Selasa, 18 Februari 2014

Tantangan Seni Rupa di Era Global


Bambang Sugiharto
(Dosen Pasca  Sarjana , FSRD, ITB, Bandung)
Seminar Nasional Pendidikan Seni Budaya dan Industri Kreatif dalam Menghadapi Tantangan Global





A.     Pendahuluan

Di awal abad 21, seni visual telah menghadapi perubahan signifikan, suatu transformasi mendasar dalam hal karakter, identitas, struktur, maupun persepsi atas apa artinya ‘karya seni’ dan apa artinya menjadi ‘seniman’. Para seniman di era millinium ketiga ini umumnya terkepung dilema: di satu pihak wacana teoretis, wacana sejarah maupun praktik-praktik telah dibongkar secara kritis; di pihak lain bentuk-bentuk seni yang paling laku di pasar tetaplah bentuk konvensional atau apa pun yang ditentukan oleh para kolektor belaka, yang tak jelas arahnya, seolah segala perubahan wacana dan praktik di dunia seni sendiri seperti tak berpengaruh apa-apa.

Di dunia seni akademis sendiri sebetulnya perubahan mendasar itu jelas. Pertama, kini bagaimana pun wacana teoretis semakin penting dalam praktik berkesenian, sebab hal itu merupakan konsekuensi logis dari proses ‘dematerialisasi’ yang panjang di dunia seni sendiri. Kedua, perluasan media dalam praktik berkesenian sendiri pun telah menjadi demikian luas sehingga pakem di wilayah bentuk visualnya menjadi kian tak jelas. Yang namanya ‘seni visual’ itu kini bisa mencakup nyaris apa pun, sejak tubuh telanjang dalam performance, gas yang tak tampak, energi telepati, proyek-proyek instalasi raksasa, karya-karya alamiah (earthworks) di hutan terpencil atau pun di pusat kota, bentuk-bentuk intervensi sosial-politis hingga karya-karya komputer elektronik, video, dsb.

B.     Konteks Internal dunia Seni : The End of Art’ dan Konsekuensinya


“The end of art” (Adorno, Danto, Burgin, Kosuth, Foster, etc) adalah diktum umum yang menandai perubahan mendasar itu. Tentu itu tidak berarti bahwa secara harfiah seni sudah mati atau berhenti. Sebaliknya, diktum itu justru memaksa kita untuk melihat kembali peran seni dalam kehidupan. ‘The end of art’ adalah isyarat perubahan paradigmatik yang serius.

Warhol adalah salah satu kunci penting yang telah menggulirkan situasi itu, terutama melahirkan tendensi para-doksal: di satu pihak ia meradikalkan pertanyaan Duchamp ‘What is art?’ dan menjadikan seni sangat filosofis (seni terletak pada ‘idea’ yang dibawanya). Di pihak lain pada saat yang sama Warhol pun justru melepaskan seni dari segala pretensi filosofisnya sama sekali, dan menjadikan seni apa pun juga. Seni menjadi pluralistik, praktiknya pragmatik, medannya multikultural.

Sejak itu ‘seni’ seperti menghilang. Dari perspektif poststrukturalis, yang ada adalah ‘representasi’. Sejarah dan teori seni menjadi sejarah dan teori representasi, yang mesti dipahami dari sudut produksi tekstual dan resepsi psikologis. Dari kaca mata Marxis, seni dikuasai oleh dominasi praktik-praktik imaji visual, komoditi utama dalam masyarakat tontonan. Di sana seni sulit dibedakan dari komoditi imaji kapitalistik itu.

Konsekuensi lebih jauh dari situasi itu adalah bahwa kini tak ada lagi paradigma terkuat bagi kritik maupun praktik seni. Tentu ini membuka jalan ke arah keberagaman artistik. Tapi pada saat yang sama juga ke arah ketidakpedulian atas ukuran kualitas. Atau barangkali keterukuran memang tidak penting lagi, sebab karya seni bukan lagi pertama-tama obyek kontem-plasi, melainkan sekedar cara berkomunikasi dan penampilan-diri, suatu proses konstruksi diri dan pembedaan diri. Kini seni sepertinya tak lagi amat memerlukan kinerja kekriyaan (craftmanship) yang rumit. Sudut pandang pribadi yang unik dan tak lazim atas suatu obyek seolah sudah cukup untuk menjadikan obyek itu karya seni. Dan dibantu peralatan komputer, video, atau kamera semua orang bisa menjadi seniman, seperti pernah dikatakan oleh Josef Beuys. Standar keberhasilan suatu karya menjadi sama dengan ukuran untuk kesuksesan suatu band pop atau penyanyi idola: dinilai tidak berdasarkan suatu kanon spesifik yang membawa tradisi panjang di belakangnya, melainkan berdasarkan jumlah sms yang masuk, jumlah reaksi penonton di jejaring sosial, jumlah pemberitaan di media, jumlah penjualan produknya atau pun seberapa tinggi nilai jualnya. Refleksi diganti dengan penilaian numerik-statistik. Masuk tidaknya dalam suatu pameran prestisius, institusi, museum atau galeri, tidak lagi teramat penting.

Demikianlah seni kontemporer adalah kelanjutan dari Avantgardisme dan Pop-art dalam karakternya sebagai produk pop. Produk pop cenderung menekankan kebaruan yang ahistoris, kekinian sesaat, diskontinuitas. Itu sebabnya museum, yang menekankan kesinambungan historis, jadi kelihangan wibawa. Sejarah diganti kekinian abadi. Seni merayakan apa yang kontekstual, efemeral dan banal. Kehidupan sehari-hari adalah medan dan konteks baru para seniman, sebab seringkali ia dilihat sebagai sumber potensi untuk mensubversi dan mengubah tatanan nilai-nilai baku. Kadang keseharian juga dilihat sebagai konteks real yang membentuk hubungan-hubungan manusiawi, konteks real untuk menemukan kembali subyektivitas diri.


Kalau pun ada tendensi mencari inspirasi dari tradisi lokal, maka bagi seni kontemporer tradisi itu adalah semacam gudang yang menyimpan sensasi-sensasi purba, yang penting untuk menyingkapkan fantasi atau harapan kolektif yang tersembunyi, yang lantas dikombinasikan dengan sensasi atau impian saat ini. Seringkali hasilnya adalah tergambarnya kontinuitas yang diskontinu, atau keterpatahan yang merindu-kan keterhubungan. Atau bahkan hal-hal terselubung yang ternyata telah terpasung dan terkorbankan oleh modernitas.

C.Konteks Eksternal: Seni dalam Situasi Global
Seni selalulah menyangkut pandangan pribadi paling intim terhadap situasi dunia yang mengepungnya. Situasi global ditandai interaksi tanpa batas dan refleksi kritis total dan mendasar atas hampir segala hal. Segala klaim tentang kebenaran, kedirian, pengetahuan, moralitas atau nilai dilihat sebagai produk kekuasaan belaka, karenanya serba dicurigai dan diragukan. Alhasil dunia praksis kehidupan terasa serba tidak koheren, tidak konsisten, dan tanpa acuan yang pasti. Reaksi atas ini adalah meriapnya gerakan-gerakan mikropolitik atas nama kepentingan-kepentingan pragmatis sempit dan jangka pendek saja. Kapitalisme media dan politik dilawan oleh teror kelompok-kelompok kecil, yang pada dirinya sendiri pun penuh kontradiksi dan ambivalensi.

Kontradiksi atau lebih tepat, paradoks, adalah memang ciri khas situasi global kini: paradoks antara heterogenitas dan homogenitas; perayaan peleburan kultural dan fanatisme identitas sempit; antara realitas dan fiksi; antara merebaknya turisme ke segala penjuru bumi dan sekaligus gerakan klandestin para imigran; antara penyebaran informasi tanpa batas dan adanya daerah-daerah terpencil yang mengalami diinformasi nyaris total; antara ekonomi global dan sistem barter, dsb. Pada titik ini individu sebetulnya terhimpit oleh aneka tendensi yang saling bertentangan itu. Khususnya para seniman, mereka terhimpit baik oleh carut-marutnya dunia seni sendiri, maupun oleh ketidakpastian situasi global yang penuh kontradiksi.

D.     Implikasi bagi Praktik Seni Rupa Kini

  1. Sebetulnya kondisi macam di atas itu adalah situasi penuh tegangan yang sangat menarik untuk proses kreatif. Berikut ini adalah beberapa tendensi di dunia seni rupa yang bermunculan dari kompleksitas situasi global itu, yang sekaligus merupakan tantangan bagi proses penciptaan kreatif: sebagai berikut ini.
  2. Tegangan tak jelas dalam penentuan bobot sebuah karya, di satu pihak, dari dunia seni sendiri kurator tetap memiliki otoritas untuk menentukan kualitas sebuah karya, di pihak lain pasar pun sangat besar pengaruhnya, kendati ukuran-nya seringkali hanyalah ukuran kuantitatif nilai uangnya. Ikan hiyu raksasa yang telah diawetkan, karya Damien Hirst, sebetulnya tak jelas benar bobot dan makna artistik-nya, tapi karena seorang pengusaha berani membelinya seharga 120 milyar (!), maka otomatis ia dianggap masterpiece atau adikarya. Sama halnya ‘pink Panther’ karya Jeff Koon, yang sekilas tak ada bedanya dengan boneka-boneka yang sering dijual di pinggir jalan, tapi ketika seorang kolektor membelinya dengan harga 18 milyiar, seolah itu menjadi karya besar. Dalam kenyataan-nya, kolektor atau galeri memang memiliki kekuatan sangat besar kini untuk proses ‘branding’ seorang seniman. Dalam kerangka pasar, karya seni kini memang merupakan komoditi fantastis, yang tak jelas kriteria pembobotannya. Posisinya mirip segala komoditi ‘pop’: semuanya merupa-kan proses misterius dari konspirasi antara pemilik modal, media masa, dan dunia senirupa sendiri.
  3. Kendati karya-karya seni yang dianggap ‘besar’ kini tak niscaya menuntut kinerja kekriyaan (craftmanship)-karena bentuknya bisa berupa apa pun-, kalaupun kebetulan menuntut kekriyaan yang pelik, itu umumnya kini dikerja-kan oleh para artisan alias tukang-tukang. Seniman tinggal mengontrol mereka atau pun mencari ide baru saja. Maka yang menjadi penting dan sentral dalam kiprah seni rupa kini adalah ‘ide’ itu, ide yang menyengat, yang menyibak-kan kesadaran baru tentang realitas yang sebelumnya tak disadari orang. Refleksi kritis yang mendalam dan brilian kini adalah syarat mutlak bagi mereka yang ingin menjadi seniman besar, bukan sekedar ketrampilan teknis. Keteram-pilan teknis bisa dikerjakan para karyawan.
  4. Bagian penting dari ‘ide’ itu adalah inspirasi dari khasanah-khasanah tradisi lokal, yang tetaplah sangat kaya. Dunia global yang serba sama dan transparan seringkali membu-tuhkan persepsi-persepsi unik, mengejutkan, dan tak terduga. Sebelum tradisi-tradisi itu punah kelak, kita masih mempunyai banyak persediaan sebagai gudang inspirasi. Menggali inspirasi dari tradisi di sini bukan berarti hanya menjumputi inspirasi bentuk fisiknya, melainkan juga mengkaji kembali kekhasan cara pandang dan sikap yang tersembunyi di sana, yang mungkin penting untuk meng-hadapi kekisruhan global saat ini.
  5. Untuk menguatkan efek dari ‘ide’ dan konfigurasi visual-nya, nampaknya kini semakin diperlukan kolaborasi interdisipliner. Senirupa perlu bekerjasama dengan bidang-bidang lain seperti film, komputer, teater, arsitektur, tekno-logi, sains, dst. Persis seperti yang dilakukan para pekerja batik: mereka memainkan motif batik tak lagi hanya pada kain, melainkan pada bahan-bahan bangunan seperti pada tegel keramik, kap lampu, kayu, karpet, tubuh kendaraan, aneka tayangan video iklan, dsb. Kemungkinannya masih sangat terbuka lebar.
  6.  Kemungkinan yang masih terbuka adalah juga berbagai strategi pelibatan penonton, yang telah dirintis sejak aktivitas performance-art atau happening di era Dada. Sejak Dada, karya seni memang tak lagi semata-mata bersifat ‘retinal’ alias ‘tontonan’, melainkan menjadi aktivitas bersama yang melahirkan pengalaman dan kesadaran baru yang penting. Karya Tisna Sanjaya berupa proyek transfor-masi desa Cigondewah di Bandung adalah salah satu contohnya. Di sini kuncinya adalah kesungguhan kepe-dulian dan komitmen atas isu-isu bersama; kemampuan merogoh persoalan-persoalan eksistensial tersembunyi di sekeliling kita; dan kemampuan menciptakan kemung-kinan-kemungkinan baru untuk memahami dan meng-hayati kehidupan.
  7. Dengan cara-cara itulah seniman bisa tetap berfungsi kreatif dan produktif bagi kehidupan hari ini. Bahkan dengan begitu pula seni dapat didaratkan kembali pada medan kehidupan nyata, setelah lama terasing dalam dunia ekskulsifnya sendiri, dunia ‘seni tinggi’.

Prof. Dr. Bambang Sugiharto, Guru Besar Filsafat Universitas Parahyangan, disamping mengajar di Pasca Sarjana, FSRD, ITB, Bandung. Beliau adalah budayawan dan kritikus seni dan sastra, penulis sejumlah buku, antara lain, Postmodernisme: Tantangan bagi Filsafat, juga Dimensi Baru Etika dan Agama, dan mengeditori antologi Humanisme dan Humaniora: Relevansinya Bagi Pendidikan. Profesor Doktor Bambang Sugiharto (52) oleh kawan-kawannya dijuluki sebagai ”filsuf underground”. Doktor filsafat yang lulus ”summa cum laude” dari Universitas San Tomasso, Roma, Italia, itu bukan hanya gemar musik rock, tetapi juga dekat dengan komunitas ”underground” Bandung. Di tengah situasi bangsa yang tengah bingung dan korup, Bambang melihat harapan pada kaum ”underground” itu.

E.      DAFTAR PUSTAKA

Adorno, Theodor, Negative Dialectics, trans E.B.Ashton (New York: Continuum, 1973)
Burgin, Victor, The End of Art Theory: Criticism and Postmodernity (Atlantic Highlands, NJ: Humanities Press International, 1986)
Danto, Arthur, After the End of Art (Princeton: Princeton University Press, 1997)
Danto, Arthur, Philosophical Disenfranchisement of Art (New York: Columbia University Press, 1986)
Debord, Guy, The Society of the Spectacle, trans. Donald Nicholson-Smith (Cambridge: Zone Press, 1994)
Deleuze, Gilles, and Guattari Felix, Anti-Oedipus, Capitalism and Schizophrenia (Minneapolis, University of Minnesota Press, 1989)
Deleuze, Gilles, Negotiations (New York: Columbia University press, 1995)
Foster, Hal, The Anti-Aesthetic: Essays on Postmodern Culture (New York: New Press, 1983)
Foucault, Michel, “What is Enlightenment”, in Paul Rabinow (ed), Michel Foucault, Vol I , Ethics (New York: The New Press, 1997)
Gablik, Suzi, Before The End of Time (New York: Thames and Hudson Ltd, 1995)
Sim, Stuart, Beyond Aesthetics (New York: Harvester Wheatsheaf, 1992)
Stiles, Kristine et al (ed), Theories and Documents of Contemporary Art: a source book of artists’ writings (Berkeley : University of California Press,1996)
Wallis, Brian, Art After Modernism: Rethinking Representation (New York: The New Museum of Contemporary Art, 1984)