Minggu, 20 Januari 2013

Naluri/Instinct dalam Seni: Teori dan Terapannya

艺术的本能/本能理论及其应用
Инстинкт / Instinct в искусстве: теория и ее приложения
वृत्ति / कला में इंस्टिंक्ट: सिद्धांत और उसके आवेदन
  Nasbahry Couto

Tulisan ini terpancing dari gagasan pameran mahasiswa Seni Rupa, Universitas Negeri Jakarta (UNJ)  yang dulunya disebut Institut Keguruan dan Ilmu Pendidikan Jakarta. Memang sudah menjadi tradisi entah karena sebab tugas akhir mahasiswa, entah ulang tahun jurusan seni rupa, selalu digembar-gembor dengan pameran lukisan. 

Menurut situs “koran Jakarta”[1], dengan semangat progresif mereka (mahasiswa tahun akhir UNJ) melakukan kegiatan yang mengasah dan mengembangkan rasa artistik dan aestetik mereka dengan menyelenggarakan pameran bertajuk "Animal Instinct" di Galeri Cipta III, Taman Izmail Marzuki, Jakarta Pusat.

Pameran itu sendiri berlangsung dari 4 hingga 13 Januari 2013,  menampilkan karya dalam bentuk lukisan, video art, performance art, instalasi, dan seni grafis. Dengan 10 pameris yang masing-masing dua karya. Menurut mereka terlepas dari institusi, tanpa minta izin institusi, sebab merasa ada di dunia seni rupa, dan berusaha untuk membuka pintu seni rupa yang begitu luas ke pasar. 

Ada beberapa hal yang menarik dari pameran ini, pertama gagasan (art instink)nya dan yang kedua (yang jarang jika ada pameran bersama di Padang), yaitu sengaja mengambil satu tema yang berakar dari tradisi ilmiah (teori) baru, apakah pameran hanya sekedar memajang karya, menggunting pita, tanpa kurator, tanpa diskusi, dan tanpa mass media?. 

Pameran mahasiswa UNJ ini tampaknya memiliki konsep yang berakar dari tradisi ilmiah (teori) maka tidak sulit untuk mengapresiasinya. [2]

Menurut situs “koran Jakarta, ada sekitar 20 karya bisa disaksikan dalam pameran ini, sebut saja karya Adi Setiawan berjudul "Hujan di Kampung Semut". Adi merefleksikan nilai perilaku semut yang bekerjasama dalam koloninya. Kesibukan manusia akan kegiatan mencari uang dan menghabiskannya membuat manusia lupa akan lingkungan di sekitar. Gotong royong dianggap sudah langka untuk ditemukan pada kehidupan bermasyarakat saat ini. Begitu juga dengan instalasi yang disuguhkan Muchlis Fahri lewat karyanya. Dengan karakter visual babi menceritakan sebuah kisah tentang lelaki dengan binatang babi sebagai peliharaannya.
 

Narasi yang disampaikan tersebut menjadi sebuah makna yang berarti sikap manusia tidak pandang bulu untuk melestarikan sinkronisasi kehidupan antara hewan dan manusia. "Kalau kita mau memelihara sesuatu tidak pandang bulu, mau haram kek mau enggak, itu tergantung individu masing- masing," ungkap Angga (kurator). Pelaku kreatif begitu penting dan mulianya, karena dengan terselenggaranya pameran tersebut berlangsung proses pembelajaran dan pembentukan individu-individu yang berkarakter. 


Riezky Ponga misalnya, berekspresi lewat performace art  judul 'Interaksi' dengan mendisplay parutan es sebagai pusat perhatian dan mangkuk yang mengelilinginya disertai tali yang menghubungkan setiap mangkuk dengan parutan es tersebut. Dia memarut es yang akan dituangkan pada mangkuk disertai sirup diatasnya dan pengunjung pun dapat mencicipi es hasil dari performance art tersebut sebagai bentuk interaksi yang dapat dirasakan. Seperti yang tertuang dalam pengantar kuratorialnya, Seperti yang tertuang dalam pengantar kuratorialnya

Namun penulis tidak setuju dengan pernyataan Angga Wijaya (kurator) menyebutkan kecenderungan tema yang digali adalah dari insting hewan, yang menurut Angga ini yang dijadikan cerminan pada nilai nilai keberlangsungan hidup manusia, dalam posisi personal ataupun berdampingan antara hewan dan manusia, yang kemudian  dijadikan konsep pameran atau seni.[3] Konsep pameran ini boleh-boleh saja (tidak ada yang larang) namun ada perbedaan antara yang dimaksud konsep pameran ini dengan teori tentang naluri manusia dalam seni yang sebenarnya hasil evolusi.


Bukan dengan maksud menggurui atau bahkan mengajari, penulis kemudian tertarik untuk menulis tentang instink seni ini dalam tulisan ini, apa sebenarnya naluri yang dimaksud

Dengan alasan di atas maka tulisan ini diturunkan. Salah satu tokoh yang populer membahas instink ini adalah Dutton.

Instink atau Naluri Manusia terhadap Seni

1. Pendahuluan
Seperti kita ketahui, instink atau naluri sebenarnya dimiliki oleh setiap bentuk kehidupan, baik oleh manusia, binatang, maupun tumbuhan. Kadar dan kapasitas naluri yang dimiliki mempunyai kekhasan juga keistimewaan yang berbeda-beda. Hal ini sejalan dengan pengertian naluri dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) disebutkan bahwa, 
  1. Naluri adalah dorongan hati atau nafsu yg dibawa sejak lahir; pembawaan alami yang tidak disadari mendorong untuk berbuat sesuatu; insting; 
  2. Dalam psikologi adalah perbuatan atau reaksi yang sangat majemuk dan tidak dipelajari yang dipakai untuk mempertahankan hidup, terdapat pada semua jenis makhluk hidup; 
  3. Dalam pengertian biologis, naluri adalah serangkaian kegiatan refleks terkoordinasi, masing-masing terjadi apabila yg sebelumnya telah diselesaikan; reaksi yg tidak bergantung pada pengalaman. Jadi ada tiga pengertian naluri (dalam konteks pembawaan, psikologi dan biologi)
Dari sudut pandang ini kemudian Dutton mempertanyakan, (1) kaitan seni dengan naluri, (2) seberapa jauh sejarah seni berdasarkan naluri dapat dapat ditelusuri ke masa lalu, dan (3) benarkah yang mendasarinya seni itu naluri ?


Dari pertanyaan-pertanyaan itu, Dutton kemudian membandingkan dan melihat kembali lukisan-lukisan gua Lascaux di barat daya Prancis yang dianggap telah berusia 16.000 tahun. Misalnya Venus dari Willendorf, patung montok dan torso dari Austria yang kecil itu, mungkin usianya telah 9.000 tahun dari sekarang. Patung kasar yang ditemukan di Maroko, Dataran Tinggi Golan dan tempat-tempat lain - mungkin beberapa abad lebih kuno. Menilik hal ini, dan juga temuan beberapa psikolog, mereka berpendapat bahwa asal-usul seni jaman lampau sebenarnya dapat diungkapkan kembali, terutama untuk melihat apa yang mendasarinya. Misalnya di jaman Pleistosen, sekitar 1,6 juta tahun yang lalu, atau ketika – masa generasi 80.000 tahun lalu yang hidup dan beranak-pinak - menurut Dutton nenek moyang kita mungkin telah memiliki naluri seni seperti naluri kita yang terhadap karya-karya Bach, Rembrandt dan Proust. Seperti yang pernah disebut oleh bapak teori evolusi Darwin sebagai "Estetika Darwin". Denis Dutton yang penulis dan penganjur tentang "The Art Instinct," berpendapat bahwa hasrat estetik ini mungkin sudah ada ini pada nenek moyang kita di masa lampau.4)



Menurut Dutton, masa lampau memang penuh teka-teki, dahulu mungkin bapak teori evolusi (Darwin) bersikap skeptis terhadap masalah ini. Kita hanya tahu begitu sedikit tentang lingkungan nenek moyang di jaman Pleistosen[1], yaitu di jaman awal munculnya homosapiens. Seperti apa mereka hidup, bagaimana mereka hidup,  dan hampir semua hipotesis dan setiap strategi yang mungkin, dapat  membantu mereka untuk berkembang. Selain itu, kisah evolusi psikologi atau seni berdasarkan naluri, mungkin terlalu dini untuk dibicarakan di jaman Darwin. Kecuali jika Darwin sendiri berkelana ke bidang psikologi dan belajar tentang  ekspresi emosi spesies atau leluhur manusia. Jika premis evolusi ini benar, maka asal-usul  psikologi manusia mungkin lebih tua dari  jaman  Batu. Dan evolusi itu diperhitungkan dapat bekerja lebih cepat dari pernyataannya tentang ini di tahun  1990-an.

Dutton telah menghabiskan banyak waktu bergulat dengan teori-teori yang dikemukakan oleh para pemikir seni sejak jaman Aristoteles dan Kant sampai ke pemikiran Clive Bell dan Michel Foucault. Dia menyentuh  semua isu-isu utama tentang estetik dengan cukup singkat dan  jelas.  Dari uraian  Dutton  tentang naluri seni manusia, ada hal yang menggelitik  muncul  dari teka-teki  jaman  lampau itu,  misalnya mengapa kita memiliki seni suara dan warna,  bukan seni bau atau lainnya.
Apa yang dipikirkan  Dutton, memiliki nilai khusus, terutama pembahasan  tiga perdebatan  antara lain: (1) peran maksud/tujuan seniman berkarya, (2) dampak dari sifat seni yang palsu dan (3) penjiplakan. Sebagai contoh misalnya karya provokatif aliran  Dadais, seperti karya seniman Marcel Duchamp yang berjudul "Fountain" itu, yaitu sebuah urinoir  yang ditampilkan dalam pameran pada tahun 1917.  Dutton  kemudian menguji kasus ini terhadap sekelompok  sifat karya yang menurutnya secara kolektif adalah karya seni --tapi dia menemukan kesulitan-- yang berakar dari konflik atau ketegangan di antara karakter-karakter karya itu.[2]




[1]    Pleistosen adalah suatu kala dalam skala waktu geologi yang berlangsung antara 1.808.000 hingga 11.500 tahun yang lalu. Namanya berasal dari bahasa Yunani πλεῖστος (pleistos, "paling") dan καινός (kainos, "baru"). Pleistosen mengikuti Pliosen dan diikuti oleh Holosen dan merupakan kala ketiga pada periode Neogen. Akhir Pleistosen berhubungan dengan akhir Zaman Paleolitikum yang dikenal dalam arkeologi. Pleistosen dibagi menjadi Pleistosen Awal, Pleistosen Tengah, dan Pleistosen Akhir, dan beberapa tahap fauna. Plestosen awalnya dikenal dengan diluvium, yakni formasi sekarang (holosen atau aluvium); bermula dari 1.750.000 tahun lalu dan berakhir sampai 10000 tahun lalu. kala pertama dalam zaman kuarter,  di bawah  satuan waktu geologi ini terdapat kala pliosen, dan  di atas nya kala holosen. Pada kala plestosen bumi mengalami beberapa zaman es. Kala ini menyaksikan kelahiran homo sapiens yang pertama dan kepunahan berbagai jenis yang mendahuluinya, seperti pithecanthropus erectus. Di pulau Jawa, Sumatra, Nusa Tenggara, dan Sulawesi, kala ini dicirikan dengan kegiatan gunung berapi yang berlangsung hingga sekarang. Dari masa ini juga dikenal sebagai megaloceros (rusa besar), coelodonta antiquitatis (badak berbulu wol), mammuthus primigenius (mamut), ursus spelaeus (beruang yang hidup dalam gua), smilodon (semacam kucing besar), rusa kutub, bison, dll.
[2]  Lihat blog:  http://www.aldaily.com/ dan juga tentang Marchel Duchamp di http://www.thesmartset.com/article/article12041201.aspx


Artikel ini terdiri dari 4 halaman