada pameran "Kapacak" yang di pamerkan di Museum Bung Hatta, pada tanggal 11 hingga 17 September 2018, di kota Bukittinggi, Sumatera Barat.
Padang, 18, Nopember, Akhir Tahun 2018
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar