Rabu, 07 September 2011

Industri Kreatif

Nasbahry Couto

Pengertian Industri Kreatif



Blog ini sudah membahas industri kreatif sejak tahun 2008, dengan tajuk Era Revolusi Digital dalam Desain Grafis: dalam rangka mendukung Industri Kreatif. Dalam artikel itu sudah dibahas pentingnya peran intelektualitas dalam industri masa depan, khususnya dalam bidang seni dan desain. Empat tahun kemudian, (2011) baru para pemimpin negara ini bicara agak keras. Seperti perlunya dukungan Bank untuk para seniman, animator, desainer, dan kreator umumnya. Tetapi, hal ini mungkin hanya sekedar anjuran (wacana) saja. Sebab dalam kenyataannya yang mendapat dukungan bank baru hanya para pengusaha yang mapan. Bagaimana orang-orang kreatif (yang asalnya individual) dapat menjadi pengusaha dan membuat perusahaan seperti Bill Gates pendiri Microsoft, atau Mark Elliot Zuckerberg pendiri Facebook, atau di jaman dulu di Amerika membuat perusahaan Telegraf atau Telpon ? Bagaimana pelaksanaannya di lapangan akan sama-sama di lihat. Dalam kenyataannya, banyak tenaga-tenaga handal Indonesia dalam bidang industri kreatif yang lari ke luar negeri. Sebab di sana bantuan untuk para intelektual di bidang seni dan desain sudah lama berlangsung. Di negara maju, industri kreatif tentu saja mendapat perhatian utama. Bukan itu saja, bidang-bidang lain seperti olah raga yang dapat memasukkan devisa juga mendapat perhatian serius. Negara Korea Selatan misalnya, industri kreatifnya sudah sangat maju, dan jangan heran jika sekarang anak-anak muda Indonesia keranjingan musik dan filem Korea.



Para pemimpin negara ini tentu ingin seperti negara-negara yang sudah maju industri kreatifnya. Seperti anjuran untuk menggandeng para pelaku usaha dan kalangan akademisi untuk secara sistematis membangun jaringan industri pendukung yang dibutuhkan (lih. Tulisan A. Dadan Muhanda, 6-7-211, Bisnis.com)

Tentang pentingnya industri kreatif dapat kita ikuti dari berita-berita yang ada di media massa. Nilai ekonomi industri kreatif mengalami kenaikan tiga kali lipat selama tahun 2006 hingga 2010”. " Nilai tambah atau nilai ekonomi (industri kreatif) Rp 157 triliun pada tahun 2006 menjadi Rp 468 triliun pada 2010," ujar Menteri Perdagangan Mari Elka Pangestu pada pembukaan Konvensi Pekan Produk Kreatif Indonesia (PPKI) 2011 hari Rabu (6/7/2011) di Jakarta Convention Center, Jakarta.

Misalnya sektor yang mengalami pertumbuhan ekspor yang tinggi adalah industri film, video, dan fotografi yang mencapai 104 persen. Penerbitan dan percetakan mengalami pertumbuhan nilai tambah yang paling tinggi dengan 17,5 persen. Sedangkan Fashion untuk penyerapan tenaga kerja pertumbuhannya paling tinggi (sebesar) 52 persen," sebutnya. Adapun sumbangan fashion terhadap ekspor sebesar 55 persen. Sementara itu, tingkat partisipasi tenaga kerja di sektor periklanan dan arsitektur sebesar 17 persen, (lih. Kompas.com, 6-7-211).

Walaupun pemerintah menyadari pentingnya seni dan desain untuk industri kreatif, namun penulis masih pesimis, sebab pendidikan seni dan desain adalah anak tiri dalam dunia pendidikan di Indonesia, dibandingkan dengan pendidikan untuk bidang matematik, bahasa dan lainnya. Jangan ditanya nasib seniman atau desainer di negeri ini karena karyanya belum dihargai apalagi untuk dilindungi oleh undang-undang. Sebetulnya salah juga jika kita berpikir bahwa yang keliru hanya sistem pendidikan di Indonesia, sebagai penyokong majunya industri kreatif. Banyak tulisan yang dapat menjelaskan hubungan antara industri kreatif dengan budaya. Budaya kita samasekali tidak menghargai individu, budaya kita hanya menghargai karya kelompok. Sehingga, ada yang mempertanyakan bagaimana sistemnya sehingga industri kreatif yang munculnya dari individual itu bisa di dukung dan di pacu? Sebagai contoh, coba lihat museum kita, isinya tidak ada atau boleh dikata bukan untuk menonjolkan kreativitas individu, yang ada hanya artifak arkeologis atau sejarah yang sifatnya anonim. Kreatifitas individu atau kelompok belum didukung oleh bank. Yang bisa meminjam uang hanya para pengusaha yang mapan yang punya link ke Bank. Setiap daerah (baca negara bagian) di negara maju berlomba untuk menonjolkan produk kreatif yang berasal dari individu di daerahnya. Apa yang terjadi di Indonesia sebagai negara kesatuan ? Semua seniman atau desainer yang ingin maju, pergi ke Jakarta, Bandung, Yogya atau Bali. Hanya dari sana para kreator eksis untuk produk kreatif Indonesia. Kalau tidak, ya tentu lari ke mancanegara. Jadi jangan heran, jika Indonesia tidak mampu membuat animasi sepopuler “Upin dan Ipin” dari Malaysia, yang tenaga kreatornya diduga ada yang berasal dari Indonesia. Sebenarnya bakat-bakat terpendam dalam industri kreatif itu cukup banyak, tetapi tidak tersalur sebagaimana mestinya. Misalnya, karena bakatnya tidak tersalur, para kreator di bidang TI yang kecewa, banyak menjadi hacker (peretas) dan maling pembelian barang dengan kartu kredit orang kaya. Atau menjadi maling duit Bank. Indonesia itu, kaya. Termasuk banyak manusia-manusia pintarnya. Tetapi karena sistem dan infrastrukturnya masih keliru, dia belum bisa memanfaatkan yang ada secara maksimum untuk kesejahteraaannya. Kita memang banyak ketinggalan, tapi tahukah anda apa sebabnya Indonesia tidak pernah bisa maju menurut versi Flook, klik bagian ini.

Contoh Industri kreatif: Mark Elliot Zuckerberg, pendiri facebook
Mark Elliot Zuckerberg (lahir di White Plains, New York, 14 Mei 1984; umur 25 tahun). Dia adalah putra Edward dan Karen Zuckerberg, yang berbakat sebagai programer komputer dan pengusaha asal Amerika Serikat. Menjadi kaya di umurnya yang relatif muda karena berhasil mendirikan dan mengembangkan situs jaringan sosial Facebook di saat masih kuliah dengan bantuan teman Harvardnya Andrew McCollum dan teman sekamarnya Dustin Moskovitz dan Crish Hughes. Saat ini ia menjabat sebagai CEO Facebook. Zuckerberg terlahir sebagai Yahudi, namun ia memproklamirkan dirinya sebagai seorang Atheis. Dia adalah milyarder termuda yang tercatat dalam sejarah, atas usaha sendiri dan bukan karena warisan. Kekayaannya ditaksir sekitar satu setengah miliar dolar Amerika.