Selasa, 29 Januari 2013

Seni Modern dan Tradisional di Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Perkembangan Seni

Oleh: Nasbahry Couto

Hal 3


Ahmad Muhammad Isa (1981), dalam tulisannya tentang Muslim dan Tashwir, sampai pada kesimpulan bahwa diantara  hadits Nabi ada yang bertentangan penafsirannya oleh orang-orang terdahulu, namun tidak seorangpun yang dapat mengatakan secara jelas maupun tersirat, bahwa Alquran memberi larangan terhadap tashwir.[25] Tidak dapat diingkari bahwa seni Islam dipengaruhi oleh pandangan para ulama yang berpegang pada larangan membuat gambar.

Pandangan demikian adalah rintangan bagi  seniman untuk membuat gambar manusia dan binatang. Akibatnya karya-karyanya menjadi kaku, kering dan jauh dari kemiripan alam.   terdapat sedikit kritik Ahmad Muhammad Isa, bahwa penolakan oleh sebagian besar umat Islam itu, terhadap gambar dan seni patung telah merugikan umat Islam sendiri  seperti yang dikatakannya :
“ Karena agama kristen sejak semula telah memanfaatkan pemakaian gambar (shuwar) untuk meluaskan ajarannya dan membawa ajaran itu dari suatu tempat  ke tempat lain lewat cara gambar-gambar yang mempunyai arti simbolis (rusum), maka gambar-gambar itu telah melestarikan ajaran-ajaran agama dalam seni, dan dengan demikian betul-betul dibutuhkan sebagai pelukisan ajaran-ajarannya. Seni itu dapat dipakai untuk membawakan arti  Injil, dan lebih mudah melekat dalam pikiran dan lebih mudah dipahami oleh orang-orang, seni dipakai untuk menggambarkan kejadian-kejadian penting dalam agama Kristen dan kehidupan rasul dan pendeta. Dapatlah disebut dengan aman, bahwa hingga abad ke 8 Masehi, tidak pernah ada muncul suatu penentang atau kekhawatiran akan kembalinya paganisme atau pemurtatan dari agama Kristen.”[26]


Sebagai kompensasi dari keadaan ini menurut Ahmad muhammmad Isa, seniman muslim beralih pada motif-motif dekoratif yang bercorak floral dan geometris. Para seniman Muslim sangat terlatih dengan ornamen seperti ini dan menggunakan dekorasi untuk menghiasi  berbagai objek seni. Seni rupa ini oleh orang Barat disebut dengan “Arabesque”, sesuai dengan asal dari ornamen itu.
Namun demikian Ahmad Muhammad Isa menyimpulkan dari kenyataan yang memperlihatkan bahwa  umat Islam akhirnya tidak mempersoalkan larangan dalam hadits, sejauh itu tidak bertentangan  dengan ajaran islam yang merepresentaikan makhluk hidup untuk tujuan pemujaan.  Beberapa kesimpulan Isa adalah  sebagai berikut :
  1. Kaum Muslim tidak takut  pada penggambaran makhluk hidup, dalam sejarah diperlihatkan oleh seniman Islam yang  menghiasi Istana raja di masa Al-Walid I (92-96)
  2. Kaum Muslimin telah menggunakan gambar-gambar dan lukisan untuk menghiasi karpet, furniture, gelas, piala, bendera dan berbagai bahan lainnya seperti kayu, logam, gading dan sebagainya. Dan ini  juga sudah berlaku sejak lama sekali. Kecendrungan ini menghasilkan seni rupa yang memiliki karakteristik Islam, menghasilkan lambang-lambang atau simbol bentuk yang bercorak Islami.
  3. Dari semua pandangan, diyakini bahwa gambar-gambar maupun patung tidak mempunyai kaitan apa-apa dengan masalah halal dan haram, sebagaimana yang telah diperselisihkan oleh  para fuqaha. Sesungguhnya pembuatan gambar maupun patung adalah suatu bidang keahlian yang mampu meninggikan jiwa, karya yang dapat meninggikan kecerdasan manusia dalam peradabannya.[27]
  4. Bahwa sebenarnya ada kontinuitas seni dalam Islam, terjadinya diskontinuitas disebabkan oleh dasar filosofi yang dianut lembaga-lembaga dalam masyarakatnya. Namun dalam praktik, kontinuitas dan konsistensi seni Islam itu sebenarnya ada, hal ini  dapat dilihat dalam sejarah Islam, Wiki (2013), menggambarkannya sebagai berikut ini.
...Seni rupa Islam adalah seni rupa yang berkembang pada masa lahir hingga akhir masa keemasan Islam. Rentang ini bisa didefinisikan meliputi Jazirah Arab, Afrika Utara, Timur Tengah, dan Eropa sejak mulai munculnya Islam pada 571 M hingga mulai mundurnya kekuasaan Turki Ottoman. Walaupun sebenarnya Islam dan keseniannya tersebar jauh lebih luas daripada itu dan tetap bertahan hingga sekarang. Seni rupa Islam adalah suatu bahasan yang khas dengan prinsip seni rupa yang memiliki kekhususan jika dibandingkan dengan seni rupa yang dikenal pada masa ini. Tetapi perannya sendiri cukup besar di dalam perkembangan seni rupa modern. Antara lain dalam pemunculan unsur kontemporer seperti abstraksi dan filsafat keindahan. Seni rupa Islam juga memunculkan inspirasi pengolahan kaligrafi menjadi motif hias. Dekorasi di seni rupa Islam lebih banyak untuk menutupi sifat asli medium arsitektur daripada yang banyak ditemukan pada masa ini, perabotan. Dekorasi ini dikenal dengan istilah arabesque. Peninggalan seni rupa Islam banyak berbentuk masjid, istana, ilustrasi buku, dan permadani[28]


Gambar  Contoh seni kontemporer Islam, apakah sebagai kontinuitas atau diskontinuitas ? Bangsa Arab, sangat konvensional dalam berseni, namun pada masa kini telah terjadi perubahan:  Pameran Seni Kontemporer Pertama di Arab Saudi: kiri adalah Instalasi 'Street Pulse' karya seniman Arab Saudi, Ahmad Angawi, kanan adalah Sebuah karya instalasi ditampilkan dalam pameran seni kontemporer 'We need to talk' yang digelar di Furusia Marina, Jeddah, Senin (23/01/2012). Foto: REUTERS/ Susan Baaghil ditampilkan dalam pameran seni kontemporer 'We need to talk' di Jeddah, Senin (23/01/2012). Foto: REUTERS/ Susan Baaghil. [29]


e. Diskontinuitas akibat Moderenisasi seni: kasus Opera Van Java
Fenomena munculnya OVJ (Opera Van Java) adalah sebuah kasus yang menarik, bukan hanya sekedar tontonan. Tetapi dapat dipakai sebagai ilustrasi bagaimana teknik pengembangan seni tradisi dan pembaruannya. Banyak yang menganggap bahwa OVJ adalah sebuah model kontinuitas atau malah sebaliknya justru merusak seni tradisi.[30]. Tayangan tersebut menarik perhatian masyarakat Jawa yang tersebar se antero dunia. Kita dapat memahami bagaimana tayangan ini memanfaatkan dari esensi seni wayang. Dan tayangan Opera Van Java bisa menjadi inspirasi bagi budayawan bagaimana mengembangkan wayang ke bentuk baru yang inovatif.


Gambar Jingle iklan Opera van Java di siaran televisi

Penutup


a)  Masalah kontinuitas dan diskontinuitas adalah masalah pokok dalam seni Indonesia, yang erat hubungannya dengan topik pelestarian budaya, modernitas, dan inovasi seni berdasarkan tradisi. Indonesia mau menjadi negara moderen atau negara kuno dan statis masih disikapi mendua sampai sekarang (ingat polemik kebudayaan, 1936).
b)  Namun yang menjadi pertanyaan penting lainnya, oleh karena demikian banyaknya ragam seni dan budaya  di Indonesia yang akan dijaga kontinuitas dan diskontiunitas seninya bukankah lebih praktis dengan mengawinkannya dengan budaya baru dan  memodernkannya tanpa meninggalkan ciri asli, seperti yang terjadi di Bali? Menurut Wiyoso Yudosaputro (2005) [31] Ada lima elemen pokok seni Indonesia, diantaranya adalah (1) kesenian masyarakat asli suku Indonesia, (2) kesenian Hindu-Budha yang datang dari India, dan Asia (3) Kesenian Islam, (4) Kesenian semasa kolonial Belanda, (4) dan kesenian moderen (baru). Kelima unsur itu  tumpang tindih dalam peta sejarah seni Indonesia. Sedangkan kesenian moderen dan kontemporer,  hanya dikenal dikota-kota besar, yang memiliki lembaga-lembaga pendidikan seni, dan juga komunikasi dengan dunia luar, yang menumbuhkan kesenian moderen itu, terutama komunitas-komunitas seni, yang bersentuhan dengan kebudayaan Barat
c) Peran kelembagaan atau institusional, sangat besar terhadap munculnya  kontinuitas dan diskontinuitas dalam seni dan budaya. Oleh karena itu, kontinuitas dan diskontinuitas seni yang dipermasalahkan bukan hanya muncul dari dari segi konflik kepentingan kelembagaan, tetapi juga dari segi ideologi seni lembaga itu.
d) Untuk dapat terjadinya kontinuitas dalam pekembangan seni, seyogyanya lembaga seni di Indonesia, meniru model sekolah seni di Jepang – yang justru tidak memperseterukannya, tidak mempertentangkannya --dimana sekolah-sekolah seni membagi diri menjadi dua jurusan yaitu jurusan seni moderen dan jurusan “seni tradisional lokal”, sehingga kedua unsur itu tidak saling merusak dan atau mengganggu.

Catatan Kaki


[1] Lihat tulisan Michel Foucault (1926-1984), discontinuity and continuity mencerminkan aliran sejarah dan fakta bahwa beberapa "hal-hal yang tidak lagi dirasakan, dijelaskan, diungkapkan, ditandai, diklasifikasikan, dan dikenal dengan cara yang sama" dari satu era ke depan . (1994).
[2] Berkenaan dng pendekatan thd bahasa dng melihat perkembangan sepanjang waktu; bersifat hitoris
[3] Terjadi atau yang ada pada waktu yang sama atau memiliki periode yang sama atau fase
[4] Kelebihan  buku ini, memberikan pandangan baru bahwa sejarawan harus lebih “teliti” dalam mengungkapkan fakta-fakta sejarah yang tak terungkap. Secara berkesinambungan dari bab ke bab, ia memberi penjelasan konsep-konsep diskontinuitas dan bagaimana sejarah dapat dan perlu ditilik hingga akar-akarnya. Pembahasannya yang mendalam kiranya mampu memuaskan dahaga para skeptis dan pecinta postmodernis untuk membedah dan menemukan manfaat yang tertuang dalam buku ini.
[5] Lihat karangan Foucault, M. The Order of Things: An Archaeology of the Human Sciences. Vintage; Reissue edition (1994) ISBN 0-679-75335-4
[6] Lihat juga Foucault, Michel. Arkeologi Pengetahuan. Terj. Mochtar Zoerni. Yogyakarta: Penerbit Qalam, 2002.
[7] Hanafi, Hassan dalam jurnal Asian Journal of Social Science, Volume 33, Number 3, 2005 , pp. 384-393(10).
[8] Akulturasi adalah suatu proses di mana anggota dari satu kelompok budaya mengadopsi keyakinan dan perilaku dari kelompok lain. Meskipun akulturasi biasanya ke arah kelompok minoritas mengadopsi kebiasaan dan pola bahasa kelompok dominan, akulturasi dapat timbal balik - yaitu, kelompok dominan juga mengadopsi pola khas dari kelompok minoritas. Asimilasi dari satu kelompok budaya ke lain dapat dibuktikan dengan perubahan preferensi bahasa, adopsi sikap umum dan nilai-nilai, anggotanya panggul pada kelompok sosial umum dan lembaga-lembaga, dan hilangnya identifikasi politik atau etnis tersendiri.
[9] Buku yang lebih lengkap tentang ini lihat di Perpustakaan Nasional Australia, yaitu situs: http://trove.nla.gov.au/result?q=%22%20Art,%20Indonesian%22 
[10] Lihat juga Dances of Sumatra and Nias: Notes, artikel karangan Claire Holt (1971)
[11] Lukisan dianggap sebagai dasar dan bentuk ekspresi kesenian tinggi di Bali. Karya seni tersebut menjadi artefak yang sangat berharga dalam kehidupan ritual dalam tradisi Bali.
[12]  Istilah tersebut memiliki pengertian sebagai kemampuan kebudayaan setempat (local) dalam menghadapi pengaruh kebudayaan asing pada waktu kedua kebudayaan itu berhubungan. Sebagai akibat dari hubungan itu terjadilah suatu proses akulturasi (Noerhadi Magetsari, 1986).lih. Noerhadi, Magetsari. 1986. Local Genius dalam Kehidupan Beragama, dalam Kepribadian Budaya Bangsa. Jakarta: Pustaka Jaya
[13] Lihat Alvin Boskoff, “Recent Theories of Social Change” dalam Warner J. Cahnman dan Alvin Boskoff, ed., Sociology and History (London: The Free Press of Glencoe, 1964), 143-147.
[14] Willian A. Haviland, Antropologi, jilid. 2, terj. R.G Sukadijo (Jakarta: Erlangga, 1988), 253.
[15] Sucitra, Arya (2012) telah membahas selintas tentang pokok permasalahan proses akulturasi estetis antara seni lukis Bali klasik gaya Kamasan dengan persentuhan pengetahuan seni rupa modern yang diperkenalkan pelancong Barat yang masuk melalui proses kolonisasi penjajahan Belanda pada awal abad ke-20 sehingga selanjutnya akan ditemukan varian-varian turunan seni rupa di Bali dan dengan segala perbedaan konsep, tema, material lukis hingga teknis penciptaannya. Perpaduan ini kemudian melahirkan seni lukis Pitamaha yang berkembang pesat pada era 1930-an di desa Ubud, Gianyar Bali.  Lihat selengkapnya dalam Sucitra, Arya ( 2012) Transformasi Seni Rupa Bali, Pita Maha ‘Koalisi’ Estetis Seni Lukis Klasik Bali dengan Seni Rupa Modern, pada situs http://karyajurnal.blogspot.com/
[16] Lihat: http://www.balipost.co.id/mediadetail.php?module=detailberitaindex&kid=15&id=7270
[17] Lihat tulisan Kesenian, Identitas, dan Hak Cipta: Kasus ‘Pencurian’ Reog Ponorogo,
Lisa Clare Mapson, Australian Consortium for In-Country Indonesian Studies, (ACICIS)
Angkatan 30, Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik, Universitas Muhammadiyah Malang, Juni 2010, http://www.acicis.murdoch.edu.au/hi/field_topics/lisa_mapson.pdf
[19] Ibid. 2006
[20]  Lihat : Pandangan Islam Tentang Seni, oleh M. Danusiri Dosen DPK UNIMUS dari IAIN Wali 9 Semarang, dlam  http://danusiri.dosen.unimus.ac.id/materi-kuliah/fbba/pandangan-islam-tentang-seni/
[21] Dalam situs resmi NU, Tentang eni Budaya, butir 9.disebutkan 9. Lembaga Seni Budaya Muslimin Indonesia disingkat LESBUMI, bertugas melaksanakan kebijakan Nahdlatul Ulama dibidang pengembangan seni dan budaya.
[23])  Orang pertama yang menunjukkan , bahwa larangan terhadap lukisan bukan berasal dari Al-Qur’an, akan tetapi dari hadits, adalah Lavoix pada tahun 1859, dalam ‘les Peintures musulmans,” hal.353-354
[24])  Abdul Jabbar Beg , 1981. Seni Dalam Peradaban Islam, Bandung, hal.7..
[25] ) Op.Cit.1981: 44 
[26]) Op.Cit.1981:55
[27]) Abdul Jabbar Beg , Hal.71-72 
[28] .sumber: Wikipedia, Seni Rupa Islam, 2013
[29]  Untuk pertama kalinya, pameran seni kontemporer dibuka untuk publik di Arab Saudi. Bertempat di Furusia Marina, Jeddah, pameran bertajuk 'We need to talk' tersebut menampilkan 50 karya 22 seniman Saudi. Salah satu karya yang ditampilkan adalah instalasi berjudul 'Food for Thought'. Karya ini terdiri dari ratusan kaset ceramah agama yang direkam dan didistribusikan pada 80-an ketika Saudi mengalami gelombang ekstremisme religius. Sejak 2008, kelompok 'Edge of Arabia' yang berada di balik pameran tersebut telah menggelar pameran serupa di sejumlah kota dunia, di antaranya London, Dubai, Venice, Istanbul dan Berlin. (Foto: REUTERS/ Susan Baaghil)
[30]  Aktor,  Parto Patrio alias Eddy Soepono nampaknya melejit dan tayangannya mendapatkan rating tinggi. Bermula dari tayang seminggu sekali, lalu meningkat seminggu dua kali, kini program komedi Opera Van Java (OVJ) muncul lima kali dalam sepekan. Itu menandakan acara milik Trans7 tersebut makin digemari pemirsa. Acara yang diadopsi dari beberapa unsur wayang yakni orkesta gamelan (yang diadaptasi keluar filsafatnya), dalang, karakter-karakter punakawan mendominasi meski telah jauh dari filsafat punakawan
[31] Lih Wiyoso YudosaputroHistoriografi seni Indonesia, 2005, Bandung: pen. ITB. Wiyoso (alm), adalah dosen Seni Rupa UPI dan ITB Bandung, pernah menjadi Dekan fak Seni Rupa di IKJ Jakarta.





Artikel ini terdiri dari 3. halaman yaitu: (Klik halaman yang di tuju)






Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar