Selasa, 29 Januari 2013

Seni Modern dan Tradisional di Indonesia: Kontinuitas dan Diskontinuitas dalam Perkembangan Seni

Oleh: Nasbahry Couto

hal 2

d. Diskontinuitas Lembaga Sosial Seni (Kasus Kesenian Istana) 

Dari sudut pandang kelembagaan seni, kita melihat dua pola dalam kesenian di Indonesia (1) seni tradisional (2) seni moderen. Yang dimaksud dengan kesenian tradisonal  menurut Wiyoso Yudosaputro (2005) ada dua bentuk. Pertama yang berasal dari rakyat jelata, dan yang kedua dari keraton. Oleh karena itu, ditinjau dari segi bentuk kelembagaan seni tradisional-moderen  kita dapat melihat dua pola kelembagaan seni, seperti yang digambarkan indrayuda (2013), dikontinuitas itu dapat diperlihatkan pada gambar . 1

Hal ini dijelaskan lebih rinci oleh Indrayuda (2013) sebagai berikut.
Seperti contohnya dalam tradisi keraton Yogyakarta seperti sekarang ini, pelembagaan produksi dan distribusi berbentuk lembaga keabdileman yang disebut kawedanan hageng punakawan Kridhamardawa. Dalam lembaga produsen itu terdiri dari para abdi dalem dengan berbagai macam profesi, dari seniman pencipta, pekerja kreatif, pelaku sampai pada pembantu pelaksana seni. Mereka terhimpun dalam satu wadah yang mempunyai fungsi dan tugasnya sendiri-sendiri untuk mencapai satu tujuan yaitu perintah raja mencipta, memelihara, dan mengembangkan kesenian. Untuk memberikan satu gambaran pentingnya pengelolaan atau kontrol terhadap para abdi dalem seniman itu dibutuhkan manajemen atau kepemimpinan. Sekarang sifat kontrol langsung dari sultan lebih dikuasakan kepada para pemimpin atau pengageng. Mereka itu terdiri dari putra sultan, sehingga melalui cara itu dapat dilihat sifat-sifat patrimonial yang ideologinya tetap kawula-gusti, yakni bangsawan-bangsawan itu sebagai wakil sultan sendiri, yang secara tradisional ada di tingkat tertinggi dalam stratifikasi sosial itu. Dalam kategori sejarah kapitalis dan teknokratis, dengan munculnya patron baru, skemanya menjadi dua jenis arah yang mempunyai sifat hubungan horizontal patron-konsumen.  Seniman mencipta karya seni sebagai karya baru untuk kepentingan konsumen. Arahnya datang secara realis dari si seniman. Namun disisi lain dapat datang dari konsumen sebagai patron baru memesan seni/karya kepada si Seniman. Pada dasarnya seniman baru ini hidup secara bebas dengan patron baru yakni kelas menengah atau pasaran. Sifat-sifat profesionalisme baru berbeda dengan profesionalisme tradisional. Apabila profesionalisme lama (tradisi) bersumber pada patronnya yaitu raja yang bersifat hirarki, profesional baru didukung oleh adanya pasaran seni, yaitu berasal dari dan hidup dalam kelas yang sama dengan patronnya (kelas menengah), sehingga profesionalisme baru menjadi profesionalisme modern yang pada dasarnya mempunyai kebebasan kreatif lebih besar dari profesionalisme.
Gambar 1 Diskontinuitas dalam kelembagaan seni, seni yang tadinya untuk kelembagaan yang berbentuk feodal (di keraton) (pola I), sekarang masuk ke bentuk kelembagaan yang bersifat komersil (pola II), sumber Indrayuda, 2013.

Lisa Clare Mapson (2010), justru melihat institusi atau kelembagaan seni seperti sekolah seni serta institusi seni ikut yang ikut berperan dalam diskontinuitas itu seperti yang dikatakannya.
...Perubahan  ini  berpotensi  mengasingkan  atau  menjauhkan  kesenian  dari kebudayaan aslinya, karena bentuk-bentuk lokal yang berkaitan dengan kisahan dan sejarah  lokal  terancam  hilang.  ‘Ketika  bentuk  ISI  menjadi  dominan,’  Davies menjelaskan  dengan merujuk  kepada  kasus tari Legong, Bali, ‘tariannya  bertahan lebih  sebagai  contoh  museum.’  Apalagi,  baik  di  ISI  maupun  sekolah  umum, kesenian  yang  kaya  unsur-unsur  mistis,  agama  atau  sejarah  dikurangi  menjadi kesenian murni, tanpa ikatan kepada kebudayaan aslinya. Hanya di desa, jauh dari tatapan  wisatawan,  perbedaan  berdasarkan  gaya  lokal  dan  unsur-unsur  spiritual dipertahankan, di mana pertunjukkan ‘mengalir di antara perbatasan tertembus dari alam semesta spiritual dan duniawi, melanggar peraturan nasional.’ Diskontinuitas ini mewakili perubahan yang sedang terjadi dalam kesenian di Indonesia, dipertajam oleh  keberadaan  wisatawan  asing  dan  status  kesenian  Bali  sebagai  daya  tarik wisatawan tersebut.[17]
Mapson, Lisa Clare (2010) juga menjelaskan peran kelembagaan ini, misalnya kasus ‘Pencurian’ Reog Ponorogo, oleh negara Malaysia, untuk kepentingan  pariwisata,  adalah salah satu bentuk diskontinuitas dalam seni dan budaya antar bangsa. Bagi pihak Malaysia diskontinuitas ini mungkin hal penting, sebaliknya bagi Indonesia dianggap merugikan, karena melanggar hak cipta. Contoh lain: Jika tayangan "baronsai" diperagakan di Sinkawang atau Padang, tidak ada protes dari negara Cina, karena dianggap meniru barongsai Cina. Jadi pengertian diskontinuitas dapat diberi makna positif dan makna negatif, tergantung tujuan dan cara melihatnya.


Kontinuitas antara seni Barat (Abstrak) dan seni Timur (kontemplasi) dalam seni lukis, Ahmad Sadali. “Gunungan”, adalah filsafat pewayangan membuat orang merenungkan hakekat, asal dan tujuan hidup, manunggaling kawula Gusti (hubungan gaib antara dirinya dengan Tuhan), kedudukan manusia dalam alam semesta, dan sangkan paraning dumadi (kembali ke asal) yang dilambangkan dengan tancep kayon oleh sang dalang pada akhir pagelaran. Konon kata kayon berasal dari bahasa Arab “khayyu” yang berarti hidup. Kayon atau Gunungan adalah pembuka dan penutup pagelaran wayang kulit.
Kontinuitas Seni Barat di Indonesia

Agus Sachari, (2006), melihat peranan lembaga seni (dalam hal ini pendidikan) dalam menjaga kontinuitas seni, khususnya perkembangan seni dari Barat. Hal ini terlihat dari tulisannya yang bertajuk “Mazhab Bandung, Menggilas sebuah Aliran”, dia berpendapat bahwa mashab Bandung adalah kontinuitas berkesenian dunia (Ero-merika), seperti yang dikatakannya: [18]
Generasi pengembang dalam bidang kesenirupaan sebagai benang merah kesinambungan falsafah kesenirupaan universal diantaranya AD Pirous, Imam Buchori, Yusuf Affendi, Kaboel Suadi, Srihadi Soedarsono, G.Sidharta, Soedjoko, Widagdo, Sanento, Primadi, Rita W, Adjat Sakri, Wiyoso, dan lain-lainnya. Kemudian generasi selanjutnya diikuti oleh Umi Dachlan, Abay Subarna, Sunaryo, Surya Pernawa, Hariadi, Sutanto, dan lain-lainnya, mengalami proses transformasi lanjut adanya kesinambungan budaya dari generasi sebelumnya.


Pengaruh estetik universal yang dipelajari dari pelbagai negara semasa menempuh pendidikan pasca sarjana, baik di negara-negara Eropa maupun Amerika, kemudian dicangkokkan ke dalam pendidikan kesenian profesional. Hal itu disadari sebagai usaha untuk menjadikan senirupa Indonesia menjadi bagian penting perkembangan seni dunia. Namun demikian, warna lokal yang telah menjadi kekayaan bangsa Indonesia selama berabad-abad, tetap menjadi sumber inspirasi yang penting.

Para mahasiswa yang belajar di ITB, secara bertahap mengenal Sejarah Kebudayaan Dunia, Sejarah Senirupa Asia, Senirupa Islam, Teori Senirupa Modern, serta cabang cabang ilmu kesenirupaan, dan pelbagai hal yang sebelumnya diperoleh secara terbatas di dalam negeri. Namun demikian, tidak semua yang diperoleh dari pendidikan lanjut itu diterapkan dalam praktik, melainkan mengalami proses pencangkokkan dan proses “Indonesiasi” yang terus menerus. Kita kemudian bisa mengenal “diri” dimana posisi seniman Indonesia dalam peta kesenian dunia, serta dimana posisi kebudayaan Indonesia di tengah-tengah percaturan Asia.
Kesinambungan dan kontinuitas itu kemudian mengambil bentuk (terjadinya) pluralisme dalam seni. Tetapi hal ini akan menimbulkan pertanyaan, apakah memang ujung dari gaya seni kontemporer selalu berakhir dengan pluralisme ? Seperti yang dikatakannya.
Ketika generasi perintis mulai uzur, Mazhab Bandung pada generasi kritis mengalami proses pemantapan melalui pelbagai terobosan alternatif berekspresi seni kontemporer, diantaranya Gaya ‘Realisme Kritis’, ‘Realisme Kerakyatan’, Sensualitas, Seni Massa, Dekonstruksifis hingga Pop (Vulgaristik), ‘Multi Eklektik’, ‘Green Design’, ‘Posmo’, dan pelbagai gaya yang diadopsi dari kebudayaan dunia kritis menjadi bagian kehidupan berekspresi. Di paruh kedua tahun 90-an, Para pengajar, seniman, para mahasiswa, di lingkungan pendidikan senirupa ITB mengalami kebebasan yang luar biasa dalam menentukan gaya. Mazhab Bandung yang berdomisili di lingkungan kampus ITB mengalami pergeseran ke arah Multi Kultur, Multi Disiplin dan Pluralitas secara radikal. Beberapa seniman dan perupa generasi kebebasan ini, diantaranya Tisna Sanjaya, Setiawan Sabana, Maman Noor, Hendrawan Riyanto, Asmudjo Irianto, dan lain lainnya. Dalam bidang desain sejak akhir tahun 90-an, juga muncul generasi baru yang lebih bebas dari pemikiran aliran Bandung ‘posstrukturalis’, diantaranya Yasraf Amir Piliang, Duddy Wiyancoko, Rizki Zaelani, dan lain-lain.
Sachari (2006) tidak membahas bagaimana  diskontinuitas seni yang terjadi dalam konteks  kelembagaan (mazhab Bandung) ini. Namun secara samar dia menjelaskan adanya diskontinuitas dalam seni  dan peran tokoh (actor/aktor) dalam menjaga diskontinuitas itu sebagai berikut ini.
Sejak But Mukhtar “dipindah” dan menjabat rektor ISI-Jogyakarta, tidak tertutup kemungkinan Mazhab Bandung juga mengalami proses metamorfosa dalam bentuk lain di Yogyakarta, baik dalam bentuk kebijakan (konsorsium seni), atmosfir berkarya dan keterbukaan informasi. Hal itu terbukti dari semakin dinamisnya gaya-gaya seni modern hidup di kota ini, disamping tumbuhnya tradisi akademis yang kuat. (Agus Sachari, 2006) [19]
Peran kelembagaan terhadap Seni dalam Islam

Indonesia sebagai masyarakat penganut agama Islam terbesar di Asia Tenggara tentu saja juga terlibat dengan masalah kontinuitas seni dan budaya yang berorientasi ke Islam. Bagaimanakah Islam dalam kaca mata seni moderen? Bagaimanakah peran lembaga-lembaganya? Menurut hemat penulis, diskontinuitas  dalam seni boleh jadi dapat berasal dari lembaga-lembaga sosial politik dan keagamaan dan aktor-aktor yang ada di dalamnya. Misalnya lembaga-lembaga agama dan dan jaringan kekuasaan diantaranya (sesuai dengan teori Foucault  yang berperan (1) kekuasaan dan yang kedua (2) ilmu pengetahuan (ideologi yang dianutnya).

Menurut Danusiri (2013) dalam Mengkaji Seni dalam Islam  akan selalu terbentur, karena terdapat pro dan kontra di kalangan Islam sendiri (menurut penulis adalah aliran-aliran/mashap dalam kelembagaan Islam sendiri). 

Sebab, sampai sekarang belum ada lembaga Islam apapun juga yang secara formal dan sistematis melakukan kajian seni secara menyeluruh, termasuk perihal  filosofis atau filsafat seni Islam, yang  dapat merumuskan nilai seni menurut pandangan Islam -- yang diakui secara kelembagaan-- antara lain teori (sejarah, struktur, dan klasifikasi -- apakah ada seni Islam ataukah hanya ada seni muslim). Kemudian praktik seni (kajian tentang teknik-teknik perbidang), dan apresiasi (kritik seni yang mengkaji perkembangan seni Islam dalam hubungannya dengan perkembangan masyarakat muslim) yang mengatasnamakan lembaga seni Islam (di Indonesia).  

Umumnya inti pendirian kelompok ini menyatakan bahwa Seni Islam itu tidak ada, dan yang ada adalah orang Islam yang berseniMenurut Danusiri (2013), sebagian umat Islam atau bisa disebut seniman muslim bersemangat menunjukkan berbagai dalil ‘aqliyah’ (rasional) bahwa Alquran sendiri mengandung nilai seni yang amat tinggi dan bahwa musabaqah tilawatil qur’an telah digelar di mana-mana secara demonstratif. 

Demikian juga seni kaligrafi Islam-Arab, maupun naqliyah (teks yang bersumber dari Alquran maupun as-Sunnah; Alfaruqi, 1999: v-vi) menjelaskan tentang keindahan sebagai buah karya seni. Inti pendirian kelompok ini adalah seni merupakan salah satu dari kandungan atau jangkauan Islam. Dalam tulisan Danusiri, dinyatakan bahwa seni Islam itu ada. Namun konflik ide seni di dalam dan antar kelembagaan Islam ini tidak dapat terhindarkan, disebut oleh Danusiri sebagai berikut.[20]
... Muhammadiyah sebagai gerakan sosial keagamaan yang memiliki misi: (1) Menegakkan keyakinan tauhid yang murni; (2) Menyebarluaskan ajaran Islam yang bersumber kepada Alquran dan as-Sunnah’ dan (3) Mewujudkan amal Islami dalam kehidupan pribadi keluarga, dan masyarakat (Sukaca, 2008 : 4), menghindarkan penyakit TBC+S [tahayyul, bid’ah, khurafat, dan syirik) menimbulkan efek pemiskinan kebudayaan, termasuk di dalamnya seni sehingga secara luas Muhammadiyah kurang diminati oleh masyarakat awam luas. Muhammadiyah akan mendapat respon di kalangan masyarakat luas jika mampu mencipta karya seni apa saja, khususnya seni musik yang merakyat, namun tidak bertentangan dengan syariat.


Kawan-kawan di NU mampu berbuat itu. Mereka sangat adabtatif, mampu menggunakan instrumen yang mestinya bukan alirannya, namun diaransemen demikian apik. Instrumennya campursari tetapi gubahan iramanya padang pasir. Instrumen karawitan dikolaborasi dengan samrah atau sebaliknya dapat  mencipta karya seni yang dapat dinikmati orang awam. Hanya saja karena saking luwesnya, aspek akidah kurang menjadi pertimbangan penting sehingga sebuah karya seni sering dikritik oleh mereka yang berasal dari Muhammadiyah sebagai sesuatu yang berbau syirik.
Namun lembaga di bawah Naungan NU melihat dengan cara lain sebagai berikut ini.[21]
Pengasuh Pondok Pesantren Salafiyah Syafi’iyah. Asembagus, Situbondo,  KHR. Ahmad Azaim Ibrahimy ternyata mempuyai pandangan  yang “netral” tentang seni. Menurutnya, seni musik bisa dimanfaatkan untuk sarana dakwah. Dakwah bisa dilakukan lewat mana saja asalkan tidak bertentangan dengan syariat Islam. “Karena bahasa Islam itu universal, sehingga bisa disampaikan lewat bahasa seni juga” tukasnya saat mengunjungi Studio Musik Purwacaraka di Kaliwates belum lama ini.[22]
Kandungan  Ideologi Seni Islam: Imitasi  Realitas Seni dalam Islam, Tashwir (Gambaran), Shuwar (Gambar)
Sebenarnya penganut agama Islam telah menyadari keindahan itu ada di alam, seperti keindahan yang ada pada bunga, daun-daunan, pemandangan alam, kecantikan manusia dan sebagainya. Mereka menyadari bahwa keindahan itu adalah ciptaan Tuhan. Namun dalam menggambarkan kembali keindahan alam itu menjadi masalah karena terdapatnya  “keyakinan” adanya larangan, terutama  dalam hadits-hadits  Agama Islam. Pandangan ini disebut dengan "iconoclastik", sebagai lawan dari "iconografik" (ide imitasi yang terdapat pada Yunani Klassik, Kristen, Hindu dan sebagainya). Secara umum diketahui bahwa Islam melarang  pembuatan patung-patung maupun lukisan manusia karena alasan penyembahan berhala (paganisme). Dalam masyarakat  Islam banyak dijumpai larangan itu secara langsung maupun tidak langsung, bahwa “peniruan bentuk alam atau ikon” itu di haramkan.

Lavoix pada tahun 1859, adalah orang pertama yang menjelaskan bahwa Al Qur’an sendiri sebenarnya tidak mengatur hal-hal yang berhubungan dengan penggambaran atau seni lukis [23]. Dalam Sunnah Rasul memang ada beberapa hadits yang isinya menentang pembuatan gambar atau lukisan makluk hidup. Hadits-hadits tersebut dan penafsirannya tidak akan dikemukakan dalam tulisan ini, dan perlu dilihat realitas penafsiran larangan ini dalam sejarah seni Islam -- bahwa di awal-awal kebudayaan Islam  ternyata seni lukis itu tidaklah dilarang. 

Seni lukis tetap tumbuh dalam peradaban Islam meskipun mendapat tantangan oleh masyarakat Islam sendiri yang menumbuhkan seni lukis ini. Terutama kalangan atas dan golongan kaum berada. [24]) Dan kita menemukan bahwa hanya  sedikit hadits yang dipergunakan oleh para ahli hukum sebagai penjelasan atau penafsiran tentang larangan itu, tidak membolehkan atau tidak mengizinkan melihat, memiliki dan pembuatan citra makhluk hidup. Sedangkan dalam Al-Qur’an sendiri tidak ada larangan itu (lihat pula tulisan  Abdul Hadi W. M.(2011) dalam situs 



Artikel ini terdiri dari 3. halaman yaitu: (Klik halaman yang di tuju)




Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar