Sabtu, 17 November 2018

Komentar terhadap Katalog Pameran “Kapacak” dari Komunitas Tambo


Oleh Nasbahry C.

........seni adalah bentuk komunikasi emosional yang paling ampuh. .......(banyak) contoh-contoh orang yang mampu mendengarkan musik dan menari selama berjam-jam tanpa lelah dan orang yang membaca sastra memiliki kemampuan membawanya ke tempat yang jauh, membayangkan tanah (tempat) lain di dalam kepala mereka. Bentuk-bentuk seni memberi manusia kepuasan yang lebih tinggi dalam melepaskan (emosi mereka) daripada sekedar  mengelola emosi mereka sendiri. Seni memungkinkan orang untuk memperoleh pelepasan emosi yang terpendam baik dengan (1) menciptakan pekerjaan (seni) atau dengan (2) menyaksikan (seni) dan (3) mengalami apa yang mereka lihat di depan mereka. Alih-alih menjadi penerima tindakan dan pengaruh gambar pasif, seni itu ditujukan (tersedia) bagi orang untuk dapat menantang diri mereka sendiri dan bekerja dengan emosi  mereka --atas apa yang -- dilihat dan tersaji dalam pesan artistik.
Noy, P.; Noy-Sharav, D. (2013). "Art and Emotions". 
Penulis sudah lama tidak ke UNP Padang, tapi oleh urusan buku-buku yang di tulis oleh  staf pengajar disini, ketemu dengan Ucok (Yasrul Sami B.,) yang sebagai seniman dan juga mengajar  di tempat ini. Beliau menyodorkan katalog pameran “Kapacak” oleh komunitas “Tambo Art Center”, dalam pameran seni rupa kontemporer Tambo #3 yang digelar selama satu minggu mulai dari tanggal 11 hingga 17 September 2018, di kota Bukittinggi, Sumatera Barat. Dan Ucok nampaknya adalah “panitia” bagian diskusi pada acara akbar tersebut. Penulis memang tidak diundang, dan baru tahu kalau ada ada acara, seperti ini. Tapi ucok sambil “bagarah” (bercanda), mengatakan “pak  tolong ya,  tulis komentar terhadap pameran (katalog) ini”.  Sebetulnya saya berat hati, untuk menulis sebab takut ada yang tersinggung, karena tulisan-tulisan saya sering kritis, dan  tajam. Tapi  saya tertarik juga. Walau tidak menghadiri pameran, paling tidak saya melihat beberapa hal yang agak  menarik untuk di bahas. Jadilah tulisan ini. 

MENURUT Rahmat, Syahrul (2018) wartawan Antara, [1]pemilihan tema “Kapacak” berangkat dari istilah bahasa Minang yang berarti kecipratan atau percikan. Pameran yang digelar untuk kali ke tiga ini menyiratkan makna percikan yang dapat memberikan dampak terhadap para penggiat, kelompok, komunitas atau kantong-kantong seni rupa yang ada di Sumbar. Mirip dengan pemikiran ini, tulisan Suwarno Wirosetomo, yang menulis  dengan topik “ Seni yang menggerakkan” yang ada pada katalog pameran nampaknya senada dengan ini.

Namun pemilihan kata ini menurut penulis kurang pas atau kurang tepat.  Sebabnya yang terpikir oleh penulis di antaranya: pertama: lazimnya sebagai sebuah “tema pameran”  fungsinya adalah pemersatu (Unifying Theme) bagi karya yang dipamerkan. Artinya tema pemersatu inilah yang akan mewarnai karakter setiap karya yang dipamerkan.  Kedua: adalah soal nomenclatur (tatanama), menurut hemat penulis  kata “Kapacak” (minang) adalah “percikan” dalam bahasa Indonesia dan “spark” dalam bahasa Inggris. Adalah kata benda (nomina), kata benda adalah suatu kata baik yang sifatnya abstrak maupun konkret merujuk pada bentuk dari suatu benda.

Sehingga dapat dikatakan bahwa definisi kata benda (nomina) adalah kata-kata yang sifatnya merujuk dari bentuk sebuah benda atau barang. [2] Misalnya hasil percikan lumpur pada baju. Artinya ‘”kapacak” adalah hasil dari suatu keadaan atau peristiwa. Sebaliknya mamangan  adat minang “ taganang sawah di ateh, baraia/ kalimpahan sawah di bawah”  bukanlah sebuah kata benda tetapi sebuah metafor, penanda (indeks/indikasi)  tentang hal yang  diinginkan (dan itu belum tentu terjadi). 

Seperti yang ditulis Nessya Fitriona dalam katalog itu (hal.59): “ Metafor pada pepatah Minang ini sepadan maknanya dengan “kapacak”. Artinya sebuah perbuatan yang tidak hanya membawa dampak  secara individu, tetapi juga ikut memberikan pengaruh atau dampak pada sekitarnya”. Artinya kata “kapacak” dengan “mamangan adat”itu adalah seuatu yang berbeda. Yang satu menjelaskan sesuatu yang sudah terjadi, yang lain menggambarkan yang belum terjadi atau hal yang diinginkan.

Dengan pengertian seperti ini penulis sebenarnya tidak tertarik lagi membahas arti kapacak sesuai dengan pengantar dalam katalog. Atau dari sisi  pandangan yang diberikan pada katalog. Dan sebagaimana halnya juga apresiator, penulis  tentu lebih tertarik membahas karya yang dipamerkan.  Dengan catatan  adanya penafsiran lain tentang kata “kapacak” ini. Yaitu percikan pengaruh terhadap gaya seni para pelukis yang beragam itu.

Artinya penulis berpikir dan menyadari bahwa kata “kapacak” ini bisa juga dapat dimanfaatkan dalam pengertian “pengaruh  terhadap gaya seni peserta pameran”, yang mengakibatkan adanya ciri-ciri tertentu yang beragam dari karya serta latar belakang peserta pameran.  Hal ini sejalan dengan situasi peserta pameran dan mejadi tema pemersatu (unifying theme). Hal inilah yang mungkin bisa ditulis lebih lanjut.

Menurut Rahmat, S. (2018) [3] dalam pameran ini setidaknya terdapat 32 orang seniman yang ikut terlibat. Seluruhnya tidak hanya perupa yang berasal dari Sumbar, akan tetapi juga ada yang berasal dari luar daerah, seperti Pekanbaru, Jambi, Bandung hingga Yogyakarta. Dari seluruh perupa yang terlibat, terdapat sebanyak 34 karya yang terdiri dari karya tiga dimensi, dua dimensi serta multimedia.

Lebih lanjut Rahmat, S.menjelaskan, pameran ini terdapat 3 buah karya tiga dimensi berupa patung dan sisanya karya dalam bentuk 2 dimensi berupa lukisan dengan gaya yang berbeda. Karya-karya tersebut berasal dari sentuhan tangan perupa, baik yang sudah lama malang melintang di dunia seni rupa hingga yang sedang atau baru saja menyelesaikan pendidikan di bidang tersebut. Beberapa seniman atau perupa yang terlibat dalam pameran ini adalah Abdul Rozak, Dirja Putra, Eka Susilawati, Erizal As, Erlangga, Fazar Rona, Gusmen Heriadi, Habi Maulana, Hamzah, Hendra Sardi, Herisman Tojes, Imam Teguh SY dan Ibrahim. Selain itu terdapat Irwandi, Ismed Sajo, Desca Delaren, Jumaldi Alfi, Kamal Guci, Mardi Wadra, Martwan M, Muhammad Ridwan, Nasrul, Nofriadi, Norma Fauza, Pino Yudi Winara, Randi Pratama, Romi Armon, Romi Kumik, Syahrial, Yasrul Sami B, Yasrul Sami, Yon Indra, Yunizar dan Zulkarnaini.

Bukan  Seni Barat

Sebenarnya kita di Indonesia, termasuk di Sumatera Barat, kena percikan tradisi seni Barat. Tetapi apa tradisi itu, banyak juga yang menarik untuk di bahas. Karena banyak hal yang juga kita tidak tahu. Untuk mengenal tradisi seni ini mungkin kita bisa membahas dalam hal mana saja tradisi seni barat itu mempengaruhi  Indonesia, khususnya di Sumatera Barat. Hal ini memang sudah banyak dikaji, tetapi mungkin banyak hal yang perlu didiskusikan, misalnya bagaimana dan apa bedanya tradisi seni Timur dengan Barat.

Menurut Yan Bao [4] Konsep estetik adalah topik yang kompleks sejak jaman dahulu, dan ini terutama berlaku ketika menelusuri lintasan budaya hubungan kita dengan keindahan. Seniman Barat dan Timur cenderung menggunakan perspektif yang berbeda untuk mewakili dunia visual, baik dalam geometris maupun dalam arti metafora. Tradisi Barat dalam berseni sejak zaman Renaissance mencoba menciptakan persepsi yang tepat dari lingkungan visual yang dilihatnya. Sebaliknya pelukis Timur seperti Cina tidak pernah mengembangkan gagasan ruang sebagai entitas geometri terukur dengan mengembangkan matematik untuk mengatur ruang dan menciptakan hubungan spasial yang tepat (Delahaye, 1993).

Tradisi Barat dalam melukis menurut Yan Bao, mencoba menciptakan pandangan yang tepat tentang apa yang mereka lihat (atau apa yang mereka yakin dilihatnya); perspektif geometrik dikembangkan untuk menciptakan ilusi tiga dimensi dengan cara perspektif satu titik atau konvergen (Kubovy, 1986 ). Namun, harus ditunjukkan bahwa perspektif sentral dalam seni Barat sudah merupakan abstraksi (Worringer, 1908 ), dan itu sama sekali bukan representasi geometrik yang benar dari apa yang kita lihat. Tradisi inilah yang dikembangkan seni barat dalam melukis, apakah itu dalam lukisan, gambar atau komik.

Selanjutnya, menurut Yan Bao seniman Barat cenderung untuk menangkap momen tertentu dalam adegan visual dan memperbaiki posisi fisik pemirsa. Hal ini bisa kita lihat dalam gaya seni lukis Barok (Baroque), seni lukis Romantik, bahkan realisme. Sebaliknya, ketika melihat lukisan pemandangan Tiongkok, tidak ada titik berbeda untuk memandu pemirsa. Pandangan Cina memiliki kualitas dinamis yang mengintegrasikan jendela waktu berturut-turut (Bao et al., 2015 ), dan mencakup panorama pemandangan visual, yang mungkin terkait dengan pandangan mengambang (Tyler dan Chen, 2011 ).

Karena sudut pandang multi-layer di atas satu sama lain pada bentuk gulungan (tradisi seni Cina), penonton memiliki kesan sedang diundang untuk mengubah posisi seseorang secara dinamis, kadang-kadang berada di udara (misalnya, melihat ke bawah dari atas), kadang-kadang terletak di tanah (misalnya, melihat pemandangan lurus ke depan), dan kadang-kadang berada di tanah yang lebih rendah (misalnya, melihat ke atas di pegunungan yang jauh); lebih penting lagi, bagaimanapun, adalah konsekuensi psikologis dari posisi pergeseran ini sehingga pemirsa menjadi bagian dari adegan secara subyektif.

Menurut Primadi Tabrani, cara pandang seperti ini juga terdapat pada seni di Indonesia, misalnya pada relief candi dan seni lukis Bali.

Perbedaan menarik lainnya sehubungan dengan perspektif dalam pengertian yang lebih umum adalah terkait dengan subjek gambar lukisan Barat dan Cina. Artis Barat menyukai adegan yang berpusat pada objek, sedangkan seniman Cina lebih menyukai adegan yang berorientasi pada konteks. Lukisan di Barat biasanya berusaha untuk membuat objek menonjol, yaitu, untuk membedakan objek dari latar belakang (Masuda et al., 2008 ).

Lukisan di Gua Leang-leang, Sulawesi, Indonesia

Di Cina itu sebaliknya; Seniman Cina sangat menekankan konteksnya, sering kali dengan tema meditatif yang menunjukkan sosok manusia kecil, seolah-olah manusia tertanam dalam lingkungan alam dan terpesona atau terinspirasi oleh lanskap pegunungan (Turner, 2009 ).

Jika kita melihat lukisan Yunizar (sebagai salah satu peserta pameran) seperti di bawah ini maka kita bisa memahami bahwa Yunizar lebih Timur atau lebih Indonesia, dari pada Barat, lukisan Yunizar memaparkan objek menyebar di atas kanvas, tanpa ada fokus kepada objek tertentu.


Yunizar, "23.30", 150x150 cm. Acrlilic on canvas

Artinya seni lukis Yunizar, dapat dikatakan berangkat dari tradisi asli seni Indonesia atau Timur, bukan pula tradisi seni Cina, dan tradisi seni Barat. Lukisan ini judulnya aneh yaitu  tentang waktu, sesuatu peristiwa yang terjadi pada jam "23.30". Menurut Ucok harga lukisan ini satu milyar di tawar kolektor, tapi tidak dilepas oleh pelukisnya.

Pengaruh Seni Barat 1:  Narasi

Tradisi seni barat yang lain adalah sifat naratifnya, dan sebetulnya ini hanya sifat umum saja dari seni sebab apapun jenisnya cendrung ke narasi. Seni rupa naratif umumnya memiliki beberapa ciri diantaranya adalah imajinasi dan perasaan daripada persepsi rasional tentang kenyataan, susunan elemen rupa yang senantiasa ramai, dan kecenderungan mengambil ide dari cerita. Tradisi ini di Barat sebenarnya menonjol pada lukisan-lukisan agama kristen yang ingin menjelaskan ajarannya melalui gambar atau lukisan [5]]




Lukisan Michael Angelo, "Penciptaan Nabi Adam", pada Kapel Sistne, Italia

Salah satu contoh narasi dalam tradisi seni Barat,  terlihat pada lukisan “Penciptaan Adam” (Italia : Creazione di Adamo ) adalah lukisan fresco oleh Michelangelo, yang merupakan bagian dari langit-langit Sistine Chapel , dicat c. 1508–1512. Ini menggambarkan narasi penciptaan di mana Allah memberikan kehidupan kepada Adam, manusia pertama. Fresco ini adalah bagian dari skema ikonografi yang kompleks dan secara kronologis merupakan yang keempat dalam serangkaian panel yang menggambarkan episode-episode dari Kejadian. Citra tangan Allah yang sangat menyentuh dan Adam telah menjadi ikon kemanusiaan. 



Lukisan Imam Teguh SY (betu-betu)  “Kapa ka rantau”. (2017), 140x160, Mixed Media

"Kapa ka rantau" ( kapal ke rantau) digambarkan agak aneh, kapalnya melayang di udara, di atasnya ada rumah atau pondok buruk dan kapal ini dihubungkan dengan tangga tali ke bumi. Penumpang yang berada di bumi ramai dan berdesakan, namun ekspresi mereka juga ganjil, karena mereka bukan memandang kapal, tetapi saling berbicara satu sama lain dengan wajah gembira dan bukan sedih untuk berpisah. Kapal ini di tafsirkan melayang di udara karena pada bagian kiri dan di bawah kapal terlihat  bulan yang terbelah.

Dapat ditafsirkan bahwa lukisan Imam Teguh SY (Betu-betu) menonjolkan sifat narasi atau berkisah. Lukisan ini melalui judulnya mungkin menggambarkan perantauan orang minang dengan kapal. Kisah seperti ini hanya ada pada zaman lampau, saat pesawat terbang belum ada. Dan satu-satunya alat angkut saat itu hanya melalui kapal laut, jadi gambaran ini seakan menjadi mitos, atau semacam dongeng, yang bisa jatuh menjadi metafor (perumpamaan). Rata-rata pelukis minang memang suka bercerita, berkias dan menjadikan lukisannya menjadi tanda atau simbol tertentu yang dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari. Lukisan  ini akhirnya bisa ditafsirkan tentang kematian manusia yang akan berangkat menuju alam baka, atau ke negeri dongeng, dan  kepergian itu di lambangkan  dengan keberangkatan (dengan kapal), lukisan ini dapat menjadi tanda-tanda dengan makna tertentu yang dapat dibaca melalui semiotika.

Pengaruh seni Barat (2). Estetika Bentuk, Formalisme:  Melukiskan objek atau subjek secara sempurna (ideal)

Kita ketahui salah satu teknik dalam menciptakan karya seni­rupa dan desain umumnya dilakukan seniman melalui pemilihan bentuk, warna, garis, ukuran dan unsur-unsur visual lainnya. Pelukis menyediakan beberapa warna di atas paletnya pematung melalui seonggok tanah liat atau batu, arsitek melalui sejumlah material dan kemungkinan struktur yang dapat diujudkan ke bentuk bangunan. Mereka kemudian mencoba menyusun apa yang disebut bentuk, susunan atau struktur tertentu. Salah satu cara seniman dalam meujudkan bentuk itu adalah melalui pengurangan atau reduksi. Warna yang banyak itu akhirnya dipilih beberapa warna saja sampai tercapai teratur warna. Bentuk tanah liat yang kacau itu ditertibkan sampai tercapai bentuk.

Suatu analogi yang baik adalah alam itu sendiri. Alam semesta ada yang teratur dan ada yang tidak tertib. Partikel gula dalam air kacau dan khaos. Tumbuh-tumbuhan di hutan berkembang berdasarkan yang kuatlah dapat tumbuh dan hidup normal. Awan dan hujan juga khaos, hujan hanya dapat di ramalkan, dan penuh ketidak pastian, walau dengan teknologi mutakhir sekalipun. Jadi alam tidak seperti diduga orang, walaupun ada yang mengatakan alam itu teratur sebenarnya dia khaos, dan tidak tertib. Alam berlawanan dengan seni, walaupun kekhaosan itu bisa merangsang pengalaman estetik. Namun seni berangkat dari ketertiban. Musik misalnya adalah bunyi yang di aransir, karya lukisan teratur visual yang di bingkai. Tari adalah gerak yang di pentaskan. Drama adalah kehidupan yang diredusir dan ditampiIkan.

Bisa kita amati perbedaan palet dengan lukisan, warna-warna pada palet kelihatan kacau atau tidak tertib. Salah satu innervision (visi dalam) seniman dalam mencipta adalah demi kepastian dan ketertiban. Dalam proses berkarya seniman berusaha menyusun bunyi (musik), rupa (seni rupa), rupa dan suara (tari), elemen bangunan (arsitektur), dan hal ini sudah dilakukan orang sejak lama.

Dalam proses reduksi itu terdapat banyak sekali kemungkinan yang terjadi. Pada umumnya seniman berkarya melalui repertoar yang memungkinkan alternatif pilihan, dan akhirnya memilih yang sesuai visinya. Akhirnya dia mengikuti pola tertentu. Menyusun piktorial adalah proses menertipkan unsur-unsur visual yang ada pada karya.

Mungkin ada cara tertentu dalam proses pengaturan itu. yang hanya sekali dilakukan orang. Tetapi banyak kemungkinan seniman melakukan cara yang sama, berulang-ulang dan menghasilkan karya dengan tujuan teratur bentuk, jadi tak salah jika teratur disebut sebagai suatu gaya, karena dilakukan berulang sampai hari ini.

Tertib artinya teratur atau menurut aturan tertentu. Batasan ini menimbulkan pertanyaan, kenapa dikatakan karya seni-rupa itu adalah menciptakan keteraturan ? Kenapa "persepsi realitas" bentuk pada karya harus dihubungkan melalui teratur ? Apakah spontanitas atau ekspresi spontan dalam berkarya itu bisa disebut teratur ?

Jawabnya adalah ya, namun peringkat tertibnya yang berbeda, melalui cara meujudkan teratur itu. Sebab spontanitas dalam lukisan ternyata juga menampilkan suatu struktur visual, struktur itu suatu bahasa yang menyampaikan makna.

Karya spontan tidaklah dalam keadaan yang "entropis" (keadaan yang kacau). Hal ini dapat dibandingkan dengan palet sebagai tempat mengaduk cat melukis, warna pada palet adalah repertoar yang kaya, namun visualisasi yang terdapat di palet adalah suatu kebetulan belaka. Visualisasi itu tidak melalui proses pengamatan atau seleksi ­pengamatan yang diatur­ menurut cara tertentu seperti cara melukis.

Dalam melukis terdapat keinginan untuk membuat komposisi yang unik melalui proses pengaturan. Untuk mencapai hasil akhir memang ada unsur yang  tidak terduga ( unlikely,improbable) namun itu semua adalah hasil pengaturan. Tidak sama dengan alam, yang bukan di atur oleh manusia.Kondisi kebetulan seperti palet menunjukkan entropi, berlawanan dengan kondisi keteraturan. Degradasi keteraturan atau kekacauan ada pada kehidupan dijagat raya yang serba "chaostic" ini. Alam contoh yang baik ketidakteraturan.

Apakah sasaran membuat karya teratur itu, di luar tujuan tertib? Salah satu jawabnya adalah kemdahan, yang lahir dari keseimbangan dan kestabilan, melaluinyalah pikiran seniman diarahkan kepada estetika bentuk. Prinsip kestabilan mi, ini dapat dihubungkan kepada seluruh "persepsi realitas" dunia benda yang memiliki kestabilan dan keseimbangan. Catatan seni rupa Barat penuh pemikiran ini.

Dalam seni-rupa Yunani abad ke 4 SM, teratur bentuk bagi mereka adalah keseimbangan, harmoni atau stabilitas. Seni-rupa diciptakan Iiwat pemakaian dalil-dalil pengukuran. salah satunya dikenal dengan nama "kanon", gaya seni rupa dengan hasrat mencapai kemdahan semacam ini disebut gaya klassik yang ada di seni-rupa masa kini.

Prinsip ini bermula dari seni-mpa Yunani klassik. Dalam arsitektur, arsitek Vitruvius (lahir :f: 84 SM), mencoba mempelajari kemdahan teratur tubuh manusia dengan analoginya pada bangunan. Sekitar tahun 27-30 SM, membuat buku "De Architectura", pengaruhnya terasa sampai abad ke l8, bahkan era moderen. Seperti yang kita lihat pemikiran mi menghasilkan bangunan Y unani dan Romawi klasik yang penuh kemegahan, kestabilan. Ukuran dan proporsi itu mengambil tubuh manusia sebagai analoginya. Misalnya tiang Doric adalah perbandingan kaki seorang laki-laki terhadap tinggi tubuhnya, tiang Ionic mengambil proporsi kerampingan seorang wanita dewasa, dan Corinthian, kontur kerampingan seorang wanita muda.

Memang sumber teratur bentuk yang indah menurut visi Yunani klassik adalah tubuh manusia. Mereka membuat teori daya tarik ( estetis ) yang dikatakan indah; berhubungan langsung melalui perbandingan bagian dengan keseluruhan bangunan melalui perbandingan matematik, yang didasari oleh dimensi tubuh manusia  yang secara visual menunjukan harmoni. Tubuh manusia adalah yang paling indah menurut mereka, oleh karena itu mereka mencari teratur berpikir di seluruh alam yang ada hubungannya dengan keindahan itu.


Lukisan Mardi Wandra, "Red Line", 2018
Kartya Mardi Wandra, adalah salah satu contoh formalisme ini.  Dalam lukisan, formalisme menekankan unsur-unsur komposisi seperti warna, garis, bentuk, tekstur, dan aspek-aspek persepsi lainnya daripada konteks historis dan sosial. Pada ekstremnya, formalisme dalam sejarah seni menyatakan bahwa segala sesuatu yang diperlukan untuk memahami karya seni terkandung dalam karya seni. Konteks untuk pekerjaan, termasuk alasan penciptaannya, latar belakang sejarah, dan kehidupan seniman, yaitu aspek konseptualnya dianggap sekunder. Lukisan-lukisan yang sifatnya dekoratif juga termasuk kategori ini. Dimana yang ingin di capai adalah kode-kode estetika bentuk.


Lukisan Fazar Roma Agung Wibisono, Revelation Germination, 2018



[3] ibid
[4] Yan Bao, (2014), Preferensi  (pilihan) Aesthetic untuk Seni Visual Tradisional Timur dan Barat: Identity Matters
[5] Lihat, Abdul Jabbar Beg , 1981. Seni Dalam Peradaban Islam, Bandung, hal.7..

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar