Selasa, 29 Januari 2013

Seni Modern dan Tradisional di Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Perkembangan Seni

Hal.1


现代和传统艺术在印尼:在艺术发展的连续性与非连续性
Современные и традиционные искусства в Индонезии: преемственность и прерывистость в развитие искусства
इंडोनेशिया में आधुनिक और पारंपरिक कला: कला के विकास में निरंतरता और अलगाव

Oleh: Nasbahry Couto

Seperti yang kita ketahui topik seni modern adalah topik yang paling kontroversial dalam wacana seni Indonesia. Sebab akan menimbulkan pertanyaan, apakah Indonesia sudah menjadi negara modern seperti Jepang, Korea di Timur atau seperti model Turki, dan Mesir di Barat. Hal ini pernah menjadi polemik dalam sejarah seni Indonesia, misalnya, polemik kebudayaan di antara para cendekiawaan Indonesia, pada tahun 1935—1936. Polemik tersebut mengemuka karena adanya kesadaran perihal bentuk kebudayaan seperti apa yang akan mengisi Indonesia ketika merdeka kelak. Di antara dua pihak yang saling berpolemik, yaitu Sutan Takdir Alisjahbana disatu pihak,  yang menginginkan agar meniru kebudayaan Barat, dengan Sanusi Pane, Poerba Tjaraka, Sutomo, Tjindarbumi, Adinegoro, M. Amir, dan Ki Hajar Dewantara, yang menginginkan menolak seni dan budaya Barat. Dalam kenyataannya, lembaga seni dan budaya tradisi tidak memiliki ruang untuk berkembang. Ibarat “karakok tumbuah di batu” (batang sirih tumbuh di batu), mati tidak, hidup merana

SAMPAI saat ini para ahli yang masih memperdebatkan apakah sebuah perkembangan ke arah modern itu merupakan suatu proses yang berkesinambungan atau tidak ? Banyak sekali pendapat ahli yang berbeda – terutama penekanan bahwa perkembangan itu bersifat kontinuitas, dan ada pula yang menekankan bahwa perkembangan itu bersifat diskontinuitas. Perkembangan bersifat kontinuitas (berkesinambungan) maksudnya bahwa perkembangan itu berlangsung secara bertahap dan terus menerus. Perkembangan bersifat diskontinuitas atau tidak berkesinambungan. merupakan proses perkembangan yang melibatkan proses - proses berbeda secara kualitatif.

Perkembangan bersifat diskontinuitas adalah perubahan - perubahan yang terjadi dapat secara tiba - tiba dari suatu tahap ke tahap berikutnya. Pokok persoalan ini juga menjadi persoalan dalam konteks pelestarian seni dan budaya serta pencarian karakter bangsa. Dalam hal ini kita dapat masuk ke diskusi paling panas, misalnya seni dan budaya apa yang harus dipertahankan itu sebagai jati diri bangsa dan sekaligus manusia modern? Perubahan-perubahan bentuk seni itu sangat banyak terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Budaya-budaya besar seperti dari India dan Cina, Arab masuk ke Indonesia sekaligus membawa anasir seni yang kemudian diserap dan berkembang menjadi bagian dari seni Indonesia. Yang banyak menjadi pertanyaan adalah bagaimana melestarikan kebudayaan itu, hal ini  terkait dengan teori kontinitas dan diskontinuitas  dalam seni.

Model Diskontinuitas Sejarah Seni di Indonesia




Perkembangan bersifat diskontinuitas dapat juga dilihat dari transformasi seni dan budaya yaitu konsep transformasi ini lebih jelas pada konsep-konsep yang diutarakan oleh Wiyoso Yudosaputro (1995). Seperti yang diperlihatkan pada bagan di datas, seni Indonesia  tidak selalu bersifat kontinuitas karena adanya unsur baru yang masuk ke Indonesia.
Seperti yang diketahui, sejarah seringkali diartikan sebagai sebuah rangkaian peristiwa berkesinambungan yang dapat disusun kronologisnya secara sinkronik [2]dan diakronik [3]. Pemaknaan tradisional juga cenderung menafsirkan sejarah secara sinkronik dan sebagai kajian tentang relasi kausalitas antara peristiwa terdahulu dengan setelahnya. Merujuk teori kesinambungan, sejarah memang dianggap sebagai sekumpulan wacana yang dilapisi peristiwa yang konstan. Sejarah juga hanyalah penghimpun peristiwa yang menjadi acuan dan pembukti adanya hubungan sejumlah peristiwa. Namun teori ini tidak selamanya dapat dimaknai secara struktural. Teoritikus asal Prancis, Michel Foucault mencoba menolak premis ini.

Dalam bukunya yang berjudul The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences, 1994 (arkeologi ilmu pengetahuan), Foucault menyatakan sejarah tidaklah sesederhana itu. Menurutnya, adanya kemungkinan anomali dan retakan sejarah yang kadang diabaikan oleh sejarawan. Lagipula sejarawan seringkali terjebak dalam hubungan kausalitas sejumlah peristiwa. Retakan ini yang disebut oleh Foucault sebagai diskontinuitas dalam sejarah. Menurutnya diskoninuitas merupakan sesuatu yang ada dalam sejarah namun ditutupi oleh peristiwa lainnya. 

Oleh karena itu, menurut Foucault sejarawan tidak hanya “bertugas” mengurutkan tahun terjadinya peristiwa, namun ia juga harus mengungkap apa yang terselubung di dalam peristiwa tersebut. Selubung itu terbentuk akibat tertutupi oleh tradisi dan konvensi dalam masyarakat. Tradisi, ibarat penyelamat, sekaligus pembelenggu dan pengikat leher seseorang untuk pembenaran sehingga merasa tidak merasa perlu untuk berpikir kritis tentang kebenaran yang menjadi objek sejarah itu, lebih dalam. Bahkan selubung itu untuk objek sejarah itu diperlukan oleh kepentingan politik atau rezim yang berkuasa untuk menghapus “cacat objek sejarah”.

Lebih lanjut, Foucault mencoba mengungkapkan bahwa karya seni seperti karya sastra, drama, film pun juga berperan dalam diskontinuitas. Hal ini terjadi lantaran karya sastra dan film memiliki daya tarik yang besar untuk mengkonstruksi pemikiran seseorang, yang pada akhirnya, mereka tidak ingin menerima adanya sesuatu yang baru yang akan menyempurnakan tradisi yang sudah ada. Menurut Foucault adalah tantangan sejarawan dalam mengungkap diskontinuitas itu agar tidak terjadi kesalahan pemahaman dalam menafsirkan suatu peristiwa. Dengan demikian, kebenaran sejarah dapat diungkap, termasuk adanya intervensi ataupun konstruksi kekuasaan dan atau pengaruh lain dalam dokumen sejarah.[4]

Pendekatan Foucault disebut teori arkeologi ilmu pengetahuan, Foucault[5] sebab mencoba untuk menganalisis kode pokok budaya digunakan untuk membangun episteme atau konfigurasi pengetahuan yang menentukan perintah empiris praktik sosial dari setiap era sejarah tertentu. Dia menerapkan diskontinuitas sebagai alat kerja yang positif. Beberapa wacana akan teratur dan berkesinambungan dari waktu ke waktu sebagai pengetahuan terus menumpuk dan masyarakat secara bertahap menetapkan apa yang akan merupakan kebenaran atau alasan untuk sementara waktu. Namun, dalam transisi dari satu era ke depan, akan ada tumpang tindih, istirahat sejenak dan diskontinuitas dalam masyarakat dalam bentuk reconfigures (rekonstruksi figur) wacana untuk mencocokkannya dengan  lingkungan baru.

Alat ini diberi peran diperluas dalam genealogy -- tahap berikutnya, dari analisis wacana  --  di mana tujuannya adalah untuk memahami total kompleksitas kekuasaan, dan efek yang dihasilkannya,  dia melihat kekuasaan sebagai sarana untuk menyusun identitas individu dan menentukan batas-batas otonomi mereka. Ini mencerminkan hubungan simbiosis antara kekuasaan (pouvoir) dan pengetahuan (savoir).[6] Dari uraian-uraian nanti akan terlihat bahwa yang mengekang dan atau memajukan seni justru dari kedua unsur ini.

Sebagai contoh, dalam studi Foucault tentang penjara dan rumah sakit, ia mengamati bagaimana individu modern baik sebagai objek maupun subjek pengetahuan. Ilmu muncul sebagai sarana mengarahkan dan membentuk kehidupan. Dia memberi contoh tentang,  konsepsi modern tentang seksualitas muncul yang muncul dari kode moral Kristen, ilmu psikologi, hukum, dan strategi penegakan hukum yang diadopsi oleh polisi dan peradilan, dengan cara di mana isu seksualitas dibahas dalam media publik, sistem pendidikan, dll,  ini adalah bentuk terselubung penguasaan (jika tidak penindasan), dan pengaruh mereka dapat ditemukan tidak hanya dalam apa yang dikatakan, tetapi yang lebih penting, dalam apa yang tidak dikatakan: di semua keheningan dan kekosongan, di semua diskontinuitas. Jika satu ide dibahas, maka tidak dibahas, kepentingan siapa dilayani oleh perubahan Nilai ini?

Menurut Hanafi (2005) Di Indonesia ada tiga model kontinuitas dan diskontinuitas sebagai subyek dari sebuah filsafat antarbudaya berdasarkan pengalaman sejarah masyarakat dan budaya, bukan pada refleksi hipotetis dan murni teoritis. Menurutnya, di Indonesia ada tiga model utama, masing-masing dari mereka mendominasi wilayah budaya spesifik sebagai berikut ini.[7]
(1) model diskontinuitas Barat yaitu antara tradisi dan modernitas,
(2) model diskontinuitas Timur menyandingkan yang lama dan yang baru,
(3) Model perubahan Islam melalui kontinuitas yang ada, misalnya di Asia Tenggara.

Setiap model merupakan cara tertentu negosiasi antara tradisi dan modernitas. Masing-masing dari mereka telah mengembangkan alat khusus untuk modernisasi dan ditandai dengan ketegangan tertentu dan tantangan serta dengan berjuang dengan kemunduran dan ketidakseimbangan masing-masing.

b. Kontinuitas dalam Seni Indonesia
Walaupun teori Foucault ini muncul dikemudian hari, pembahasan-pembahasan awal tentang kontinuitas dalam seni sudah ada dan mendahului teori Foucault itu, justru dalam kerangka teori budaya, yaitu dalam konteks akulturasi budaya (cultural acculturation). [8]


Salah satu buku yang membahas tentang kontinuitas seni di Indonesia adalah buku karangan, Claire Holt yang berupaya melacak kontinuitas sejarah  seni dan kebudayaan Indonesia. Claire Holt adalah seorang wanita kelahiran Riga, Latvia pada tahun 1901. Keluarganya pindah ke Moskow pada tahun 1914, pada tahun 1920 ia menikah, dan tidak lama kemudian dia dan suaminya beremigrasi dari Uni Soviet. Pada tahun 1921 mereka menetap di New York, di mana Holt bekerja di  Brooklyn Law School, Cooper Union Art School, dan Columbia University School of Journalism. Dari tahun 1928-1930, Holt adalah seorang reporter untuk  koran New York World. Tugasnya antara lain menulis tinjauan tari, yang diterbitkan di bawah nama Barbara Holveg.

Holt melakukan perjalanan pertamanya ke Indonesia pada tahun 1930 dan menghabiskan waktu sepuluh tahun di Indonesia, dia belajar tari, bekerja untuk antropolog Willem Stutterheim, dan kemudian membantu juru arsip tari Swedia dan pelindungnya Rolf de Maré dengan foto dan dokumentasi film tari Indonesia. Setelah perang dunia II  membayanginya.  Holt kembali ke Amerika Serikat, di mana dia bekerja  sejak 1940-an dan awal 50-an sebagai asisten penelitian untuk Margaret Mead, sebagai analis penelitian untuk Office of Strategic Services, dan sebagai spesialis urusan luar negeri untuk Departemen Luar Negeri. Dia mengundurkan diri dari dinas pemerintah pada tahun 1953, melakukan protes regulasi keamanan  McCarthy. Sisa hidup Holt dihabiskan mengajar di Cornell University, di mana pada tahun 1962 ia membantu mendirikan Proyek Indonesia Modern. Dia kembali ke Indonesia pada pertengahan tahun 1950-an, kemudian menyusun buku  pada tahun 1969 yang berjudul Art in Indonesia: Continuities and Change. Yang diterbitkan oleh, Cornell University Press, tahun 1971,  Holt meninggal di Ithaca, New York, pada tahun 1970.[9]

Buku ini sudah diterjemahkan oleh R.M. Soedarsono (2000) berjudul  Melacak Jejak Perkembangan Seni di Indonesia, (Bandung: Arti.line MSPI). Mengenai Seni Plastis Bali: Tradisi dalam Perubahan. Ia menggunakan bahan yang amat luas, mulai data arkeologi sampai relief-relief. Buku ini terdiri atas tiga bagian: warisan, tradisi yang hidup, dan seni modern. Setiap bagian merupakan periode tersendiri dalam sejarah seni Indonesia, dari zaman prasejarah hingga seni rupa Indonesia pada paruh pertama abad ke-20. Holt (1901-1970) mampu menyajikan argumentasi, ada benang merah yang tak terlihat antara lukisan-lukisan di dinding gua di Pasemah dan lukisan Sudjojono.

Holt, Claire, (1971) memang meletakkan Sudjojono sebagai titik sentral perkembangan senirupa modern di Indonesia. Memang, kalau melihat sejarah seni rupa Indonesia, boleh dibilang Sudjojono termasuk sebagai salah satu peletak dasarnya.[10]. Tetapi kalau kita lihat sejarah lokal, maka sebelum Sujoyono sudah ada kegiatan seni rupa, bahkan yang ditentang oleh Sujoyono (lihat tulisan ini)

Holt sewaktu melakukan perjalanan Indonesia untuk mempelajari tari Nias, sumber Foto. Dances Of Sumatra And Nias: Notes By Claire Holt, 1939.
















c. Aspek Kontinuitas dan Diskontinuitas Seni Lukis Bali

Seperti yang diketahui, kesenian Bali bertautan erat dengan upacara agama Hindu yang dianut oleh sebagian besar masyarakat Bali. Semua bentuk kesenian di Bali pada awalnya untuk menunjang dan mengabadikan kehidupan upacara keagamaan Hindu Bali. Begitu pula pada kehidupan seni lukisnya yang juga memiliki peran besar pada upacara agama Hindu di tempat-tempat pemujaan yang terdapat di seluruh pelosok daerah Bali. [11]

Namun, budaya Bali sekarang adalah hasil akulturasi budaya lokal dan budaya yang datang dari luar, dan hal itu berpengaruh kepada ragam gaya dan ornamen seni  Bali, yang terlihat pada  seni arsitektur, seni tari, pakaian dan seni rupanya.

Mengenai pencampuran kebudayaan ini  dapat disebut progresif, inovatif  (diskontinuity)  dan dapat pula sebagai penyempurnaan yang lama (kontinuity) Tumbuhnya elemen kebudayaan yan  baru itu bisa terjadi karena dua kemungkinan, yaitu karena ada penemuan (inovasi) dan atau karena karena adanya pencampuran (akulturasi). Kontinuitas seni dan budaya bali bisa terjadi  akibat proses akulturasi dan disebabkan oleh karakter masyarakat Bali yang sangat terbuka, namun kreatif. Ada pandangan bahwa pengaruh dari luar seperti apapun setelah jatuh ke tangan seniman Bali selalu akan berciri Bali. [12]   Bahwa dengan ‘keterbukakaan kreatifnya’  masyarakat Bali mampu menyelaraskan kebudayaan luar yang masuk dan disesuaikan dengan kekayaan seni dan budaya setempat.

Pada awalnya, Bali dipengaruhi unsur dari luar yang tidak terelakkan sebagai penyebaran agama Hindu dari India ke kawasan Indonesia, termasuk ke Bali. Claire Holt (1971) menjelaskan, bahwa penyebaran ini dibawa langsung oleh para pendeta atau biarawan dari India, yang berhubungan dengan perdagangan maupun kerajaan-kerajaan di Bali, dan juga sebagai pengaruh kerajaan Hindu di Jawa. Hal itu diperkuat dengan kontak-kontak masyarakat Bali dengan Cina, dan beberapa daerah di India Belakang (Asia Tenggara). Beberapa faktor itu, mungkin telah menyumbangkan pembentukan kebudayaan Bali dan termasuk seninya, khususnya seni lukis.

Menurut data arkeologis, seni rupa prakolonial Bali adalah warisan dari tatanan ideo-religius budaya agraris Hindu-Buddha yang berkembang di Bali sejak paling sedikit abad ke-10, ketika didirikan kerajaan-kerajaan yang "bercorak India" yang pertama. Sementara seni lukis baru dikenal sekitar abad ke-11, ketika sejumlah prasasti yang dikeluarkan oleh Raja Anak Wungsu, yang memberikan tanda adanya kaula kerajaan yang memiliki kepandaian melukis. Dalam analisa Jean Counteau, seorang antropolog dari Perancis, ragam budaya pra-penjajahan Bali, adalah campuran gaya lokal dengan aneka unsur Jawa, yang terutama setelah adanya penyerangan kerajaan Majapahit tahun 1343 ke Bali.

Bentuk seni rupa di Bali mengalami perkembangan yang berbeda dengan daerah di Jawa. Bentuk perubahan ini bersifat sebagai penyesuaian terhadap karakter orang Bali yang ekspresif, yang kasar dalam lelucon, serta bersungguh-sungguh; mewah dengan warna-warna emas dan terang: musiknya, walaupun kaya dan melodis, adalah karakteristik eksplosif (meledak-ledak). (Claire Holt, 245). Dalam pandangan Alvin Boskoff  ada dua teori tentang perubahan sosial budaya, yaitu teori-teori eksternal dan internal. Teori eksternal memandang bahwa inti terjadinya perubahan budaya disebabkan oleh adanya kontak antar-budaya berbeda, sedangkan perubahan internal disebabkan oleh adanya dorongan perubahan dari dalam masyarakat itu sendiri [13] Untuk menguatkan pandangan di atas, William A. Haviland mengemukakan bahwa mekanisme yang terlibat dalam perubahan kebudayaan antara lain adalah akulturasi.[14] Seiring perkembangan kebudayaan dan pengaruh dari luar tersebut, maka berkembang pula teknis penciptaan, bentuk, fungsi dan makna dari lukisan tradisional Bali.[15]

Dari tulisan di atas dapat diambil kesimpulan bahwa kontinuitas yang dimaksud adalah dari segi tematik seni , dan perubahan (akulturasi) adalah dari segi teknis berkarya. Kemudian  sesuai dengan topik  ini, timbul pertanyaan dimana letaknya aspek perubahan yang ada pada budaya dan seni Bali? Hal ini diterangkan secara samar oleh  Kadek Suartaya (2008) dalam tulisannya yang bertajuk Teater "Happy Ending" Bali dengan mengatakan sebagai berikut ini.
Gejala kesenjangan antara masyarakat Bali dengan bentuk-bentuk teater yang dulu berpengaruh kuat di tengah masyarakat mungkin yang kini bereskalasi dalam wujud kekeringan nurani. Moral happy ending yang disuguhkan dalam pertunjukan teater sepertinya tak menjadi rujukan lagi dalam teater kehidupan nyata di tengah-tengah masyarakat Bali masa kini. Kembali, tengok konflik-konflik sosial yang jarang tuntas terselesaikan secara rekonsiliatif, happy ending. Diskontinuitas moral seni dan praktik kehidupan kian menganga..[16]

Artikel ini terdiri dari 3. halaman yaitu: (Klik halaman yang di tuju)





Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar