Minggu, 06 Oktober 2013

Memberdayakan Teori dan Praktik Kependidikan Seni dalam Kawasan Kultural (Naskah Asli)

Kebudayaan Majapahit: sumber:http://ts4.mm.bing.net/th?id=HN.608012424077379339&pid=15.1

International Seminar on Languages and Arts (ISLA-2), “Empowring Theories and Pedagogical Aplication Languages and Arts”, FBS Universitas Negeri Padang, 5-6 Oktober 2013, di Hotel Pangeran Beach, Padang
Oleh: Nasbahry Couto [1] & Ramalis Hakim[2] 

Abstract
The assumption that the field of pedagogy and the arts are rooted in the same science that is psychology, would attenuate the differences between: the practice of the art learning and pedagogical practices. This can result in a lack of attention to the art science teacher. Really it's just the art of science is rooted in the science of psychology? Apparently not. In a clear pedagogical practices that aim arts education can not be generalized to any ranking elementary, junior high and high school. If this is true, then the teacher of arts majors are not needed, because it can be replaced from the teachers of the graduates of the Faculty of Educational Sciences. Conversely, if there are teachers and professors who believe that the roots of the art science just skills (technological arts) and to be an artist, this assumption is not true, because learning does not mean the same as the art of learning Expertise Group (KK) Art Practice, because there another lesson is learning families of Arts (Aesthetics and the Sciences of Arts). Of Arts is mastery over territory controlled by families that have art teachers and lecturers. And according to the writer, it is too weak from the central (compilers curriculum) to the lower level (implementing the curriculum). Learning art is distinguished in rank elementary, junior high and high school, hence the term "art education" can not be generalized to all this education rankings. Important note there should be debriefing science teacher and lecturer on art, particularly art theories relevant, especially about the sociology and anthropology of art is a relatively new art developed in Indonesia.

Key Words: Beliefs About Learning, The Sciences of Arts, and Curricullum

Pendidikan Seni Sebelum Kurikulum 2013

Berdasarkan pengamatan penulis, mata pelajaran seni adalah salah satu mapel yang seringkali dikesampingkan oleh guru karena dianggap hanya mengganggu, tidak penting, bahkan dianggap sebagai beban kurikulum. Mata pelajaran ini menjadi penting hanya jika sekolah diwajibkan untuk mengikuti kegiatan seperti Festival dan Lomba Seni Siswa Nasional (FLS2N) dan sejenisnya. Untuk kegiatan semacam itu, hanya segelintir siswa yang dilibatkan, itupun mereka yang dikategorikan berbakat, dan secara fisik menunjukkan hasil karya yang dinilai bagus dan baik sesuai kaidah-kaidah seni tertentu (Soeteja, 2011)[3]


Akar permasalahan pembelajaran seni sebelum kurikulum 2013 menurut hemat penulis  cukup banyak,  kita dapat mengkategorikan dalam beberapa aspek sebagai berikut; (a) Guru, (b) Siswa, (c) Sarana dan Prasarana, (d) Kurikulum dan Materi pembelajaran, (e) Administrasi Sekolah dan (f) Orang tua dan masyarakat.

Dari ke enam aspek tersebut, penulis akan menyorot beberapa aspek diantaranya (1) guru dan (2) Kurikulum dan Materi Pembelajaran, sera (3) Kebijakan Administrasi Sekolah dan hal yang mempengaruhi pembelajaran ini seperti Kebijakan Kepala Sekolah.

Pendapat yang sama dengan ini minsalnya yang menyorot tiga aspek yaitu aspek (a) guru atau sumber daya manusia pelaksana pembelajaran, (b) siswa, serta (c) sarana dan prasarana. Guru adalah aspek aspek utama yang menjadi penentu “sukses” tidaknya proses pembelajaran seni di sekolah. Guru adalah ujung tombak implementasi kurikulum (Sukmadinata, 2002).

Masalah guru, misalnya bagaimanakah sikap dan interpretasi guru dalam mapel seni dan budaya. Bagaimanakah isi mapel ini seharusnya, hal ini mungkin dapat dibahas dalam kaitannya dengan seminar ini. Diantara premis-premis yang dapat dikemukakan  adalah berikut ini. (1) Sikap mementingkan mata pelajaran tertentu, dan kurang memperhatikan yang lain hal ini disebabkan oleh (UAN) yang menekankan pada mata pelajaran tertentu. (2) interpretasi terhadap pendidikan seni dan seni untuk pendidikan, (3) Interpretasi terhadap ilmu seni, pemahaman terhadap pengertian seni dan budaya, (4) materi kurikulum seni dan budaya yang tidak standar.

 I .Interpretasi terhadap Seni dan Pendidikan Seni: Pendidikan untuk Seni dan Seni untuk   Kependidikan

Penting juga memperhatikan pengaruh dari konsep-konsep yang melatar belakangi pelaksanaan pembelajaran seni di sekolah serta interpretasi terhadap pendidikan seni (Beliefs About Learning). Misalnya adanya anggapan bahwa seni semata berakar pada ilmu psikologi akan menimbulkan anggapan bahwa pembelajaran seni adalah alat untuk pendidikan atau timbulnya pandangan “seni untuk pendidikan”. Interpretasi ini  tidak hanya oleh guru-guru di sekolah dasar dan menengah tetapi bisa juga oleh dosen seni di Perguruan Tinggi Negeri (PTN), hal ini akan mengakibatkan kurangnya perhatian terhadap ilmu-ilmu  seni.  Dalam praktik  pembelajaran seni seni,  tidak bisa digeneralisir  bahwa guru  seakan seorang psikolog. Jika pendapat ini dibenarkan, maka guru dari jurusan seni sebenarnya tidak diperlukan lagi sebab bisa tergantikan dari guru dari lulusan Fakultas Ilmu Kependidikan.

Sebaliknya, jika ada guru dan dosen beranggapan bahwa ilmu seni itu hanya sekedar ketrampilan (teknologi seni) dan untuk menjadi seniman, anggapan ini juga tidak benar. Sebab pembelajaran seni tidak berarti sama dengan pembelajaran Kelompok Keahlian (KK) Praktik Seni, ada pembelajaran lain yaitu pembelajaran KK Ilmu Seni (Aesthetics and The Sciences of Arts). Penguasaan atas Ilmu Seni  adalah wilayah KK yang harus dikuasai oleh guru dan dosen seni. Dan menurut hemat penulis, hal ini pula yang lemah mulai dari tingkat pusat (penyusun kurikulum) sampai ke tingkat bawah (pelaksana kurikulum). Pembelajaran seni memang dibedakan pada peringkat SD, SMP dan SMA, akan tetapi istilah “seni untuk pendidikan” tidak bisa digeneralisir untuk semua peringkat. Pembelajaran mengenai seni budaya untuk guru dan dosen akan lebih sulit lagi sebab harus ada pembekalan guru dan dosen yaitu ilmu seni, dan teori-teori yang relevan, Hal ini akan di uraikan selanjutnya di bawah ini.[4]

I     II. Akar Permasalahan: Pemiskinan Ilmu Seni

Pada awalnya memang pemikiran yang berkembang dalam dunia pendidikan seni sangat dipengaruhi perkembangan ilmu psikologi, terutama psikologi perkembangan seni anak dan remaja (Lowenfeld,Victor., 1952). Pandangan yang sama misalnya terdapat pada Wickiser (1974), Van Prang, E.Cooke, G. Hirth, G. Kerschensteiner dan sebagainya yang melihat tujuan belajar seni sebagai kegiatan ekspresi dan bukan hanya sebagai hasil ketrampilan (skill). Sejalan dengan ini muncul pandangan lain yang juga melihat kegiatan seni yang juga sebagai bagian dari psikologi seperti aspek kreatifitas yang dikemukakan oleh tokoh-tokoh seperti Jhon Dewey, Herbert Read, dan Ross, bahwa melalui pembelajaran seni dapat membantu meningkatkan daya kreatifitas anak.

Teori ekspresi Louwenfeld (1952) agaknya tidak dapat digeneralisir bahwa itu berlaku sebagai tujuan pendidikan seni di semua peringkat pendidikan, terutama sekali semua peringkat perkembangan seni di sekolah umum. Tujuan Louwenfeld sebenarnya memang hanya untuk menjelaskan perbedaan-perbedaan diantara anak secara psikologis dan jenis karya mereka (mulai dari masa corengan/2,5 tahun sampai ke pseudo-naturalistik 12-15 tahun kemudian) yang kemudian diaplikasikan untuk menilai khusus pembelajaran seni rupa. Keberhasilan penelitian Louwenfeld lainnya diantaranya adalah dapat menjelaskan adanya anak tipe emosional (ekspresif) dan anak tipe logis (fotografis) dalam watak karya-karya mereka. Akan tetapi hal ini samasekali tidak dapat dapat menjelaskan anak itu berbakat seni atau tidak, memiliki karakter atau tidak, dan samasekali tidak ada hubungannya dengan budaya.

Penelitian Louwenfeld di tahun-tahun empatpuluhan itu memang ditujukan kepada perkembangan mental anak dan hubungannya dengan kreatifitas. Setelah 60-70 tahun berlalu temuan Louwenfeld ini tampaknya masih terasa sampai sekarang. Dipihak lain pembelajaran seni di kelas bukan lagi semata untuk melihat perkembangan watak anak tetapi juga penting juga untuk melihat ada perbedaan antara kepentingan ekspresi dan kreatifitas dengan kepentingan pengetahuan/pemahaman  anak terhadap seni dan budaya, kedua hal ini jelas berbeda. Masalah yang berkembang selama ini adalah pemahaman pendidikan yang memiliki fungsi ganda, yaitu untuk (1) seni itu sendiri maupun (2) seni untuk non-seni atau seni sebagai alat pendidikan.
Wickizer (1974) misalnya berpendapat bahwa fungsi pendidikan seni itu di sekolah umum adalah untuk  (1)  bantuan seni bagi pertumbuhan dan perkembangan individu anak didik dan, (2) bantuan seni bagi pembinaan estetik,  (3) bantuan seni bagi kesempurnaan kehidupan

Banyak teori lain yang muncul dari aspek psikologis seperti teori bakat, teori kepribadian, teori impuls estetik dan sebagainya. Misalnya yang menggabungkan kepentingan psikologis (individual), kepentingan ilmu (sains) dan kepentingan sosial seperti Eisner (1972:58).[5] Beliau melihat keunikan fungsi pendidikan seni dalam sebuah hubungan triadik, yaitu: (1) pandangan pendidikan seni berbasis anak, (2) pandangan pendidikan seni berbasis subjek (disiplin ilmu), dan (3) pandangan pendidikan seni berbasis kebutuhan masyarakat. [6]

1)  Dalam sudut pandang kebutuhan anak (psikologis),  secara psikologis keunikan mata pelajaran pendidikan seni utamanya berkaitan dengan kontribusi seni terhadap kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi kebutuhan perkembangan siswa, yakni terletak pada pemberian pengalaman estetik secara alamiah dalam bentuk kegiatan berekspresi diri secara kreatif dan berapresiasi (respon kreatif) sehingga dapat membantu menumbuhkembangkan keseluruhan potensi kepribadian utuh (holistik) siswa baik aspek pribadi, sosial, intelek, emosi, dan fisik.
2) Berdasarkan sudut pandang berbasis disiplin ilmu (sains), fungsi pendidikan seni di sekolah dipandang sebagai ilmu seni yang harus dipelajari siswa, sehingga diharapkan siswa memiliki ranah kompetensi pengetahuan, keterampilan, dan sikap dalam bidang seni 
3) Sedangkan sudut pandang pendidikan seni berbasis kebutuhan masyarakat (sosial) dimaksudkan untuk melihat hubungan seni dengan aspek sosial seperti ekonomi, politik, ideologi, atau pewarisan budaya. Dalam hal ini fungsi pendidikan seni di sekolah dapat dipandang sebagai subjek keterampilan yang ada hubungannya kepentingan sosial.

Secara filosofis Eisner (1972) kemudian menyederhanakan fungsi pendidikan seni di atas menjadi dua kategori pembenaran yaitu (1) pembenaran esensial dan (2) kecenderungan pembenaran kontekstual. Kecenderungan pembenaran esensial mengandung makna pembelajaran seni untuk meningkatkan kemampuan siswa berkaitan dengan masalah seni itu sendiri, sedangkan kecenderungan pembenaran kontekstual mengandung makna pembelajaran seni untuk meningkatkan kemampuan siswa berkaitan dengan masalah di luar seni (non-seni), yaitu bisa membantu pencapaian pertumbuhan dan perkembangan kepribadian anak, atau untuk memenuhi kebutuhan masyarakat seperti menanamkan kesadaran budaya. Jika dikaitkan kedua pandangan Eisner tersebut menggambarkan bahwa penekanan keunikan fungsi seni berbasis disiplin ilmu berkecenderungan pembenaran esensial, sedangkan penekanan berbasis kebutuhan anak dan kebutuhan masyarakat dapat dikategorikan berkencenderungan pembenaran kontekstual.

Pandangan filosofis di atas sebenarnya tidak menjadi masalah, namun secara tidak langsung memberi dampak dan terimplikasi kepada program pendidikan yang kemudian dianggap berasosiasi dengan  dua program pendidikan (1) pendidikan seni yaitu untuk sekolah umum dan (2) pendidikan seni untuk sekolah kejuruan, pada hal ilmu seni yang dipelajari sama. Salah satu dari dikotomi tersebut kita kenal dengan istilah “Pendidikan melalui Seni” dan “Pendidikan dalam Seni”. Di sekolah-sekolah umum terdapat pandangan bahwa mereka hanya melaksanakan “Pendidikan melalui seni” jadi ilmu seninya tidak penting. Sedangkan di sekolah-sekolah kejuruan dianggap melaksanakan “pendidikan seni” ilmu seninya juga tidak penting ketimbang praktiknya. Jadi terdapat “impoverishment” ilmu seni di kedua program ini. Dari uraian di atas jelaslah bahwa nampaknya kita perlu juga menggali sedikit teori pendidikan yang berkembang untuk melandasi fenomena di atas.

Jika dihubungkan dengan teori-teori pembelajaran, masalah di atas, oleh Hansen [7] dengan mengutip Miller dan Seller (1985) menyebutnya sebagai “Konseptualisasi Sikap dan Keyakinan Tentang Belajar (Conceptualizing Attitudes and Beliefs About Learning)”. Walaupun objek pembelajarannya sama yaitu seni, tetapi ada pandangan yang berbeda tentang tujuan pembelajaran seni itu. Miller dan Seller (1985) menggambarkan tiga orientasi yang bermanfaat dan relevan untuk mengembangkan dan memahami keyakinan seseorang dan sikap tentang pembelajaran: (a) posisi transmisi, (b) posisi transaksi, dan (c) posisi transformasi. Masing-masing sangat membantu dalam memahami konteks filosofis, psikologis, dan sosial di mana kurikulum dikembangkan.
  • Dalam posisi transmisi (penerusan), fungsi sekolah hanya dipandang sebagai transmisi fakta, keterampilan, dan nilai-nilai kepada siswa. Orientasi ini menekankan penguasaan mata pelajaran sekolah konvensional melalui metodologi pengajaran tradisional, khususnya pembelajaran buku teks. Orang yang paling sering dikaitkan dengan pandangan ini adalah Thorndike dan Skinner.
  • Dalam posisi transaksi (jual-beli), siswa dipandang sebagai rasional dan mampu memecahkan masalah yang cerdas. Pendidikan dipandang sebagai suatu dialog antara siswa dan kurikulum di mana siswa merekonstruksi pengetahuan melalui proses dialogis. Orang-orang berpengaruh yang paling erat dengan posisi transaksi, menurut Miller dan Seller, adalah Horace Mann, John Dewey, dan Jean Piaget. Konsep dialogis digambarkan oleh Shor (1992) sebagai ungkapan ketiga yang berhubungan bahasa akademis digunakan di sekolah-sekolah dengan atau pengalaman nyata dan penggunaan wacana sehari-hari dalam kehidupan sehari-hari.
  • Posisi transformasi (perubahan bentuk) berfokus pada perubahan pribadi dan sosial, dengan memperhatikan saling ketergantungan ekologis dan keterkaitan fenomena umum. Akar sejarah posisi ini dapat ditelusuri lagi dari konsep Rousseau.[8] Lingkup posisi transformasi adalah perubahan sosial yaitu sebagai gerakan menuju harmoni dengan lingkungan bukan sebagai upaya untuk melakukan kontrol atas hal itu. Posisi ini merupakan perwujudan gagasan idealis bahwa siswa harus belajar apa yang mereka ingin belajar.
Dalam hal pandangan bahwa pendidikan melalui seni (kurikulum sebelum 2013), jelaslah bahwa seni dan untuk memecahkan masalah seni (problem solving) berfokus pada perubahan pribadi dan sosial (profesi) bukan menjadi tujuan utamaPendidikan melalui seni hanyalah penerusan semacam pengetahuan. Ekstrimnya, misalnya seperti Soeteja (2011: Ibid) meyakini bahwa pendidikan seni hanyalah sebagai alat pendukung  pendidikan secara umum (namun yang dimaksud dengan pendidikan ini juga tidak jelas sebab mapel lain ada juga yang juga memiliki tujuan yang sama dengan ini). Di sekolah kejuruan pelaksanaan pendidikan seni adalah untuk posisi transaksi dan posisi transformasi, yaitu agar lulusannya memiliki kompetensi yang spesifik dalam bidang seni tertentu. Perbedaan tujuan penyelenggaraan pendidikan seni di sekolah umum dan kejuruan ini berimplikasi pada proses pembelajarannya dari segi perencanaan, pelaksanaan dan evaluasi (Soeteja, 2011: Ibid).

Diantara akibat yang tidak langsung dari interpretasi ini -- yang hanya sekedar mementingkan “posisi trasmisi” ketimbang “transformasi, atau problem solving” -- maka  munculnya  sikap yang sudah klassik yang seakan memusuhi “posisi transformasi ” sosial itu yaitu tentang perubahan anak didik menjadi seniman seperti ucapan: “pembelajaran seni bukanlah untuk menjadi seniman”[9].


Gambar bagan 1. Ruang lingkup ilmu  seni dan estetika, (sumber: Pedoman pendidikan seni dan ilmu seni ITB 2013) diakses dari http://kkeis.fsrd.itb.ac.id/?p=9,  Agustus 2013

Tetapi kalau ditanya apa seniman itu banyak yang ragu dan tidak bisa memastikannya, sebab dibingungkan oleh kenyataan sosial bahwa menjadi seniman itu juga tidak sulit, seperti munculnya “artis-artis cilik” seperti grup musik “Coboy Yunior” di Indonesia --yang hanya karena popularitas-- dan bukan semata oleh keahlian seni musik apalagi dalam berkarya “seni”. Menurut Siregar, A.Th (2011), begitu gampangnya orang memberikan istilah seniman, padahal istilah ini adalah istilah yang dipakai untuk hal yang spesifik, bukan dipakai untuk umum. Seperti pendapatnya berikut ini.

Sudah cukup lama kata ”seniman” dipakai di sembarang waktu, di sembarang tempat, dan di sembarang keprofesian. Seakan-akan seniman adalah kata generik—bersifat umum dan oleh karena itu boleh semena-mena dimanfaatkan oleh siapa saja. Padahal, ”seniman” adalah sebuah istilah ”spesifik” yang sangat terikat dengan ”ukuran-ukuran suatu konteks, norma, ruang dan waktu”. Para penyanyi, pemusik, bintang film/sinetron, pelawak, presenter belakangan ini gampang berdalih bahwa profesi yang dia jalankan identik dengan ”kesenimanan”, akibatnya maka kita terpaksa harus menilai hasil pekerjaan mereka sebagai ”seni/art”.....gejala-gejala ideosinkretik macam begini sudah sangat keterlaluan……..
Perlu dipahami perbedaan makna antara ’seniman’ dengan istilah lain yang dalam proses neologismenya diandaikan bermakna sama, misalnya: ’selebriti’, ’penyanyi-biduan’, ’pelawak’, ’aktris’, ’aktor’, ’musisi’, ’dramawan’, ’pelaku seni’, ’pekerja seni’, ’pelaku teater’, ’penyair’, ’sastrawan’, ’cerpenis’, ’novelis’, ’budayawan’ serta kata-kata bentukan keprofesian lain yang bersinggungan dengan urusan ’seni’ dan ’budaya’ yang kemudian disinonimkan dengan ’seniman’. Pertanyaannya, apakah semua istilah itu sinonim dengan ’seniman’? Apakah ’seniman’ bisa menggantikan secara otomatis seluruh istilah keprofesian tersebut? Tentu tidak. [10]

Hal ini sebenarnya dapat disamakan dengan sebuah analogi, apakah jika murid belajar tentang kesehatan adalah dalam rangka menjadi dokter?  Jadi harus dibedakan antara ilmu seni dan praktik seni dan juga teori seni yang standar (lihat bagan 1) Sebetulnya masalah di atas dapat diabaikan atau tidak menjadi permasalahan, dengan adanya kesepakatan bahwa seorang guru maupun dosen harus dapat mendalami ilmu seni sesuai standar tertentu, atau memahami seni budaya sendiri secara benar untuk ditularkan kepada murid-muridnya.

1. Akar Masalah lain: Pengertian dan Pemahaman tentang Seni
Menurut hemat penulis, akar permasalahan lain tentang pendidikan seni bukan hanya aspek interpretasi tentang tujuan pembelajaran, tetapi oleh adanya perbedaan pandangan tentang pengertian seni. Kita dapat melihat definisi-definisi seni yang dikemukakan adalam banyak buku artikel dan tulisan sebagai berikut ini “

“…….Berbagai pandangan tentang konsep seni tersebut menggambarkan bahwa konsep seni yang melandasi program pengajaran seni begitu variatif tergantung dari perkembangan cara pandang masyarakat pendukungnya. Namun pada hakekatnya seni adalah wahana kegiatan pelaku seni untuk mengungkapkan ide rasa/pengalaman batinnya dalam bentuk karya seni dengan pertimbangan estetik-artistiknya kepada orang lain, sehingga orang lain memiliki pengalaman baru sebagaimana yang dinyatakan M. Ross (1978). Pernyataan tersebut dapat dimaknai bahwa seni itu bukan semata hasil karya dan juga bukan semata kegiatan, melainkan seni terdiri dari hasil karya (work of art), kegiatan (human activity) dan juga kemahiran (skill) yang merupakan keterpaduan (Bruyne, 1975).
Esensi dari hakekat konsep seni yang menjadi batasan adalah seni merupakan segala tata susunan keindahan yang diciptakan manusia. Hal ini dapat diartikan seni merupakan produk/karya keindahan yang diciptakan manusia yang dapat mendatangkan pesona (pengalaman indah) bagi pengamat seperti rasa haru, asyik, nikmat, kagum dan sebagainya. Keindahan yang dimaksud bisa mengandung makna keindahan objektif dan makna keindahan subjektif. Dalam mewujudkan karya indah, seniman tradisional dituntun oleh prakonsepsi/standar keindahan yang berlaku (keindahan objektif), sedangkan seniman modern menurut standar sendiri (keindahan subjektif). Seniman tradisional dituntut menguasai kemampuan skill/keterampilan dalam mewujudkan karya, sedangkan seniman modern dituntut menguasai kemampuan ekspresi bebas dan kreativitas dalam mewujudkan karya. Berdasarkan uraian tersebut dapat diuraikan bahwa ada dua arahan kecenderungan konsep seni yang melandasi program pengajaran seni, yaitu: (1) seni dipandang sebagai keterampilan/kecakapan dalam berkarya seni, dan (2) seni dipandang sebagai kemampuan mengungkapkan ekspresi (pengalaman batin: rasa, emosi, dan fisik) dalam berkarya seni. [11]

Tetapi seperti yang dikatakan oleh Soeteja (2011), pemahaman tentang pengetahuan seni seperti yang diuraikan diatas itu itu campur aduk tidak seluruhnya benar, uraian di atas adalah arti seni menurut kepentingan pedagogoik semata, artinya bisa di bantah, bahkan meragukan. Tentang keraguannya ini dikemukakannya seperti kutipan di bawah ini. [12]

“Salah satu diantaranya adalah “kebingungan” untuk mendefinisikan istilah seni itu sendiri secara mendasar. Seminar bertajuk “Apa itu Seni Saat Ini” yang diselenggarakan oleh Fakultas Filsafat Universitas Parahyangan Bandung pada bulan Juni 2004 yang lalu dengan jelas menunjukkan “kebingungan” peserta untuk menyepakati suatu pemahaman atau konsep yang dapat menjelaskan fenomena seni saat ini.” (Soeteja, Zakarias S., 2011) [13]

Kemudian Couto & Indrayuda (2013) mengemukakan pendapatnya dalam sebuah tulisan sebagai berikut ini.

Seperti kita ketahui pengertian seni itu sangat rancu di Indonesia. Alasan untuk hadirnya seni itu selalu dikaitkan dengan estetika (keindahan). Padahal estetika itu bukan objek seni, melainkan respon manusia terhadap seni, hal ini dapat disebut dengan respon estetik, yang harus pula dibedakan dengan apresiasi seni sebagai respon kritis. Jika kita mempelajari lebih dalam sumber-sumber fisiologisnya, ternyata  bahwa kita memiliki pancaindra. Indra mata dan indra telinga yang mengembangkan  seni. Pengertian seni itu muncul dan dikembangkan dari dua pancaindra itu, khususnya mata. Logis pula maka jika di Barat pengertian seni (Art) adalah seni visual, sekarang musik dan tari pun dinikmati secara visual sekaligus auditif...........
(Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012)

2. Pengertian Seni dalam KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) juga Kurang Tepat
Seni dalam kata sifat. (kata sifat):1 halus (tt rabaan); kecil dan halus; tipis dan halus: benda --, benda yang halus bahannya dan buatannya; bercelak --, memakai celak yg halus; jarum yg --,jarum yg halus sekali; seorang putri yg --, putri yang halus kulitnya; ular --, ular yg kecil; 2 lembut dan tinggi (tt suara): suara biduanita itu sungguh --, suara yg kecil tinggi; 3 mungil dan elok (tt badan): burung yg -- burung yg kecil dan elok; me·nye·ni a halus; lembut: lagunya.
Seni dalam Kata Benda. (kata benda)1 keahlian membuat karya yg bermutu (dilihat dr segi kehalusannya, keindahannya, dsb); 2 karya yg diciptakan dng keahlian yg luar biasa, spt tari, lukisan, ukiran; seniman tari sering juga menciptakan -- susastra yg indah; -- arca ilmu tt arca dilihat dr segi tekniknya (gaya, cara, dan ketentuan pembuatannya); -- bangunan seni tt keindahan dl membuat bangunan; --budaya perihal kesenian dan kebudayaan; 

3. Bagaimana Pendapat Mutakhir tentang Pengertian Seni ?

a)  Sesuai dengan konsep  Becker (1982),  seni bukanlah semata tindakan individu dan seniman sebagai sosok soliter yang bekerja sendiri, seni adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kerja sama dari sejumlah orang dan berbagai kegiatan.  Dengan demikian pelaku seni tidak begitu penting lagi ketimbang objek / karya seni yang akan dinikmati oleh orang banyak. Pandangan ini akan berpengaruh juga kepada dunia pendidikan yang semata menekuni aspek psikologi seni. Dunia Seni (Arts Worlds) menurut Becker adalah dunia bagi seluruh individu. Dunia Seni (Arts Worlds) adalah segala hal yang berkontribusi  (memberikan sumbangan) pada penciptaan seni. Hal yang sama juga dikemukan Bruno Latour (1993), dengan teori ANT- nya (Actor Network Theory) menjelaskan aktor dalam seni bukan hanya artist, tetapi semua yang terlibat di dalamnya.

b)  Guru maupun dosen perlu juga memahami perubahan orientasi teori dibidang pendidikan seni terutama untuk kepentingan pembelajaran seni dan budaya. Artinya dibutuhkan teori-teori yang relevan untuk menjelaskan fenomena seni dalam kependidikan dan kepentingan sosial. Menurut hemat penulis paling tidak ada tiga penulis dan buku yang dapat menjelaskan sifat alami manusia dalam seni, yaitu Dutton, Goguen, dan Dissanayake. (Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012:24-78).Teori Dutton  (2009) [14] misalnya, adalah  titik balik dari teori estetika dan seni, yang mengkaji seni dari segi evolusi naluri manusia. Tujuan utama buku Dutton adalah untuk menjelaskan seni dan pengalaman seni kita dalam kaitannya dengan teori Charles Darwin tentang evolusi estetik. Memang teori evolusi Darwin telah berhasil diterapkan untuk berbagai bidang kehidupan, tetapi untuk menerapkannya kepada seni tampaknya agak berlawanan. Umumnya ada pendapat bahwa seni, dan pengalaman kita tentang hal itu, adalah aspek kehidupan manusia yang tidak luput dari aturan dan bentukan budaya. [15] Tetapi Dutton memperlihatkan bahwa seni adalah sebuah perkembangan naluriah manusia saja, tidak selalu dari budaya. Dutton berpendapat, estetika itu bukan batu tulis kosong. Estetika itu dikembangkan, sama seperti reaksi biologis manusia -- yang mengembangkan rasa takut kepada ular daripada takut kepada kelinci -- sehingga (jika estetika itu dikembangkan) kita akan paham, itu akan dapat membuat lebih mudah bagi kita untuk menghargai karya pelukis Renoir, ketimbang menghargai karya Duchamp, atau menghargai musik klassik ketimbang musik dangdut. (Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012:24).

c)   Goguen (2000)  mempertanyakan apakah seni itu? Apa itu kecantikan? Bagaimana keduanya dapat terhubung? Bagaimana  hal itu disadari? Bagaimana dengan kebenaran? Dan dapatkah sains membantu menerangkan masalah semacam ini? Karena pertanyaan-pertanyaan seperti ini seakan pergi ke pusat konflik terkini  dari  sistem nilai Barat, akan tetapi menurut Goguen, orang Barat tidak mungkin untuk memberi jawaban yang pasti, tetapi masalah ini masih perlu ditelusuri - yang justru adalah  tujuan dari tulisan ini, dengan perhatian khusus pada hubungan antara seni dan ilmu pengetahuan. Suatu hal yang mengejutkan adalah temuan Goguen bahwa seni itu bukan semata hasil estetik dan juga ketrampilan tetapi hanyalah kesepakatan komunitas sosial saja. Dia menjelaskan bahwa Esai  terakhir dari pelukis Perancis Paul Gauguin  adalah tentang  pentingnya pertanyaan What is art?’. Namun jika kita menelusuri kamus-kamus akan terdapat kata-kata sinonim seni seperti  seni adalah 'artefak', 'artisan/tukang', 'buatan manusia' dan 'tulisan’  mungkin menyarankan 'seni' yang merujuk pada arti skill semata-mata yang dibangun oleh manusia seni, tetapi menurut Goguen (2000), seniman sendiri telah mendorong batas-batas dari setiap definisi tersebut, sehingga menantang kecurigaan kita, dan mengenyampingkan apa yang disebut filsuf, psikolog dan kritikus – dan untuk tidak mengatakan apa-apa tentang seni. Benda Siap Pakai (Readymade) Sebagai SeniMenurut Goguen (2000), makna seni  ditemukan pada benda 'seni siap pakai/readymade', yang menantang peran seniman sebagai konstruktor seni. Contoh yang terkenal adalah  tempat kencing atau urinoir karya Marchel Duchamp, yang disodorkan  pada Pameran New York Society of Artists Independen tahun 1917. Seniman Marchel Duchamp mengambil tempat kencing lalu menandatanganinya dan menyodornya sebagai karyanya. Perbuatan ini telah menimbulkan kontroversi yang besar, sehingga ditentang oleh Dewan Pengawas Seni saat itu (tetapi sampai sekarang bukan tidak diakui). Memang objek ini memiliki bentuk yang mulus, yang mengikuti fungsinya dalam cara yang paling logis. Namun, agaknya hal ini akan menyinggung perasaan kalangan papan atas daripada bentuk karya itu sendiri, atau hal ini telah meringankan peran seniman untuk dapat mencomot benda apa saja dapat menjadi benda seni. Contoh lain adalah karya Warhol berjudul Kaleng Sup “Campbell”, kemudian hewan mati yang ditanam Damien Hirst yang mengambang dalam tangki besar sebenarnya melanjutkan tradisi yang mengacaukan konsep seni kaum borjuis, tetapi memperbesar peran seniman untuk memasukkan dan memamerkan berbagai konfigurasi benda seperti batu, pohon, dan tali  dan sebagainya. (Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012:42).

d) Ellen Dissanayake. Menurutnya estetika itu ada dalam diri manusia, tetapi seni adalah membuat sesuatu yang spesial atau khusus. Dia berpendapat bahwa seni adalah pusat adaptasi, pertumbuhan dan ketahanan hidup spesies manusia, kemampuan estetika adalah bawaan setiap manusia, dan seni adalah  kebutuhan mendasar bagi spesies manusia seperti kebutuhan lainnya, misalnya pangan, kehangatan atau tempat tinggal. Kemampuan estetik, menurut Dissanayake memungkinkan kita untuk 'memisahkan'  sebuah kegiatan membuat sesuatu khusus (spesial),  yang penting bagi kelangsungan hidup kita, dan selanjutnya disebut seni.  Menurut Disnayake seni adalah Membuat Sesuatu yang Khusus (Teori Dissanayake, 2003). Menurut Dissanayake (2003),  seni ada dalam core biologis manusia,  telah menyusup dalam perilaku manusia di mana-mana yang disebutnya  "membuat spesial/making special." Seperti frase kunci lain digunakan  nama atau meringkas konsep rumit ("prinsip kesenangan”, " survival of the fittest ", membuat sesuatu yang spesial"bisa tanpa elaborasi (perluasan). Perlu dijelaskan secara singkat latar belakang dari kecenderungan  membuat special (khusus)  yang  dianggap sebagai dorongan menuju (kecenderungan perilaku )  seni. Seperti yang kita ketahui, dalam upacara ritual, maka, kita dapat melihat bagaimana sebuah kelompok masyarakat membuat sesuatu menjadi spesial, memperoleh sesuatu lebih penting daripada di kejadian individual. Karena perhatian khusus ini dipakai untuk mengartikulasikan hal pokok yang penting dan  dibangun dari mengungkapkan, dan melibatkan perasaan seseorang yang terdalam dan terkuat. (Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012:53).[16]

e)  Seni juga tidak netral sebab dipengaruhi oleh berbagai ideologi dan politik. Menurut John Paul[17], ada tiga pendekatan ideologis yaitu (1) fungsional, (2) pendekatan konflik, dan (3) pendekatan Interpretatif. Kurikulum seni , misalnya tidak seluruhnya bersifat ideologi fungsional (transaksi dan komunikasi), tetapi juga mengandung ideologi konflik karena memaksakan ideologi seninya untuk kepentingan pendidikan seni. Untuk menghindari konflik itu kurikulum dibuat sangat netral dan cendrung dapat diinterpretasikan (coba lihat bahasa yang dipakai dalam kurikulum sangat bersifat politis-diplomatis).  Pendekatan ideologi interpretatif dan interaktif (komunikatif) dalam seni, hanya oleh ahli-ahli seni (Couto, Nasbahry & Indrayuda, 2012:106-115).

4. Standar Pendidikan Seni dan Budaya

Cara pandang terhadap seni sangat berbeda-beda, hal ini dapat menyebabkan perbedaan aplikasinya dalam pembelajaran seni. Seperti yang kita lihat di bawah ini pembelajaran seni yang dianggap standar di Penncylvania University: Penncylvania Departemen Education (AS) yang berkaitan dengan sosial budaya,  masalah estetika dimasukkan kepada aspek respon manusia terhadap seni, bukan penampilan seni hal ini terlihat dari berikut ini.[18]

The arts and the humanities are interconnected through the inclusion of history, criticism and aesthetics.  In addition, the humanities include literature and language, philosophy, social studies and world languages.  The areas encompassed in the humanities such as jurisprudence, comparative religions and ethics are included among other standards documents.  The interconnected arts and humanities areas are divided into these standards categories:
a.      Production, Performance and Exhibition of Dance, Music, Theatre and Visual Arts
b.      Historical and Cultural Contexts
c.       Critical Response
d.      Aesthetic Response

Penulis melihat pendidikan seni dan budaya di Indonesia selama ini tidak standar karena kurang memperhatikan  hal sebagai berikut:
a. Konteks seni dengan sejarah dan budaya
b.Materi apresiasi seni tidak membedakan pengetahuan antara mana yang  respon estetik dengan respon kritik

5. Pemiskinan Ilmu Seni pada Kurikulum seni dan Budaya 2006 dan Sesudahnya

Penulis melihat, dengan adanya otonomi daerah dalam pengelolaan sekolah dasar dan menengah di berikan kepada Kabupaten Kota, maka secara tidak langsung Pemda yang menjadi motor penggerak dan penentu pelaksanaan pendidikan termasuk pembelajaran seni. Salah satu usaha untuk mengatasi kekurangan kualitas guru di sekolah oleh Pemda, adalah dengan membuat LKS (Lembaran Kerja Siswa), namun semua orang tahu bahwa banyak materi dari LKS ini tidak standar di samping materi pembelajaran dan kurikulum dari pusat (menurut hemat penulis) juga tidak standar. Kenapa demikian? Hal ini dapat dilihat dari uraian berikut ini (penulis hanya mengambil contoh bidang seni rupa).

Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Pertama (SMP)/Madrasah Tsanawiyah (MTs) (Kurikulum KTSP 2006) 
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Seni Rupa
1.
Mengapresiasi karya seni rupa
1.1
Mengidentifikasi  jenis karya seni rupa terapandaerah setempat
1.2
Menampilkan sikap apresiatif terhadap keunikan gagasan dan teknik karya seni rupa terapandaerah setempat
2.
Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
2.1
Menggambar bentuk dengan objek karya seni rupa terapan tiga dimensi dari daerah setempat
2.2
Merancang karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat
2.3
Membuat karya seni kriya dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat

Untuk SMU juga tidak banyak perbedaannya seperti yang terlihat di bawah ini.

Mata Pelajaran Seni Budaya untuk Sekolah Menengah Atas (SMA)/ Madrasah Aliyah (MA)  (Kurikulum KTSP 2006) Kelas X,  Semester 1
Standar Kompetensi
Kompetensi Dasar
Seni Rupa
1.
Mengapresiasi karya seni rupa
1.1
Mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik  dalam karya seni rupa terapan daerah setempat
1.2
Menampilkan sikap apresiatif terhadap  keunikan   gagasan dan teknik dalam karya seni rupa terapan daerah setempat
2.
Mengekspresikan diri melalui karya seni rupa
2.1


2.2
Merancang karya seni rupa terapan dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat
Membuat karya seni rupa terapan dengan memanfaatkan teknik dan corak daerah setempat

Coba bandingkan dengan standar pendidikan seni dari Oklahoma sebagai berikut ini[19]


Visual arts
Music
1. Language of Visual Art
1. Language of Music
2. Visual Art History and Culture
2. Music History and Culture
3. Visual Art Expression
3. Music Expression
4. Visual Art Appreciation
4. Music Appreciation

1) Uraiannya adalah berikut ini dengan keterangan: yang di garis bawah, tidak ada pada kurikulum seni budaya 2006-2013, tanda (v) menunjukkan ada pada pada kurikulum seni budaya 2006 dan 2013

Standard 1: Language of Visual Art - The student will identify visual art terms (e.g.,collage, design, original, portrait, paint, subject).
  1. Use appropriate art vocabulary.
  2. Name elements of art; line, color, form, shape, texture, value and space.
  3. Name the principles of design; rhythm, balance, contrast, movement, center of       interest  (emphasis) and repetition.
  4. Use the elements of art and principals of design.
Standard 2: Visual Art History and Culture - The student will recognize the development of visual art from an historical and cultural perspective.
  1. Understand art reflects a culture.
  2. Identify connections between visual art and other art disciplines.
  3. Identify specific works of art produced by artists in different cultures.
Standard 3: Visual Art Expression - The student will observe, select, and utilize a variety of ideas and subject matter in creating original works of visual art.
Experiment in color mixing with various media. (v)
  1. Use a variety of subjects, basic media and techniques in making original art including drawing, painting, and sculpture. (v)
  2. Demonstrate beginning skills of composition using the elements of art and principles of design.
  3.  Use art media and tools in a safe and responsible manner.
Standard 4: Visual Art Appreciation - The student will appreciate visual art as a vehicle of human expression.
  1.  Demonstrate appropriate behavior while attending a visual art exhibition in a museum or art gallery. (v)
  2. Demonstrate respect for their work and the work of others. (v)
  3.  Demonstrate thoughtfulness and care in completion of artworks. (v)
 6. Salah Satu Bukti lain dari Pemiskinan Ilmu Seni

Lihat istilah-istilah (kosa kata) yang dipakai pada kurikulum 2006 sebagai berikut ini.

(1)  Jenis karya seni rupa terapan, apakah maksudnya dengan seni terapan (aplied arts)?
(2) Teknik karya seni rupa terapan, apakah maksudnya dengan teknik karya seni rupa terapan?
(3) Menggambar bentuk, apakah penting menggambar bentuk ketimbang pelajaran menggambar secara umum? Dalam mencipta misalnya bukan menggambar bentuk yang diperlukan tetapi menggambar secara kreatif, inovatif bahkan menggambar dengan imajinasi (catatan: hal ini sudah diubah pada kurikulum 2013, sebab sudah ada gambar model, gambar ilustrasi, dan dengan berbagai alat manusal dan komputer)
(4)   Merancang karya seni kriya, apakah ada seni itu yang di rancang?
(5) Mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik  dalam karya seni rupa, bagaimana caranya mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik  dalam karya seni rupa berdasarkan budaya lokal?

Rincian kekurangan-kekurangan itu adalah sebagai berikut di bawah ini.

1.   Istilah seni terapan (aplied arts) adalah istilah yang kurang tepat, seakan pembuat kurikulum kurang memahami sejarah seni rupa. Istilah ini hanya dipakai pada semasa revolusi industri di Eropah, dimana ada penerapan seni murni untuk karya industri seperti gerakan Art NouveauArt Deco dan Art Craft Movement yang dipelopori oleh William Morris), sebagai contoh dalam bidang desain grafis adanya penerapan gaya seni lukis ke gaya desain grafis. Art Nouveau adalah gaya seni yang terdapat baik pada seni maupun desain seperti desain bangunan. Saat itu tidak dapat dibedakan antara seni, kriya dan desain, tetapi masa sesudahnya hal itu sudah berubah. Masa sekarang karya desain seperti desain arsitektur, desain grafis, desain interior tidak bisa dikatakan sebagai seni terapan (aplied arts), sebab desain itu tidak  muncul dari seni, boleh dikatakan bahwa anggota-anggota profesi ini akan tersinggung jika dikatakan bidang mereka adalah bidang seni terapan sebab bidang desain adalah aplikasi dari bidang sosial-ekonomi, sains, teknologi dan seni.[20] Sekarang tentu timbul pertanyaan apa istilah yang tepat untuk menggantikan seni terapan ini, istilah yang tepat adalah “reproduksi” [21] yaitu bagaimana mentnsformasikan  hasil seni budaya lokal (lama/tradisi ) ke seni moderen (baru) untuk kegiatan pendidikan seni? Hal ini dapat pembaca lihat di blog nasbahry gallery atau situs: http://visualheritageblog.blogspot.com/2011/11/seni-berbasiskan-budaya-reproduksi-dari.html   

2.  Istilah merancang seni kriya juga kurang tepat, sebab kriya adalah hasil salah satu metoda merancang yang disebut dengan metoda kriya (Jones, Cristhopher, 1971). Penyusun kurikulum KTSP 2006 barangkali tidak membaca buku Cristhopher Jones yang dipelajari di sekolah-sekolah desain sejak tahun 80-an baik dimancanegara maupun di Indonesia. Bahwa di dalam merancang (mendesain) terdapat 4 metoda merancang (designing) sebagai berikut:  1) metoda tradisional (a) craft method, (b) metoda gambar, 2) metoda baru (a) black box method, (b) glass box method, dan (c) desainer  sebagai pengorganisir sebuah system secara mandiri. Karya kriya adalah hasil dari  metoda merancang  secara tradisional, sama halnya dengan merancang melalui gambar. Craft method, disebutnya Jones sebagai Craft Evolution  atau sebagai evolusi Pekerjaan Tangan. Seperti yang dapat kita lihat proses craft ternyata dapat menghasilkan pekerjaan yang cantik dan kompleks yang dapat disalahartikan sebagai hasil pekerjaan perancang yang terampil. Cara kriya adalah merancang berdasarkan uji coba  (trial & error), yaitu  desain sebagai hasil pecobaan yang terus-menerus oleh sipengkriya. Proses ini berulang dan lama sampai ditemukan desain produk kriya yang muncul kemudian. Contoh yang baik adalah barang kerajinan dan atau pembuatan rumah adat tradisi,  di mana rancangan adalah hasil trial and error  yang telah berlangsung ber-abad lamanya, dikaji, diwariskan serta dipelajari secara lisan, Sampai pada suatu ketika ditemukan bentuk yang baru dan dianggap cocok pada masa kini.

3. Istilah seni kriya, juga harus dijelaskan apakah yang dimksud itu semata membuat benda kriya, atau membuat benda seni dengan medium/material dari bahan kerajinan. Adalah dua hal  yang berbeda.

4. Mengidentifikasi keunikan gagasan dan teknik  dalam karya seni rupa hanya dapat dilakukan dengan mempelajari dasar-dasar elemen seni dan memahami penerapannya pada karya, jika hal ini tidak dilakukan tidak akan pernah teridentifikasi keunikan gagasan dan teknik itu secara visual baik dari segi elementer-nya maupun arasemennya (komposisi). Hal yang sama juga pada bidang  tari, musik dan drama.

5. Bahasa dasar Seni (Mis. Bahasa Visual). Kelihatannya seakan-akan kurikulum sebelum 2013 (2006)  mirip dengan kurikulum pendidikan seni di Oklahoma (Amerika Serikat) terutama dalam hal  (1) apresiasi dan (2) ekspresi seni, namun kekurangannya  adalah karena murid samasekali tidak mempelajari  dasar-dasar bahasa seni (basic visual) seperti elemen warna, titik, garis, tekstur, komposisi  dan sebagainya yang justru penting sebagai dasar apresiasi (memahami seni) maupun praktik pendidikan seni (seni rupa, musik, teater dan tari).

6.  Kurikulum ini juga tidak mempelajari kosa kata seni, sebagai dasar untuk menulis laporan karya seni,  yang disebut apresiasi atau kritik seni.

7. Mempelajari kebudayaan erat hubungannya dengan sejarah seni dan budaya lokal, jadi tidak bisa meloncat begitu saja, hal ini tidak terlihat pada kurikulum KTSP 2006, yang ada hanya dalam rangka inventarisasi, jadi tidak menjelaskan konsep budaya lokalnya.

I  V.  Kurikulum 2013

Sekarang timbul pertanyaan apakah kurikulum 2013 ada perubahan pandangan tentang tujuan pendidikan seni ?  Seperti yang kita pada kurikulum 2013, terdapat mata pelajaran yang salah satunya adalah mata pelajaran Pendidikan Seni Budaya dan Prakarya. Uraian  mata pelajaran Seni Budaya dan Prakarya ini terdiri dari bahan ajaran pendidikan seni rupa, seni musik, seni tari, seni teater dan prakarya..

Penulis melihat bahwa trend yang muncul dalam pendidikan seni di abad ke 21 ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh suasana masyarakat global, terutama oleh kepentingan sosial, ekonomi, khususnya  bidang industri yang melihat seni dan budaya sebagai modal budaya bangsa dan industri kreatif, oleh karena itu sudut pandang ketiga (kepentingan) sosial mulai dilirik oleh bidang pendidikan seni sebagai faktor penting dengan memperkuat aspek yang kedua (fungsi pendidikan seni sebagai ilmu seni yang harus dipelajari). Disamping itu dengan berkembangnya pengetahuan tentang sosiologi dan antropologi seni, seni tidak lagi dilihat sebagai fenomena perkembangan individual semata tetapi juga perkembangan yang terdapat dalam sosial.

Mungkin karena menyadari adanya kekurangan pada kurikulum 2006,  maka kurikulum pendidikan seni budaya 2013 terlihat agak berbeda dengan kurikulum sebelumnya, sebab kurikulum ini melihat hasil ketrampilan hanya sebagai bagian dari aspek yang akan dinilai dari kegiatan siswa (tugas, portofolio, produk dan observasi), dan bukan sebagai tujuan pembelajaran.

Tugas.
• contoh: Membuat karya tulis tentang  jenis-jenis karya seni rupa   dua  dimensi
Observasi
• Format  pengamatan skala   sikap 
Portofolio
• Contoh: Membuat sketsa dari obyek  mahluk hidup dan benda mati
Produk
• Contoh: Gambar atau lukisan dengan   obyek-obyek yang berbeda

Tujuan pembelajaran seni lebih menekankan pengembangan pengetahuan (sains seni) seperti mengamati, menanyakan, mengeksploirasi, mengasosiasi, mengkomunikasi (kurikulum 2013). Seperti daftar  di bawah ini (dan contohnya)

Mengamati.
·  Melihat karya seni rupa dua dimensi, melalui media cetak  (buku, majalah,  brosur, dsb.),  internet dan kegiatan, pameran
·  Mengamati proses    pembuatan karya seni rupa dua dimensi

Menanyakan
· Menanyakan tentang konsep seni rupa dua dimensi  yang ada dan berkembang
· Menanyakan langkah-langkah membuat  karya seni rupa dua dimensi

Mengeksplorasi
· Mengumpulkan informasi  tentang jenis, simbol dan nilai estetis dalam konsep seni rupa.
· Bereksperimen dengan beragam mediadan teknik dalam membuat  karya seni rupa dua dimensi

Mengasosiasi
·Membandingkan   karya sendiri dengan karya orang lain, mengenai: bahan, media, jenis,  simbol, teknik dan  estetika  yang terkandung di dalamnya
·  menghubungkan data-data yang diperoleh dengan kegiatan berkarya

Mengkomunikasi(kan)
·  membuat karya seni rupa dua dimensi
· menyampaikan hasil pengumpulan dan simpulan informasi yang diperoleh
· mempertanggung jawabkan secara lisan atau  tulisan  mengenai  karya seni rupa dua dimensi


Seperti yang diketahui pula bahwa mapel Seni Budaya ini pada dasarnya merupakan pendidikan seni yang berbasis budaya, karena seni adalah salah satu dari berbagai unsur budaya. Dengan pernyataan ini timbul pertanyaan apakah posisinya masih sebagai posisi transmisi, ketimbang posisi transaksi dan transformasi sesuai dengan teori Miller dan Seller ?. Walaupun statemen ini dapat membuka perdebatan namun terdapat premis bahwa hanya guru yang memahami ilmu seni dan budaya secara baiklah yang seyogyanya mampu mewariskan  nilai-nilai budaya  yang dimaksud kepada murid.

Sebagai materi pembelajaran, mata pelajaran Seni dan Budaya perlu di pahami guru, seperti bagaimana arah yang tepat untuk mendidik dan membentuk karakter anak. Arah atau pendekatan seni baik itu seni rupa, seni musik, seni tari ataupun seni teater, secara umum dapat dipilah menjadi dua pendekatan, yaitu: (1) seni dalam pendidikan dan (2) pendidikan melalui seni. Pertama, seni dalam pendidikan. Secara hakiki materi seni penting diberikan kepada anak. Maksudnya adalah, keahlian melukis, menggambar, menyanyi, menari, memainkan musik dan keterampilan lainnya perlu ditanamkan kepada anak dalam rangka pengembangan kesenian dan pelestarian kesenian. Seni dalam pendidikan ini sejalan dengan konsep pendidikan yaitu sebagai proses pembudayaan yang dilakukan dengan upaya mewariskan atau menanamkan nilai-nilai dari generasi tua kepada generasi berikutnya. Oleh sebab itu, seni dalam pendidikan merupakan upaya pendidik seni dan juga lembaga yang menaungi kita untuk mewariskan, melestarikan, dan mengembangkan berbagai jenis kesenian yang ada baik lokal maupun mancanegara. Dari pengamatan penulis terhadap kurikulum seni budaya (2013),  sudah ada perubahan yang sangat bermakna seperti yang terurai dibawah ini.

(1)   Kompetensi Inti (KI) terdiri dari 4 kompetensi (sama dengan yang  tertulis)
(2)   Kompetensi Dasar (KD) (sama dengan yang  tertulis)
(3)   Materi Pokok di Tingkat SMP
  • Di tingkat SMP (kelas 7): objek seni budaya sudah ditentukan misalnya a) mempelajari ragam hias lokal, b) mempelajari aplikasinya pada karya budaya tekstil dan kayu, dengan mempelajari  ragam hiasnya
  •  Di tingkat Ditingkat SMP (kelas 8) mempelajari jenis-jenis menggambar seperti a) menggambar model dengan beragam teknik dan bahan, b) menggambar illustrasi baik manual maupun digital, c) mengaplikasikan teknik menggambar ini kepada objek ragam hias budaya tekstil dan kayu
  • Di tingkat SMP (kelas 9) mempelajari (a) seni lukis dan (b) seni patung, (c) seni grafis serta (d) memamerkannya.
  • Di tingkat SMA (kelas 10) antara lain mempelajari (a) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa dua dimensi, (b) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa tiga dimensi, c) Prosedur dan tatacara menyelenggarakan kegiatan pameran karya seni rupa (d) jenis, simbol dan nilai estetik dalam kritik karya seni rupa.
  • Di tingkat SMA (kelas 11) antara lain mempelajari (a) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa dua dimensi, (b) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa tiga dimensi, c) Prosedur dan tatacara menyelenggarakan kegiatan pameran karya seni rupa, (d) jenis, simbol dan nilai estetik dalam kritik karya seni rupa.
  • Di tingkat SMA (kelas 12) antara lain mempelajari (a) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa dua dimensi, (b) bahan, media, jenis, simbol, nilai estetika dan teknik dalam proses berkarya seni rupa tiga dimensi, c) Prosedur dan tatacara menyelenggarakan kegiatan pameran karya seni rupa, (d) jenis, simbol dan nilai estetik dalam kritik karya seni rupa. 

(4)   Pembelajaran. Kegiatan pembelajaran juga sudah terperinci dengan kegiatan 1) Mengamati, 2) Menanyakan, 3) Mengeksploirasi, 4) Mengasosiasi, dan  5) Mengkomunikasi
(5)   Penilaian terdiri dari terdiri dari empat aspek: 1) Penugasan, 2) Observasi, 3) Portofolio, 4) Produk yang objeknya berbeda-beda di setiap tingkat
(6)   Sumber belajar, juga sudah sangat baik yaitu: 1) Buku paket seni Budaya, 2) buku-buku lain yang relevan, 3) Informasi melalui Internet, 4) Pameran karya seni rupa (mungkin termasuk pameran yang ada dimuseum, 5) Sumber lain yang relevan disesuaikan dengan kondisi setempat.

Dapat disimpulkan bahwa pembelajaran seni rupa ditingkat SMP dan SMA (2013) ini sudah mirip dengan pembelajaran seni  yang berfokus kepada ilmu seni rupa namun (1) masih tidak nampak apakah materi yang dipelajari itu dihubungkan dengan sejarah dan budaya  atau yang terkait dengan seni dan budaya (2) kurikulum ini belum tidak mempelajari elemen dasar seni sebagai dasar untuk analisis karya seni berdasarkan budaya (karakteristik budayanya).

      V. Tinjauan Sosiologis: Multi Aspek dari Pendidikan Seni dan Budaya

Oleh karena kajian pendidikan seni yang sudah masuk ke bidang sosial budaya maka akan terlihat pendidikan seni bukan hanya untuk perkembangan individual tetapi juga sosial. Seni bukan lagi sekedar terkait dengan kegiatan disekolah saja, tetapi juga ada kaitannya dengan kepentingan sosial dan negara. Jika hal ini dihubungkan dengan kepentikan pendidikan maka hal ini disebut dengan multi aspek Pendidikan Seni dan Budaya. Beberapa hal yang perlu diungkap dalam hal ini adalah berikut ini.

a) Seni dan Kepentingan Negara


Menurut Becker (1982), [22] kita sering berpikir seni sebagai tindakan individu dan seniman sebagai sosok soliter yang bekerja sendiri, tetapi sebenarnya seni adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kerja sama dari sejumlah orang dan berbagai kegiatan.  Dengan demikian pelaku seni tidak begitu penting lagi ketimbang objek / karya seni yang akan dinikmati oleh orang banyak. Pandangan ini akan berpengaruh juga kepada dunia pendidikan yang semata menekuni aspek psikologi seni. 

Dunia Seni (Arts Worlds) menurut Becker adalah dunia bagi seluruh individu. Dunia Seni (Arts Worlds) adalah segala hal yang berkontribusi  (memberikan sumbangan) pada penciptaan seni. Dunia Seni  seperti yang  dijelaskan oleh sosiolog Howard Becker dalam buku klasiknya (Arts Worlds) bukan hanya membahas tentang seniman, tetapi juga menginspirasi seniman, distributor, kritikus, pelanggan, dan penonton, yang kesemuanya adalah elemen-elemen yang memungkinkan  seniman untuk membuat berbagai seni. Salah satu pandangannya adalah bahwa seni dapat dilihat sebagai properti (kekayaan) negara. 

Seni dapat juga dilihat sebagai gangguan atas kepentingan politik negara dan atau sebaliknya, oleh itu bisa jadi karena negara akan bertindak sebagai pendukung atau menyensor seni. Sepanjang sejarahnya -- itu selalu terjadi -- bahwa seni memiliki kekuatan untuk mengubah masyarakat, terutama ketika diperoleh media baru yang digunakan untuk mengekspresikan ide. Selama Perang Dunia Pertama, misalnya, kamera film yang digunakan untuk pertama kalinya untuk merekam perang parit - ketika film itu diputar di gedung bioskop di Inggris, penonton berlari keluar berteriak. Hal ini menyebabkan pemerintah menyensor penggunaan lebih lanjut efek filem itu, dan justru pemerintah menggunakan seni sebagai media persuasi yang kuat ke masyarakat.

b) Seni dan Industri Kreatif

Dalam dekade terakhir ini ‘industri kreatif’ (creative industry) dan ‘ekonomi kreatif’ (creative economy) menjadi isyu yang hangat dibicarakan di dalam berbagai acara seminar, simposium, dan diskusi-diskusi, baik dalam skala nasional maupun internasional. Isyu ini menjadi perhatian tidak saja di kalangan pemerintah, para pelaku ekonomi dan industri, para seniman dan desainer, akan tetapi juga kalangan pendidikan tinggi, khususnya pendidikan tinggi seni. Ada spirit bersama yang ingin dibangun, yaitu spirit untuk meningkatkan daya saing bangsa dalam kancah persaingan global melalui kekuatan industri kreatif. Industri kreatif menjadi sebuah tumpuan baru dalam pembangunan nasional.

Industri Kreatif dapat diartikan sebagai kumpulan aktivitas ekonomi yang terkait dengan penciptaan atau penggunaan pengetahuan dan informasi. Industri kreatif juga dikenal dengan nama lain Industri Budaya (terutama di Eropa [23] atau juga Ekonomi Kreatif  [24]. Kementerian Perdagangan Indonesia menyatakan bahwa Industri kreatif adalah industri yang berasal dari pemanfaatan kreativitas, keterampilan serta bakat individu untuk menciptakan kesejahteraan serta lapangan pekerjaan dengan menghasilkan dan mengeksploitasi daya kreasi dan daya cipta individu tersebut. [25]

Dalam rangka pengembangan industri kreatif dan ekonomi kreatif nasional, pemerintah diwakili Departemen Perdagangan dan Departemen Perindustrian telah melakukan berbagai upaya untuk menumbuhkan industri kreatif, melalui berbagai seminar, konferensi, pelatihan, workshop, dsb. Pemerintah juga berinisiatif membentuk Komisi Inovasi Nasional, sebagai bagian dari langkah untuk meningkatkan daya kreativitas dan inovasi nasional. Industri kreatif kini dianggap sebagai motor penggerak pertumbuhan ekonomi nasional, dan sebuah strategi untuk bersaing dalam kancah persaingan global.

Kreativitas merupakan kapasitas khusus individu atau kelompok, yang mampu mengekspresikan bentuk tak biasa, ide segar, gagasan baru, karya orisinil, terobosan dan pikiran-pikiran mencerahkan.  ‘Inovasi’ adalah ‘produk’ kreativitas, berupa ide baru, pengenalan ide baru, penemuan, pengenalan penemuan, ide yang berbeda dari bentuk-bentuk yang ada, pengenalan sebuah ide yang mengganggu kebiasaan umum. Inovasi dapat berupa inovasi bentuk, fungsi, teknik, material, bahasa, manajemen atau  pasar. Industri kreatif berarti industri yang mampu menghasilkan bentuk tak biasa, ide segar, gagasan baru atau karya orisinil untuk kebutuhan masyarakat.

Menurut Howkins, Ekonomi Kreatif terdiri dari periklanan, arsitektur, seni, kerajinan. desain, fashion, film, musik, seni pertunjukkan, penerbitan, Penelitian dan Pengembangan (R&D), perangkat lunak, mainan dan permainan, Televisi dan Radio, dan Permainan Video [26]. Muncul pula definisi yang berbeda-beda mengenai sektor ini. Namun sejauh ini penjelasan Howkins masih belum diakui secara internasional.

Industri kreatif dipandang semakin penting dalam mendukung kesejahteraan dalam perekonomian, berbagai pihak berpendapat bahwa "kreativitas manusia adalah sumber daya ekonomi utama" [27] dan bahwa “industri abad kedua puluh satu akan tergantung pada produksi pengetahuan melalui kreativitas dan inovasi [28]. Berbagai pihak memberikan definisi yang berbeda-beda mengenai kegiatan-kegiatan yang termasuk dalam industri kreatif [29]. Bahkan penamaannya sendiri pun menjadi isu yang diperdebatkan dengan adanya perbedaan yang signifikan sekaligus tumpang tindih antara istilah industri kreatif, industri budaya, dan ekonomi kreatif [30]

c)  Pendidikan Seni sebagai Pendidikan Multikultural


Pendidikan seni mampu menjadi media alternatif mewujudkan pendidikan multikultural melalui kegiatan apresiasi, kreasi, penikmatan, dan pengkajian nilai-nilai sebuah karya seni. Sebab dalam konsep pendidikan seni memuat wacana pendidikan plural dan multicultural, seperti untuk menanamkan suatu pemahaman, penghargaan dan penilaian atas budaya seseorang, serta menanamkan sebuah penghormatan dan keingintahuan tentang budaya etnis orang lain kepada peserta didik. Hal ini juga mencakup upaya untuk mencoba memahami bagaimana kebudayaan tertentu dapat mengekspresikan suatu nilai bagi warga pendukungnya. Dengan penanaman seperti itu peserta didik dapat mengakui dan melindungi keragaman budaya yang bukan semata-mata berdasarkan etnis, tetapi juga kesetaraan derajat dari kebudayaan yang berbeda. Jadi penekanan terletak pada pemahaman dan upaya peserta didik untuk senantia bergumul dengan pihak lain yang berbeda sosial-budayanya, dan kemudian mampu menginternalisasikan ke dalam kehidupannya baik secara individu maupun kelompok (Lawrence A Blum). Dengan demikian, pendidikan seni seperti halnya konsep pendidikan multikultural yaitu harus memegang prinsip untuk selalu terbuka terhadap pendekatan pendidikan lain yang berasal dari kebudayaan dari orang lain.

Berdasarkan paparan tentang pembelajaran seni tersebut, dapat dikemukakan implikasi-implikasi sebagai berikut.
1) Pertama, pembelajaran seni dengan pendekatan multikultural sangat diperlukan bagi pembentukan karakter seseorang agar memiliki kepribadian yang relatif kokoh.
2)  Kedua, Pendekatan multikultural harus luwes bergantung pada kemampuan peserta didik, masyarakat, dan kondisi sosial budaya lingkungannya.
3) Ketiga, pendekatan multikultural harus lebih menekankan pada pengembangan kepekaan rasa, estetika, kemampuan berimajinasi dan berkreasi.

Dari ketiga rumusan tersebut berimplikasi pula terhadap peranan dan kompetensi guru seni. Guru seni dituntut dapat memenuhi persyaratan tertentu, di antaranya adalah:
  • berwawasan luas, terampil, dan bertanggungjawab terhadap profesinya;
  • menguasai bidang ilmu (seni) dan dapat mengembangkan materi ajar;
  • memahami maturitas dan perkembangan peserta didik dalam belajar seni;
  • menguasai teori dan praktik dalam kerangka pembelajaran seni;
  • mampu merancang dan mengelola pembelajaran seni.   

VI. Beberapa Catatan dan Kesimpulan
  • Telah terjadi pemiskinan ilmu seni baik di sekolah umum maupun di sekolah kejuruan, hal ini karena filosofi yang mendasarinya, walaupun kurikulum 2013 sudah ada, namun dampak pemiskinan ilmu seni ini akan berlanjut terus selama beberapa dekade, karena guru-gurunya/ dosen akan tetap memakai pengetahuan yang lama
  • Istilah seni dalam kamus-kamus harus di perbaiki sebab bisa menyebabkan kekeliruan berkepanjangan, ini tugas bidang bahasa Nasional
  • Pendidikan seni dengan pendidikan desain adalah dua hal yang berbeda, desain bukan seni terapan
  • Paradigma pendidikan seni telah bergeser dari posisi transmisi, ke posisi transaksi secara umum, siswa dipandang sebagai rasional dan mampu memecahkan masalah yang cerdas.
  • Pendidikan dipandang sebagai suatu dialog antara siswa dan kurikulum di mana siswa merekonstruksi pengetahuan melalui proses dialogis, paling tidak itulah perubahan yang terlihat secara mencolok dari kurikulum seni 2006 ke kurikulum seni 2013
  • Seperti yang kita ketahui jika kita berbicara dalam dunia pendidikan seni sebenarnya ada dua mainstream teori yang berkembang, pertama yang dikembangkan dalam dunia kependidikan dan mainstream teori yang lain adalah yang berkembang dalam disiplin ilmu seni. Kedua mainstream itu dapat dimanfaatkan untuk dunia pendidikan seni.
  • Bahwa trend yang muncul dalam pendidikan seni di abad ke 21 ini sebenarnya banyak dipengaruhi oleh suasana masyarakat global, terutama oleh kepentingan sosial, ekonomi, khususnya bidang industri yang melihat seni dan budaya sebagai modal budaya bangsa dan industri kreatif, oleh karena itu sudut pandang ketiga (kepentingan) sosial mulai dilirik oleh bidang pendidikan
  • Kekurangan kurikulum 2013. Untuk menyokong industri kreatif yang diperlukan bukan bagaimana memahami seni dan budaya dan mereproduksinya, tetapi yang paling penting pendidikan desain. Pendidikan desain yang prematur di kur. 2006, (dianggap seni terapan) hilang di kur 2013, seakan digantikan dengan prakarya.
  • Kur 2013 tidak mempelajari elemen dasar seni secara nyata
  • Kur.2013 tidak secara nyata menghubungkan diri dengan sejarah dan budaya

  • VII. Daftar Pustaka

Alland, Jenny, 2002, The Arts in Schools: Beyond 2000, Queensland: QSA online http://www.qsa.qld.eduau/yrs1-10/kla/arts/pdf/rp-jalan.pdf, diakses Juni 2003.
Barret, Terry, Criticizing Art: Understanding the Contemporary, Mayfield Publishing Company, Mountain View. California, London, Toronto, 1994.
Becker , Howard S. 1982 . Arts Worlds, Berkeley: California Unversity Press
Bell, Malcom & Biott, Colin, 1997, “Using IT in Clasrooms, Experienced Teachers and Student as Co Learners” dalam Somekh, Bridget dan Davis, Niki,(Ed.), 1997, Using Information Technology Effectively in Teaching and Learning, London and New York: Routledge.
BSNP, 2006, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2006, Jakarta: BSNP-DEPDIKNAS
BSNP, 2013, Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan 2013, Jakarta: BSNP-DEPDIKNAS
Barrett, Estelle. 2005. Creative Arts Practice, Creative Industries Method and Process as Cultural Capital, School of Communication and Creative Arts, Deakin University, Australia. Diakses dari http://dro.deakin.edu.au/view/DU:30005892, tahun 2007
Couto, Nasbahry & Indrayuda. 2012. Pengantar Sosiologi Seni. Padang: UNP Press
Dewey, J. (1966). Democracy and education. New York: Macmillan/Free Press. (Originally published in 1916)
Eisner, Elliot W. 1972. Educating artistic vision. New York,: Macmillan
Eisner, Elliot W., and Elizabeth Vallance.1974. Conflicting conceptions of curriculum Series on contemporary educational issues. Berkeley, Calif.,: McCutchan Pub. Corp.
Geisert, Paul G. dan Futrell, Mynga K., Teachers, Computers, and Curriculum, Allyn and Bacon, Boston-London, Toronto, Sydney-Tokyo-Singapore., 1995.
Hansen, Ronald E. (1995). Five Principles for Guiding Curriculum Development Practice: The Case of Technological Teacher Educationpada  DLA Ejournal, volume 32, University of Western Ontario, Number 2, http: //scholar.lib.vt.edu /ejournals /JITE/v32n2 /hansen. html, diakses Agustur 2013
Lansing, K.M. 1990. Art, Artists and Education. London: MsGraw-Hill Book Company.
Golberg, Merryl. 1997. Arts and Learning: An Integrated Approach to Teaching and Learning in Multicultural and Multilingual settings. New York: Longman.
Lowenfeld, Viktor. 1952. Creative and Mental Growth, 2nd edition. New York: Macmillan.
Murti, Krisna, 2004, “Penampakan Media Baru” makalah seminar Apa Itu Seni Saat Ini?, Bandung: Fakultas Filsafat UNPAR.
Soehardjo, 2005, Pendidikan Seni dari Konsep Sampai Program, Malang: Balai Kajian Seni dan Desain Jurusan Pendidikan Seni dan Desain, Universitas Negeri Malang.
Sukmadinata, N.S., 2002, Pengembangan Kurikulum: Teori dan Praktek. Bandung: Remaja Rosda Karya.
Wickiser,  Ralph L.,1957. An Introduction to art education, Publisher: Yonkers-on-Hudson, NY: World Book Company

Catatan Kaki


[1]  Dosen bidang Studi Pendidikan Seni Rupa dan Desain Komunikasi Visual, Jurusan Seni Rupa FBS-UNP, Padang, lulusan Pasca Sarjana (S2)  Seni Rupa dan Desain ITB Bandung, 1999.
[2]  Dosen bidang Studi Pendidikan Seni Rupa dan Desain Komunikasi Visual, Jurusan Seni Rupa FBS-UNP, Padang, lulusan Pasca Sarjana  Universitas Negeri Malang (S3), Malang , 2006
[3] Lih. S. Soeteja, dalam artikelnya, Merevitalisasi Pendidikan Seni Rupa Di Sekolah, sumber http://zsoeteja.blogspot.com/2011/05/pendidikan-melalui-seni-kria.html
[4]  Kelompok Keahlian Estetika dan Ilmu-ilmu Seni (Aesthetics and The Sciences of Arts) adalah kelompok keahlian yang melingkupi wilayah kajian yang lebih bersifat keilmuan – dan berkaitan dengan praktik seni rupa – ia menjadi penafsir dan penjelas fenomena kehidupan seni yang erat hubungannya dengan kebudayaan. Khususnya kebudayaan Indonesia Tercakup dalam kelompok keahlian ini adalah wilayah keilmuan Sejarah Seni, Estetika, Kritik Seni, Antropologi Seni, Sosiologi Seni, Psikologi Seni, Filsafat Seni, dan Manajemen Seni yang selama ini telah mapan. Selain itu, keilmuan lain yang sangat terkait dengan seni rupa yang baru dikenal di Indonesia adalah Semiotika dan Hermeneutika. Bila KK Seni Rupa lebih terkait dengan profesi kesenimanan, maka KK Estetika dan Ilmu-ilmu Seni banyak bergerak dalam wilayah keprofesian lainnya, seperti kritikus, sejarawan seni, kurator, dosen, manajer seni dan ahli konsevarsi seni. Sumber:  lihat di http://www.fsrd.itb.ac.id/?page_id=22
[5] Lih. Eisner, Elliot W. 1972. Educating artistic vision. New York,: Macmillan
[6] Elliot W. Eisner is Professor of Education and Art at Stanford University. Widely considered the leading theorist on art education and aesthetics in the United States, he has won wide recognition for his work both her and abroad. Among his many awards is the Palmer O. Johnson Award from the American Educational Research Associaition. He has been a John Simon Guggenheim Fellow and Fulbright Scholar, and has served as the President of the National Art Education Associaition,  the International Society for Education Through Art, the American Educational Research Associaition and the John Dewey Society.
[7]  Lihat artikel Hansen, Ronald E. (1995). Five Principles for Guiding Curriculum Development Practice: The Case of Technological Teacher Educationpada  DLA Ejournal, volume 32, Number 2, http: //scholar.lib.vt.edu /ejournals /JITE/v32n2 /hansen. html
[8] Tulisan-tulisan Rousseau adalah faktor penting bagi pertumbuhan sosialisme, romantisme, totaliterisme, anti-rasionalisme, bukan pula Rousseau yang berpendapat dan bersikap bahwa masyarakat itu dasarnya khaos. Malah sebaliknya, dia senantiasa menekankan bahwa masyarakat itu perlu untuk manusia.
[10] Tulisan aslinya dari Aminudin TH Siregar, Dosen Seni Rupa Institut Teknologi Bandung (ITB)Dimuat di Kompas, 11 September 2011.http://muhammadakhyar.tumblr.com/post/10265873417/salah-kaprah-istilah-seniman
[11] Lih Wawasan Konsep Pendidikan Seni, pada sastra.um.ac.id/wp-content/uploads/2012/06/BAB-I.docx‎, diakses Agustus, 2013
[12]  Dr. Zakarias S. Soeteja, S.Pd., M.Sn., staf pengajar di Jurusan Pendidikan Seni Rupa-FPBS dan Program Studi Pendidikan Seni- Sekolah Pascasarjana Universitas Pendidikan Indonesia,

[13] Soeteja, 2011. Pendidikan Seni Rupa Berbasis Teknologi Informasi Dan Komunikasi Melalui Pembelajaran “Seni Media Baru”, diakses dari http://zsoeteja.blogspot.com/2011/05/pendidikan-seni-rupa-berbasis-teknologi.html, Agustus, 2013.  Lihat pula. Murti, Krisna, 2004, “Penampakan Media Baru” makalah seminar Apa Itu Seni Saat Ini?, Bandung: Fakultas Filsafat UNPAR.
[14] Lihat Denis Dutton (2009). The art instinct: beauty, pleasure, & human evolution. Oxford University Press US. ISBN 0-19-953942-1.
[15] Lihat buku karangan Couto, Nasbahry @ Indrayuda, (2012-3) Pengantar Sosiologi Seni, Padang: UNP Press
[16]   Untuk lebih jelasnya sebaiknya buku ini dimiliki oleh peserta Lihat buku karangan Couto, Nasbahry @ Indrayuda, (2012-3) Pengantar Sosiologi Seni, Padang: UNP Press
[17] Lihat : Seni sebagai Ideologi Sosial (Weltanschauung): John Paul , diakses dari www.sociology.org/.../the_sociology_of_art.pdf‎, april, 2012
[18] Academic Standards for the Arts and Humanities, Penncylvania Departemen Education, www.portal.state.pa.us/portal/server.pt?...2
[19]  Core curriculum in Oklahoma.(1990). The Priority Academic Student Skills (PASS) in The Arts is a basic curriculum framework. Standar ini berlaku di pendidikan SLU di Amerika dan Eropah, diakses dari http://ok.gov/sde/sites/ok.gov.sde/files/C3%20PASS%20arts.pdf
[20] Lihat istilah Aplied Ars di Wikipedia, saat tertentu memang diakui adanya seni terapan, dan pengakuan desain sebagai seni terapan, tetapi itu hanya pada masa tertentu saja pada era berkembangnya gaya Art Deco, Art Nouveau dan  Art and Craft Movement.
[21]  Lihat di 
[22] Lihat buku karangan Becker Howard S. 1982 . Arts WorldsBerkley: California Unversity Press
[23] Hesmondhalgh, David (2002) The Cultural Industries, SAGE
[24] Howkins,John,The Creative Economy: How People Make Money from Ideas, Penguin
[25] Definisi Industri Kreatif, Indonesia Kreatif
[26] Howkins,John (ibid)
[27]  Florida, Richard, The Rise of the Creative Class. And How It's Transforming Work, Leisure and Everyday Life, Basic Books
[28] Bianchini, Charles, The Creative City, Demos
[29] DCMS (2001), Creative Industries Mapping Document 2001 (2 ed.), London, UK: Department of Culture, Media and Sport
[30] Hesmondhalgh, David (2002), The Cultural Industries, SAGE

I   Untuk download file MS Power pointnya silahkan klik disini.


  1. [1]  Dosen bidang Studi Pendidikan Seni Rupa dan Desain Komunikasi Visual, Jurusan Seni Rupa FBS-UNP, Padang, lulusan Pasca Sarjana (S2)  Seni Rupa dan Desain ITB Bandung, 1999.
  2. [2]  Dosen bidang Studi Pendidikan Seni Rupa dan Desain Komunikasi Visual, Jurusan Seni Rupa FBS-UNP, Padang, lulusan Pasca Sarjana  Universitas Negeri Malang (S3), Malang , 2006