Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Kamis, 06 September 2012

Sejarah Seni Rupa Lokal: Metode seni, Seni Lukis, dan Perkembangannya di Sumatera Barat (2)

Oleh: Nasbahry Couto  ( Revisi September, 2014 dan 6-9-2015)
Hal 2

Seni sebagai bagian dari Riset dan Dokumentasi (Arsip)
Perang melawan lupa
AWAL persentuhan Iptekni baru (modern) dibidang seni rupa diawali dengan kedatangan pionir-pionir bangsa asing dari Eropah (Belanda, Inggris, Jerman dan sebagainya)  yang ingin merekam budaya dan geografis atau lingkungan negeri Nusantara (archipelago) ini. Mereka ini disebut dengan tukang gambar. Penjelasan ini terdapat pada jurnal-jurnal atau laporan pionir bangsa Belanda seperti jurnal Nederlandish Indie terbitan awal abad  ke 20.  Namun mereka yang datang ke Indonesia itu, termasuk bangsa Belanda, bukanlah berprofesi sebagai pelukis, tetapi  tukang gambar (draftsman); yaitu dalam rangka membantu riset para peneliti ke daerah baru yang masih asing dan misterius. Setelah mereka menaklukkan wilayah yang mereka temui -- pekerjaan ini dilanjutkan untuk mendokumentasikan lanskap, gambaran tentang pribumi, budaya-- dan semua aspek yang berhubungan dengan kekayaan alamnya. Para tukang gambar inilah yang menularkan kepandaiannya dalam hal menggambar kepada anak pribumi, yang diperlukan membantu pekerjaan mereka. Tokoh Pirngadi, seperti yang digambarkan dalam sejarah seni rupa Indonesia, adalah pribadi yang  muncul dalam suasana seperti itu. Pirngadi diminta oleh pemerintah Belanda untuk menghimpun data, dan menggambarkan produk kriya dan hasil teknologi di Indonesia. Tujuannja bukan sekedar riset ilmu pengetahuan seperti yang kita kenal sekarang. Sebab di samping untuk tujuan-tujuan ilmu pengetahuan, terkandung juga tujuan-tujuan sosial politik, sosial ekonomi dan industri di Eropah. Sebab dari data-data yang diperoleh dari negeri jajahan seperti itu, dapat mereka pakai selanjutnya untuk perkembangan  pengetahuan seni rupa dan desain di Eropah. Artinya tukang gambar yang didatangkan ke Nusantara ini,  secara tidak langsung adalah untuk kepentingan seni rupa dan industri di Eropah. Namun kedatangan mereka ada aspek positifnya, oleh karena mereka kekurangan tenaga  maka para peneliti itu mengajarkan kepada anak pribumi tentang cara menggambar untuk membantu pekerjaan mereka. Dapat diduga, pendidikan seni rupa (menggambar) pertamakalinya oleh kolonial di negeri jajahan adalah untuk kepentingan dokumentasi.
*  Istilah seni untuk dokumentasi pertamakali penulis temukan pada tulisan Bernadine Barnes - Encarta - Microsoft (CD) tahun 1997 tentang Seni (Art). Yang kemudian penulis aplikasikan kepada pengamatan sejarah seni rupa Indonesia (Penulis adalah pengajar sejarah seni rupa). Istilah ini tidak ada dalam buku-buku sejarah seni rupa Indonesia. Dari pengamatan yang panjang, maka tulisan tentang seni  untuk dokumen ini baru penulis tulis tahun 2013 dan memasukkannya pada blog 2014. (lihat laman ini). Istilah ini juga tidak ditemukan pada Galeri Nasional Jakarta.

Wakidi

Kehadiran Wakidi di Sumatera sejalan dengan munculnya pendidikan bercorak Barat di kota Bukittinggi Sumatera Barat, yaitu Sekolah Raja (1856), yang dalam bahasa Belanda disebut Hollands-Inlandsche School (HIS) yang kemudian berubah nama menjadi Kweekschool (1873). Wakidi masuk ke Kweekshool tahun 1903, belajar di sini selama 7 tahun lamanya. Sampai dia menjadi guru pula tahun 1908 di tempat yang sama.
Biografi Wakidi (1889-1983)
Wakidi lahir di Plaju, Palembang, Sumatra Selatan, sekitar tahun 1889. Orang tuanya orang Jawa yang berasal dari Semarang, yang kemudian bekerja di Plaju, Sumatra. Sejak kecil Wakidi senang melukis dan bakatnya semakin berkembang ketika tahun 1903  bersekolah di Kweekschool Bukit Tinggi. Di sekolah ini Wakidi mulai serius belajar menggambar (pensil dan cat air) dengan bimbingan guru yang ada di sana, terutama melukiskan tema-tema pemandangan alam, seperti: ngarai, sawah, gunung, dan sungai. Wakidi lulus tahun 1908 dan saat itu mulai mengajar di sana. Ia juga mengajar di INS Kayu Tanam pada tahun 1940-an dan sejak kemerdekaan tahun 1949 beliaupun mengajar di beberapa sekolah menengah di Bukit Tinggi (SMA I, II dan III).

Menurut cerita, (Holt, Claire, 1971:330), Sesudah lulus sekolah, Wakidi pernah dikirim ke Semarang untuk belajar melukis secara singkat kepada seorang seniman Belanda, yaitu Van Dijk. 


Catatan penulis, 

Informasi ini perlu di klarifikasi kembali, karena nama pelukis Van Dijk ada beberapa orang di Belanda, dan belum ditemukan seniman pelukis yang bernama van Dijk yang berasal dari Semarang. Jikapun Wakidi belajar pada  van Dijk, kemungkinan bukan untuk mempelajari seni lukis pemandangan. Sebab saat Wakidi lahir tahun 1889, di Eropah sudah berkembang lukisan post impresionisme, dan sebelumnya  seni lukis Impresionisme. Monet sudah melukis Pave de Chailly, pada tahun 1865, terhitung sebagai awal dari seni lukis Impresionistik. Jika van Dijk itu, pelukis, paling tidak dia sudah mengenalkan impresionisme-- yang sebenarnya -lebih menarik dari pada lukisan naturalisme-romantik.

Lagi pula, semua lukisan cat minyak Wakidi umumnya tiruan dari lukis cat air, dimana teknik menggambar ini umumnya dipelajari oleh murid Kweek School, selain menggambar pensil. Sekolah ini bukan sekolah seni, dan tidak ada catatan bahwa pernah ada studio lukis disini untuk belajar menjadi seniman lukis. Beberapa lukisan cat minyak Wakidi awal, di lukis dengan cat minyak buatan, dimana bahannya seperti minyak rami, putih telur, tepung cat (pigment) berwarna, dan tepung zink-white (tepung seng) untuk warna putih banyak di jual di kota Bukittinggi. Akibatnya tampilan lukisan cat minyak Wakidi berwarna monoton (mono cromatik), karena bahan catnya tidak kaya dengan warna brilliant seperti cat minyak buatan asli dari pabrik cat minyak (oil painting).

Dalam peta sejarah seni rupa modern Indonesia, Wakidi dianggap sejaman  dengan pelukis dan penggambar Abdullah Suriosubrata dan Mas Pirngadi. Dan mereka mereka bertiga sering disebut sebagai pelopor pelukis "Mooi Indie" (Indonesia Indah). Istilah "mooi Indie" adalah istilah yang muncul dari kelompok Persagi (Sujoyono) yang anti terhadap seni lukis naturalisme romantik yang dianggap berbau kolonialisme. Wakidi, adalah guru gambar (pensil dan cat air) baik di Kweek Shcool, INS, Kayu Tanam, dan Normal School Padang Panjang, dan terakhir di SMA yang ada di Bukittinggi. Sebenarnya banyak guru gambar lain yang mengajar menggambar tetapi tidak setenar Wakidi, misalnya Syamsul Bahar. Ada pelajaran khusus mengajar menggambar pensil dan cat air dan itu diadakan di rumah Wakidi. Biasanya belajar itu hanya di ruang tamu. Dan sesekali muridnya diajak masuk ke ruang studio cat minyak di sebelah kamar tamu untuk belajar dan melihat beliau melukis dengan cat minyak (oil painting). Untuk praktik menggambar sketsa biasanya muridnya di minta ke lapangan, terutama ke tempat dimana pemandangannya bagus. Wakidi di samping mengajar di sekolah umum, juga melukis cat minyak di sepanjang hayatnya. Ia tinggal berjauhan dari arus utama kehidupan seni rupa di Jawa. Namun, sebagai guru, Wakidi pernah menjadi pengajar dari banyak tokoh dari Sumatera, diantaranya: tokoh nasional Mohammad Hatta dan Jendral A.H. Nasution. Wakidi menerima Anugerah Seni Republik Indonesia tahun 1983. Ia meninggal di Padang (Sumatera Barat) tahun 1983.

Sekolah Raja
Dari laporan  pendeta Bundingh, pemerintahan Belanda dapat informasi  bahwa pendidikan anak negeri di Hindia Nederland masih rendah. Begitu pula kepandaian guru-guru Melayu di Gouvernement Pesisir Barat pulau Perca (Sumatera). Oleh sebab itu tahun 1855 pemerinta Belanda merencanakan untuk mendirikan Sekolah Raja untuk mendidik anak negeri melalui Surat keputusan pendirian Sekolah Raja untuk mendidik anak negeri yang dikeluarkan pada tanggal 1 April 1856. Sekolah ini dipimpin oleh Van Ophuysen dan dibantu oleh seorang guru melayu bernama Abdul Latif. Anak Tuanku Imam dari Koto Gadang. Jumlah muridnya sepuluh orang, mereka dididik untuk menjadi guru. Lamanya pendidikan tiga tahun. Tahun 1869 guru Abdul Latif meninggal. Jabatannya digantikan oleh Saidina Asin dari Koto Lawas Padang Panjang. Beliau ini pernah menjadi guru di sekolah melayu Bangkahulu.

* Sekolah Raja adalah istilah masyarakat minangkabau, sedangkan oleh pemerintah Belanda disebut dengan Hollands-Inlandsche School (HIS)
* Ambtenar adalah julukan untuk pegawai Belanda

Kweekschool sebagai pengganti Sekolah Raja
Setelah melihat perkembangan sekolah raja selama tujuh belas tahun, timbullah niat pemerintah belanda untuk mengadakan perubahan-perubahan. Awal tahun 1873 sekolah raja lama diperbaiki. Tepatnya tanggal 1 Maret 1873 sekolah raja diubah namanya menjadi Kweekschool. Guru kepalanya D. Gerth Van Wijk. Guru Belanda yang menjadi guru kedua yaitu Weide. Murid muridnya diasramakan dekat sekolah. Murid-murid ini diawasi oleh seorang guru melayu yang bernama Raja Medan. Tahun 1877 D. Gerth Van Wijk diangkat menjadi Leeraar di sekolah Gymnasium Willem III di Betawi. Jawatannya sebagai guru kepala digantikan oleh J.L. Van der Toorn, dengan guru kedua D. Grivel.Tahun 1883 salah seorang murid Kweekschool bernama Nawawi diangkat pula menjadi guru Bantu. Beliau bekerja dengan giat dan rajin. Lama pendidikan yang pada mulanya tiga tahun, kemudian menjadi empat tahun. Awal tahun 1900, murid Kweekschool semakin banyak. Mereka datang dari berbagai daerah seperti : Aceh, Lampung, Tapanuli, Sumatera Timur, Bangka, Belitung, Palembang, Bangkahulu dan Sumatera Barat sendiri.

Selain mengadakan tenaga guru, pemerintah juga memerlukan Ambtenar bumi putera yang pandai. Sejak tahun 1904 murid Kweekschool terbagi dua. Pertama, murid yang bakal menjadi guru, kedua murid yang bakal menjadi ambtenaar.
Dalam perkembangannya murid yang akan menjadi guru lama pendidikannya enam tahun, sedangkan yang akan menjadi ambtenaar dididik selama lima tahun. Tanggal 5 Agustus 1908 pendidikan bakal ambtenaar ditiadakan.

HIK (Hollandsche Inlandsche Kweekschool) 
Lama pendidikan HIK enam tahun, yang terbagi atas dua jenjang
Persiapan, lama pendidikan tiga tahun;
Lanjutannya tiga tahun
Sekolah raja Bukittinggi dijadikan sekolah HIK persiapan sedangkan lanjutannya di Jawa. Siswa terakhir HIK diterima tahun 1932. sekolah ini ditutup pada tahun 1935

Beberapa nama untuk pengganti HIK 
Setelah Indonesia merdeka pada tanggal 17 Agustus 1945, banyak perubahan yang terjadi. Perubahan itu bukan saja di bidang politik dan pemerintahan tetapi yang tidak kalah pentingnya adalah bidang pendidikan. Sekolah-sekolah yang vakum karena adanya pergolakan untuk merebut kekuasaan dihidupkan kembali. Bahkan disempurnakan setelah kekuasaan berada ditangan bangsa sendiri. Gedung sekolah raja atau kweekschool masih tetap berdiri megah, mulai tahun 1946 diaktifkan kembali sebagai tempat pendidikan bagi anak negeri.
Dalam pertumbuhannya banyak terjadi perubahan dan pergantian nama sekolah. Perubahan dan pergantian nama lembaga pendidikan ini sebagai berikut: 
  • Tahun 1946 didirikan Sekolah Menengah Tinggi/SMT. Sekolah ini dipimpin oleh Dr. Roesma. Lama pendidikan tiga tahun.
  • Tahun 1950 SMT diubah namanya menjadi sekolah menengah atas/SMA.
Untuk mendalami ini lihat artikel : Seni Rupa zaman Kolonial Belanda 
*) Hal ini dapat di bandingkan, misalnya
  • Sekolah Raja di Bukittinggi berdiri sejak tahun 1856, dilanjutkan dengan Kweek Schooll tahun 1873
  • Sekolah Taman Siswa tahun 1922,
  • INS Kayu Tanam, tahun 1926
  • ITB ( di jaman kolonial bernama Technische Hoogeschool te Bandoeng (THS), baru berdiri tahun 1920. sedangkan Fakultas Seni Rupa dan Desain ITB (FSRD-ITB) diresmikan pada tahun  1947 sebagai Balai Pendidikan Universiter Guru Gambar
  • Sedangkan STSRI (ASRI) Yogya baru berdiri tahun 1950
Pelukis Journey, belajar seni bukan di studio

Fotografi sebagai alat saat itu memang masih barang luks. Jadi gambar adalah media yang efektif sebagai alat rekam. Adanya pengaruh dan pendidikan tidak langsung dalam hal menggambar ini dijelaskan oleh penulis sejarah Seni dari Australia Jhon Clark (1998: 162). Misalnya dia  menyebut Wakidi sebagai pelukis journey (pelukis pengelana) yang mirip pekerjaannya seperti survey arkeologis. Mengenai hal ini (Clark , J, 1998. Modern Asian Art, Australia: Craftsman Books)
"What can be observed is that aside from foreign study by the rich, some as yet imprecisely understood studio training by artist and workshop training for artist, such as wakidi, who worked for the archeologcal survey, and other technicians, there was no art training in indonesian until the group taught by Sujoyono at the cultural centre  establish by the Japanese under their occupation in 1942."
"Apa yang dapat diamati adalah, bahwa selain dari studi luar negeri hanya oleh orang kaya, apa yang di sebut belajar seni melalui pelatihan studio dan bengkel pelatihan bagi artis belum dipahami secara tepat. Misalnya Wakidi, yang bekerja untuk (seperti) survei arkeologis dan kerja teknis lainnya, (sebenarnya) tidak ada pelatihan seni di indonesia, pembelajaran seni melalui grup baru diajarkan oleh Sujoyono di “Pusat Budaya” yang dibangun oleh Jepang di bawah pendudukan mereka di tahun 1942."

Cara kerja Wakidi, sebenarnya mirip dengan para penggambar bangsa Belanda, yang mencatat dan menggambar hasil-hasil perjalanannya di Indonesia untuk dokumentasi



J.H.W. le Clerq (1809-1885), “Laki-laki dari 50 Kota Sumatera Barat” (cat air). Gambar orang minang dengan cat air ini (water color), dibuat 43 tahun sebelum Wakidi lahir tahun 1889.
J.H.W. le Clerq (1809-1885) berkarier dalam dinas ketentaraan. Pada tahun 1844 dia diangkat sebagai letnan di bawah Mayor Jenderal F.B. von Gagern, yang ditugaskan membuat penelitian tentang pertahanan Hindia Belanda. Dalam rangka misi ini, mereka membuat perjalanan ke Jawa dan Sumatra (1844-1846). Von Gagern menulis ‘Pada tanggal 4 Maret [1844] saya diangkat menjadi Mayor Jenderal; lagipula, Raja memutuskan bahwa saya akan dibantu oleh Letnan Satu Le Clerq, Letnan Satu George dan Letnan Satu List. Pilihan ini sangat memuaskan saya: mereka adalah pemuda yang kuat, yang cocok untuk senjata penelitian ilmiah, dan mudah bergaul.’ Selain sifat tersebut, tak dapat dipungkiri bahwa Le Clerq mempunyai bakat melukis, seperti terlihat pada sketsa dan gambar  cat air yang dibuatnya selama dalam perjalanan.
Sumber:http://www.geheugenvannederland.nl/

Lukisan Wakidi sebenarnya adalah hasil rekaman perjalanan  beliau  di kawasan Sumatera (Sumatera Barat dan Palembang), yang diwarnai oleh sifat-sifat  budaya lokal dan arkeologis.  Hasil rekaman ini -- baik dalam bentuk gambar, lukisan cat air dan minyak-- memang  diperlukan, dan atau laku dijual saat itu sebagai oleh-oleh dari negeri jajahan dan juga oleh penduduk pribumi yang kaya dan golongan ambtenar. Mungkin tulisan Clark, adalah salah satu koreksi terhadap tulisan  kritikus Sanento Yuliman, dalam bukunya Seni Rupa Baru Indonesia¸ yang editornya Jim Supangkat, yang memasukkan Wakidi sebagai salah satu pelukis era  Mooi Indie yang bernuansa Romantik. (baca juga tesis Yuliana Kusumastuti, yang mereferensi Jimmy Supangkat. Pdf)

Dipandang dari sudut seni lukis -- jika kita perhatikan cara melukis Wakidi  dengan lebih teliti --sebenarnya beliau tidak berangkat dari romantisme  Mooi Indie  itu, maupun konsep Romantik Raden Saleh, yang memang belajar seperti itu di Eropah. Dapat dikatakan bahwa beliau hanya sebagai pelukis pemandangan alam (lanscape painting) saja, mirip seperti yang dilakukan oleh kelompok Barbizon Scool  di Perancis, atau kelompok Hudson River School  di Hudson Amerika ( berdiri sekitar tahun 1850) lebih kurang  satu setengah  abad yang lalu yaitu menangkap realitas lanskap apa adanya, kesan romantik muncul karena lukisan-lukisan pelukis  Hudson umumnya berskala besar dan menonjolkan kekuatan dahsyat dari alam. Langit yang bergejolak, gemuruh air terjun, kesunyian di padang rumput yang luas, kengerian dan keganasan lautan yang masih primitif karena belum dipamahi dan dikenali oleh manusia.



Wakidi lain lagi, dia menganggap dirinya perantau ke negeri yang adat istiadatnya berbeda dengan di Jawa dan Palembang. Tetapi dia tidak tertarik dengan tradisi tempatan maupun manusianya, yang menarik baginya adalah menggambarkan alam lingkungannya yang umumnya masih asli, yang tidak rusak oleh eksploirasi tangan manusia. Ngarai-ngarai yang dalam dan misterius. Danau-danau yang luas dan lapang, bukit-bukit dan rimba yang berlapis lapis seakan tidak habisnya. Alam lingkungan seperti ini menyebabkan bukan saja orang pribumi akan menjadi pemikir dan perenung dan berfilsafat tentang kehidupan-- juga bagi pendatang -- merupakan tantangan untuk menelusurinya, mencatatnya dan menggambarkannya kemudian untuk merenunginya.



Wakidi, "Lanskap di Baso?" cat air, repro salah satu praktik cara melukis cat air penulis dengan Wakidi sekitar tahun 1963-1966. Belajar menggambar di hari minggu di rumah pak Wakidi.

Metoda "Menggambar-berpikir"

Mungkin dapat dipahami, bahwa metoda melukis pada saat itu belumlah berdasarkan tradisi berpikir-menggambar, yaitu dimulai dari inspirasi baru melukis. Dengan demikian judul lukisan lahir dari inspirasi itu. Metoda menggambar-berpikir (seni lukis dokumentasi seperti Wakidi),  Judul *) datang kemudian setelah jelas apa yang akan digambar. 
*Menurut Daniel Grand (Updated: 08/06/2011), Tidak ada yang benar-benar tahu kapan judul karya seni oleh seniman menjadi praktek standar. Tetapi dapat diasumsikan bahwa seniman mulai membuat judul sebagai perlengkapan lukisan saat mereka mulai memproduksi karya seni untuk dealer seni khusus untuk pelanggan yang independen, Situasi ini berkembang pada abad ke-17 di Belanda. Namun, menurut beberapa kurator seni Eropa di Metropolitan Museum of Art di New York, ada dasarnya seniman memberikan judul untuk karya-karya mereka di Belanda saat itu, yaitu untuk mendata persediaan lukisan di dealer, dan untuk membedakan masing-masing lukisan yang mirip. Sebelum zaman ini, judul lukisan tidak diperlukan sebab semua orang tahu tentang apa yang di lukis, karena apa yang dilukis berasal dari tema-tema agama yang dikenal, misalnya lukisan "Madonna and Child". Sumber: (lihat di sini)
Metoda berpikir-menggambar yaitu berdasarkan ragam konsep-konsep berpikir yang hanya kita kenali sekarang (seni modern), terutama sejak munculnya seni lukis impresionisme. Seni lukis klassik dan romantik juga dimulai dari berpikir, tetapi hal itu adalah tentang "khayalan di sorga" atau tema-tema non-realistik. dari kepahlawanan, Berpikir-menggambar versi impresionistik, yaitu pengetahuan dan analisis tentang apa yang dilihat, dan bagaimana berbagai cara untuk menggambarkan realitas itu dengan material yang berbeda dari yang terlihat sehingga menghasilkan persepsi yang berlainan. Cara ini berbeda dengan sebelumnya  -- berusaha meniru apa yang terlihat -- misalnya meniru kulit manusia . Pada metoda impresionis yang dipikirkan adalah kekuatan impresi cahaya matahari yang jatuh ke benda yang terlihat, objek lukisan akan berbeda menurut saaat/waktu dilukis dan ekspresionistik (yang mengutamakan brush stroke) untuk mengekspresikan perasaan. Berpikir-menggambar versi surealistik, yaitu menggali ide-ide surealistik sebelum menggambarkannya dan seterusnya. Seni modern muncul karena seniman tidak puas  hanya sekedar melukis, tetapi menggunakan medium seninya sebagai alat komunikasi ide dan gagasan. Kedua pola ini selalu ada dalam dunia seni dan tidak perlu salah satunya disalahkan.

Tradisi menggambar-berpikir dikenali dengan ciri menggambar sesuatu dengan pensil di atas kertas atau dengan cat air, Kemudian judul lukisan disesuaikan dengan apa yang dilihat. Dan akhirnya juga ada yang disajikan dengan cat minyak di atas kain. Hampir semua lukisan atau gambar yang di buat di jaman kolonial dibuat dengan cara ini, sipenggambar melihat objek yang digambarkan sepersis mungkin untuk kepentingan  data atau pengetahuan tentang apa yang dilihat. Setelah gambar atau lukisan itu selesai di buat, kemudian dipikirkan dan dikaji tentang apa yang digambarkan itu. Terutama tentang pengetahuan yang tersembunyi dari gambar itu. Metoda ini disebut dengan "menggambar-berpikir"*). Artinya pelukis mencoba melihat secara rasional tentang apa yang dilihatnya itu, dan sedapat mungkin menghilangkan faktor subjektif, atau meminimalkan unsur emosi yang akan mempengaruhi tindakan menggambar.Hal ini sering disebut oleh sejarahwan seni, sebagai pendekatan yang rasional dalam seni Barat.
 Teori Robert Mc. Kim dalam menggambar, melalui interaksi imaji-imaji, sumber gambar:http://image.slidesharecdn.com
Metoda menggambar-berpikir dan berpikir menggambar bukanlah untuk menolak teori triadik berpikir visual" oleh McKim (1980). Lihat buku Robert H. McKim (1980),Thinking Visually. Menurut McKim,dalam berpikir visual ada tiga unsur yang berlangsung yaitu (1)seeing/ melihat, (2) knowing/ mengetahui, dan (3) imagining, membayangkan/ berimajinasi,  tetapi menurut penulis hal ini umumnya terjadi pada berpikir visual (merancang), dan tidak selalu dalam bidang seni. Metoda menggambar-berpikir adalah hipotesis penulis dan apakah ini sebuah teori? Yaitu dengan mempertimbangan bahwa dalam melukis atau menggambar, penggambar/pelukis hanya mengandalkan persepsi "bottom-up processing" atau hanya melihat selintas. Jika sipelukis melakukan ini, maka besar kemungkinan terjadinya kesalahan menggambar, sebab menurut teori, mata adalah alat yang kurang sempurna. Bukti mengenai hal ini dapat di lihat dari contoh lukisan Sydney Parkinson (1770) di bawah ini.

Sydney Parkinson , Chiefs house in the island of Savu, near Timor, September 1770 , collectie.tropenmuseum.nl
Gambar  ini mendeskripsikan tentang rumah kepala suku di Pulau Sabu, dekat dengan Pulau Timor, yang termuat dalam “A Collection of Drawings made in the Countries visited by Captain Cook in his First Voyage. 1768-1771”. Gambar  ini dibuat pada September 1770 oleh Sydney Parkinson dan saat ini menjadi koleksi dari British Library.
Keanehan dari gambar  ini sudah dibahas sebelumnya oleh James J. Fox  dalam bukunya Harvest of the palm: Ecological change in eastern Indonesia terbitan Harvard University Press, Cambridge, Massachusetts, 1977. Ia berpendapat bahwa gambar  yang dibuat saat kunjungan Kapal Endeavour ini memiliki kejanggalan yaitu gambaran seorang lelaki yang sedang memanjat pohon lontar (borassus sundaicus) di depan sebuah rumah adat orang Sabu. Lelaki itu membawa wadah timba daun lontar yang dipikul. Cara demikian berbeda dengan kebiasaan yang seharusnya yaitu digantung pada ikat pinggang sang pemanjat pada saat naik dan turun pohon. Jika hal dilakukan dalam gambar, maka nira lontar akan tumpah karena sulit menemukan keseimbangan timba dalam hal menuruni pohon. Maka bisa dipastikan sang pelukis tidak mendapatkan gambaran utuh bagaimana proses pengambilan nira yang dilakukan masyarakat setempat.
Lukisan Sydney Parkinson di atas hanya dapat dijelaskan melalui metoda menggambar berpikir. Bahwa pelukis "tidak berpikir" dan teliti tentang apa yang digambarkannya. Mungkin Anda berpendapat bahwa dia menggambar tentang apa yang diketahuinya sesuai teori Mc Kim, yang  lain mungkin berpendapat dia menggambar dari apa yang dilihatnya dan mungkin keliru dalam melihat karena pengaruh imajinasi. Berbagai tafsiran ini bisa saja benar dan atau tidak benar. Seperti yang dibahas  James J. Fox  dan melihat sebagai kekeliruan. Sebaliknya oleh penulis mengemukakan premis sebagai sebuah metoda menggambar-berpikir artinya pelukis tidak berpikir panjang tentang apa yang digambarkannya, dia hanya menggambar. Kemudian orang lain membahas kebenaran yang ada pada gambar itu, dan kasus-kasus seperti ini banyak dalam sejarah seni. 
*) Cara berpikir  di atas sebenarnya masih relevan dengan cara berpikir di abad ke'21, misalnya Presiden Sukarno berpikir melalui ragam konsep, Suharto dengan konsep hegemoni, sedangkan presiden Jokowi dengan "melihat" (teori menggambar-berpikir).
Banyak tulisan yang berpendapat bahwa Wakidi, disamping sebagai seorang tokoh pelukis, beliau telah mempengaruhi  dunia lukis-melukis di Sumatera Barat sebab beliau juga mengajar di Sekolah Umum, di INS, di Normal School Padang Panjang pada tahun 1940-an, disamping itu juga memiliki murid-murid  yang belajar di rumah beliau tiap hari minggu. Pendapat ini ada benarnya, tetapi perlu diklarifikasi, apa maksudnya dengan belajar itu dan dimana berlangsungnya.




Saat terjadi peristiwa PRRI, 1958, Mengungsi ke daerah muara Mahat Kab. 50 Kota. Lukisan cat air ini dilukis tahun 1959. ( repro koleksi Idran Wakidi).

Pengaruh Wakidi. Dapat di katakan, banyak pelukis daerah ini yang handal dibidang lukisan lanskap, maupun sebagai illustrator majalah, atau yang bergerak dibidang pendidikan dan profesi gambar-menggambar yang mengaku sebagai bekas murid beliau. "Belajar" yang dimaksud, bukanlah belajar seperti yang kita pahami sekarang, sebab bisa saja pembelajaan (kursus menggambar) itu hanya beberapa minggu, kemudian "murid"nya menghilang, tidak datang-datang lagi. Dan tidak ada lembaran sertifikat atau ijazah khusus untuk murid Wakidi. Perlu juga diperhatikan bahwa, beberapa diantara murid beliau justru meniru (plagiat) terhadap hasil-hasil lukisannya, dan selebihnya belajar sendiri untuk mengembangkan gaya seni lukis sendiri yang berbeda dengan Wakidi, karena mereka tidak puas dengan cara melukis seperti itu. Lagi pula mereka juga memperoleh informasi yang lebih luas dari buku-buku dan hasil repro tentang perkembangan terbaru dari dunia melukis atau menggambar.

Salah satu kelemahan Wakidi adalah, dia tidak mengadakan perhatian serius, tentang apa yang dilihatnya, seakan dia seorang penonton dari jauh. Beliau lemah dalam detail realitas yang di gambarkan. Kelemahan beberapa generasi penerus Wakidi, terlihat mirip dengan apa yang melanda Wakidi yang lemah dalam detail. Namun ada perbedaan Wakidi dengan penerusnya, jika tujuannya Wakidi adalah untuk merekam realitas, seharusnya gambaran realitas itu harus sezaman (saat itu), yang tergambar dalam lukisan mereka, ternyata tidak. Hal ini disebabkan mereka hanya mengkhayalkan tentang suatu tempat di sumatera barat atau berfantasi tentang minangkabau masa lalu.



Pelukis Otodidak yang belajar ke buku?

Kemudian ada pula pelukis Sumatera Barat yang mengembangkan seni lukis secara otodidak dan mereka menganggap dalam pengembangan seninya belajar sendiri  seperti Baharuddin Marah SutanRaflus Rax, Yurnalis Del, Delsy Syamsumar, Motinggo Boesje (di Jakarta), Can Tanjung (di Bandung), A. Arifin (Bukittinggi) Abdullah Dr, Zainal Ahmad, Yose Rizal, Yazid, Evelyn Dianita, dan banyak nama lainnya. Ciri-ciri dari keotodidakan mereka nampak dari pemilihan warna dan ciri khas lukisan mereka, walaupun beberapa diantaranya juga mengikuti konsep-konsep seni akademis, atau sebaliknya. 


Pelukis Mahyuddin Syahbuddin (1924-1993)

Misalnya, Mahyuddin Syahbuddin (naturalistik) dan Raflus Rax (impresionistik) sebenarnya adalah murid Wakidi juga (mungkin di sekolah formal) yang jarang terekspos, namun lukisannya memiliki ciri khas tersendiri yang menarik. Karya-karya Mahyuddin sudah penulis kagumi sejak tahun 1960-1970-an sewaktu penulis masih di SMP dan SMA.

Sewaktu penulis kembali ke kota Padang tahun 1980-an penulis melihat karya beliau ini di salah satu rumah makan terkenal di kota Padang "Tanpa Nama", yang melukiskan danau Maninjau. Karya beliau ini berbeda dengan Wakidi, karena lebih mendekati teknik yang di pakai oleh Basuki Abdullah yang sifatnya Naturalisme-Romantik. Melihat gaya seni lukis Mahyuddin, kemungkinan sekali beliau juga mengembangkan seni lukisnya dari literatur, karena gaya seninya berbeda dengan Wakidi.



Karya Mahyuddin S. "Bukit Barisan" (125 x 300)


Mahyuddin S. (Bukittinggi, Sumatra 1924 - 1993) - Waterfall.

Demikian juga dengan karya-karya Raflus Rax, yang pernah pameran beberapa kali baik di Jakarta maupun di Sumbar. Melihat gaya seni lukis Raflus Rax, kemungkinan sekali beliau juga mengembangkan seni lukisnya dari literatur, karena lukisannya sangat berbeda dengan Wakidi.

Penulis pernah melihat karya beliau ini sewaktu pameran di hotel Pangeran, Padang, sekitar tahun 90-an. Namun sayang koleksi foto karya lukis beliau ini arsipnya sudah hilang. Karya-karya Raflus Rax, sebenarnya mendapat tempat pertama di hati penulis, karena penulis juga menyenangi lukisan-lukisan yang di lukis dan siap di tempat. Hal ini dapat dipahami sebagai orang yang bekerja di Bank di Jakarta. Dia tidak mungkin melukis menurut cara Wakidi, dengan sketsa, kemudian dipindah ke kanvas. Umumnya dia melukis langsung di tempat, menyelesaikan lukisannya langsung di sana. Dan kemudian pulang. Jikapun akan di beri nama gaya lukisan Raflus Rax ini sebenanya mendekati gaya lukisan abstrak-impresionistik, atau yang sekarang berkembang lagi di Amerika yang disebut dengan lukisan-lukisan "Plein Air Painting". Latar belakang pendidikan beliau juga masih kabur, kemungkinan beliau adalah lulusan sekolah Frater (Don Bosko sekarang) di Padang.
* Tentang Perbedaan Naturalisme dan Realisme
Menurut Visual Arts Encyclopaedia (2015), istilah 'lanskap' – berasal dari bahasa Belanda 'landschap', artinya “sebidang tanah” yang menjelaskan setiap lukisan atau gambar yang "subjek utama" adalah penggambaran pemandangan indah. Pemandangan seperti meliputi padang rumput, bukit, gunung, lembah, pohon, sungai, hutan, pemandangan pesisir dan bentang laut. Pandangan digambarkan mungkin bahwa dari tempat yang nyata, atau mungkin sebuah adegan imajiner atau ideal. Gaya seni ini bukan berasal dari Barbizon (Perancis) di Abad ke-19. Tetapi jauh sebelumnya (1) pada awal abad ke enambelas lukisan lanskap hanya sebagai latar belakang,(2) pada abad ke XVI, baru pertama kali muncul lukisan lanskap abad ketujuh belas dengan munculnya sekolah Belanda dan Flemish (Flam). Jadi karena Belanda yang mempengaruhi Indonesia (kolonialisme) dan istilah lanskap juga berasal dari kawasan Belanda, Masalah utama dengan lanskap adalah bahwa itu peringkat yang sangat rendah dalam peringkat jenis lukisan akademis di Perancis. Hirarki ini, yang mengkristal selama Renaissance,  sebagai berikut: (1) lukisan Sejarah sebagai peringkat utama; (2) Portrait; (3) Lukisan Genre, yaitu adegan dari kehidupan sehari-hari; (4) llukisan pemandangan; (5) Still Life. Peringkat tersebut secara definitif ditetapkan pada tahun 1669 oleh Andre Felibien, sekretaris ke Akademi Perancis. Apa Perbedaan Antara Naturalisme dan Realisme? Istilah naturalisme dan realisme sering rancu, realisme adalah gaya yang berfokus pada realitas sosial dan fakta yang dapat diamati, bukan cita-cita dan estetika. Perbedaan antara lukisan Realisme dan Naturalisme  ada dua. Pertama, realisme cenderung mementingkan isi  daripada metode. Artinya, berfokus pada isu "apa" yang sedang dilukis, daripada "bagaimana" itu dilukis. Biasanya, seniman realis menggambarkan orang-orang biasa akan tentang kehidupan biasa mereka, bukan individu besar melakukan semacam tindakan heroik atau mulia. Sebaliknya, naturalisme adalah semua tentang "bagaimana" subjek dilukis, bukan "apa" lukisan itu. Kedua, Realisme biasanya terkait dengan  kesadaran sosial atau politik. Gambar atau lukisan yang menonjolkan kebijakan sosial atau politik
Yunalis Del (Yunalis)
Pelukis Uang Junalies Del. Kelahiran Bukittinggi, (1924-1976)

Lain lagi dengan Junalis Del. Del (Delinavit) merupakan sebutan untuk para perancang uang kertas. Sebagian besar uang kertas Indonesia yang terbit antara tahun 1952 hingga 1988. Indonesia mulai membuat ilustrasi untuk uang kertas sendiri pada masa Orde Lama. Oesman Effendi dan Abdul Salam merupakan para pelukis ilustrasi uang kertas NKRI pertama. Awalnya, uang kertas NKRI diterbitkan dengan tema atau seri tertentu, seperti: seri binatang (1957), seri flora/fauna (1959), seri pekerjaan tangan (1958-1964), seri Soekarno (1960-1961), dan seri Sudirman (1968). Sayang, kini uang kertas NKRI hanya diterbitkan dengan tema yang acak. Bahkan sejak edisi 1992, uang-uang kertas Indonesia tidak lagi mencantumkan nama perancangnya. Meski demikian, desain uang kertas NKRI tercatat sebagai desain uang kertas terbaik di dunia. Desain terbaik ini didapat oleh pecahan uang Indonesia bernilai Rp 10.000 pada tahun 1975. Pecahan ini dirancang oleh almarhum Junalies. Mata uang ini dikatakan terbaik se-Asia bahkan dunia. Uang Rp10.000 ini memiliki corak yang indah dan khas. Gambar relief seolah mengingatkan kita akan kejayaan dan supremasi Bangsa Indonesia dimasa lalu, dan tentunya uang ini memiliki corak kebudayaan yang kental.

Junalies--namanya merupakan ejaan lama, dibaca Yunalies. Lelaki kelahiran Bukittinggi, 14 Juni 1924, ini mulai bekerja di Peruri sejak berusia 21 tahun. Tepatnya pada 1 Agustus 1955. Waktu itu Perum Peruri belum didirikan. Junalies bekerja di PN Pertjetakan Kebajoran yang merupakan cikal bakal perusahaan pencetak uang negara tersebut. Ia bekerja untuk Peruri hingga akhir hayatnya, yakni saat meninggal dunia pada 10 September 1976.

Selama 21 tahun lebih bekerja di Peruri, uang hasil karya Junalies banyak sekali. Diantaranya seluruh uang Seri Pekerja yang terbit di tahun 1958, yang kemudian diterbitkan lagi di tahun 1963 dan 1964 (pada beberapa pecahan merupakan hasil kerja sama dengan M. Sadjiroen). Lalu uang pecahan Rp1 dan Rp2,5 tahun 1960, dan disusul uang pecahan Rp1 dan Rp2,5 tahun 1968. Karya terpopuler lelaki Minang ini adalah uang pecahan Rp10.000 tahun 1975. Boleh dibilang hampir seluruh kolektor uang lama Indonesia menyukai desain uang yang lebih dikenal sebagai uang barong ini.


 Pecahan uang Indonesia bernilai Rp 10.000 pada tahun 1975. Pecahan ini dirancang oleh almarhum Junalies. Sumber:http://citizen6.liputan6.com/read/2238769/desain-uang-kertas-indonesia-ini-disebut-terbaik-di-dunia
Junalies (Yunalis ?), Alm. Del, yang mungkin belajar di sekolah formal,  malahan tidak dikenal karena beliau menjadi pelukis yang bekerja di percetakan uang negara di Jakarta. Penulis pernah menemuinya,  di rumah beliau di Kebayoran Baru tahun 1970, saat menginjakkan kaki pertama di Jakarta. Saat itu penulis tinggal di kawasan Cempaka Putih. Hasrat untuk menemui beliau ini adalah atas dorongan orang tua penulis (Ibu Rosna Syarif) karena ibu berteman dengan pak Yurnalis ini, dan sama-sama pernah belajar dengan Wakidi. Ibu penulis sekitar tahun 30-an belajar di Normal Scholl Padang Panjang, yang saat itu dipersiapkan untuk calon guru. Dan ibu "belajar menggambar" memang di sekolah ini, bukan di rumah pak Wakidi. Setelah kemerdekaan di kemudian hari menjadi guru gambar baik di SD maupun di SMP. Dan kemudian mengambil pensiun muda karena sakit TBC tulang.
Baik bapak Mahyuddin Syahbuddin (Alm) maupun Junalies Del (alm) tidak mungkin tidak kenal dengan orang tua penulis. Sebab keduanya berasal dari "Lambah", di Sianok Bukittinggi, dan kakek penulis  juga pernah mengajar di nagari Lambah sekitar tahun 20-an (ijazah sekolah guru kakek penulis tertera  tahun 1918 dari HIK (Hollandsche Inlandsche Kweekschool), masih penulis simpan sampai sekarang. Jadi penulis sebenarnya guru tiga generasi, yang sedikit banyaknya mendapat sindrom kebudayaan "pos-kolonial". Sebagai sesuatu yang tidak terelakkan dan mendapat jiwa yang lebih bersifat nasional, dan ke indonesiaan yang terkadang 'melebihi" dan  kadang-kadang tidak mudah dipahami oleh generasi sesudah kemerdekaan. Generasi ini tidak menganggap mereka adalah "amtenar" atau keluarga "priyayi" seperti yang digambarkan oleh Umar Khayam dalam bukunya "Seni, Tradisi dan Masyarakat" (Jakarta, Pen. SH.1981). Tidak ada pikiran bahwa mereka lebih dari orang lain, kecuali pandangan masyarakat bahwa pekerjaan guru itu adalah pekerjaan yang mulia dimata masyarakat. Dan kalau soal kekayaan, yang penulis rasakan -- sudah tiga generasi memperlihatkan ciri-ciri golongan miskin.
Kalau ditanya, jika seorang guru atau seniman saat itu pengetahuannya bisa luas, lalu darimana pengetahuan tambahan itu diperoleh ? Apakah semata dari Sanggar Seni ?  Belajar di sekolah (INS, kayu Tanam, Sekolah Raja, Bukittinggi, atau Sekolah Menengah? Jawabannya adalah dari buku-buku, baik yang berbahasa asing maupun yang terbitan balai pustaka. Dan tidak berlebihan jika para seniman maupun pelaku seni zaman itu di Bukittinggi, khususnya di Sumatera Barat di era Kweek School, atau INS, sedikitnya sudah "membaca perkembangan seni di Barat" sebelum mereka "merantau" dan atau bersekolah seni di Jawa. 
Cukup banyak pelukis dan seniman perintis, yang berasal dari kota Bukittinggi dan sekitarnya, misalnya Motinggo Boesje, (penulis novel asal nagari Matur) pernah melukis dan mengadakan pameran di Jakarta. Baharuddin Marah Sutan (kelahiran Bukittinggi, 1911-) malahan terkenal bukan sebagai pelukis, tetapi ilustrator dan bekerja di Balai Pustaka Jakarta, dan Delsy Syamsumar (asal negeri Sungai Puar) terkenal sebagai komikus, illustrator dan pembuat poster filem, Indonesia yang khas bergaya naratif dalam lukisannya.
Bukti lain tentang seniman otodidak ini dapat kita lihat di bidang seni musik. Misalnya tokoh Zubir Said (1907-1987) kelahiran Bukittinggi dan berpendidikan sekolah Belanda, belajar musik dan memainkan alat musik suling, gitar dan drum secara otodidak. Meski sempat mengenyam pendidikan di belanda, Zubir Said lebih tertarik pada musik Barat. Pada tahun 1928, Zubir Said merantau ke Singapura dan menjadi tokoh musikus di sana, dan menciptakan lagu kebangsaaan Singapura (Wikipedia, 2014).
Contoh lain yang tejadi di zaman kemerdekaan adalah Sofyani Yusaf dan Yusaf Rahman.
Sofyani Yusaf yang lahir di Bukittinggi tahun 1936  adalah seorang seniman Indonesia dari Sumatera Barat. Pendidikan formalnya sebenarnya untuk "guru bahasa inggris". Beliau menikah tahun 1965 dengan Yusaf Rahman (alm.), yang juga dikenal sebagai musisi Minangkabau. Ia bersama suaminya, merupakan pendiri Sofyani Dance and Music Ensemble Group. Pada tahun 1968, Yusaf Rahman menciptakan genre musik talempong  kreasi baru untuk musik pengiring tarian ciptaan Sofyani.Menurut Sondri (2013) sebuah lompatan dibuat tahun 1968, oleh Yusaf Rahman (pengajar  ASKI)  dalam musik tradisional Minangkabau yaitu menciptakan Talempong tangga nada diatonis.  Talempong yang telah dimainkan dengan nada pentatonis berkembang menjadi tangga nada diatonis. Pada hal Yusuf Rahman pendidikan formalnya adalah sekolah pertanian, Tetapi jalan hidupnya adalah musik dan menjadi pengajar (dosen di ASKI-Padang Panjang (sekarang ISI) dan jurusan sendratasik IKIP Padang (sekarang UNP Padang)
Adalah sebuah kenyataan, bahwa banyak sentuhan seni yang berasal dari Barat (kolonial Belanda khususnya) mempengaruhi seniman-seniman kota Bukittinggi dan sekitarnya di masa akhir penjajahan di Indonesia.  Boleh dikatakan bahwa kota Bukittinggi adalah pusat Budaya saat itu, sebagaimana penulis saksikan bahwa "Gedoeng Nasional" di Bukittinggi adalah tempat pementasan karya seni saat itu. Kota kecil ini memiliki tiga buah bioskop, untuk menonton filem. Mencari bahan untuk melukis cat minyak bukan yang sulit karena tersedia di "pasar atas". Memiliki "kebun binatang" yang tidak selalu dimiliki kota lainnya di Indonesia saat itu. Untuk menerbitkan buku ada beberapa percetakan dan penerbit yang beberapa diantaranya juga punya cabang di Jakarta dan Bandung.  Seniman-seniman banyak berkumpul di sini. A.A Navis sebagai seniman, juga membuka sanggar seni di kota ini, sebelum pindah ke kota Padang. Di samping itu juga terdapat sanggar-sanggar seni tradisional  lainnya seperti sanggar tari, musik dan lainnya dalam bentuk perkumpulan-perkumpulan seniman yang sama hobinya.

Sosiologi Seni*
*Catatan: materi ini sebenarnya sudah dibahas pada makalah (pembicara) seminar yang penulis tulis, pada ulang tahun tahun 150 seni rupa Sumatera Barat, tahun 2006, di FBS UNP Padang. dengan referensi buku dan materi yang persis sama. Terutama tentang pikiran-pikiran Jhon Clark (1988) tentang transfer seni di Asia. Tetapi penulis tidak menghubungkan dengan latar sosial seni tokoh Wakidi, karena materinya akan bentrok dengan kuratorial yang ditulis saudara Adi Rosa (Alm) saat itu yang tidak didiskusikan dengan penulis. Biasanya penulis selalu menyesuaikan diri (tidak banyak bicara) dengan apa yang terjadi di lingkungan kerja, tetapi bukan berarti mengalahkan pula prinsip-prinsip keilmuan. Jadi pada kesempatan ini penulis ulangi lagi materi ini dengan mengkaitkannya dengan latar lingkungan sosial tokoh Wakidi di Bukittinggi, dan model transfer seni Barat ke Indonesia.
Untuk memahami bagaimana seniman-seniman awal di Indonesia dan Asia, bersentuhan dengan metoda seni Barat. Anda dapat  membaca buku Clark, J, 1988, Moderen Asian Art yang berasal dari Australia. Beliau menggambarkan bagaimana transfer seni dan budaya Barat ke Asia dalam kacamata seni lukis dan sosiologi seni yang disebutnya dengan "transfer' (hal 46 sd.70). Persentuhan seni Barat, khususnya seni lukis ikut mempengaruhi perkembangan seni di kawasan Asia, secara teoritik meliputi (1) model transfer, (2) modalitas transfer, dan (3) tipe media budaya transfer (kolonial, neo-kolonial, dan non-kolonial). 

Menurut Clark model transfer seni yang dibawa sejalan dengan sifat kolonialisme dan kapitalisme yang berkembang sejak abad ke-15 setidaknya fungsi gaya dan teknik seni Eropa sebagai model untuk diadaptasi oleh budaya penerima umumnya tidak sama (Clark, ibid, 49). 

Dalam hal model transfer, Clark berpendapat dan memahami transfer sebagai proses penerimaan (resepsi) sifatnya dapat sementara dan sangat terbatas. Yaitu bentuk hubungan yang terstruktur antara berbagai hal dan sifat di kawasan Asia yang cukup beragam. Transfer seni itu pertama yaitu melalui penyampaian (komunikasi) dan penerimaan (resepsi) yaitu -- (1) reproduksi (copian) terhadap budaya dan seni umumnya, dan khususnya terhadap berbagai karya seni, (2) peniruan gaya dan teknik seni ( meme* atau pembelajaran)—dan atau oleh prakarsa seniman sendiri bersedia untuk menerima (reception). Dan yang kedua melalui mediator seperti penilaian (evaluasi) serta pasar seni (market) dalam kelompok elite, oleh publikasi atau media massa dan sebagainya (Clark, ibid. 49).
* Meme: semua ilmu pengetahuan umumnya menyebar melalui meme yaitu peniruan kata, tindakan, metoda, gagasan/ ide. Penemu ilmu adalah orang luar biasa, apa yang ditemukannya kemudian diikuti oleh orang yang meyakini pengetahuan itu. Konsep meme ini pertamakali dikemukakan oleh Richard Dawkins (Wikipedia, lihat disini). Boleh dikata bahwa tidak ada orang dalam belajar yang menciptakan ilmu, kecuali meme.  Boleh dikata manusia itu sejak lahir sampai Sekolah Menengah atas adalah untuk meme. Dan guru disiapkan untuk terjadinya proses meme yang baik. Penyimpangan bisa terjadi misalnya anak-anak dengan kecerdasan dan kreativitasnya luar biasa. Sekarang meme itu telah diplesetkan artinya sebagai gambar lucu, itu bagi orang yang tidak mengerti tentang memelogi, tetapi prinsip meme tidak berubah.
Proses resepsi itu bisa juga berlangsung dalam area yang lebih luas  seperti dalam kelompok seni budaya etnik, atau institusi (kekuasaan adat tertentu) dimana individu di bawah pengaruhnya dan proses penerimaan seni itu dapat menjadi kompleks. Karena adanya campurtangan tradisi budaya dalam resepsi seni yang berasal dari luar itu (Barat).  Dalam resepsi seni itu baik dalam kelompok budaya barat dan timur sama prosesnya, yaitu akan berhadapan dengan kekuatan (politik) yang ada dalam masyarakatnya. Hal ini diperlihatkan oleh sejarah seni. Dan berlangsung sampai sekarang.

Setiap seni budaya atau kelompok memiliki ukuran sendiri terhadap nilai seni, baik atau buruknya pengaruh yang masuk, sehingga unsur yang masuk itu disaring dan disesuaikan dengan kebutuhan sendiri. Sebagai contoh, karena penduduk minangkabau  memiliki adat istiadat yang sudah tua, saat Islam masuk, tidak semua norma Islam (yang patriarkat itu) bisa merubah adat minang yang matriarkat menjadi patriarkat. Islam melarang untuk menggambarkan makhluk hidup. Akibatnya seniman kurang berminat untuk menggambarkan makhluk hidup, kecuali melukiskan pemandangan alam, kemudian lukisan kaligrafi, dan terakhir seni abstrak. Karena melukis itu dihubungkan dengan nilai agama. Model resepsi seperti ini disebut oleh Clark sebagai hegemoni dalam seni. Contoh lain, hegemoni seni di Asia karena terjadi campurtangan pemerintah  Cina dalam mengembangkan seni yang bersifat realis dalam akademi realisme di Cina. (Clark, ibid.49). Keterangan ini bisa menjawab, kenapa seni lukis lanskap di Minangkabau  dapat  berlansung dalam beberapa dekade lamanya, dan kenapa seni patung tidak berkembang di wilayah ini dan hal ini berbeda misalnya dengan di Cina atau di Jepang.

Modalitas (modal) transfer, yaitu "bagaimana cara transfer itu dilakukan", melalui tiga unsur yaitu produser seni, pendidik seni dan konsumen seni (Clark, ibid, 52). Penghasil seni (produser) memandang kepada demand (kebutuhan) yang memberi peluang dan akses kepada munculnya gaya seni. Sedangkan pendidik seni sebenarnya berada di bawah kepentingan kebutuhan lokal dan juga kepentingan penjajah (kolonial) sebagai institusi. Sedangkan konsumen seni bertindak sebagai penerima (receiver) terdiri dari berbagai kalangan (kelas) masyarakat, dengan demikian audiens-nya bisa beragam. 

Singkatnya, secara sosiologi seni, munculnya model kebutuhan (producer) dan receiver seni yang berkembang di sumatera barat era kolonial, sejalan dengan munculnya kelas pedagang kaya seperti Abdul Latif dari Kota Gedang, dan seniman dengan gaya seninya yang muncul juga sejalan dengan kebutuhan seni kelas amtenar dan gologan pedagang kaya dan terdidik di Sumatera Barat. Tentang Abdul Gani Rajo Manguto ini (lihat di sini), dan juga tokoh Abdul Latif yang mengembangkan Sekolah Raja yang berasal dari Kota Gedang. Untuk memahami ini baca tulisan Suryadi di sini.
* Menurut penelitian muncul dan berkembangnya nya kerajinan Perak Koto Gadang, juga pada era ini. Sejalan dengan ini berkembang pula kerajinan ukir, tenunan songket, untuk memenuhi kebutuhan orang kaya.
* Pameran besar seni lukis Sumatera Barat dengan tema "Ngarai Sianok Differenza Dentro uno Passa", tahun 2006, yang diprediksi sudah 150 tahun usia seni rupa di SB. Perlu dikoreksi kembali, sebab sekolah Kweekscholl belum ada belajar seni lukis sistem studio. Kalau menggambar yang menjadi patokannya, kegiatan ini sudah ada sejak Belanda masuk ke Sumatera Barat. Bukan hanya setelah Sekolah Raja itu didirikan tahun 1856. Ngarai Sianok memang bermakna, terutama sekali tentunya oleh orang Kota Gedang. Harga lukisan Wakidi, cukup fantastik, sekitar tahun 60-an (catatan pengalaman penulis), harga lukisan ngarai sianok berkisar antara 100-150 ribu, sedangkan harga emas saat itu adalah rp.2,500/ emas. Kalau dikonversikan dengan uang sekarang maka harga lukisan itu adalah sekitar 100 juta rupiah. Hal ini menjadi daya penarik bagi murid-murid Wakidi agar dapat hidup dengan melukis pemandangan dengan cat minyak atau menjadi seniman.
Lukisan Ngarai Sianok, (anonim), banyak yang tidak menyadari, bahwa yang bermakna dari lukisan ini bukan ngarainya (bawah), bukan pula gunung singgalang (tengah), tetapi nagari "Kota Gedang" (bagian kanan gambar di seberang ngarai). Sebuah nagari yang mempelopori kaum intelektualitas Minang dan Indonesia, di jaman kolonial. Ikon Minangkabau (Sumatera Barat?) adalah gonjong. sebab setiap rumah makan atau kedai, toko, kantor untuk menyatakan diri sebagai orang Minangkabau (Padang?), adalah gonjong. Ikon kota Bukittinggi ada dua pertama bunga dahlia, kedua "jam gadang". Tidak setiap rumah makan ada lukisan ngarai sianok. Jadi pameran Ngarai Sianok Differenza Dentro uno Passa, tahun 2006 hanyalah "bagurau" (bercanda)?

Ikon Kota Bukittinggi, bunga Dahlia

Seniman Perantauan dan Lokal

Oleh karena model sejarah seni Eropah berbeda dengan sejarah seni di Indonesia dan juga bahkan sejarah komunitas lokal lainnya di Indonesia, fenomena seni lokal dapat sama bahkan tidak sama dengan apa yang terjadi di Eropah atau Amerika.

Menurut penulis, munculnya tokoh-tokoh pemikir dalam sastra Balai Poestaka yang berasal dari sumatera barat, maupun seniman seperti Raflus Rax, mencoba memahami perkembangan seni yang asli dari barat dan sesuai dengan zamannya. Dan Wakidi, memang diakui oleh meraka sebagai salah satu guru mereka, khususnya dalam menggambar. Namun jangan dilihat sebagai tokoh sentral bagi perkembangan seni lukis di Sumatera Barat. Sebab bagaimanapun juga mereka, para seniman, guru, maupun praktisi seniman telah aktif  mengembangkan sendiri seni sesuai dengan informasi dan pergaulan mereka tentang seni Barat - yang mereka peroleh secara tidak langsung dari "literatur" yang mereka baca maupun yang diperoleh di perantauan

Akibat yang dirasakan sekarang secara tidak langsung dari latar belakang seniman Sumatera Barat yang "merantau" karena kondisi lokal yang tidak memungkinkan  mereka berkembang, maka penyusunan sejarah seni rupa sumatera barat menjadi sebuah hamparan mosaik yang mesti disusun satu demi satu sehingga menjadi kesatuan yang utuh, agar dapat di lihat oleh pembaca atau generasi masa kini. 

Dengan situasi demikian uraian tentang metoda seni ini, juga memerlukan informasi tambahan, misalnya bagaimana peran sekolah-sekolah formal seperti INS yang telah ada sejak zaman kolonial, bagaimana peran SMSR, atau bagaimana peran jurusan Seni Rupa IKIP Padang tahun 60-sekarang terhadap munculnya seniman-seniman muda.  Sebenarnya, berbagai metoda yang disebutkan di atas seperti peniruan alam, dari konsep seni yang ada maupun murni dari gagasan seni individual, dapat saja tumbuh dan berkembang pada pemikiran seniman daerah ini. Pengaruh kelompok seni dan perubahan itu sejalan dengan perkembangan yang terjadi bisa saja juga berasal dari perkembangan seni di Jakarta, Bandung atau Jogya.

Beberapa nama pelukis dan seniman juga mengikuti apa yang berkembang dalam dunia seni di Bandung ataupun Jakarta. Dasar orang Minang itu perantau, maka pelukis seperti Muchtar Apin, Zaini, Oesman Effendy, Ipe Ma'aroef, Alimin Tamin, dan banyak yang lain adalah pelopor-pelopor dalam pengembangan metoda seni yang justru berkembang jadi pelukis dan besar di luar sumatera barat. 


Pengembangan metode ini tidak sekali jadi, sebab hampir semua seniman di manapun mulai belajar dengan menggambar bentuk atau asosiasi dengan alam. Muchtar Apin misalnya, sebelum sampai kepada metoda semi abstrak, dia mulai dari realis dan naturalis. 



Muchtar Apin (Vue de village, 1953) sumber: lihat disini 

Dalam peta seni rupa Indonesia, rantau Muchtar Apin hanya sampai di Jakarta dan Bandung, tidak sampai ke Yogya. Pelukis ini muncul pada masa  Jepang (1942) dengan kecendrungan seni lukis abstrak yang berkembang di Bandung. Belliau menjadi anggota Perkumpulan pelukis Jiva Mukti, di Bandung  sejak berdirinya  pelukis/seniman eksperimental, di Bandung tahun  1948, yang bergerak sebagai pengajar Seni Rupa Institut Teknologi Bandung Bandung. 

Gaya seni Muchtar Apin  cendrung mengungkapkan pengalamannya tentang alam tanpa melukis benda‑benda alam itu sendiri. Mengandalkan daya ungkap elemen‑elemen rupa serta susunannya. Seringkali, pembagian bidang yang membentuk horison, oleh warna‑warni yang tidak murni dan kaya dengan nuansa, oleh corak teksturnya, oleh ketidak teraturan dan oleh variasi dalam bentuk dan juga susunannya, lukisan ‑ lukisannya memperlihatkan rupa yang mempunyai prototipenya dalam alam. Pelukisnya tidak melukis alam, namun lukisannya mempunyai asosiasi dengan alam, perasaan akan alam. 

Seniman lainnya yang sezaman dengan Muchtar Apin, tentu mengalami hal yang sama dengan beliau, dimana pada saat itu belum ada pembicaraan tentang adanya mashab Bandung atau Yogya.

Beberapa seniman perupa yang asalnya dari Sumatera Barat lainnya umumnya meretas daerah rantau sampai di kota-kota besar di Jawa dan ada yang berdomisili di sumatera barat. Beberapa diantaranya dikenal dan lainnya tidak dalam peta sejarah seni rupa Indonesia. Misalnya Mahjuddin Syahbuddin (Jakarta), Raflus Rax (Jakarta), Jurnalis Del (Jakarta), Nuzurlis Koto (Surabaya), Kartono Yudhokusumo, Nashar (Jakarta), Alimin Tamin, Ipe Ma’roef (Yogyakarta), Huriah Adam (Padang Panjang), Maria Tjui, atau Maria Cui,(Bogor) A.A. Navis (Padang), Itji Tarmizi (Jakarta), Nasrun, A.S; Syamsulbahar (Payakumbuh), Arbi Samah (Padang), Hasan Basri DT. Tumbijo (Padang), Muslim Saleh, Wisran Hadi (Padang). Nasjah Djamin (yang lahir di Perbaungan), pernah tinggal di Bukittinggi, dan dianggap pula sebagai orang Padang. 

Seni Lokal vs. Seni Pusat: Pengaruh Mashab Bandung dan Yogya

Sebagaimana  yang kita ketahui dari sejarah seni di Indonesia, pusat-pusat kesenian modern umumnya berkembang di pusat-pusat kota atau budaya. Dua kutub seni yang sering dibicarakan adalah pengaruh Yogya dan Bandung. Kenapa ada seni lokal dan seni pusat dalam peta sejarah Indonesia ? Adalah suatu kenyataan sejarah di negara manapun di dunia, kemudian terjadi  "pusat-pusat seni" sejalan dengan pusat budaya dan pemerintahan. Kita misalnya dapat membandingkan dan membaca teori hegemoni dalam seni, yaitu teori-teori yang berasal dari filsafat Marksis. Dan terutama kemudian yang diperjelas oleh Gramsci tentang seni sebagai alat politik. Atau teori area budaya Bourdieu (1930-2002) tentang status quo. Karya Bourdieu adalah terutama berkaitan dengan dinamika kekuasaan dalam masyarakat, dan terutama dengan cara yang beragam dan halus kekuasaan ditransfer dan tatanan sosial dipertahankan dalam dan lintas generasi.

Dengan dominasi yang dimiliki oleh pusat-pusat pemerintahan, maka sejarah seni lokal (Sumatera Barat) mengecil perannya dalam konstelasi (tatanan) sejarah seni. Gejala ini diikuti oleh berpindahnya (merantau) seniman-seniman ke pulau Jawa. Dengan kepindahan itu mereka kemudian mengambil peran baru dan beradaptasi dengan lingkungannya yang baru. Perkembangan seni memang sejalan dengan kedewasaan perkembangan negara yang baru merdeka menurut Clark (1988,ibid.117-172), disepanjang sejarahnya secara sosial terdapat tiga kategori seniman yaitu seniman aristokrat, seniman profesional dan seniman daerah atau pinggiran (tidak aristokrat, dan tidak pula profesional). Yang terakhir disebut oleh Clark sebagai seniman kampung (plebians artist).*
*Pada zaman Romawi, kelas bawah orang adalah orang kelas plebian. Hari ini, jika ada sesuatu yang plebian artinya adalah sesuatu dari orang-orang biasa. Yaitu sebuah kata yang digunakan untuk menggambarkan suatu bentuk seni atau rasa, yang tidak berkualitas atau rasa yang tinggi. Tayangan sinetron dan reality show di televisi dapat digambarkan sebagai bentuk hiburan yang bersifat kampungan. Dapat juga diartikan dengan kegiatan seni yang tidak tertarik dalam kegiatan intelektual.
Kategori yang dibuat Clark ini sebenarnya menyakitkan, tetapi ada alasan tertentu yang menjadi dasar kriterianya, misalnya "seni tinggi" dan "seni rendah" yang menunjukkan demand (producer seni) dan receiver seni berdasarkan kelas-kelas sosial dan intelektualitas. Sebagai contoh, Raden Saleh dan Basuki Abdullah adalah seniman yang melayani kelas sosial tinggi di zamannya. Basuki Abdullah menjadi pelukis istana raja Muangthai. Raden Saleh menjadi pelukis bagi kalangan atas Belanda. Walaupun pelukis Affandi bukan berasal dari sekolah seni yang formal dia diakui sebagai seniman profesional. Seniman profesional adalah seniman yang menghasilkan seni berkualitas tinggi,yang berasal dari kegiatan intelektual yang diakui secara sosial dan budaya lingkungannya (Clark, ibid.155). Sebaliknya ada seniman yang berasal dari sekolah formal seni, walaupun karyanya diterima oleh lingkungan lokal, tetapi tidak diterima oleh lingkungan yang lebih besar karena sifat intelektualnya yang rendah. Misalnya hanya pengulangan konsep seni atau plagiat dari ide karya seni masa lampau. Tetapi pernyataan ini tidak akan memuaskan kita. Dan perlu dijelaskan dengan cara lain, misalnya dalam konteks estetik dan perbedaan perbedaan estetika, estetik yang berselera rendah dan yang tinggi.  Kenapa orang yang senang lagu dangdut dikatakan berselera (estetikanya) rendah? Teori Dutton mungkin dapat menjelaskan ini.
Apakah estetika itu universil ? Jawaban atas ini sebenarnya sangat kompleks. Tetapi dapat disederhanakan. Teori Dutton tentang naluri dan evolusi estetik menjelaskan, bahwa selera dan penerimaan (resepsi) manusia terhadap seni bisa berbeda-beda, karena hal itu melalui proses pembentukan yang berlangsung lama (evolusi): misalnya kenapa manusia mengembangkan rasa takut kepada ular ketimbang kepada kelinci? Hal ini dapat menjelaskan kenapa timbul  aesthetic differential (perbedaan estetik) setiap orang. Dari sisi ini estetika itu tidak universil. Karena tidak ada yang bisa menjamin setelah dewasa orang akan menyenangi kecapi Sunda ketimbang musik Arab. Tetapi dari segi kebutuhan estetik (aesthetic needs), menurut Dutton adalah universil. Sebab estetik itu adalah "naluri manusia" --yang sangat mendasar-- yaitu kebutuhan akan keindahan. Sampai disini istilah intelektualitas itu mungkin mendapat pencerahan. Jadi yang berbeda adalah kriteria estetiknya, bukan estetik itu sendiri. Intelektualitas dalam seni adalah pendekatan rasional terhadap estetik itu sendiri. Yaitu mengetahui, memahami, dan mempraktikkan pembuatan karya seni yang bernilai tinggi. (sumber: dari berbagai sumber).
Namun adanya seniman plebian itu hanyalah di Jepang dan India, sebab yang terjadi di Indonesia produksi dan konsumsi seni itu bisa lebih kmpleks, seperti yang diperlihatkan pada tabel di bawah.

Tabel : Pelaku Seni di Negara Asia Menurut Clark (1988)

Kelompok Pelaku seni modern  di Asia
Negara dan kelompok seniman dominan
1
 Tradisional Baru
 India
2
 Aristokrat
 Jepang
3
 Plebeians (Kampung, Udik)
 Jepang, India,
4
 Seniman Profesional
 India, Jepang, Cina, Muangthai, Malaysia,  Indonesia
5
 Seniman Salon & Pameran seni
 sda
6
 Seniman Avant-gardis 
 sda
7
 Seniman Nasionalis
 Cina

Tapi yang terpenting dari itu semua yang menarik adalah uraian Clark tentang produser seni. Produser seni berkarya berdasarkan demand atau pasar. Clark sesuai dengan teorinya tentang adanya tiga jenis konsumen seni yaitu kelompok aristoktrat, kelompok profesional dan kelompok plebian mengatakan bahwa produk seni dikonsumsi secara umum di Asia oleh kelompoknya. Misalnya, kelompok aristokrat memiliki seniman aristokrat , silang antara produsen dan konsumen berlangsung hanya di lingkungannya sendiri. Kelompok aristoktrat tidak akan memproduksi seni untuk kelompok lain (profesional) dan plebians. Contohnya seni tari istana (di Jawa) hanya oleh kaula tari istana yang dikonsumsi khusus oleh penghuni keraton.  

Strata dan kelas-kelas sosial dalam masarakat masa kini bisa lebih kompleks dari pada ketiga kelompok yang disebutkan oleh Clark itu. Misalnya di minangkabau kelas sosial yang tinggi adalah kaum amtenar (di jaman kolonial), kemudian kelas pedagang, pegawai dan sebagainya. Atau munculnya kelas sosial intelektual dari golongan miskin, menyebabkan kebutuhan akan seni dan gaya hidup akan menjadi lebih kompleks. Dalam hal ini perlu studi khusus misalnya tentang produksi dan konsumsi seni yang ke luar dari kerangka berpikir Clark itu. Gejala umum yang terlihat adalah orang minang itu "rancak di labuah", artinya suka pamer, dan tidak mau terlihat seperti orang miskin, walaupun miskin oleh karena itu "budaya visualnya' sangat glamor dan tendensius. Hal seperti ini tentunya tidak ada korelasinya dengan kualitas atau nilai estetik yang tinggi. Dan akan lebih rumit lagi pengertian kualitas seni ini dalam konteks transcultur sebab masing masing kultur berkutat dengan kriterianya sendiri dalam hal kualitas seni. Hal ini dapat dimengerti misalnya, banyak politikus dan petinggi negeri yang tidak menyenangi dominasi seni, musik, filem atau produk asing lainnya -- yang berpengaruh  kepada anak muda sekarang. Tetapi mereka sendiri tidak mengerti kenapa hal itu bisa terjadi, kecuali bahwa segala sesuatu yang asing itu buruk karena perbedaan interpretasi dan nilai. Mereka tidak mengerti tentang penyebab utamanya, dan atau juga  karena mereka juga tidak tahu tentang bagaimana peran estetik dan berbagai aspek di dalamnya.* Catatan: estetik adalah respon dan hasil persepsi manusia terhadap hasil kreatifitas. Seni adalah objek yang menstimulinya.

Oleh karena itu akan menjadi menarik bagaimana peran edukasi seni atau institusi seni yang menjadi modalitas transfer gaya seni yang berkualitas atau tidak. Walaupun peran pendidikan seni sebenarnya menjawab kebutuhan lokal dan kebutuhan institusi dan politik (pemerintah). Nampaknya hal inilah yang menyebabkan munculnya dua kutub konstelasi seni di Jawa yang disebut dengan mashab Bandung (yang pro terhadap kualitas standar barat) dan Yogya (yang pro terhadap kualitas sandar lokal/ tradisi). Namun sejalan dengan waktu keduanya kemudian mencair saat berhadapan dengan konstelasi seni internasional  yaitu dengan munculnya seni kontemporer, dimana batas-batas konstelasi mulai tidak jelas, Tradisi berpikir dalam seni kemudian mulai menjadi wacana dan digiatkan untuk menjawab konstelasi seni yang lebih luas. Misalnya kasus seni di Bali dan penelitian terbaru (Dutton) tentang seni, menunjukkan bahwa seni itu sifatnya universal. Hanya saja apakah seni itu masuk ke dalam diskursus atau tidak, sehingga seni itu dapat dipahami dan diakui secara intelektual. *).Sejarah kemudian mencatat, ISI Yogyakarta, kemudian diresmikan pada 23 Juli 1984 oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan, Prof. Dr. Nugroho Notosusanto dan rektor pertamanya adalah Prof. Drs. But Muchtar hingga 1992 yang berasal dari seni rupa ITB Bandung.

Menurut hemat penulis, gema tentang adanya mashab Bandung dan Jogya, berlangsung sudah sangat lama (lihat gerakan-gerakan avantgardis seperti Lekra, Manikebu dalam sejarah seni Indonesia dan sebagainya), tetapi mulai memanas lagi sejak munculnya gerakan Seni Rupa Baru tahun 1975-an, Terutama setelah komponen-komponen Seni Rupa Yogya yang bergabung dengan gerakan Seni Rupa Baru, pada awal tahun 1980-an, membentuk kelompok dengan tema seni tersendiri yang disebut gerakan Surealisme Yogya. Gerakan ini pada dasarnya pertemuan antara dasar berpikir yang muskil, absurd dan seperti alam mimpi seperti yang ada dalam dunia pikir surealisme Barat, melahirkan surealisme pelukis muda di Indonesia di Yogya, seperti oleh Agus kamal, Ivan Sagito, Sudarisman, Lucia Hartini, Baoyke, Nurcholis, Effendi, Sucipto Adi, Asri Nugroho, Kubu Sarawan. 

Pengaruh luar terhadap seniman yang berdomisili di Sumbar, menurut penulis lebih dominan yang berasal dari Yogya ke timbang dari Jakarta atau Bandung. Sebab banyak dari tamatan SMSR (Sekolah Menengah Seni Rupa) di Padang  yang menyambung pendidikannya ke Yogya, ketimbang ke Bandung atau Jakarta kemudian menjadi tokoh seniman pula di Jawa (Yogyakarta) dan di Sumatera Barat. Misalnya Arbi Samah, yang kemudian kembali ke Padang setelah lulus Sarjana Muda di STSRI -ASRI Yogyakarta. ( Lihat catatan  kaki /fotenote di bawah  tentang sejarah pendidikan seni di Sumbar, yang banyak dipengaruhi unsur Yogya)
* Catatan: 


Karya Dwi Augustyono, Kelahiran Padang Panjang, 1963, yang bernuansakan Surealisme (Pengaruh Surealisme Yogya). Membuat karya-karya surealistik sebenarnya tidak sulit, yaitu dengan memadukan unsur realisme yang berbeda dan dihadirkan di kanvas secara bersamaan, maka timbul kesan surealistis dan ilusif. 
Kuatnya pengaruh Yogya ini bisa dilihat pada karya-karya kelompok Pentagona yang bisa dilihat di sini.  Dan karya-karya kelompok belanak dapat dilihat di sini.  Kalau dilihat dari posisi anggotanya maka kelompok Pentagona sebenarnya adalah seniman yang berasal dari kumpulan guru-guru sekolah menengah seni rupa (sekarang SMKN-4).  Sedangkan belanak adalah seniman-seniman yang berasal dari kumpulan lulusan dari jurusan Seni Rupa UNP Padang, tetapi mereka sebagian besar juga .berasal dari SMSR (SMKN Padang).

Dalam statemen awal kemunculan komunitas Pentagona ini tahun 2007, (kelompok seni ini  berdiri tahun 2003), mengatakan bahwa "Zirwen satu-satunya perupa realis di komunitas ini. Gaya lukisannya amat indie", adalah sebuah pernyataan yang kurang cermat.



Lukisan Zirwen, "Melihat ke Bawah" (100x100, 2006)
Sebagaimana kecendrungan pada kelompok Pentagona ini, biasanya mereka masih bermain dengan realitas. Sebagai contoh lukisan Zirwen "Melihat ke bawah", bukanlah sebuah "realitas yang wajar" di mana anak kecil di tempatkan dengan posisi yang sudah di atur sedemikian rupa, tangan ditekuk, kaki kiri di letakkan di atas kotak, kaki kanan menapak lantai tanpa alas kaki, kemudian berada di sebuah ruang kosong dengan komposisi di tengah bidang gambar yang di geser kekiri.

Lukisan ini tidak bisa ditafsirkan murni sebuah realitas. Penempatan objek pada bidang lantai abu-abu tak terbatas bagi penulis menimbulkan kesan surealistik, lukisan ini bagaikan dalam mimpi. Lukisan realistik bukanlah lukisan yang ingin berbicara tentang kesan-kesan  yang nampak kasat mata. Kesan momentum sesaat yang dapat memancing emosi penonton. Lukisan-lukisan realistik adalah sebuah lukisan studi tentang kenyataan atau realitas kehidupan secara mendalam. Bukan hanya sekedar rekaman gerak, gambar bentuk, orang sedang begini, anak kecil sedang begitu. Tetapi dapat mengungkapkan apa yang ada di balik realitas itu. Misalnya anak kecil ini anak Minang atau Jawa, apa masalah sosial yang ada di belakangnya. Pada dasarnya menggambarkan orang Barat atau orang Jawa itu mudah, semudah menggambarkan orang Cina. Penulis memang pernah menantang seniman coba gambarkan realitas "orang minang", sampai saat ini belum ada lukisan yang penulis lihat mampu menggambarkan hal itu.

Misalnya lukisan Evelyn Dianita, yang berguru kepada ayahnya itu menimbulkan kesan seperti "copian" lukisan zaman barok di Eropah. Baik dari segi pencahayaan yang mementingkan chiaroscuro, penonjolan tokoh seakan pementasan drama, dan pemilihan gradasi warna yang di dominasi warna hitam, coklat, merah maron dan kuning ke putih. Proporsi anatomi manusia yang digambarkan Evelyn Dianita sangat tidak proporsional, misalnya lengan terlalu panjang, atau kepala terlalu kecil. Akibatnya banyak lukisan-lukisan Evelyn, berkesan bukan rekaman realitas, tetapi fantasi (khayalan) tentang kehidupan wanita Minangkabau yang didasari oleh dongeng dalam format lukisan zaman Barok, Eropah. Dan lukisan-lukisan fantasi seperti ini penulis lihat  ada di pajang di kantor rektor UNP Padang.

Kecendrungan yang sama terlihat pada pameran besar seni lukis sumatera barat, yaitu pameran dengan tema "Ngarai Sianok Diffreneza in Dentro uno Passa"tahun 2006. Dengan tidak usah menyebut peserta pameran satu demi satu, hampir semua lukisan yang dipamerkan bercorak "fantasi dan ikon surealistik tentang objek yang digambarkan, hal ini terjadi karena konflik tema ngarai sianok sebagai ikon (tanda kenal) dan ngarai sianok sebagai sebuah realitas seni lukis naturalistik yang dikembangkan Wakidi. Dalam kuratorial Adi Rosa tidak ada penjelasan sedikitpun bagaimana sebenarnya corak seni lukis yang dikembangkan Wakidi ini, sebagai bagian dari menggambar dan melukis untuk kepentingan  dokumenter di zaman kolonial. Lukisan fantasi (khayalan, lamunan) muncul karena hanya berdasarkan ingatan tentang objek yang digambarkan. Hal ini sangat bertolak belakang dengan cara Wakidi.

Lukisan Chusin Setiadikara, "Transaction II". 1999.

Lukisan-lukisan Chusin Setiadikara-pelukis yang mengembangkan karirnya di Bali)--mungkin mendekati kesempurnaan dalam penggambaran realitas dengan cara yang tidak sama dengan cara gurunya "Lee Man Fong". Lukisan Chusin, bermain dengan komposisi, dan mengambil potongan berbagai relitas yang sama untuk mendukung tema utama lukisannya. Justru sekali tangkap, kita dapat melihat apakah yang di lukis seorang  wanita Jawa atau Tionghoa dan apa realitas yang ingin diungkapkan orang di pasar (walaupun dia masuk ke bahasa surealisme dan metaforik yang menggabungkan beberapa realitas), namun tidak bisa dikatakan lukisannya adalah lukisan surealisme. Kelemahan lukisan Chusin maupun Zirwen, bahwa cara ini bisa jatuh ke sebuah ungkapan ilustrasi yang bersifat naratif. Tetapi Chusin dengan kuat menariknya kembali ke kawasan estetik seni, dan hal ini dilakukannya melalui pemilihan warna, draperi (lipatan kain) dan tekstur. Bandingkan dengan lukisan Zirwen.

Kembali ke Metoda
Alur pikir, atau metoda dalam melukis Lukisan Zirwen maupun Amrianis atau kelompok Pentagona yang lain sebenarnya mirip, kalau tidak dikatakan sama -- secara tidak disadari --sebenarnya kental dipengaruhi oleh tradisi berpikir orang minang. Orang minang lazimnya berpikir melalui ujaran atau kata-kata. Zirwen bisa ditebak berpikir dari kata"melihat ke atas" (tidak baik) dibanding dengan "melihat ke bawah". Dan Amrianis misalnya dengan lukisan " lobang-lobang berjalan" atau "jalan berlobang" adalah sebuah  kiasan tentang sebuah realitas PSK, tetapi bukan realitas itu sendiri, sebab saat filosofi (atau kata-kata ini) ini diterapkan dengan harapan menjadi sebuah "lukisan" yang mirip dengan filosofi ini, sebenarnya telah bergeser menjadi realitas baru, yang jatuh kepada "tanda-tanda yang surealistik". Yang oleh pengamat boleh ditafsirkan menjadi realitas lain karena terjadinya metafora visual. Artinya bisa ditafsirkan terjadinya kegagalan dalam menggambarkan realitas itu sendiri dalam konteks seni realis, (dan berhasil jika maksudnya memang untuk bermetafor).

Sedikit tentang Metafora Visual
Sebuah metafora visual, juga disebut metafor (kiasan) melalui gambar, yaitu sebuah perumpamaan tentang sesuatu (kiasan yang menjadi "target"), dan disajikan secara visual, dianalogikan atau dibandingkan dengan sesuatu yang termasuk kategori lain. Metafora lisan seperti "dunia adalah panggung", berarti setidaknya satu fitur atau asosiasi telah "dipetakan" dari sumber ke target. Seringkali, seluruh rangkaian (saling keterhubungan) fitur itu dipetakan dari sumber ke sasaran. Sesuai dengan ilmu tanda (semiotika), metafora visual itu ada tiga kategori, metafor yang baku, metafor segar dan metafor yang samar. Misalnya  gambar orang gendut ditafsirkan sebagai orang makmur (metafor visual yang baku) tafsiran hanya kepada yang tampak. Yang segar jika harus diduga dulu kepastian tafsirannya (misalnya tafsiran bisa di luaskan ke pada tradisi, budaya atau sejarah), yang samar adalah tafsirannya yang kabur (banyak sekali kemungkinan makna). Zirwen menggunakan kedua metafor untuk menggambarkan realitas, baik lisan (judul lukisan), maupun visual. Jadi lukisan ini kalaupun tidak bisa dikatakan lukisan surealistik, lukisan ini adalah lukisan metaforis. Jenis pikiran manusia dalam metafora visual itu adalah Physignomic Interest, Bisociation, AnalogyDisguised Symbolism, Untuk mendalami metafora visual (lihat di sini) Sumber; Iowa State University.

Tradisi Budaya Visual Minangkabau: Metafora Visual




Budaya visual tradisi Minangkabau, metafor visualnya cendrung menjadi "metafor samar", sebab terlalu jauh konotasi antara visualisasi objek dan sasaran analogi. akibatnya "tanda" cedrung menjadi "simbol", yaitu hanya dapat dipahami sebagai kesepakatan lokal terhadap arti visualisasi. Untuk mengetahui lebih lanjut baca (Nasbahry Couto, 2009,"Budaya visual Tradisi Minangkabau".  Padang: UNP Press) Buku ini juga dikoleksi oleh Cornell University, AS.
Lebih lanjut tentang pengaruh Yogya. Pada era 90-an di Yogyakarta terbentuk asosiasi perupa asal Minang bernama Sanggar Sakato yang masih hidup sampai kini dan melahirkan komunitas-komunitas seni seperti Kelompok Seni Rupa Jendela, Kelompok Semoet, Kelompok Genta, dan lainnya. Sedang di Sumatera Barat sendiri turut bermunculan organisasi seni yang lain seperti Sanggar Bumi, kelompok Pentagona, Kelompok Seni Rupa Belanak, Kelompok Trotoar yang muncul pada dasawarsa 2000 akhir.

Karya kelompok "belanak" Padang, masih berbicara dengan tema-tema surealistik dan metafora visual

Kemudian seniman generasi baru lagi seperti Bodi Darma, Tamsil Rosha, Herisman Is, Darvies Rasjidin (Yogya), Nazar Ismail, Sabri Jamal, Mukhtar Jaos, Asri Rosdi (Kayu Tanam). Kemudian beberapa pelukis wanita seperti Isna Fitri Baharuddin Koto (Jakarta), Evelyn Dianita (Padang), Ardha Prihandono (Jakarta). Kemudian  Syaiful Adnan (Yogya), Hendra Buana (Yogya), Amrizal Salayan (Bandung), Amrianis (Padang), Syahrizal Koto sampai pada generasi 90-an, pada umumnya sudah campur baur dari segi gagasan maupun tema-tema seni yang di asungnya. 

Hal ini dapat dimengerti karena latar belakangnya seniman muda di Sumatera Barat sudah sangat bervariasi. Mulai dari seniman otodidak, sampai seniman lulusan Pendidikan Tinggi Guru (IKIP), dan Sekolah Tinggi Seni Rupa. Sebenarnya daftar ini masih kurang sebab banyak lagi yang tidak dapat disebutkan satu persatu.



Karya kelompok/grup "Sakato", Yogyakarta, yang diangkat dari tema "Bakaba" (2010). Tampilan seni masih dekat dengan visualisasi "surealistik" yang mengangkat tema-tema seni tradisional minangkabau  ke  perwujudan seni rupa.

Sebagaimana uraian penulis tentang pengaruh filosofi kelompok/ budaya, dan filosofi individual, adalah dengan simbol-simbol budaya yang tidak jarang konflik dengan filosofi individual (baca tulisan ini), pengamat seni bisa salah baca atau salah tafsir (diskrepansi makna). Sebaliknya aksi ini memungkinkan munculnya seni "kitsch", yaitu asal comot untuk kepentingan filosofi individu. Pengambilan unsur budaya sebagai unsur seni berfungsi sebagai penanda keberbedaan diantara kultur. Termasuk juga cara berpikir kultur yang terasing dari mainstream kultur seni yang ada. Selebihnya, menandakan adanya eksklusifisme dalam seni. Kemudian juga akan ditanggapi sebagai anti modernisme, post-modern, ingin beda,  dan ingin memperlihatkan "kebesaran" masa lampau. Tetapi dalam seni, apapun gejala visual dapat ditafsirkan secara berbeda, terutama jika ada kecendrungan bahasa visual itu menjadi bahasa simbol-simbol, yang mudah dibaca maknanya. Harus dapat di jelaskan "apa harapan penonton" saat berhadapan dengan seni yang mengusung budaya. Bisa saja sebuah budaya memperlihatkan bahwa karakter individualistik (filsafat individual) lebih penting dari karakter kelompok (filsafat kelompok) atau sebaliknya. Bukankah hal ini dapat diperlihatkan oleh budaya Minang dan budaya Jawa. Dan tokoh-tokoh besar minang masa lalu memperlihatkan karakteristik individualistik yang kuat ini saat bersentuhan dengan budaya barat.

Sebaliknya "ilusi". Apa peran ilusi dalam seni kalau tidak hanya untuk menipu pandangan mata. Dalam film hal ini  memang sangat berguna, misalnya, untuk mengecoh mata penonton bahwa tokoh sedang dilihat sedang berada di planet mars. Jadi di sini ada harapan. Yaitu harapan penonton tentang hal "situasi tertentu "ini (tentu terpuaskan) dengan adanya ilusi  itu. 

Kasus Sabri Jamal dan Fitrajaya: Hakekat seni adalah (Pengalaman Pribadi), Individualisme, Demokrasi, sekaligus Sosial

Sabri Jamal. lahir di Painan Sumatera Barat 1939. Setelah tamat SGA lalu masuk ASRI 1960-1964. sejak tahun 1964 mengikuti pameran-pameran di Jakarta. Sedangkan Fitra Jaya adalah putra dari Sabri Jamal. Kenapa perlu membahas Fitrajaya ? Seniman ini unik, karena merantaunya terlalu jauh, yaitu ke negeri Belanda. Dia adalah seorang pelukis yang asalnya Indonesia kemudian pindah, bekerja dan hidup di Belanda pada tahun 1996, dan dia adalah alumni jurusan seni rupa IKIP Padang tahun 90-an. Sementara melukis adalah merupakan karir utamanya dan jelas dia telah meninggalkan tradisi  berpikir minang dalam menggarap karyanya. Dan dapat bebas mengembangkan diri berekspresi, terbebas dari sifat seni kelompok atau grup.

Dalam sebuah kiriman di facebook dia berpuisi:
 "Setiap hari membawa kehidupan baru, kekuatan baru, impian baru dan harapan baru. Semoga Anda menemukan keberanian, kepercayaan diri dan berharap untuk menjangkau untuk mukjizat dari mimpi. Anda dari impian anda terletak di bawah telapak kaki kita - di setiap langkah kecil yang kita ambil saat kita berjalan ke bintang-bintang ... Saya rasa tujuan bukan hanya keajaiban. "mimpi Anda tidak akan pernah membiarkan Anda beristirahat, akan terus mengetuk pintu pikiran Anda menanamkan imajinasi yang akan menyebabkan pikiran menjadi kreatif. Melepaskan imajinasi Anda dan mulai untuk membuat segala sesuatu yang diberikan kepada Anda sebelum menuju dasar bumi. Mimpi bergulir tidak seperti sebelumnya.
sumber: "https://www.facebook.com/sultan.alas?ref=ts&fref=ts
Latihan melukis yang sebenarnya diperoleh dari masa kecil karena ayahnya, Sabri Jamal, juga seorang pelukis. Dia telah mengajarkan prinsip-prinsip penggunaan struktur sebuah lukisan. Setelah berada di Belanda Fitra bereksperimen dengan bahan yang berbeda, sehingga menghasilkan gaya estetik seni yang khas, dimana komposisi dan struktur elemen garis lukisan memainkan peran penting dalam lukisannya.
Fitrajaya Nusananta, Saudara dengan Bunga

Gaya estetik Fitrajaya mengambil tema yang telah  berubah-ubah beberapa kali di Belanda. Sebab pada awalnya  motif dan tema Indonesia menonjol, kemudian beralih kepada tema yang lebih universal seperti perang, kekuasaan, cinta, dan orang tua dalam karyanya Semua lukisan Fitra muncul di Sille Art Gallery Oudewater di Belanda. Dia memasang namanya di internet bukan Fitrajaya Sabri Jamal, tetapi Fitrajaya Nusananta, mungkin semacam memperkuat identitasnya sebagai orang yang berasal dari Indonesia (Nusantara).

Lukisan-lukisan Fitrajaya sebenarnya tidak lagi berbicara tentang bagaimana merekam realitas, atau mempelintir realitas (surealistik). Yaitu bagaimana seni itu dari bentuk real  ke bentuk real di atas kanvas. Tetapi sebuah gagasan untuk mengembangkan sifat-sifat estetik murni dari material yang ada di atas permukaan kanvas, seperti struktur, komposisi dan penggunaan warna dan garis yang lebih kaya.
Metoda seni seperti ini, memungkinkan realitas hanya berfungsi sebagai tanda atau simbol. Tanda-tanda wanita dengan "tanda" rambut panjang, bunga sebagai tanda cinta, kemudian muncul tanda-tanda pendukung lainnya seperti asesoris, kain, pakaian, pernik-pernik yang dapat ditangkap secara gestalt mendukung tema utama lukisan.

Lukisan-lukisan Fitrajaya selalu berkesan mementingkan bahasa visual sebagai tanda yang sifatnya dekoratif-simbolik. Dan ini salah satu kelemahan sekaligus kekuatan seni lukis yang semata mengejar komponen estetik.

Rumah Ada Seni (RAS)


Dapat di pertanyakan sejauhmana perkembangan grup-grup seni yang ada di Sumatera Barat, dan bagaimana pengaruh jurusan IKIP Padang (sekarang Seni Rupa UNP Padang)  terhadap perkembangan seni di Sumatera Barat. Hal ini tentu memerlukan penelitian tersendiri, sebab pada dasarnya sebagaimana yang penulis lihat umumnya para pengajar pelopor pengembang Seni Rupa UNP Padang alergi jika lulusannya sebagai seniman.


Tokoh pendiri  Jurusan Seni Rupa IKIP Padang tahun 1964. Kiri: Ibenzani Usman lulusan Seni rupa ITB (Jur.Komunikasi). Tengah:  Adrin Kahar, 1929-2009 (Pindahan dari Jurusan Arsitektur ITB), dan melanjutkan studi ke jurusan seni rupa ITB Bandung. Beliau mengikuti berbagai pendidikan singkat (non degree) di antaranya di School of Art, Iowa University, Amerika Serikat (1973), dengan tesis tentang seni rupa anak-anak; dan University Administration Development Project di London, Inggris (1983). Ia memperoleh gelar Doktor Kehormatan (Ph.D. Hon) dari Universitas Marquis Giuseppe Sciciuna, Malta, 1987. Kanan: Sumaryadi, berasal dari dari jurusan Teknik Sipil) ITB Bandung, dan  mengakhiri studinya di Jurusan Seni Rupa ITB Bandung.
Sejarah pendidikan seni di sumatera barat sejak awal (Kweek School) di abad ke-19, sampai ke jurusan seni di PT yng kita lihat sampai sekarang; pada dasarnya adalah untuk penyiapan guru-guru seni yang akan mengajar di sekolah dasar sampai ke tingkat sekolah menengah. Dan bukan untuk seni komersial (terapan) di masyarakat. Namun hal ini tidak menutup kemungkinan untuk beberapa diantaranya tertarik untuk memasuki seni dalam pengertian profesi seni dan seni komersial. Gejala yang sama juga terlihat pada jurusan Keolahragaan, dan munculnya attlet-atlet yang berprestasi yang muncul dari sekolah guru. (lihat lampiran).

Transformasi yang dilakukan lulusan pendidikan yang bertujuan profesi guru ke profesi seni komersial dalam masyarakat, bukan tidak mengalami kendala dan tantangan, terutama karena ilmu seni yang dipelajari sangat sedikit dan lemah karena sudah puas dengan "status quo" yang dimiliki. Apalagi referensi buku yang berbahasa asing sangat jarang dikenali secara rinci dan di bahas. Oleh karena itu kekurangan ilmu seni itu mereka timba dalam diskusi-diskusi kelompok dalam grup seni di luar sekolah. Dan pembelajaran ini sama atau mirip dengan pembelajaran sanggar pada awal kemerdekaan di Indonesia, Munculnya grup seni RAS, baru-baru ini di Padang, menunjukkan indikasi yang selama ini yang telah berkembang, bahwa tumbuhnya kesadaran baru bahwa hidupnya sebuah seni tidak mungkin lagi bermodal hasil dari Perguruan tinggi, tetapi dalam kelompok yang mereka bangun. Kiblat  mereka bukan lagi kepada tokoh-tokoh yang berpikir di PT atau Sekolah Seni yang telah maupan cara berpikirnya. Tetapi kepada referensi yang lebih luas, sejauh mereka dapat menafsirkan perkembangan itu demi kepentingan kelompok mereka sendiri.

Pelaku seni sebenarnya bukan hanya pelukis. Siapapun sebenarnya dapat berfungsi sebagai "Arts Partisipation" (bisa diterjemahkan sebagai pelaku seni) seperti bagan yang di perlihatkan di bawah. Dan salah satu anggota kelompok RAS yang baru ini adalah   Novita Yulia Sukiman  yang menguasai salah satu bahasa asing untuk berkomunikasi. Nampaknya kemandulan*1) infrastruktur seni yang di bina oleh pemerintah, seperti sekolah-sekolah Pendidikan Seni, Taman Budaya, Museum, atau media TVRI Sumbar mendorong tumbuhnya kelompok-kelompok dan galeri seni dan situasi  itu tidak ditanggapi oleh para partisipan seni secara apatis. Dan seyogyanya hal itu melihat kepada model-model kelompok seni yang ada di pulau Jawa yang berkembang. Hal ini dapat dibaca dari tulisan Deni S. Jusmani (2014) Tentang “Studio, Agen, dan Infrastruktur Seni”. Penulis sebenarnya salut dengan guru yang menjadi seniman,karena mereka adalah guru, tetapi sekaligus "urakan"**) karena tidak terjebak dengan konservatisme struktural yang diciptakan untuk mengatur pekerjaan mereka sehari-hari. Dan mereka (grup-grup seni) silih berganti, muncul dan tenggelam untuk mencoba mencari jalan keluarnya. Dan tentu saja dalam hal bisnis seni dan atau menjadi "seniman".
*) Istilah ini untuk menyatakan  bahwa yang muncul dan lahir sebagai aksi sosial seni   hanya untuk berproduksi tanpa pemahaman yang baik,  (teorinya lihat pada buku ini) (lihat pula tulisan Bambang Sugiharto disini). Memang ada model pendidikan seni, pada awalnya penekanannya kepada vocasional/kejuruan, misalnya kependidikan, dan hal ini terjadi di Sumatera Barat dan Indonesia pada umumnya, Akibatnya, dari sisi partisipan seni, tidak semua komponen partisipan dapat berpartisipasi. Sehingga untuk menginterpretasi dan mengkuratorial seni tidak memiliki kekuatan atau lemah (lihat tabel di bawah). Menurut Scharmer, Otto (2006), metode pembelajaran, sistem instruksi dan komunikasi manusia umumnya "belajar dari apa yang terjadi di masa lalu", atau dari apa yang kita sudah tahu dari masa lalu. Padahal yang diperlukan orang-orang atau manusia umumnya adalah "kesadarannya" pada kekiniannya (seperti inovator, pengusaha dan orang-orang yang sangat kreatif) bergerak untuk menghasilkan yang berguna untuk esok hari atau tahun depan. Hal yang sama diperlihatkan oleh tayangan TVRI daerah, hampir semua tokoh berbicara tentang kebaikan ajaran masa lampau yang belum tentu berguna untuk hari ini atau masa depan. (lihat juga tentang teori aksi komunikasi, wikipedia)
**) Urakan*Urakan, adalah sebuah istilah yang asal katanya "urak" (bhs. Minang), artinya tanggal, yaitu menanggalkan tradisi yang kaku. "maurak langkah" dalam bahasa minang artinya mulai berjalan, meninggalkan suatu tempat. Kata urakan dalam KBBI, selalu diartikan negatif, yaitu "tidak mengikuti aturan dan bertingkah laku seenaknya", istilah ini mungkin muncul dari masyarakat feodal yang konservatif, yang menghendaki manusia hanya patuh terhadap tradisi yang ada. Menurut penulis arti urakan bisa dilihat dari makna yang positif, yaitu memulai sesuatu yang baru.
Kesimpulan sementara

Secara  teoritik diakui bahwa, kreasi seni dari visual ke visual itu kaku, konservatif dan justru jadi menghambat kreativitas. Misalnya menggambar bentuk, terbatas pada bentuk itu. Pengakuan ini justru muncul dari bidang desain. Kreatifitas justru lebih lentur melalui komponen bahasa verbal atau yang sering disebut dengan menggunakan konsep-konsep, walaupun tidak selalu harus berupa konsep tertentu, namun inspirasi umumnya diutarakan dalam konsep verbal.

Adakah ciri dalam metoda seni modern di Sumatera Barat ini?

(1) Pada saat gagasan tidak diperlukan, seniman hanya melukis rupa, menggambar (pelopor dalam hal ini adalah sekolah Kweek Scholl dan murid-muridnya. Dimana salah satu tokoh nya adalah pelukis Wakidi. yang mengajar juga di sekolah (INS, Normal Scholl, dan di SMU), maupun yang kursus di rumah Wakidi. Selain Wakidi, sebenarnya ada juga guru-guru gambar lain, tetapi namanya tidak sepopuler beliau. Masa ini adalah persentuhan seni lokal sumatera barat dengan seni gambar yang lebih progresif dari Barat. Seni tradisional minangkabau dulunya menggambar hanya melalui permukaan kayu (ukiran) dan permukaan tekstil (tenunan).

(2) Pada saat diperlukan gagasan (label) tetapi melihat kepada gagasan yang ada pada seni Barat, yang memunculkan tokoh seniman sumatera barat yang terpengaruh oleh konsep-konsep seni Barat, misalnya  Raflus Rax. Di kota besar di pulau Jawa, muncul mashab Bandung dan Yogya yang sebenarnya juga dipengaruhi oleh pemikiran baru dalam seni. Hal ini juga mempengaruhi seniman Sumatera Barat, periode ini disebut seni moderen. Hal ini terlihat pada berbagai karya seniman termasuk Chan Tanjung (kubisme abstrak), dan Muchtar Apin (abstrak nudis), Sabri Jamal dsb. Generasi yang lebih baru umumnya mengikuti apa yang terjadi di luar komunitasnya, mengikuti trend yang ada seperti konsep surealisme, abstrrak, seni instalasi dan sebagainya dan bergerak dalam kelompok atau grup dan atau juga dipengaruhi  sistem belajar sanggar, dan bukan menggali dari pemikiran individual.

(3) Pada saat merasa bahwa pentingnya gagasan dan makna dari budaya sendiri dalam berkarya,  oleh generasi seniman baru sering disebut sebagai bagian seni posmodern Indonesia. Namun sayang banyak kembali tersesat ke point pertama yaitu kecendrungan bercerita tentang realitas Minangkabau lama (fantasi, dan narasi). Misalnya pada karya-karya Isna Fitri Baharuddin Koto (Jakarta), Evelyn Dianita (Padang). Kenapa? Seni posmo itu miskin, karena budaya lokal yang akan ditiru itu juga miskin, kaku, dan terbatas. Pengaruh Barat pada seniman individual dan seniman kelompok di sumatera barat tidak dapat dikatakan murni pengaruh Barat, karena pola pikir senimannya didasari oleh "tradisi berpikir" yang sudah tua dan merakyat misalnya dalam pidato adat yang sarat dengan filosofi hidup, filosofi seni ini umumnya diungkapkan dalam bahasa visual yang abstrak dalam tradisi seni visual minangkabau. Tradisi berpikir tradisional ini, menyambung kepada tradisi pemikiran dan pengetahuan yang berasal dari Barat. Yang memunculkan tokoh pemikir, filsuf, dan para penulis sumatera barat  seperti Hamka, Tan Malaka, Bung Hatta dan banyak sekali penulis di jaman itu. Dan tentu saja juga banyak pemikir dari seni rupa dan khususnya seni lukis. Tetapi karena karya tulis mereka tidak muncul yang menonjol hanya tulisan dalam bidang sastra. Dua kubu yang terlibat secara langsung dalam sindrom post kolonial ini adalah Sutan Takdir Alisyahbana yang berpihak ke Barat dan kelompok Ki Hajar Dewantara yang (konservatif dan tradisional).(Baca dalam buku Polemik Kebuadayaan suntingan Achdiat K.Mihardja (1977). Polemic yang berkembang antara tokoh-tokoh S.Takdir Alisjahbana, Sanusi Pane, Poerbatjaraka, M.Amir, Ki Hadjar Dewantara, Adinegoro dan lain-lain.


Simbolisme dan metafora visual, bukankah merupakan ciri dari  kultur minangkabau yang selalu ingin menggambarkan sesuatu  melalui kiasan?. Baharudin M.S, Walaupun ingin menggambarkan manusia, tetapi dia melihat sesuatu melalui kiasan, manusia dalam kacamata yang negatif dan sinis dalam lukisannya yang berjudul. “Topeng dan boneka” (1972) Yang ingin dikomunikasikannya bukanlah aspek artistik atau estetik, tetapi sisi gelap dan curang dari manusia. (lihat tulisan ini)

(4) Metoda ke empat adalah pada saat seniman-seniman tidak menganggap budaya lokal maupun pengaruh Barat itu tidak penting diperdebatkan, tetapi berusaha secara kreatif mencipta dengan label-label baru yang diciptakannya sendiri (pelopor dalam hal ini adalah pelukis Nashar, Zaini  dan Oesman Effendi) atau seniman yang karya-karyanya tidak dapat disamakan dengan mashab Bandung dan Jogyakarta. Nashar misalnya, sebagai pelukis dan pengajar di zaman IKJ, saking kesalnya dengan sindrom post kolonial ini, dia mengemukakan konsep seni yang  terkenal dengan 3 (tiga) non, yaitu nonestetik, nonteknik dan nonkonsep. 

(5) Fungsi metoda. Apapun metoda seni yang pernah dipraktikkan dalam dunia seni, bukan berarti satu  metoda lebih tinggi dari metoda yang lain. Kualitas estetik yang tinggi, seni yang berintelektual ada di setiap metoda. Seni yang muncul dari "menggambarkan-berpikir" akan  sama baiknya dengan seni yang muncul dari "berpikir-menggambarkan" (thinking and action) asal berkualitas dan dapat dipertanggungjawabkan. Dengan pemahaman ini, khususnya dalam edukasi seni adalah untuk pengembangan diri pebelajar untuk sampai kepada produk seni yang berkualitas dan berintelektual pula. Biasanya metoda pembelajaran sanggar, grup atau kelompok akan lemah dalam pengembangan seni secara individual. Karena selalu dirongrong oleh pikiran-pikiran kelompoknya. Mudah-mudahan tidak demikian, karena kelompok-kelompok seni juga penting dalam membangun infrastruktur seni.


Catatan Kaki

[1] Diskursus = diskusi, wacana
[2] Chiaroscuro adalah tenik memberi penyinaran pada objek yang digambarkan agar kelihatan volumenya, kontras terang gelap itu disebut Chiaroscuro.
[3] Karya-karya Howard David Johnson (2008) memanfaatkan proporsi dan sekuensi Fibonasi, dan pro-porsi golden section untuk menciptakan komposisi karyanya Reka bentuk lukisan naturalistik Howard David Jhonson umumnya menggunakan proporsi Fibonanci. Seperti yang diakuinya. Terutama dalam meletakkan posisi fi gur di atas bidang gambar/ kanvas. Dalam melukis dia menggunakan seorang model yang diposisi-kannya sesuai dengan perhitungan sekuensi Fibonansi. Model tersebut di foto, kemudian di olah dengan komputer, baru dia melukis berdasarkan rancangan yang diperoleh dari komputer. Kadang-kadang dia memakai lukisan lama untuk membuat lukisan baru.Beberapa tahap teknik untuk membuat lukisan baru dengan mengambil contoh lukisan lama tahap-tahap melukisnya adalah sebagai berikutLihat buku Seni dan Teknologi karangan penulis.
[4] Bolehlah kiranya saya mengutip apa yang diperoleh dari sejarah seni rupa. Masalah yang sama juga dialami orang Eropah terhadap Budaya Yunani. Pertama mereka menerima budaya Yunani dari dunia Arab. Dari terjemahan literatur Yunani yang diserap oleh pemikir-pemikir seperti Ibnu Sina, Ibnu Khaldun dan sebagainya. Namun setelah mereka mempelajari bahasa Latin secara baik. Pikiran-pikiran Yunani itu diserap secara langsung, dan sejak itu mereka menyatakan Yunani sebagai sumber Budayanya. Walaupun perkenalan pertama kebudayaan Yunani itu, melalui dunia Islam.

[ 5] Tulisan ini pada awalnya di minta oleh komunitas seni "Belanak" Padang 

Glosari (Daftar Istilah)


1) Avant Garde* dalam seni:

Keluar dari Masalah atau Menimbulkan Masalah Baru? (Sindrom Postkolonial)

Masalah seni post kolonial adalah terikatnya mereka (negara bekas jajahan)  kepada genggaman/ pengaruh seni yang berasal dari negara-negara yang pernah menjajah mereka. Terutama sekali oleh pemikiran-pemikiran seni yang berkembang sejak abad ke-19 dan 20. Oleh karena itu para pemikir seni di negara-negara bekas jajahan berusaha ke luar dari masalah ini agar mendapat pengakuan dari kancah seni internasional. Paling tidak usaha ini adalah untuk mendapatkan identitas dan eksistensi mereka di berbagai aspek seni dan budaya. Semangat ini memunculkan pembaharu seni yang sering disebut kaum avant gardis. 

Contoh dalam sejarah seni Indonesia, telah muncul kelompok-kelompok avant gardis, diantaranya yang terkenal adalah berikut ini.
  • Gerakan anti terhadap "Moi Indie" dalam seni lukis (1920-1948), oleh kelompok Persagi 
  • Gerakan Pujangga Baru (dalam  sastra, 1930-an), 
  • Gerakan Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat, 1950-1960-an, 
  • Gerakan Manifes Kebudayaan atau Manikebu (1963)
  • Gerakan Seni Rupa Baru (seni visual, 1975),
  • Gerakan Surealisme Jogya (seni lukis 1980), 
  • Gerakan Kembali ke Satu Seni ( Seni Rupa, Desain dan Kriya, 1992). 
  • Gerakan Seni Islam atau Festifal Istiqlal (seni lukis, grafis (kaligrafi) dan arsitektur 1991 dan 1995).
  • Gerakan Institusi Seni: Galeri Nasional (Galnas, 1995, oleh Prof. Edi Sedyawati ), yang terakhir ini sebenarnya bukan gerakan dalam gagasan seni, tetapi dalam rangka merangkum potensi seni di Indonesia sejak tahun 1995 sd. sekarang.
*The avant-garde (from French, "advance guard" or "vanguard", literally "fore-guard") are people or works that are experimental or innovative, particularly with respect to art, culture, and politics.(Wikipedia, 2015)
Umumnya gerakan-gerakan Avant Garde dalam seni ini ikut mempengaruhi gagasan-gagasan seni individual dan kelompok seni di Indonesia.

Tokoh Gerakan Lekra , sumber http://sejarahanda.blogspot.co.id/2012/11/sejarah-lekra.html
Manifes kebudayaan
Manifes kebudayaan adalah konsep kebudayaan yang mengusung humanisme universal. Manifes Kebudayaan ini muncul diprakarsai oleh H.B Jassin, Trisno Sumardjo, Wiratmo Soekito, Zaini, Bokor Hutasuhut, Goenawan Mohamad, A. Bastari Asnin, Bur Rasuanto, Soe Hok Djin, D.S Moeljanto, Ras Siregar, Hartojo Andangdjaja, Sjahwil, Djufri Tanissan, Binsar Sitompul, Gerson Poyk ,Taufiq Ismail, M. Saribi, Poernawan Tjondronegoro, Ekana Siswojo, Nashar dan Boen S. Oemarjati. Manifes Kebudayaan ini adalah bentuk respon dari teror-teror dalam ranah budaya yang dilancarkan oleh orang-orang yang tergabung dalam Lekra (Lembaga Kebudayaan Rakyat). Oleh orang-orang Lekra, Manifes Kebudayaan yang sering disebut Manifes Kebudayaan diplesetkan oleh orang-orang Lekra menjadi manikebo yang artinya sperma kerbau.

https://id.wikipedia.org/wiki/Manifes_Kebudayaan
Lihat pernyataan Aidit tentang Lekra (28 Agustus 1964) di sini


Sindrom Post-kolonial*)
Dalam mencari makna, dan kesia-siaan makna, tergambar dari ketakutan dan ditakuti dengan kata-kata, misalnya dalam sejarah Indonesia bahwa Indonesia mengekor kepada seni lukis Barat dan di takuti dengan kata-kata Impresionisme, realisme, abstrak Bandung, dan sebagainya bukan milik seniman Indonesia.

Dan juga budayawan, serta seniman Indonesia terjebak dengan mengkultuskan kata: misalnya seni lukis Indonesia, dicari-cari bentuk dan formatnya, tapi sayang sampai sekarang juga berakhir dalam kata. Pencarian keindonesiaan ini  dalam seni tari dan musik, memunculkan sajian "gado-gado" atau "nano-nano".
*) Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia, Sindrom/sin·drom/(kata benda) diartikan dengan: himpunan gejala atau tanda yang terjadi serentak (muncul bersama-sama) dan menandai ketidaknormalan tertentu; hal-hal (seperti emosi atau tindakan) yang biasanya secara bersama-sama membentuk pola yang dapat diidentifikasi
Avant Garde di Amerika Latin
Untuk melihat bagaimana negara-negara bekas jajahan ke luar dari masalah ini, Anda dapat membaca bagaimana  model avant garde di negara-neagara Amerika Latin. Yang sejarah seninya pada awalnya berakar dari Barat (Eropah dan Amerika Serikat) dan kemudian membentuk seni yang khas Amerika Latin, melalui tokoh-tokoh pembaharu seni  (avantgardis ) sejak tahun 1920 sd 1970.

Pameran  "Inverted utopia, Avant Garde-Art di Amerika Latin"
Inverted utopia adalah pameran pertama di Amerika Serikat yang ditujukan untuk memperlihatkan hasil yang brilian dan  kontribusi inovatif dari seniman Amerika Latin, yaitu fenomena seni avant garde yang menjadi abad ke-20. Pameran mencakup ini memamerkan fenomena avant grde dekade 1920 sampai dengan tahun 1970, yang menyatukan lebih dari 200 karya 67 seniman dari Argentina, Brazil, Chili, Kolombia, Kuba, Meksiko, Puerto Rico, Uruguay, dan Venezuela. Pameran ini adalah contoh yang luar biasa yang mengintegrasikan  seni visual (lukisan, patung, kumpulan, media campuran, instalasi, dan performance) dan media garis ( dalam bentuk buku, manifesto, dan ulasan-ulasan).
Karya-karya pada tampilan disajikan dalam dialog dengan dua periode yang berbeda dari abad ke-20. Pada bagian pertama terdiri dari seniman dekade dekade 1920-1940 yang dianggap pelopor dari avant-garde Latin Amerika yang belajar dan kembali dari Eropa, di mana mereka telah mengambil bagian dari gerakan mutakhir seperti Kubisme, Futurisme, dan Konstruktivisme.
Setelah berasimilasi sekian lama, karya-karya avantgarde Amerika Latin ini memunculkan ide-ide  yang sangat inovatif untuk menetapkan standar baru bagi kreasi artistik di Amerika Latin, pelopor ini berusaha untuk merealisasikansecara nyata tentang janji  mereka dengan "seni baru" untuki masyarakat  mereka yang sedang menjalani tahap awal modernisasi. Pada periode-kedua yaitu pada dekade 1950-1970, dapat disaksikan perluasan kegiatan avant-garde ini di seluruh wilayah serta otonomi mereka terhadap dominasi perkembangan kontemporer di Eropa dan Amerika Serikat.
Penjelasan tentang Inverted Utopia lihat disini (Tinjauan buku).
ROBERTO MATTA , The Disasters of Mysticism
[Los desastres del misticismo] or La decadencia del misticismo, 1942
Sumber:http://www.malba.org.ar/en/introduccion/


Untuk melihat karya-karya para pelopor seni Amerika Lain ini Anda bisa mengundunhnya di sini (Pdf)

2) Avant Garde di Indonesia: Aliran Seni?

Avangarde di Indonesia sering disebut dengan "aliran Seni", kadang-kadang dikaburkan artinya dengan "gaya seni", Pada hal keduanya berbeda. Pembelajaran seni di Indonesia sebenarnya banyak yang kurang tepat, misalnya yang dipelajari di Sekolah-sekolah hanya gerakan-gerakan avant-gardis yang ada di Eropah yang "mengambang" dan kurang terkait dengan keadaan seni di Indonesia. Misalnya murid-murid dipaksa untuk mempelajari gaya-gaya seni realis, impresionis, ekspresionis dan aliran lainnya. Jikapun perlu untuk mempelajari hal demikian (aliran, paham seni atau mashab seni Barat), penting juga untuk memahami gerakan seni yang ada di Indonesia, dan dibandingkan dengan yang ada di Eropah

Misalnya apakah ada contoh seni lukis yang lahir dari gerakan manikebu, gerakan Surealisme Yogya, gerakan Seni Rupa Baru dan sebagainya. Gerakan seni di Eropah dapat dipakai sebagai pembanding, misalnya adakah Realisme dalam gerakan Lekra (realisme sosial), dan adakah seni realis dalam gerakan Seni Rupa Baru (super realisme), adakah realisme dalam gerakan seni Islam di Indonesia dan seterusnya. Dengan demikian maka makna seni realis itu akan semakin jelas. Sebab apa yang di lukiskan seniman Eropah berbeda dengan apa yang dilukiskan orang Indonesia walaupun temanya sama.

3) Kuratorial Tentang Seni khas Sumatera Barat

Ciri seniman dan seni Sumatera Barat dalam Pameran Galnas

"Mempertimbangkan tradisi"
Adakah Spirit Orang Minang dalam Seni Rupa? demikian pertanyaan yang dilontarkan oleh Doddi, sebagai penulis berita pada Media Indonesia, bulan Juni 2004. Dengan dibungkus tema Mempertimbangkan tradisi, pameran ini menjadi refleksi adat atau budaya masyarakat Minang yang terkenal sebagai perantau.Sejumlah 118 karya dari 111 perupa, ikut mewarnai pameran yang dikuratori Mamannoor. Perupa Minangkabau (Sumatra Barat) se-Indonesia menggelar pameran seni rupa di Galeri Nasional Indonesia (GNI), Jl Medan Merdeka Timur 14, Jakarta Pusat, pada 3-12 Juni 2004Pameran tersebut digelar dalam rangka memperkenalkan tradisi Minangkabau yang identik dengan merantau dan keseniannya. Galeri tersebut menampilkan ratusan karya seni rupa yang melukiskan alam keagamaan, pengalaman spiritual, dan tragedi kemanusiaan.

Budayawan Yasraf Amir Piliang, yang lulusan ITB dan kini menjadi dosen di almamaternya, yang merupakan putra Minang, dalam kata pengantarnya pada katalog pameran membenarkan globalisasi menciptakan suasana interconnectedness (kesalingterhubungan) dan interdependence (kesalingbergantungan) di berbagai tempat. Akibatnya, menciptakan suasana saling pengaruh yang kompleks.
Tetapi, pada kasus Indonesia, peradaban luar itu seakan menjadi paling sahih, paling luar biasa.Sehingga, katakanlah, kita hanya menerima pengaruh mereka dan kita tidak bisa memengaruhi mereka. Pada kasus seni rupa, seniman kita lebih banyak mengimpor corak dan teori, dan mungkin tidak pernah berhasil mengekspor corak dan teori. Catatan ketiga, orang Minang yang bertradisi merantau secara geografis, memiliki filsafat di mana bumi dipijak, di situ langit dijunjung. Tradisi inilah yang memungkinkan orang rantau itu dengan mudah beradaptasi pada sosial kultur di tempat menetap baru mereka.Filsafat bumi dipijak langit dijunjung itu mengandung sinyalemen mereka siap meninggalkan akar tradisinya untuk melebur dengan tradisi masyarakat lain.


Kondisi ini terlihat juga pada pameran yang penyelenggaraannya didukung oleh Galeri Sarah (Padang), Gebuminang (Jakarta), Sakato (Yogyakarta), dan GNI Jakarta.Kalau kita percaya pada ramalan Naisbit pada buku gelombang ketiganya, sesungguhnya locall genius akan menjadi kekuatan bagi orang Asia, termasuk Indonesia. Artinya, perlambang bagi subkultur di Indonesia akan muncul ke permukaan internasional sebagai new world atau new wave. Hal ini yang seharusnya disadari dan dijadikan patokan dalam pameran yang bertajuk Mempertimbangkan Tradisi.

Pameran seni rupa Minangkabau ini baru tampak sebatas 'mengabsen' atau memetakan corak dan isme perupa putra Minang. Sehingga, empat subtema yang digarisbawahi oleh kurator Mamannoor terlihat lebih sebagai siasat untuk menampung perbedaan corak. Keempat subtema itu (1) Tradisi alam dan masyarakat Minangkabau, (2) tradisi keagamaan dan spiritualitas religius, (3) tradisi dan perubahan, serta (4) tradisi kemasakinian.

Mamannoor tidak membaca mainstream dari budaya Minang dengan spirit orang Minang. Dalam pada itu, kita juga bisa bertanya, adakah spirit orang Minang dalam seni rupa? Pertanyaan ini perlu direnungkan siapa tahu apa yang diramalkan Naisbit itu akan benar adanya. Alangkah ironis, bahkan mungkin tragis, ketika orang luar justru menengok tradisi subkultur Indonesia, malah seniman Minang ramai-ramai meninggalkan local genius-nya. Harus diakui orang Minang ini memberi pengaruh besar di Indonesia. Terdapatnya rumah makan padang di seluruh kawasan Indonesia atau munculnya tokoh-tokoh seperti Mohammad Hatta, Agus Salim, Syahrir, M Natsir, Buya HAMKA, hingga Zaini dan Nashar, menegaskan orang Minang memiliki tradisi intelektualitas yang kuat. 
Sumber: http://gugahjanari.blogspot.co.id/2011/10/adakah-spirit-orang-minang-dalam-seni.html



4) Normal School (1918): Model Pendidikan Guru

Pendiri Normal Scholl adalah Muchtar Lutfi (lahir di Balingka, Agam, Sumatera Barat tahun 1901 - wafat di Makassar, Sulawesi Selatan tahun 1950) adalah seorang ulama, politikus, dan pejuang kemerdekaan Indonesia. Tahun 1931, Muchtar ke Sumatera Barat dan bergabung dengan Persatuan Muslimin Indonesia (Permi). Di partai tersebut, ia diangkat sebagai Ketua Dewan Propaganda Permi. Ia juga menaruh minat terhadap pendidikan, dan mendirikan sekolah wanita Normal School (1918). Normal School inilah yang kemudian berubah nama menjadi Sekolah Pendidikan Guru (SPG).

5) INS Kayutanam (1926): Model Pendidikan Ragam Ketrampilan dan Profesi

INS Kayutanam yang merupakan kependekan dari Indonesisch Nederlansche School Kayutanam atau disebut juga Ruang Pendidik INS Kayutanam adalah suatu lembaga pendidikan menengah swasta yang bercorak khusus, yang didirikan di Kayutanam, Padang Pariaman, Sumatera Barat pada 31 Oktober 1926 oleh Muhammad Sjafei, seorang tokoh pendidikan nasional yang pernah dipercaya menjabat Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Indonesia yang ketiga setelah Ki Hadjar Dewantara dan Todung Sutan Gunung Mulia dalam Kabinet Sjahrir II. Pada awal pendiriannya, INS Kayutanam hanya menyewa rumah penduduk dengan murid awal sebanyak 79 orang. Saat ini perguruan tersebut telah mempunyai lahan seluas 18 hektare. Sepanjang usianya, INS Kayutanam telah melahirkan banyak alumni yang berperan besar dalam kehidupan masyarakat dan dikemudian hari menjadi tokoh-tokoh yang dikenal masyarakat luas. Beberapa orang tokoh yang pernah menjalani pendidikan di INS Kayutanam, diantaranya:
  • Ali Akbar Navis, sastrawan, penulis novel
  • Bustanil Arifin, mantan menteri Indonesia dan kepala Bulog
  • Djanamar Adjam, aktivis Pemuda Islam pada masa perjuangan kemerdekaan, diplomat Indonesia
  • Djang Jusi, ahli kesehatan, pejuang
  • Farid Anfasa Moeloek, mantan menteri Indonesia, ahli kesehatan
  • Hasnan Habib, militer dan diplomat
  • Idraman Akmam, profesional, direktur BUMN
  • Kaharuddin Nasution, militer, mantan gubernur Riau
  • Mara Karma, pelukis, wartawan, pengarang dan kritikus senirupa Indonesia
  • Mochtar Apin, pelukis, pengajar Fakultas Seni Rupa ITB
  • Mochtar Lubis, pendiri Harian Indonesia Raya dan majalah Horizon, sastrawan
  • Tarmizi Taher, mantan menteri agama, militer
  • Willy Aditya, ketua umum Liga Mahasiswa Partai NasDem (alumnus 1997)


6) Sanggar Seni SEMI (1946): Model Pendidikan Sanggar

Sanggar Seni  SEMI ( Seniman Muda Indonesia) berdiri tahun 1946, di Bukittinggi.Dengan tokoh-tokohnya A.A. Navis. Ramli Djuaita, Zetka (Zulkifli), Motinggo Busye dan kawan-kawannya.

7) Seni Rupa IKIP Padang (1963): Model Pendidikan Guru Seni Rupa

Seni rupa IKIP Padang tidak terlepas dari bagian Universitas Andalas. Pada tahun 1958, FKIP Unand berkembang lebih mantap. Pada tahun 1961, semua kursus B1 diseluruh Sumatra Barat diintegrasikan ke dalam FKIP, yaitu kursus-kursus B1 Bahasa Inggris dan kursus B1 Sejarah di Bukittinggi dan kursus-kursus B1 Bahasa Indonesia, Ilmu pasti, Perniagaan, dan Pendidiakan Jasmani di Padang. Perkembangan seterusnya terjadi dengan dibukanya beberapa jurusan yang baru (1963), yaitu Jurusan Pembimbingan Pendidikan, Jurusan Ilmu Hayat, Jurusan Pendididkan Sosial, dan Jurusan Seni Rupa (1963).

8) Sekolah Seni Rupa Indonesia (1965): Model Pendidikan Profesi Seniman 

Lahirnya SSRI Negeri Padang di Sumatera Barat bermula dari sanggar bernama Kinantan yang beranggotakan; A. Gani Lubis, Hasnul Kabri, Amir Syarif, Abu Yazid, Makmur Rasyad, Hasniah, Faisal Adnani, Syakban dan Hasan Basri DT. Tumbijo yang kesemuanya putra Sumbar dan alumni ASRI (Akademi Seni Rupa Indonesia) Yogyakarta. Nama “Kinantan” ini kemudian menjadi simbol SSRI Negeri Padang hingga kini. 

Tahun 1977 SSRI Negeri Padang berganti nama menjadi SMSR Negeri Padang dengan 5 (lima) jurusan yang ada yakni ; (1). Seni Lukis (2). Seni Patung (3). Seni Reklame (4). Seni Dekorasi dan (5) Seni Kriya dengan jumlah siswa yang cukup signifikan, bukan saja dari dalam propinsi Sumatera Barat, tetapi juga dari hampir semua propinsi di Sumatera. Tahun 1984 SMSR Negeri Padang dengan didanai APBN memperoleh gedung baru tepatnya satu komplek dengan SMKI (Sekolah Menengah Karawitan Indonesia) Negeri Padang. Tepatnya di kelurahan Cangkeh, Kecamatan Lubuk Begalung, Kota Padang. Gedung yang dirancang oleh arsitek Institut Teknologi Bandung (ITB) tersebut terletak di lokasi cukup strategis karena juga didukung dengan fasilitas olah raga seperti lapangan Basket, Volley Ball, lapangan badminton kemudian beberapa meter dari pintu gerbang terletak lapangan sepak bola milik TNI yang dikelola oleh pemuda Cangkeh, Lubuk Begalung, Padang.

Kemudian tahun 1994 berganti nama lagi menjadi Sekolah Menengah Kejuruan (SMK) Negeri 4 Padang dengan kompetensi Seni Rupa seperti : (1) Seni Lukis (2) Desain Komunikasi Visual/DKV (3). Desain Produk Kriya Tekstil/DPKT (4). Desain Produk Interior Landcaping/DPIL dan (5). Multi Media/MM.  Tahun 2006 terdapat program re-enginering yakni pertambahan 2 (dua) jurusan yakni Bisnis Manajemen seperti ; (1). Jurusan Akuntansi dan (2). Pemasaran yang diperkuat basis seni budaya sehingga membedakan kedua jurusan ini dengan jurusan yang sama di sekolah lain. 


9) ASKI Padang Panjang (1965)  dan ISI (2009): Model Pendidikan Profesi Seni

Institut Seni Indonesia (ISI) Padangpanjang lahir berdasarkan Peraturan Presiden (Perpres) Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2009 tanggal 31 Desember 2009. Pada Perpres tersebut ditetapkan bahwa mulai 1 Januari 2010 Sekolah Tinggi Seni Indonesia (STSI) berubah menjadi Institut Seni Indonesia (ISI), kemudian 17 Juli 2010 ISI Padangpanjang diresmikan oleh Wakil Menteri Pendidikan Nasional (Wamendiknas), Prof. Dr. Fasli Jalal, P.hd. Pada saat itu Wamendiknas mengangkat Prof. Dr. Daryusti, M.Hum. sebagai Pj. Rektor, Andar Indra Sastra, S.Sn., M.Hum. sebagai Plt. Pembantu Rektor I, Lazuardi, S.Kar., M.Hum. sebagai Plt. Pembantu Rektor II, dan Martarosa, S.Sn., M.Hum. sebagai Plt. Pembantu Rektor III.

Sejarah kelahiran ISI Padangpanjang didahului dengan berdirinya ASKI Padangpanjang (1965) melalui Surat Keputusan Menteri Pendidikan Dasar dan Kebudayaan Nomor 84 tahun 1965 tanggal 22 Desember 1965.


10) Sitem Pendidikan

Fenomena Pendidikan Seni di bawah Politik dan Hegemoni Institusional


Sistem pendidikan di Indonesia juga tidak terlepas dari sindrom post kolonialisme, sistem pendidikan Indonesia adalah kelanjutan dari sistem yang dibangun oleh Belanda dan Inggris  dan yang diperbaharui  ( Ing-1 dan Ing-2) yang disebut dengan "sistem kontinental" (Inggris, Belanda dan Jerman). Australia dan Malaysia berpedoman kepada Inggris-kontinental. Indonesia adalah campuran sistem Amerika dan kontinental lama (Belanda). Contoh: penulis mendapat Sarjana Muda tahun 1973, ini setara dengan S1 sekarang. Buktinya lulusan S1 di Indonesia hanya diakui setara dengan Sarjana Muda di Malaysia.Waktu penulis lulus sarjana tahun 1977, sebenarnya setara dengan S2 sekarang. Tetapi tidak ada pengakuan resmi dari pemerintah. Akibatnya penulis mengambil lagi S2 (1995-1999) jadi S2-nya dua kali dan memperdalam hal yang sama dengan buku-buku yang baru. Memang Sekitar tahun '90an, ada himbauan  bagi lulusan sarjana lama itu untuk langsung bisa mengambil S3 (model baru), tetapi terlambat, dan keburu muncul peraturan bahwa setiap dosen harus berpredikat S2.

Memang pendidikan di Indonesia boros waktu, dan memiliki persepsi yang berlainan dengan negara tetangga yang memiliki sistem pendidikan kontinental. Sebagai contoh, apa yang terjadi sarjana S2 dan S3 lulusan di mancanegara (Malaysia)? umumnya lulusan Pasca Sarjana dan Doktor lulusan Malaysia, harus mengikuti persyaratan adimistrasi tertentu. Artinya kesulitan dalam penyesuaian ijazah dan akhirnya sering mendapatkan kesulitan bekerja di Indonesia.

Istilah sekolah sebenarnya warisan dari kontinental Belanda (school),mulai dari sekolah dasar, SMP dan SMA. Untuk perguruan tinggi di luar negeri ada yang disebut dengan Sekolah saja (School). Misalnya  school of art. Sekolah Seni Rupa Indonesia  (SRRI) yang berdiri tahun 1965 di Padang sebenarnya setara dengan akademi (perguruan tinggi). Berbeda dengan SMK sekarang. Tetapi sayangnya tidak menjadi perguruan tinggi seperti STSRI di Yogya. Sekolah seni sebenarnya tidak boleh dianggap sebagai hanya ketrampilan yang setara dengan ketrampilan teknik atau pertukangan. Alangkah baiknya sekolah seni  sebaiknya kembali ke sistem lama yang mensyaratkan nilai akademis yang tinggi untuk memasukinya. Jika ini dilakukan maka  baru akan diperoleh lulusan yang kompetensinya tinggi untuk menghadapi industri kreatif.

 (klik kanan gambar untuk memperbesar)

Dari sistem ketenagakerjaan dan pendidikan profesi yang di bangun oleh pemerintah Indonesia sejak tahun '90an, terlihat bahwa lulusan SMK  adalah lulusan vocasional/ Kejuruan yang berada diatas pekerja terlatih. Dan dalam aturannya, tidak boleh masuk ke jalur sistem pendidikan Akademis. Tetapi dalam kenyataannya hampir semua lulusan SMK bisa masuk ke PT (Perguruan Tinggi Negeri atau Swasta) lain. Kalaupun tidak bisa kemudian masuk ke PT melalui jalur lain. Basis pengetahuan akademisnya umumnya kurang ketimbang lulusan SMA.

Dari bagan ini juga akan kelihatan dualisme dalam profesi. Misalnya profesi guru berbeda dengan profesi seni. Konflik kepentingan kedua profesi ini akan terjadi jika tidak mengikuti jalur keprofesian yang berkesinambungan. Pelaksanaan sistem  pendidikan di Indonesia-- sesuai dengan hirarkhi tenaga kerja dan kependidikan di atas-- sebenarnya sangat fleksibel dan juga rancu. Banyak orang yang tadinya berasal dari lulusan program strata (D2, D3) (non akademis), akhirnya bisa mengambil prorgram S3 (akademis) karena posisinya saat mengambil S3 adalah dosen di PT. Dan lagi pula penyelenggara progran sangat longgar dalam menyeleksi calon yang akan mengikuti programnya. Hal ini sangat bertolak belakang dengan saringan masuk ke PT yang berasal dari SMA yang sangat ketat. Pemerintah tidak menyadari hal inilah yang menyebabkan beberapa pengajar di PT tidak mampu berpikir dan membaca buku berbahasa asing, menulis dan meluaskan wawasannya akhirnya kualitasnya dapat diramalkan.

 (klik kanan gambar untuk memperbesar)
Perekrutan calon guru atau dosen di Inggris berbeda dengan di Indonesia. Kualitas guru dan dosennya umumnya terpilih. Guru atau dosen  umumnya berasal dari bidang  atau jalur akademis. Bukan dari jalur praktik.

 (klik kanan gambar untuk memperbesar)
Lulusan dari Universitas-universitas Negeri (IKIP lama), diberi 2 (dua) ijazah, sebenarnya  dianggap telah mengikuti (ilmu murni akademis) sekaligus mendapatkan kursus mengajar seperti yang terdapat di Inggris. Niatnya memang demikian. Di Inggris lulusan PT yang mendalami ilmu murni (akademis) dengan nilai rata-rata A-B, untuk menjadi guru atau dosen harus mengikuti kursus mengajar QBS  atau PGCE. Yang aneh tentu muncul dari eksperimen pemerintah seperti ini. Kuliah Praktik Lapangan di IKIP lama bukan praktik lapangan ilmu murni, tetapi praktik mengajar. Master of Art seperti yang digambarkan di atas, adalah istilah umum, bukan khusus untuk seni, hal ini untuk menunjukkan jalur profesi (bukan jalur akademis). Misalnya MA bidang kependidikan atau pengajaran. Untuk memahami lebih lanjut hal ini sudah dibahas sepuluh tahun yang lalu lihat tulisan ini.
10) Infrastruktur  Seni
(Klik kanan gambar untuk memperbesar)
Infrastuktur Seni. Unsur-unsur yang termasuk lembaga (infrastruktur ini adalah), (1) TKS (Tempat Kejadian Seni), (2) Organisasi Seni, (3) Sekolah Seni, (4) Dukungan dana dari volunter (Sukarelawan) seni, (5) Jaringan serikat dan asosiasi seni, (6) kebijakan publik , (7) dan unsur infrastuktur lainnya. Masing-masing unsur ini dapat diperluas atau di interpretasikan sesuai dengan kondisi setempat dari tempat dan atau komunitas dimana produksi dan peristiwa seni itu berlangsung (Klik kanan gambar untuk memperbesar)

11) Partisipant Seni 


(Klik kanan gambar untuk memperbesar)
Partisipan Seni (Arts Participation). Yaitu siapa saja yang bertindak (1) memproduksi, (2) menafsirkan, (3) mengkuratorial, dan sebaliknya juga mendapatkan (4) mengalami seni. Partisipan Seni (arts partisipant) adalah salah satu aspek penting dari pendorong hasil atau Kreasi Seni (Arts Creation). 
Time spent adalah waktu yang terpakai dalam (1) pengalaman (pengamatan), (2) produksi, (3) interpretasi dan (4) kuratorial seni. Misalnya mengamati arsitektur bisa sekilas, membaca buku novel bisa seminggu, menikmati musik di mobil bisa, sepanjang jalan, menonton film bisa dua jam.
Pengalaman seni melibatkan treshold (ambang penerimaan) adalah energi minimal agar stimulus disadari audience, yang juga dibatasi oleh waktu (x time) yang mampu membangkitkan aktivitas neural. Hasil karya seni biasanya disebut hasil pengamatan atau “persepsi” seni.Mengamati sastra, bisa satu minggu sebab mesti dibaca semuanya dulu, mengamati lukisan bisa sekali lihat dalam beberapa menit. Menonton video bisa dua jam. Melihat bangunan (arsitektur) bisa berhari-hari atau hanya sekali lihat. = (x time). Ahli sejarah, bisa bertahun-tahun mempelajari artefak sejarah arsitektur, tetapi ini bukan kegiatan penerimaan seni (ambang penerimaan seni/ treshold). Tetapi untuk penelitian dan penulisan sejarah seni. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala masyarakat demokratis dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Di lingkungan sekolah atau institusi (yang tidak demokratis) partisipasi hanya oleh kelompok yang diinginkan oleh orang yang berpengaruh dalam kelompok itu, yang tidak disukai disingkirkan. Dalam teori sosiologi hal ini bisa disebut dengan diskriminasi sosial dan efek negatif berikutnya adalah hegemoni dalam seni. Sesuatu yang bertolak belakang dengan tujuan pendidikan seni yang sebenarnya demokratis. 
 12) Kreasi Seni

  (klik kanan gambar untuk memperbesar)
Apa yang dimaksud dengan kreasi seni telah diperluas dalam peta ini, bukan lagi seperti yang terdapat dalam pengertian seni yang klassik. Karya seni bisa muncul dari disiplin yang berbeda-beda.Seni, dalam sistem ini, dibuat oleh seseorang dengan maksud tertentu.Tentang perbedaan antara seni tinggi dan seni rendah tidak perlu lagi dilakukan, karena keduanya dapat ditampung dalam peta ini. Tetapi mengubah "luas" dari definisi seni akan mengubah jumlah orang yang terlibat, dan karena berapa banyak orang dapat dipengaruhi dan dampaknya, seberapa besar (relatif terhadap total penduduk) yang terkait. 
Agen Penciptaan Seni secara luas adalah seniman, dan secara inklusif didefinisikan sebagai orang yang menyatakan dirinya, atau dirinya sendiri dalam batas-batas serangkaian praktik seni yang diketahui, atau yang muncul dan dipentingkan, dengan tujuan mengkomunikasikan karya seni kepada orang lain. Apakah konsep peta ini juga meliputi penerbitan, radio, dan atau film, misalnya, sangat mempengaruhi berapa banyak orang yang terlibat dengan seni dan, khususnya, seberapa banyak manfaat ekonomi langsung yang timbul dari seni. 
 Teori tentangTabel Kelompok atau Grup Seni di Sumatera Barat 
No.
Nama Group
Jenis Kesenian
Pimpinan
Alamat
No. Telp
1
2
3
4
5
6
1.
Alang Babega
Tari
Darwis Loyang
Padang
081374762861
2.
Indo Jati
Tari
Dasman Ori
Padang
081267493131
3.
Anak Indonesia
Tari
Yanti
Padang
0751-496928
4.
Taratak Bundo
Tari
Nana
Taman Budaya Sumbar
……….
5.
Langkisau
Tari
Bustar
Taman Budaya Sumbar
……….
6.
Sofyani
Tari
Sofyani
Padang
0751-7051173
7.
Nan Jombang
Tari
Ery Mefri
Padang
08126616716
8.
Galang
Tari
Deslenda
Padang
085274458403 / 08126623552
9.
Satampang Baniah
Tari
Sulastri Andras
Padang
0751-72587
10.
Lansano
Tari
Murdika
Padang
……….
11.
Citra Kembara
Tari
Fauriza
Padang
085263820145
12.
Binuang Sakti
Tari
Lesmandri
Batusangkar
08126704800
13.
Susasrita
Tari
STSI Padang Panjang
Padang Panjang
……….
14.
Rasmida
Tari
STSI Padang Panjang
Padang Panjang
081363408830
15.
Indo Jati
Musik
Darwis Loyang
Padang
081267493131
16.
Talago Bumi
Musik
Edy Utama
Genta Budaya
17.
Sofyani
Musik
Sofyani
Padang
0751-7051173
18.
Aura Voice
Musik
Drs. Asnam Rasyid
Taman Budaya Sumbar
08137498099
19.
Pentas Sakral
Musik
Nina Rianti
Padang
085263046300
20.
Kelompok Hasan Nawi
Musik
Hasan
Padang
081374903429
21.
Kelompok Sdn Atts
Musik
Bukittinggi
……….
22.
Elizar Koto
Musik
Elizar Koto
STSI Padang Panjang
……….
23.
Kuliek
Musik
Andrea C. Tamsin
UNP Padang
……….
24.
Tabur
Musik
Toni
STSI Padang Panjang
……….
25.
Bumi Teater
Teater
Wisran Hadi (alm)
Jl. Gelugur Blok H No. 2 Lapai Padang
0751-7052174 / 08126718212
26.
Teater Dayung-Dayung
Teater
Erlina Ernawati
INS. Kayu Taman
081363402073
27.
Teater Noktah
Teater
Syuhendri
Taman Budaya Sumbar
08197543141
28.
Teater Komunitas Hitam Putih
Teater
Syusril Katil
STSI Padang Panjang
08197543141
29.
Teater Sekata
Teater
Hendriko Alamo
STSI Padang Panjang
081535286964
30.
Teater Imaji
Teater
M. Ibrahim Ilyas
Taman Budaya Sumbar
……….
31.
Teater Sangko Duo
Teater
Fauzul, I. Norca
Taman Budaya Sumbar
081363032123
32.
Teater Kamus
Teater
Kardi / Muslim Nur
Taman Budaya Sumbar
081363330181
33.
Teater Gaung Expose
Teater
Armyen
Taman Budaya Sumbar
………..
34.
Old Track Teater
Teater
Rizal Tanjung
Taman Budaya Sumbar
………..
35.
Teater Langkah
Teater
Unand
Unand
………..
36.
Teater Kuliek
Teater
UNP, Andrea C. Tamsin
UNP Padang
………..
37.
Teater Imam Bonjol
Teater
IAIN Imam Bonjol
IAIN Imam Bonjol
………..
38.
Teater UPI
Teater
UPI Padang
UPI Padang
………..
39.
Teater Kataris
Teater
Tatang r. Macan
STSI Padang Panjang
………..
40.
Teater Jambo
Teater
Sulaiman Juned
STSI Padang Panjang
………..
41.
Komunitas Intro
Teater
Iyut Fitra
Payakumbuh
08126719131
42.
Teater Size
Teater
Zamzami Ismail
Padang
………..
43.
Kel. Tombologi
Teater
Dede Prama Yoza / Wendi HS
STSI Padang
………..
44.
Kel. HMU Teater
Teater
STSI Padang Panjang
STSI Padang Panjang
………..
45.
Komunitas Belanak
Seni Rupa
Ibrahim
Padang
081774417894
46.
Komunitas Pantagona
Seni Rupa
Herisman Tojes
Padang
………..
47.
Komunitas Lima
Seni Rupa
Achyar Sikumbang
Padang
081535478459
48.
Komunitas Sarasah
Seni Rupa
Kios Sei. Tbsb
Taman Budaya Sumbar
………..
49.
Rono Limo
Seni Rupa
Jon Wahid
Padang
………..
50
Rumah Ada Seni (RAS)
Seni Rupa
Padang
 sosiologi seni, khususnya partisipant seni dan infrastruktur seni yang terbaru lihat di tulisan ini (teori seni dalam dunia pendidikan seni)

Uraian lebih lengkap tentang istilah-istilah dan pengertian kata yang dipakai  lihat di blog Nasbahry Indeks ( di sini)


Tulisan ini terdiri dari 2 halaman, klik halaman yang dituju


2 komentar:

  1. Alhamdulillah, terima kasih bung Nasbahry Couto telah memasukkan saya sebagai pelukis generasi baru dalam tulisan anda "Metode seni, dan Seni Lukis dan Perkembangannya di Sumatera Barat" namun dalam tulisan ini ada sedikit kesalahan tulis atau salah ketik mengenai nama-nama pelukis seperti yang anda tulis ... Kemudian seniman generasi baru lagi seperti Bodi Darma, Tamsil Rosa, Isrisman Is, Darvies Rasjidin (Yogya), Nazar Ismail,...dst. Perlu saya koreksi kesalahan tulis itu pada nama Tamsil Rosa ... seharusnya Tamsil Rosha dan berikutnya nama saya sendiri yang tertulis ... Isrisman Is, ... seharusnya Herisman Is.
    Demikian koreksian dari saya semoga anda maklum dan sekali lagi Terima kasih dan sukses selalu dalam setiap langkah yang anda lalui, selamat menunaikan Ibadah Ramadan 1436 H
    Wasalam
    Pekanbaru 26 Juni 2015

    BalasHapus
  2. Maaf, kesalahan ketik itu. Dan sudah diperbaiki, terimakasih perhatian anda

    BalasHapus

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting