(tulisan ini telah direvisi)
Pendahuluan
Tulisan ini terdiri atas tiga fokus pembicaraan, pertama mengkaji teori resepsi dalam teks (pemahaman), yang kedua dalam konteks sosiologi (resepsi dilihat dalam konteks sosialisasi seni), kemudian diakhiri teori resepsi khusus di bidang penerimaan dengan konteks penilaian seni
Teori estetik resepsi dikembangkan sejak tahun 1960-an, terutama dalam kaitannya dengan literatur, saat itu kelompok teoretis tertarik untuk membicarakan respons subjektif pembaca, keragaman produk teks bacaan dan sebagai bagian sebuah interpretasi pengalaman seni kontemporer. Sebagian besar sarjana Jerman telah terlibat dengan kajian ini di antaranya : H.R.Jauss, B.Zimmermann, H.Link, G.Grimm, W. Faulttich dan W.Iser. Bukan berarti bahwa pendekatan ini tidak dikenal dalam bidang seni rupa. Bagaimanapun, perbedaan antara kritik seni rupa dan sastra adalah masalah teori, metodologi, resepsi dan studi pengaruhnya: resepsi dijelaskan sebagai tahap awal asimilasi (assimilation), sedangkan dampak (impact) adalah akibat pengaruh yang mengikutinya. 1)
Teori Resepsi menantang otonomi teks dan
implikasi rancangan yang baik sebuah teks, dengan argumen bahwa interpretasi
dan evaluasi tidak ditentukan oleh sifat alami teks dan kebaikannya oleh
pengarang, tetapi juga oleh karakter si penerima atau konsumen. Misalnya,
pembaca aliran Marx akan mengingat, bahwa
mengamati kebaikan yang diperoleh adalah setelah selesai “mengkonsumsinya”
(bukan sebelumnya) Studi empiris tentang respon psikologis dari karya seni dan
studi sosial (audience) seni, tentu saja, telah dikerjakan selama
bertahun-tahun. Tetapi teori resepsi adalah suatu studi dengan pendekatan
yang berbeda.
Ahli teori Resepsi akan menggunakan penemuan-penemuan riset empiris. Tetapi mereka juga menyadari keluasan dari: proses, institusi, konteks dan struktur kondisi dan batas-batas respon pengamat. 2)
Satu kesalahan teori resepsi berasal dari “kekeliruan afeksi” yang diidentifikasi oleh kritikus sastera W.K.Wimsatt dan M.C.Beardsley tahun 1940-an. Dia menyatakan bahwa perilaku proses psikologis pengamat hanya di bawah dampak karya seni itu sendiri. Jika ini memang terjadi, maka sejarah seni jadinya hanyalah sebuah sejarah apresiasi.
Wimsatt dan Beardsley memposisikan bahwa sebuah karya memiliki eksistensi material-eksternal kepada pengamat, melalui struktur material itu pengamat merespon. Selanjutnya, sebuah karya tidak sebanding dengan respon seorang, karena diartikan dan memaknakan objektif fenomena sensasi manusia yang intersubjektif. Tantangan teori itu adalah untuk memahami interaksi antara karya dan pengamat, dialektika antara objek dan subjek, tanpa melihat polaritas lainnya.
Teori Empati
Konsep awal yang terkait dengan respon
pengamat adalah teori empati (Einfuhlung). Masalah ini telah
dikembangkan oleh Robert Vischer 3) dan Theodor Lipps 4) pada
abad kesembilanbelas dan awal abad keduapuluh. Empati adalah
suatu yang konsep psikologis yang menjelaskan perihal pengamat dalam
mengidentifikasi karya seni, yaitu dengan pemproyeksian emosi dan
sensasi-ototnya ke pada karya seni. Kenikmatan estetik justru menjadi
penikmatan diri sendiri yang objektif. Peleburan subjek dan objek
dipostulatkan.
Isu penikmatan sesudah Teori Resepsi,
mengasumsikan bahwa pembacaan atau ‘decoding’ adalah
dalam rangka mengasimilasi suatu karya seni, di mana subjek mengambil
bagian secara aktif bukan pasif. Tetapi dalam
suatu tingkat di mana pembaca melengkapi teks atau berpartisipasi untuk
mengkonstruk maksud atau arti teks.
Teori Resepsi atau estetik, cenderung
untuk memerhatikan pembaca yang ideal yang membaca apa yang tersirat di tiap
karya, sedangkan sejarah resepsi cenderung untuk memusatkan perhatian
pada pembacaan yang aktual. Bisa saja dalam pembacaan itu, di
mana mereka yang membaca suatu teks yang ada bukan pembaca yang
ideal, atau bebas memilih area makna yang dimaksudkan
Sebagai suatu kemampuan ilmu linguistik
individual, seseorang dapat bervariasi kompetensinya dan penampilannya.
Masing-masing pembaca atau perespon sebuah teks dianggap mengalami ‘actualisasi’ atau
‘concretetisasi’. Beberapa kritikus yang mempedulikan ‘concretisasi’ dan
meletakkan orang sebagai bagian dari realitas sebuah teks, saat menimbang dan
melengkapi pemahamannya, atau saat membandingkan dengan konsesus yang diperoleh
dari sekolah/pendidikan sekian tahun yang tersangkut dengan makna teks.
Pusat permasalahan teori resepsi adalah
bagaimana keputusan dari berbagai pembaca dan varian pembacaan serta penafsiran
yang dihasilkan oleh kelompok dan individu berbeda dapat memecahkan masalah
atau dapat dianggap sebagai ‘benar’ dan ‘objektif’ atas makna yang
dibacanya, atau apakah seseorang harus menerima keserbaragaman penafsiran
dan berkompetisi ? Pandangan dan pertanyaan yang tumbuh kemudian adalah apakah
ada cara untuk menilai adanya discrepansi (perbedaan
arti) oleh pembaca teks ?
Atau adakah mereka sama benar dan sah?
Jika demikian, orang bisa menyimpulkan teks itu tidak berarti, sebab dapat
tidak berarti apa-apa. Kebanyakan teori ingin menahan gagasan bahwa suatu
teks adalah suatu struktur yang terkondisi dan terkontrol direspon oleh
pembaca. Pembacaan varian dapat diterangkan secara rasional, oleh suatu
faktor acuan, seperti faktor bahasa yang rancu, perbedaan konteks
dan perbedaan antara pembaca. Suatu teks mungkin punya maksud banyak makna,
tetapi bukan tanpa batas.
Selanjutnya, objektifitas sebuah
teks pada beberapa pembacaan dapat didemonstrasikan sebagai sesuatu yang
keliru, kita memiliki semua kesalahan kata dan kemudian, pada akhirnya, kita
juga menemukan kesalahan sendiri. Teori komunikasi massa, sudah menyatakan
bahwa pesan/message adalah encode/penyandi (to
convert a message from plain text into code) dengan sebuah makna dalam
pikirannya (kita) sendiri.
Pesan ini mereka sebut sebagai makna yang
dominan di samping ada yang salah baca secara langsung, dua jenis
pembacaan dianggap sebagai negoisasi bahwa, pembaca menyerap makna yang
dominan.
Tetapi mereka memodifikasi atau membengkokkannya,
menurut situasi atau pengalaman pribadi mereka; dan yang sifatnya oposisi
(menentang): bahwa, pembaca memahami makna yang dominan tetapi mereka
menolaknya atau menginterpretasikannya dalam cara yang sangat kritis (respon
jenis ini disebut dengan ‘penyimpangan ‘dekoding’/pembacaan). (Decoding
= to find the direct meaning of cryptic or indirect language)
Salah satu kunci postulat teori resepsi
adalah, bahwa semua pembaca mendekati teks dengan suatu referensi
ideologis atau pandangan ekspektasi yang siap ditempatnya; sebagai contoh,
mereka telah terbiasa dengan konvensi dari sebuah gaya/genre
seni. Seniman kadangkala memiliki sebuah ketetapan atau menyangkal harapan
pembaca. Seperti yang dijelaskan Hans Jauss, seniman kadang-kadang menidurkan
pembaca dengan menetapkan harapan pada tahap awal dan memberi kejutan
pada langkah kemudian.
Mayoritas teks dihasilkan semata untuk
pembaca dengan pikiran tertentu tetapi, ketika Jauss menunjuk, ada beberapa
karya radikal ‘yang mana justru dipublikasikan bukan pada audiens spesifik’.
Tetapi hanya pada “pembaca yang masa depan”, sebagai audience yang
potensial (dimana sipengarang meramalkan sebuah corak audience untuk masa
depan, bukan pembaca kini).
Karya seperti itu ‘justru menghilangkan
pandangan yang familiar yang terkait dengan sastra dan sepenuhnya menyerahkan
kepada perkembangan audien. Jauss berargumen bahwa karya yang unik itu
dapat menghasilkan suatu aturan rasa yang baru yang memberi efek bahwa,
sebuah karya yang lama terlihat ketinggalan zaman. Beberapa corak
eksperimen oleh desainer, mirip dengan uraian ini.
Suatu perbedaan besar antara studi respons
empiris dan sejarah resepsi yang terakhir tertarik kepada respon generasi
sebelumnya. Bagaimanapun, sejarah resepsi selalu mencoba memandang sejarah
tulisan dan tahapannya dengan sejumlah pemberian nilai seperti halnya dimasa
lalu. Sebagai contoh, teori modern mencoba menilai sebuah lukisan karya
Leonardo, ternyata karya itu memberikan manfaat bukan hanya dari concretisasi mereka,
tetapi hanya bagi orang-orang yang lebih awal (audiens lama
sewaktu karya itu diciptakan); dengan begitu pemahaman terhadap karya itu
telah ditingkatkan. Seperti penjelasan Jauss: “Posisi karya masa lampau
bersamaan dengan penyelesaian masalah masa lampau dan seni kini dari penilaian
tradisional dan percobaan terhadap sastra masa kini.”5)
Dalam pandangan beberapa sarjana, Teori
dan Sejarah Resepsi hendaknya dilihat sebagai hal yang populer sebagaimana
melihat karya seni populer. Theodor Adorno, dalam ‘Theses on the Sociology
of art; menyerang kekasaran studi resepsi, semua gagal untuk
menimbang fakta bahwa ada beberapa pekerjaan yang memiliki mutu yang tinggi,
berkualitas dan memiliki dampak sosial.6)
Oleh Adorno, ini adalah fakta sosial yang
mana banyak membutuhkan penjelasan, untuk sampai pada keputusan bahwa sebuah
karya harus disenangi massa. Adorno (1989) juga memikirkan tentang karya avant
garde (kaum pelopor seni), garda depan yaitu karya yang sukar
yang belum bermakna sosial atau belum tersosialisasi sepenuhnya pada saat
kemunculannya yang mana kadang-kadang merupakan protes terhadap resepsi sosial,
terutama sekali dalam hubungan dengan konvensi dan kekerasan dari sebuah
kesadaran (consciousness).
Teori Resepsi Seni Rupa
Perbedaan sastra dengan seni rupa terutama
karena seni rupa itu berbentuk artefak (fisik) sedangkan sastra berbentuk teks.
Jika sastra membutuhkan kemampuan seseorang dalam membaca teks (termasuk jenis
bahasanya), pada seni rupa dibutuhkan kemampuan untuk memahami apa yang
dilihatnya. Oleh karena itu, dalam teori-teori seni rupa selalu dilandasi oleh
teori persepsi dan teori psikologi dan latar budaya. Misalnya, sejauhmana tanggapan
orang untuk memahami dan menilai karya seni rupa, reaksi-reaksi subjektif yang
timbul, maupun secara sosial budaya.
Resepsi Seni Menurut Pandangan Sosiologi
Resepsi seni umumnya dapat dilihat dalam
konteks ilmu sosiologi seni. Di bawah ini dijelaskan tentang pandangan Hauser
dalam bukunya (Hauser, Arnold, 1979, 1982. The Sociology of Art, The
Chicago Press., Ltd.,London). Dapat disadari bahwa memang pada saat
Hauser menulis, sekitar tahun 70-an adalah saat mulai munculnya
gerakan posmo (baca: post-modernism) yang menghilangkan nilai-nilai
universal seni. Setelah masa ini -- dalam kenyataannya, seni dalam
pengertian yang lebih luas -- justru lebih berkembang baik di Eropah
maupun di Amerika, dan mendapat landasan baru ide seni baru secara
akademik yang diaplikasikan untuk kepentingan lain lagi misalnya untuk
menunjang era pasca industri.
Walaupun pandangan terakhir Hauser ini
sudah tidak relevan karena kajiannya hanya sampai kepada keadaan sosial tahun
70-80-an, landasan teoritiknya masih dapat dipakai untuk membahas sosiologi
seni. Menurut Hauser (1982: 3-17) ada empat unsur, yang dapat di ungkapkan
dalam empat pertanyaan untuk mengemukakan konsep/teori sosiologi seni
seperti yang digambarkan pada gambar berikut.
Pertanyaan pertama, apakah seni itu berfungsi sebagai "whole" (totalitas
keseluruhan) ataukah sebagai "parts' dari kehidupan? Yaitu
pertanyaan “pandangan manusia terhadap dunia”. Pertanyaan yang pertama ini
dijawab oleh Hauser, bahwa sepanjang sejarah memperlihatkan bahwa seni itu
bersendikan kepada "realitas" (kenyataan), berarti bahwa seni itu
dibangun oleh manusia atas dasar persepsi (pengamatan manusia), dimana unsur
fisik dari objek seni itu lebih penting dari pada yang. lainnya. Objek
seni adalah sesuatu yang mengandung nilai (pandangan) tertentu dalam kehidupan
manusia. Manusia membangunnya atas dasar kesadaran pengamatannya sesuai dengan
nilai-nilai lingkungan sosial budayanya.
Menurutnya, secara fisik karya seni dapat
bertindak sebagai bagian keseluruhan (totality) dalam kehidupan manusia,
misalnya lingkungan yang dapat dipersepsi seperti benda, bunyi,
rasa yang dibentuk oleh manusia, bahwa manusia tidak bisa bebas dari lingkungan
kreasinya. Namun dia punya pilihan-pilihan, dan pilihan tersebut menunjukkan
suatu kualitas atau yang dianggap dapat meningkatkan derajat atau martabat
hidupnya.
Tetapi menurutnya lagi, karya seni mungkin
hanya merupakan kebutuhan sekunder dan tersier, karya seni hanya
bertindak sebagai parts (bagian-bagian yang lepas)
dimana manusia bisa bebas menerima atau menolak karya seni itu.
Kedua pengertian ini perlu dijelaskan oleh Hauser, sebelum dia membahas
sosiologi seni. Artinya untuk menikmatinya seni itu tidak bebas nilai,
dia dapat disaring atau tersaring oleh oleh prasangka sosial dan nilai-nilai
yang berlangsung dalam masyarakat tertentu.
Kemenangan Realisme
Pada umumnya karya seni adalah jawaban
manusia atas masalah-masalah yang berkaitan dengan kenyataan yang dilihat dan
direnungkannya. Lebih jauh lagi, seni adalah "senjata" oleh manusia
untuk menjawab tantangan hidup. Melalui seni manusia mengimajinasikan
jawaban-jawaban yang tidak bisa terpecahkan dalam realitas. Senjata yang
dimaksud oleh Hauser adalah “imajinasi”, sebab melalui imajinasilah kreasi seni
itu dilahirkan. Manusia bebas berimajinasi dan meujudkan imajinya itu ke
dalam realitas dan lingkungan.
Dari contoh-contoh sejarah Hauser
menyimpulkan bahwa baik dalam bidang sastra, lukis, patung, drama termasuk
arsitektur (bangunan) manusia itu berkreasi melalui pengamatan sekaligus
menjadikan apa yang terlihat sebagai sumber imajinasi dan kreasi. Dan
bagi Hauser hal ini sebagai pertanda kemenangan “realisme”,
atau lebih ekstrimnya adalah kemenangan seniman-seniman yang
berpegang kepada fakta atau realitas sebagai sumber ilham untuk merubah
realitas itu sendiri kepada realitas “baru”.
Sebagai bandingan teori-teori seni dan
estetika sejak jaman Plato pertamakali dibangun atas dasar teori realitas.
Kemudian muncul pula teori-teori tentang bagaimana realitas itu seharusnya
disusun atau di tata sesuai dengan kebutuhan manusia. Ternyata tujuan seni yang
pertama bukanlah semata untuk tujuan ekspresi. Tujuan ekspresi justru
lahir kemudian, walaupun ekspresi, surealisme, seni abstrak adalah suatu
pengingkaran terhadap realitas, tetapi tetap menunjukkan gejala dia tetap
berpegang kepada realitas bahkan menciptakan realitas baru. Disamping
mengandung tujuan-tujuan lain seperti tujuan agama, tujuan keindahan
(estetik).
Setelah tujuan-tujuan untuk menggambarkan
realitas itu pudar. Kepudarannya itu terjadi karena manusia dengan imajinasinya
telah melampaui realitas, justru melampaui tujuan-tujuan dasar seni atas dasar
realitas.
Seni modern, menurut Hauser, dicurigai,
dihujat dan dikritik karena tidak lagi semata berbicara mengenai realitas
yang dapat dimiliki secara sosial. Maksudnya memang mungkin seniman memiliki
realitas sendiri, tetapi hanya dimiliki secara individual, hanya seniman yang
dapat memahami realitas itu sedangkan orang lain tidak, yang sepenuhnya tidak
dapat disosialisasikan, hal ini menimbulkan prasangka dan kecurigaan terhadap
seni.
Salah satu sebabnya, karena tidak lagi
berbicara tentang kebenaran estetik dari realitas, tetapi justru mencari
realitas baru, seperti realitas-realitas imajinatif yang dibayangkan oleh
seniman secara pribadi yang khaos. Dalam situasi ini Hauser menyebutnya sebagai
"loss of reality" tercerabutnya seniman dari
realitas. Tinjauan sosiologis tentu tidak akan menerapkan pemikiran ini secara
general (umum). Sebab hal ini hanya berlaku pada seni yang disadari, seni yang
ada pada masyarakat maju atau modern, seperti yang diperlihatkan pada bagan di
bawah ini. Seni tradisi misalnya, walaupun tidak disadari sepenuhnya oleh
pelaku seninya, bagaimana seharusnya realitas seni, adalah warisan yang
diturunkan dari satu generasi ke generasi selanjutnya tanpa di sadari.
Pertanyaan kedua adalah, bagaimanakah proses sosialisasi kreasi seni itu? Menurut
Hauser. Seni tidak hanya sebatas ungkapan, tanpa maksud dan tanpa adanya
penerimaan sosial atas ungkapan itu. Menurut Hauser, inspirasi,
konsep-konsep seni bisa bersumber dari subjek (pelaku), tetapi dia tidak
selamanya menjadi "subjektif', begitu dia dikeluarkan dia akan menjadi
"objektif", sebagai wahana komunikasi sosial. Sebab individu pada
dasarnya adalah makluk sosial dan menjadi bagian dari masyarakatnya.
Dia akan berubah menjadi "bahasa
seni" yang dapat dimengerti oleh komunitasnya berdasarkan
"kesepakatan-kesepakatan"(konvensi) sosial. Proses sosialisasi seni
adalah suatu proses dialektik seperti yang dikatakannya sebagai berikut
ini.
" The process is dialectical.
Spontaneity and recistance. Invention and convention: dynamic impulses born of
experience break down or expand form, and fixed, inert, stable form condition,
obstruct, and exchange each other.(1982: 21) "
Oleh karena itu, dalam proses sosialisasi
seni itu sebenarnya bermuka dua, bisa dilihat secara produk individu, dan hasil
penerimaan (konvensi) kelompok, dilihat sebagai dialektik dari spontanitas
(spontaneity) dan kesepakatan (convention). Sebagai originalitas dan tradisi.
Keduanya harus sejalan atau linear dan seni itu, tidak hanya merupakan suatu
produk subjektif, tetapi juga sosial, dialektika keduanya bisa saling memiliki
kemampuan untuk mereduksi (memiskinkan, mengurangi).Namun
sekaligus menghasilkan ketegangan. Ketegangan ini terjadi karena
kontradiktif dengan konvensi-konvensi seni yang ada dalam masyarakat. Dimana
setiap adanya inovasi atau pembaharuan dalam seni maka terjadi ketegangan
antara keinginan untuk”mempertahankan” dan keinginan untuk ‘mem perbaruinya”,
menciptakan sesuatu seni yang baru.
Menurut Hauser, ketegangan itu justru
adalah suatu hal yang penting dalam perkembangan seni, sebab ketegangan itu
menimbulkan kritik, kecaman dan buah pemikiran baru dan atau
berakhir dengan pencerahan.
Pencerahan adalah suatu tanda diterimanya
buah pemikiran baru, dan bisa dilihat sebagai sebagai inovasi yang
diperoleh dari suatu proses belajar. Oleh karena konsep-konsep seni
lahir dari individu, maka menurut Hauser, konsep-konsep ini tidak
selalu disadari atau dapat diterima oleh masyarakat.
Misalnya konsep-konsep seni yang
dimunculkan oleh kalangan akademik -- tidak memasyarakat-- dalam
pengertian hanya menjadi wacana di kalangan terbatas kelompok akademik. Namun
wacana akademik dapat merobah konsep-konsep seni yang ada di masyarakat dan
mempengaruhi lingkungan komunitas sosial. Penerimaan (reception) itu,
bisa dimulai oleh si pembaharu yang diterima oleh sekelompok kecil, kemudian
melebar ke kelompok masyarakat yang lebih besar. Ketegangan yang terjadi di
bukan pada karya seni, tetapi pada konflik pemikiran atau ideologi masyarakat
yang menerimanya. Karena masyarakat itu juga memiliki sistem ideologi atau
sistem nilai, yang sifatnya cendrung dipertahankan (konvensional, tradisional).
Apakah inspirasi individu dapat merubah
konvensi-konvensi dan tradisi seni dalam suatu masyarakat?
Individualisme adalah salah satu sebab seni itu sukar untuk disosialisasikan,
dan hal ini salah satu sebab seni tertentu jadinya bukan milik
masyarakat, tetapi cendrung menjadi milik individu dalam kehidupan
modern. Dia dapat menjadi milik sosial jika mereka dipaksa, terpaksa atau tidak
sengaja mengakuinya hal ini disebutnya sebagai hegemoni seni.
Pandangan seperti ini kemudian mempengaruhi pemikir-pemikir sosisologi seni
yang kemudian.
Namun ada alasan lain tentang
kemacetan sosialisasi seni ini, hal ini disebabkan
perbedaan-perbedaan ideologi yang berjalan dalam sosial dan
budaya yang sepenuhnya tidak memiliki makna yang sama yang dapat
disatukan secara harmonis, bakhkan bertentangan. Hal ini disebut konflik
ideologi seni dalam sosial. Misalnya konflik antara primitif
dan modern, lama dan baru, seni dominan dan tidak dominan, seni kota-dengan
seni desa, seni massa dengan seni individual, seni kultur utama dengan
sub-sub kultur, seni barat dan seni Timur, Seni islam dan seni kristen dan
sebagainya. Perbedaan ini akan menyebabkan seni itu tidak dapat dilihat
secara universal tetapi diproduksi dan dikonsumsi sebatas komunitasnya
sendiri.
Seni Mapan Kontra Inovator Seni (Avant
Garde)
Istilah avant garde (garda
depan), pertama kali dipakai untuk menjelaskan komunitas
seni-komunitas pembaharu seni di Eropah, jadi kelompok avant-gardis adalah
kelompok pembaharu seni -- yang ingin pembaharuan dalam seni. Contoh ini
dapat dilihat pada berbagai peralihan gaya seni misalnya dari neo-klassik
ke realisme, pemberontakan seni “dada” di sebagai protes terhadap
akibat perang dunia pertama. Munculnya gaya espresionisme di Jerman, munculnya
gaya abstrak oleh Picasso dan sebagainya.
Di Indonesia, gerakan pembaharuan
ini terlihat terlihat pada gerakan realisme-sosial Sujoyono pada jaman
kemerdekaan yang melawan kemapanan gaya seni “moi Indie” (India
Molek), gerakan Menikebu yang menentang seni komunisme, Gerakan seni rupa baru
(1975) yang menentang gaya seni akademis yang kaku, gerakan surealisme Yogya
dan sebagainya. Pada awalnya – khususnya pada awal kemerdekaan- seni adalah
ideologi dan gerakan untuk menentang pencajajahan Belanda. Ideologi ini
dipelopori oleh seniman baik akademik maupun non-akademik yang berasal dari
sanggar-sanggar seni jadi sangat terkait dengan politik.
Sosialisasi Seni dan Media Komunikasi
Ada yang berpendapat bahwa seni hanya
dapat dinikmati secara individual, tetapi pengalaman individual itu
dapat dipaparkan kepada orang lain, sebagai suatu cara untuk
memsosialisasikan seni
Salah satu pengalaman manusia dalam
seni yang menonjol menurut Hauser adalah pengalaman estetik, pengalaman seperti
ini perlu disosialisasikan lewat pemaparan tertulis agar dikenal
secara sosial. Beberapa contoh di bawah ini memperlihatkan hal itu.
Pengalaman estetika itu sering dihubungkan
dengan sesuatu tatanan formil. Misalnya pembuatan hal-hal yang berkaitan dengan
tujuan untuk menunjukkan kekokohan, kekuatan, bahkan juga keindahan. Pengalaman
tentang tertib dibidang desain yang disebut dengan tatanan (order), dan dalam
seni rupa disebut dengan komposisi (composition). Yaitu bagaimana mengatur
bagian (part) pada kesatuan (whole) dari elemen seni. Sehingga diharapkan
akan diperoleh pengalaman estetik. Seperti yang dikatakan Feldman (1967)
Kita ketahui salah satu teknik dalam
menciptakan karya seni-rupa dan desain umumnya dilakukan seniman liwat
pemilihan bentuk, warna, garis, ukuran dan unsur-unsur visual lainnya.
Pelukis menyediakan beberapa warna di atas paletnya, pematung liwat
seonggok tanah liat atau batu, arsitek liwat sejumlah material dan kemungkinan
struktur yang dapat diujudkan ke bentuk bangunan. Mereka kemudian mencoba
menyusun apa yang disebut bentuk, susunan atau struktur tertentu. Salah satu
cara perupa dalam meujudkan bentuk itu adalah liwat pengurangan atau reduksi.
Warna yang banyak itu akhirnya dipilih beberapa warna saja sampai tercapai
tertib warna. Bentuk tanah liat yang kacau itu ditertibkan sampai tercapai
tertib bentuk. Dari beragam material disusun sehingga tercipta tertib bentuk
yang disebut bangunan
Jadi seni visual berangkat dari
ketertiban, namun seni non-visual seperti musik juga berangkat dari ketertiban,
misalnya musik adalah bunyi yang di aransir, karya lukisan adalah tertib visual
yang di bingkai. Tari adalah gerak yang di pentaskan. Drama adalah kehidupan
yang diredusir dan ditampilkan dan dibingkai oleh pentas, dijauhkan/dibedakan
dari realitas. Warna-warna pada palet kelihatan kacau atau tidak tertib. Salah
satu innervision (visi dalam) seniman dalam mencipta adalah demi kepastian dan
ketertiban melalui pengulangan-pengulangan (redundansi).
Dalam proses berkarya seniman berusaha
menyusun bunyi (musik), rupa (seni rupa) rupa dan suara (tari), elemen bangunan
(arsitektur), dan hal ini sudah dilakukan orang sejak lama. Apakah tujuan
membuat karya tertib itu. di luar ketertiban? Salah satu jawabnya adalah
keindahan, yang lahir dari keseimbangan dan kestabilan, melaluinyalah pikiran
seniman diarahkan kepada estetika bentuk stabil. Prinsip kestabilan ini, ini
dapat dihubungkan kepada seluruh 'persepsi realitas " dunia benda yang
memiliki kestabilan dan keseimbangan. Catatan seni-rupa Barat penuh dengan
pemikiran ini, diantaranya estetika melalui matematik.
Dalam proses berkarya seniman berusaha
menyusun bunyi (musik), rupa (seni rupa) rupa dan suara (tari), elemen bangunan
(arsitektur), dan hal ini sudah dilakukan orang sejak lama. Apakah tujuan
membuat karya tertib itu. di luar ketertiban? Salah satu jawabnya adalah
keindahan, yang lahir dari keseimbangan dan kestabilan, melaluinyalah pikiran
seniman diarahkan kepada estetika bentuk stabil. Prinsip kestabilan ini, ini
dapat dihubungkan kepada seluruh 'persepsi realitas " dunia benda yang
memiliki kestabilan dan keseimbangan. Catatan seni-rupa Barat penuh dengan
pemikiran ini, diantaranya estetika melalui matematik.
Sebagai contoh, dalam seni-rupa Yunani
abad ke 4 SM; tatanan formil suatu bentuk bagi mereka adalah keseimbangan,
harmoni atau stabilitas. Seni-rupa diciptakan liwat pemakaian dalil-dalil
proporsi dan ukuran, salah satunya dikenal dengan nama 'kanon" (Canonic),
gaya seni rupa dengan hasrat mencapai keindahan semacam ini disebut gaya
klassik.
Prinsip ini bermula dari seni-rupa Yunani
klassik. Dalam arsitektur, arsitek Vitruvius (lahir 84 SM), mencoba mempelajari
keindahan tertib tubuh manusia dengan analoginya pada bangunan. Sekitar tahun
27-30 SM; membuat buku "De Architectura", pengaruhnya terasa sampai
abad ke I8, bahkan era modern. Seperti yang kita lihat pemikiran ini
menghasilkan bangunan Yunani dan Romawi klasik yang penuh kemegahan.
kestabilan. Ukuran dan proporsi itu mengambil tubuh manusia sebagai analoginya.
Misalnya tiang Doric adalah perbandingan kaki seorang laki-laki terhadap tinggi
tubuhnya, tiang Ionic mengambil proporsi kerampingan seorang wanita dewasa, dan
Corinthian, kontur kerampingan seorang wanita muda. Memang sumber tertib bentuk
yang indah menurut visi Yunani klassik adalah tubuh manusia.
Mereka membuat teori daya tarik (estetis)
yang dikatakan indah, berhubungan langsung liwat perbandingan bagian dengan
keseluruhan bangunan liwat perbandingan matematik yang didasari oleh dimensi
tubuh manusia yang secara visual menunjukan harmoni. Tubuh manusia adalah yang
paling indah menurut mereka. oleh karena itu mereka mencari tertib berpikir di
seluruh alam yang ada hubungannya dengan keindahan itu.
Pelukis Zeuxis (di Yunani) misalnya.
melakukan beberapa studi wanita cantik sebelum dia melukis Helena dari Troya.
Meski kreasi artistik seni-rupa klassik dicapai liwat menggunakan ukuran atau
"kanonik". Banyak cara lain untuk mencapai tertib bentuk.
Aturan-aturan sebelumnya hanyalah salah satu alat saja. penuntun seniman dalam
rangka kerja artistiknya. Dalam seni modern, yang dipersoalkan adalah bagaimana
mengangkat tertib universal itu kepada konstruksi bangunan tulisan drama dan
sebagainya. Imaji manusia haruslah dikoreksi berdasarkan bentuk dan anatomi
yang disempurnakan penampilannya (proporsi). Imaji manusia terlihat khas dalam
kerangka idealisasi ini.
Gaya formil ini tidak cuma terlihat pada
ungkapan seni Yunani klassik. tetapi juga pada seni rupa daerah grup atau
bangsa tertentu. Tidak hanya tergambar pada selera para petinggi institusi
tertentu. yang ingin mengungkapkan keindahan liwat eksistensi kekuatan dan
kemegahan yang mempengaruhi institusi kelompoknya. Tetapi ada di masing-masing
person yang kreatip dan menyenangi bentuk-bentuk stabil. komposisi yang
seimbang lebih dijangkiti oleh karakter individu, ketimbang faktor budaya.
Dapat dipahami ada individu yang ingin tampil semarak liwat kemegahan, kekayaan
dan eksklusif. Kita dapat memahami seni-rupa klassik, atau tertib itu, sebagai
dorongan atau kemauan beberapa orang saja seperti para bangsawan atau raja yang
meneruskan keinginannya itu kepada lapisan masyarakat di bawahnya. Kepada para
arsitek, pelukis atau pematung, bahkan seniman jenis ini suka menggambarkan
ketenangan, dan pose-pose diam dan stabil dunia mereka.
Tugas perupa tak lain mencari berbagai
dimensi pesona bagi karyanya; sampal tercapai apa yang disebut 'beauty'
(keindahan, kecantikan). Dorongan estetis (keindahan), dan formil timbul dari
keinginan untuk menikmati dan mengagumi sesuatu yang dapat memuaskan diri
person dengan atau tampa alasan yang jelas. Pada masa kini alasan-alasan
estetik yang dianggap memuaskan itu, diluaskan pengertiannya tidak terbatas
pada 'beauty' saja, tetapi kepada hal-hal lain misalnya kenyamanan,
kepraktisan, kemudahan, kemurahan dan sebagainya, jadi batasan estetika telah
demikian meluas.
Tiap-tiap komunitas bisa menciptakan
selera estetik sendiri yang berbeda-beda, maka dikenal ada estetika India,
estetika Islam, Estetika Cina, estetika Jawa dan sebagainya, yang
dianggap sebagai ciri seni bahkan kepribadian sosial/ komunitas
Bagaimanakah aspek psikologi sosial seni
itu dalam masyarakat? .Apakah yang dapat disimpulkan dari kesejarahan
seni? Bukankah kreasi seni sebagai strategi oleh manusia untuk
hidup abadi melalui karyanya. Bukankah dia bertindak dengan mempedomani
kreasi masa lampau untuk memproyeksikan masa depan?
Menurt Hauser rutinitas dan
improvisasi adalah dua perkataan yang berbahaya bagi seni,
khususnya seni modern. Menurut Hauser hal ini telah diperlihatkan dalam
sejarah. Sesuatu yang rutin adalah suatu pekerjaan yang
diulang-ulang, sebuah lukisan yang di ulang-ulang disebut dengan
istilah yang sinis ‘ciplakan’ atau reproduksi, bahkan di cap craft atau
kerajinan. Tetapi pementasan teater yang sama/rutin dapat
menampilkan corak yang berbeda. Hal ini berbeda dengan lukisan yang
kemungkinan miripnya dengan yang lama sangat besar.
Hal ini kembali kepada sifat manusia yang
selalu menuntut hal yang baru. Seni modern selalu menuntut agar tercipta
sesuatu yang baru untuk masyarakatnya. Improvisasi, juga berbahaya,
improvisasi dalam konteks sosial menurut Hauser mengindikasikan
bahwa sesuatu yang mendadak muncul dalam masyarakat tanpa
adanya komunikasi dan korespondensi, tanpa adanya persepsi yang jelas,
tanpa penggunaaan bahasa seni yang lazim dalam masyarakat, tanpa ada
kesepakatan (konvensi). Yang bisa diakhiri dengan penolakan atau sebaliknya
jika memuaskan publik maka bakan berakhir dengan penerimaan (Resepsi)
Motivasi Psikologi Seni dalam
Masyarakat/Sosial
Psikologi sosial dan sosiologi
sering dipertukarkan, sebab keduanya sama-sama mempelajari kelompok manusia dan
perilaku kelompok tersebut. Bagaimanapun, perspektif atau cara pandang mereka
sangat berbeda. Sarjana sosiologi bekerja keras memahami perilaku
kelompok dalam kaitan dengan institusi sosial dan masyarakat. Sebaliknya
sebaliknya sarjana psikolog sosial memusatkan pada individu, dan
bagaimana mereka merasa, saling berhubungan, dan mempengaruhi satu sama lain.
Mereka belajar bagaimana individu meng-gunakan pengaruhnya pada kelompok, dan
bagaimana keadaan kelompok mempengaruhi perilaku individu.
Jika bidang seni dikaitkan dengan
sosiologi, maka terdapat distansi yang sangat lebar antara kepentingan ekspresi
individu (seni) perupa dengan kepentingan institusi (sosial). Misalnya
institusi bicara tentang aturan-aturan dalam perkotaan, institusi pendidikan
bicara tentang aturan-aturan dalam pendidikan, ciri dari institusi sosial
adalah agar individu dalam kelompoknya dapat diatur sesuai dengan misinya. Oleh
karena seni patung masuk dalam ruang kota, kepentingan perkotaan dapat
diperlihatkan dalam berbagai contoh seperti kepentingan terhadap tempat, lokasi
tertentu yang bersejarah, taman kota atau urban design. Konsep-konsep seni
patung modern, tidak jauh dari konsep-konsep pengisisan ruang untuk persepsi
tertentu dalam ruang publik. Namun, tentu saja masih terdapat ruang bagi
kepentingan ungkapan visual seniman, sejauh mereka dapat menafsirkan
kepentingan institusi.
Profesi Seni dalam Tinjauan
Sosiologis dan Budaya
Profesi seni dalam masyarakat modern di Barat, telah mengalami
sejarah yang panjang di bandingkan dengan masyarakat lain yang baru
berkembang. Hal ini dapat di kaji dan di teliti dari sejarah seni dan
disain yaitu tentang tentang perkembangan kedudukan dan atau profesi seni
dalam konteks pengertian seni di Barat adalah munculnya lembaga-lembaga
seni.
Lembaga-lembaga ini yang mengawasi kualitas, mutu maupun penyebaran
tenaga kerja profesional, membawahi lebih 250 bidang sudi level S2 seni
dan desain di Inggris. Menurut Hauser dalam masyarakat modern
selalu terdapat badan, lembaga atau swadaya masyarakat yang mendorong,
mengawasi mengontol, kualitas atau mutu seni.
3. Asumsi-asumsi tentang Mutu Seni
Asumsi artinya anggapan dasar (premis).
Anggapan dasar yang dirumuskan untuk pembuktian suatu penelitian disebut dengan
hipotesa. Menurut Sutopo, minimal ada lima asumsi estetik dasar yang menyatu
dalam penilaian seni modern (Sutopo. 1987: 4)
a) Asumsi Realis, Imitatif
Asumsi realis atau imitatif, yaitu jika
pengamat menilai mutu karya seni berdasar pada kebenaran atau ketepatan seni
imitasi. Ketepatan imitasi, yaitu ketepatan penggambaran berdasarkan
peniruan atau ketepatan melambangkan sesuatu (simbolik). Namun, demikian
jarang ada pengamat yang menggunakan nilai estetik imitatif ini
secara terang-terangan. Asumsi ini didasari oleh imitasi atau objektif; yang
mana tujuan seniman, bercerita atau meniru suatu bentuk di alam. Genre
seni ini adalah yang paling tua dalam sejarah seni rupa, sampai ditemukannya
ide ekspresi seni pada abad ke-19.
b) Asumsi Emosional
Asumsi emosional yaitu jika pengamat
mengganggap mutu seni tergantung pada intensitas kenikmatan emosi yang muncul
dalam diri pengamat. Penilaian ini bisa sangat subjektif dan kriteria nilai
dapat diterapkan secara tidak logis dengan membeda-bedakan karya seni dengan
dasar yang kurang jelas (emosional). Bagi penganut ini, unsur emosi estetik
dipentingkan dan menentukan. Oleh karena itu, penilaian semacam ini bisa
jatuh hanya ke interpretasi dan evaluasi di bawah kontrol ketidaksadaran si
pengamat. Penilaian bahkan bisa jatuh ke kesan-kesan selintas (impresi) dan
selera (taste).
Hanya sebagian kecil saja paparan karya
seni berdasarkan respon emosi yang dapat diterima oleh akal sehat. Hal ini
disebabkan, pengamat yang memiliki kepekaan estetik pada karya seni itu
relatif sifatnya. Ada yang memiliki, sedangkan yang lain mungkin tidak. Ada
yang mengatakan seniman itu memiliki kepekaan estetik dan kepekaan perasaan.
Tetapi dapat dipertanyakan kepekaan terhadap jenis seni yang mana
? Jadi jangan sampai ada “keberpihakan” seorang penilai yang sifatnya
pribadi dan atau bukan pendapat orang banyak. Hal ini ini dapat menjelaskan,
penilaian yang sah selalu dalam bentuk “kelompok” atau “tim” dalam menilai
karya seni atau penampilan sebuah karya seni. Masyarakat sebenarnya memiliki
kesadaran (consiousness), bukan ketidaksadaran (unconciousness) dalam bersikap
dan menilai sesuatu. Banyak contoh yang menjelaskan seseorang murid yang
dianggap gagal dalam pelajaran seni di dalam kelas, justru sukses di dalam
masyarakat. Hal ini terjadi karena yang menilai itu berbeda. Hal ini akan
terlihat dengan nyata, terutama dalam masyarakat yang multi etnis, multi
budaya dan multi ideologi.
c) Asumsi Ekspresionis
Asumsi ekspresionis, yaitu jika pengamat
mengganggap mutu sebuah karya seni tergantung atas ketepatan rasa yang
ada pada pengamat dengan yang ada pada seniman. Penilaian jenis ini
ingin melihat faktor emosional yaitu kesamaan dua pengalaman
seni yaitu antara seniman dan pengamat. Asumsi ini didasari oleh teori ekspresi
yang muncul pada abad ke-19. Konsep ini digunakan untuk menyatakan keberhasilan
suatu karya seni oleh Kandinsky (Herbert Read,1959).
Kelemahan penilaian ini, karena pengalaman
estetik seniman hanya dikomunikasikan melalui satu medium (rupa), hasilnya akan
berbeda jika diutarakan melalui medium lain (bahasa misalnya). Artinya,
apa yang diungkapkan dalam bentuk karya, belum tentu sama dengan apa yang
dikatakan oleh seniman, misalnya Judul karya, atau tema bisa dikarang kemudian.
Jikapun, penulis atau pengamat memiliki perasaan yang ingin diungkapkan, dapat
dipertanyakan kemiripan perasaan itu dengan perasaan seniman sewaktu
berkarya. Namun, gaya dan ungkapan perasaan ini dapat menjadi seni
tersendiri yang masuk ke bidang sastra. Bahasan pengamat semacam ini, memang
bisa menjadi menarik pembaca. Sebab pembaca akan dibawa ke dalam ruang imaji
penulis.
Dalam hal ini Clark, John (1998)
membedakan antara deskripsi karya seni (description of work arts) dan
deskripsi interpretasi (description of interpretation).
Ekspresi dapat dilakukan melalui berbagai
cara, misalnya Van Gogh melalui cara imitasi, tetapi ,ekspresi melalui cara
abstrak pertamakali terlihat pada karya Kandinsky. Gaya ini disebut dengan “abstrak-ekspresionisme”.
Kandinsky, Wassily (1866-1944) lahir di Moskow. Tetapi dibesarkan di kota
Munich Jerman. Dia salah satu pemula seni abstrak-ekspresionisme. Lukisan
abstraknya yang pertama dibuat tahun1910, salah satunya ada di
gallery Tate di London. Pada tahun 1911 dia bergabung dengan kelompok “Blaue
Reiter “, salah satu kelompok yang revolusioner dalam bidang seni di Jerman.
Dia kembali ke Rusia tahun 1914-21 dan mengajar di sekolah desain Bauhaus 1922
dan bergabung dengan pelukis Paul Klee. Pada tahun 1933 dia pergi ke Perancis (
Murray, Peter & Linda Murray,1976:239). Pengamat sebenarnya dapat membaca
karya seni langsung tanpa kehadiran seniman, kemudian mengungkapkannya melalui
kata-kata. Kehadiran semacam itu memang tidak diperlukan, kecuali dalam seni
drama yang dibaca adalah apa yang dilakukan oleh seniman. Maka tidak ada
perbandingan objektif yang memungkinkan membandingkan dua ungkapan (ekspresi)
itu, apalagi jika berasal dari dua orang yang berbeda.
d) Asumsi Transedetalisme
Asumsi transedentalisme, yaitu jika
pengamat menilai karya seni sebagai suatu jenis khusus asumsi
emosional yang menganggap mutu karya seni tergantung pada
intensitas yang mampu menimbulkan semacam jenis emosi mistis. Karena tidak ada
standar dan kriteria dalam hal ini, maka asumsi ini juga mengandung kelemahan
sebab akan membawa hasil penilaian ke penilaian yang subjektif.
Asumsi ini termasuk yang tertua dan masih
ada pada zaman modern yang disebut dengan “fetish” (pesona), kata ini berasal
dari bahasa Portugis “feitico” yang artinya “pesona”. Istilah ini sudah ada
sejak abad ke tujuh belas. Fetish (pesona) adalah istilah kunci untuk memahami
objek. Sebab objek dianggap memiliki suatu kekuatan tertentu misalnya kekuatan
supranatural yang ada hubungannya dengan artefak. Pada abad ke sembilan belas,
konsep fetish (pesona) mengacu pada suatu yang dipuja tanpa alasan yang
rasional. Secara teoretis fetishisme dipakai dalam tiga disiplin
ilmu antara lain :
- Fetishism Antropology (pemujaan benda-benda seperti
pada masyarakat primitif yang dipuja-puja).
- Psychological atau Sexual fetishism (pemujaan
yang terjadi secara psikologis)
- Fetishism Commodity (pemujaan melalui benda-benda
sehari-hari), ketiganya menggunakan prinsip yang berbeda.
Fetishism Antropological (Pesona barang antropologi): bendanya sendiri, bisa berupa kalung,
pedang, patung yang dianggap memiliki kekuatan tertentu (religius fetishism).
contoh: jimat-jimat dan sebagainya seperti jin super, jin, mega ( jimat-jimat
ini bahkan ada yang sudah diperjual belikan seperti yang terjadi di Indonesia
saat ini). Benda dapat dianggap memiliki kekuatan mistik, tetapi
ada “fetish” lain yang tidak kalah pengaruhnya seperti “trascaning”, yaitu
kelakuan orang dalam hal mengorek tempat sampah, mencari barang-barang
yang dimiliki aktor, artis, “super stars” dan sebagainya.
Benda tersebut dipuja sebagaimana memuja orangnya. Fetish juga ada dalam seni rupa murni, misalnya lukisan “bunga matahari “ Van Gogh. Lukisan ini mengandung pesona tua, melodramatis yang dijalin dengan pesona hidup pelukis dengan kematiannya yang tragis. Pesona ini akhirnya menjadi komoditi. Harga lukisan menjadi mahal. Contoh lain mobil VW sebagai mobil universal yang diidentikkan dengan ideologi Nazi Jerman. Contoh lainnya misalnya kematian Nike Ardilla; pesona Nike Ardilla yang disebarkan melalui media massa, mengakibatkan boneka, foto, kartu, sepatu dan lain-lain dari penyanyi ini dimanfaatkan sebagai komoditi.
e) Asumsi Konfigurasional (Faham Formalisme)
Asumsi konfigurasional yaitu jika pengamat
menganggap mutu karya seni tergantung kekompakan berbagai
unsur ke dalam suatu kesatuan organis. Osborne (1955) menganggap asumsi
ini mampu mendukung penilaian seni dengan standar yang objektif, karena
susunan “organik” secara nyata tidak ditanggapi secara emosional dan penilaian
seni bisa menjadi lebih objektif. Asumsi ini merupakan dasar konsep bagi faham
“formalisme” (Bell, 1958; Fry, 1956). Namun, banyak ahli yang kurang
sependapat dengan penilaian ini, karena “formalisme” sebagai pendekatan
penilaian dianggap pantas dipakai melihat karya seni modern. Alasannya,
berbagai struktur formal seni rupa, sama sekali belum terpikirkan oleh seniman
sebelum abad ke-sembilanbelas. Jadi, kurang tepat jika suatu kajian
struktur seni, komposisi, desain, atau penilaian semacam ini dilakukan pada
karya-karya seni sebelum abad ke-19, termasuk kaya-karya seni Timur.
Sebab jikapun ada, unsur ini hanya kebetulan. (Falkenheim, 1980). Jikapun ini
dilakukan, itu adalah cara dan pandangan kita pada masa kini. Faham
formalisme memiliki kelemahan segi ketepatan mutu yang
dilatarbelakangi oleh pandangan sosial tertentu, seperti yang diterangkan di
bawah ini.
Feldman dalam bukunya “Arts as Image and Idea”, menekankan tiga unsur yang utama sebagai alat pengukur nilai seni. Penekanan itu ada pada tiga hal yaitu 1) formalistik, 2) ekspresionistik dan 3) Instrumentalisme.
3. Aliran Formalistik
Yaitu suatu asumsi nilai-nilai seni
terdapat pada susunan bentuk, struktur karya seni. Penilaian ini sama dengan
asumsi konfigurasional di atas. Tujuan evaluasi bentuk seni adalah.
- Untuk menghindarkan konotasi yang berlebihan.
- Mutu artistik dilihat dalam organisasi bentuk karya.
- Kaum formalistik melihat kebenaran seniman dalam berkarya, artinya ada
kejelasan antara rencana (ide) dengan hasil akhir karya seni.
Melalui konsep maka efek-efek kebetulan dan improvisasi karya
seni dikurangi .
- Melalui konsep ini, bisa mempertemukan antara makna pokok subjek
(tema) dengan detail visual material yang dipakai.
- Menghargai skill, perencanaan, perhitungan dan menangani material
secara logis dan jujur pada material.
- Kaum formalis umumnya tertarik dengan desain, arsitektur dan “craft”.
Namun, formalisme memiliki aspek negatif juga sebagai berikut.
- Kesulitan dalam menjelaskan norma-norma
keunggulan dalam seni, karena hanya berdasarkan fenomena rupa/ujud,
sedangkan kaitannya dengan fenomena sosial ideologi dan filsafat
disingkirkan.
- Kehilangan daya kritis pada hal-hal yang ada
dibalik kenyataan visual dalam karya seni seperti aspek sosial, budaya,
norma kelompok, nilai-nilai lokal.
- Apa yang terlihat sebenarnya tidak semuanya dapat
digantikan dengan lambang bahasa (kata-kata). Hanya sebagian bahasa rupa
dapat ditransfer ke bahasa kata.
Segi positifnya adalah.
- Dapat mengurai secara objektif sebagian atau seluruh tampilan visual
secara deskriptif, mendekati struktur formalnya.
- Organisasi formal penting saat keinginan meujudkan organisasi
elemen visual.
- Kaum formalis umumnya konflik dengan kaum Platonis yang penekanannya
justru pada idea-idea atau gagasan. Kaum formalis penekanannya pada
struktur visual dan aplikasinya pada penilaian seni.
Aplikasi formalistik pada mutu karya seni
adalah penilaian: apakah seorang seniman telah melakukan penyesuaian antara
persoalan yang ingin diungkapkan (ide-ide, tema, isi) dengan bentuk secara
tepat ? Jadi, mutu (kualitas) dilihat dengan cara membandingkan antara
perencanaan (konsep, tema, judul, idea) dengan realitas karya.
Cara ini sering dipakai di bidang arsitektur dan desain. Untuk menilai tingkat keberhasilan suatu karya baru. Dalam pemaparannya, syarat yang lazim dimiliki penilaian unsur formalistik, menurut Feldman (1) Memiliki pengalaman yang luas, (2) Menghindari kegagalan dalam proses penyelesaian kritik. Dapat disimpulkan formalisme sebagai konsep (teori) memberikan tuntunan pada nilai-nilai formal, tetapi sering menolak estetika yang tidak relevan seperti : 1) latar belakang sosial,( 3) sejarah, (4) gambaran psikologis, (5) asosiasi emosi, (6) Intervensi bahasa sastra, seperti pada faham ekspresionistik, (7) imitasi dan (8) representasi objek-objek.
4. Aliran Ekspresionistik
Yaitu suatu asumsi bahwa nilai-nilai seni
yang besar terdapat pada unsur emosi, ekspresi atau unsur-unsur perasaan karya
seni. Pada dasarnya asumsi ini, sama dengan asumsi emosional dan ekspresionisme
di atas. Faham ekspresionisme berlawanan dengan formalisme.
Ekspresionisme suatu pendekatan yang berpegang ke ungkapan, sebagai
alat menilai seni. Ciri-cirinya antara lain.
- Dorongan mengkomunikasikan sesuatu ungkapan pera-saan lebih kuat
dibandingkan keinginan memperhatikan visualisasi estetik
karya, hal ini terlihat kecenderungan penyimpangan tema (konsep) dengan
visualisasi karya.
- Seni dilihat sebagai medium ekspresi dan fantasi
serta mengungkapkannya secara bebas.Keyakinan yang
besar atas kemampuan membahas penilaian seni dengan menggali
kemungkinan-kemungkinan pikiran, atau idea-idea.
- Ekspresionisme sebagai kriteria penilai, memberikan teknik
atau cara seseorang pengamat sedang berada “dalam
sesuatu” perasaan atau gagasan tertentu. Bersifat “local content”
dan individual.
Aspek negatif ekspresionisme
- Hanya bertumpu pada gagasan dan itensitas pengalaman.
- Hanya tertarik pada komunikasi, gagasan-gagasan seniman.
- Penilaian seni cenderung menjadi bukan suatu ilmu, tetapi
menjadi bagian humanisme.
Aspek Positif ekspresionisme
- Kriteria universalitas manusia menjadi landasan penilaian.
- Pikiran dan gagasan-gagasan sebenarnya bisa sama di lain tempat dan
waktu.
- Gagasan-gagasan memiliki orisinalitas, relevan dengan masa
kini dan valid dalam karya.
Dalam konteks ini penilai memiliki
pengetahuan yang luas dari latar belakang sosial, sejarah, gambaran
psikologis, sastra, masalah imitasi dan representasi objek-objek. Dapat
disimpulkan, ekspresionisme sebagai teori memberikan tuntunan pada
seseorang menyelami gagasan-gagasan dan mengkomunikasikan gagasan itu ke
orang lain.
5. Aliran Instrumentalisme
- aitu suatu faham yang berasumsikan, karya seni pada dasarnya
sebuah alat, atau instrument suatu masyarakat (sosial). Dalam
pandangan ini, karya seni dilihat sebagai sesuatu yang terkait
dengan fungsi sosial seperti agama, politik, ekonomi, pendidikan dan
sebagainya.
- Menurut pandangan ini semakin besar keterpakaian seni untuk
tujuan tertentu, misalnya pendidikan maka semakin tinggi
nilainya. Mutu karya seni, dilihat dalam kerangka kepentingan
berbagai hal seperti ekonomi, kelas-kelas sosial, politik, budaya,
pendidikan, iklan, agama, negara dsb.
- Kaum instrumentalisme meyakini, karya artistik yang baik
bukan berdasarkan kemampuan seniman dalam menyelesaikan cara pengolahan
bahan, atau ketepatan gagasannya dengan karyanya; dan atau kebagusan
pengejawantahan kehendak dan ungkapan-ungkapan (seperti dalam konsep
ekspresionisme). Melainkan atas kaitan realitas yang melatarbelakanginya,
hingga bentuk-bentuk tinjauan historis yang dapat memberi alasan
keilmiahannya.
Ciri faham ini sebagai berikut
- Melihat karya seni dengan konteks sosial, strata
sosial, kelas-kelas dalam masyarakat.
- Melihat seni sebagai sarana langsung dan tidak langsung
yang terlibat dengan kepekaan sosial, walaupun seni dilandasi oleh
kepentingan seni itu sendiri. Kaitan itu dilihat dalam konteks
agama, paham atau ideologi.
- Menjelaskan karya seni itu dalam konteks motivasi
seni apa, kenapa dan bagaimana.
Aspek negatif Instrumentalisme
- Terlalu pentingkan hal-hal yang ada di luar karya seni.
- Perdebatan yang tidak pernah selesai jika membahas teori
motif-motif yang melatarbelakangi karya seni.
Aspek positif instrumentalisme
- Dapat merangkum berbagai hal seperti bentuk karya
seni, ekspresi dan motivasi seniman dan masyarakat
sekaligus dalam pembahasan penilaian.
- Dalam penilaian kritik instrumentalisme dapat
dilihat kelengkapannya karena dia dapat merangkum
aspek formal dan ekspresif sekaligus. Di dalamnya terkandung makna, kreasi
seni yang baik, memiliki motivasi yang layak, jelas dan menggambarkan
pandangan senimannya.
Sebagai sebuah teori, uraian tentang
faham-faham formalisme, ekspresionisme, maupun instrumentalisme
hanyalah sebuah wacana. Dalam realitasnya, sulit untuk
melacak keberadaan orang atau kelompok orang dengan faham-faham
penilaian seni seperti itu.
Dunia kependidikan seni memang ada
yang cenderung masuk ke faham instrumentalisme dan ada juga yang
tidak. Dengan demikian kelompok yang masuk kepada instrumentalisme
cenderung agak kaku jika berhadapan dengan dunia seni yang sebenarnya
yang lebih komprehensif.
Infrastuktur Dunia Seni
Dalam seni modern atau kontemporer,
penilaian seni cenderung lebih komprehensif dan situasional,
sebab di samping oleh hal-hal yang disebutkan di atas, juga
ditentukan oleh momentumnya, usernya, dan popularitas
pembacaan karya seninya. Pembacaan karya seni oleh kurator atau penulis menjadi
hal penting dalam mencuatkan seorang seniman dalam masyarakat. Pembacaan karya
seni bisa saja dikaitkan dengan aliran-aliran pemikiran yang
berkembang seperti yang diuraikan sebelumnya. Pembacaan karya seni bisa juga
oleh orang yang bukan ahlinya, misalnya oleh komentar penyiar di TV akan
cepat dan efektif menyedot perhatian orang banyak ketimbang selebaran
katalog pameran yang sarat dengan kata-kata yang kurang dipahami orang.
Di mana dalam hal ini, kurator berusaha untuk memamerkan pula
kepandaiannya atau ilmunya dalam membahas nilai karya yang dipamerkan.
Menurut Supangkat (2009: 53-55) pembacaan seni itu memiliki institusi yaitu “kritik seni dan kurasi yang disebutnya sebagai “infrastrukstur seni” yang kemudian berkembang kepada penulisan “sejarah seni”. Museum kemudian bertindak sebagai sarana “konservasi”, yaitu mengumpulkan karya-karya seni yang dianggap mengandung pemikiran yang bernilai dari karya seorang seniman. “Dunia Barat” katanya, sudah memiliki “infrastruktur” seni yang mantap, ke timbang di Timur atau Indonesia. Mereka juga memiliki tradisi, karya seni yang boleh masuk museum adalah seniman yang sudah meninggal 10 tahun. Jadi, karya seniman yang masih hidup tidak boleh masuk museum, karena pikirannya, ide-idenya masih berkembang dan atau berubah dalam berkesenian. Jadi yang dikonservasikan dalam museum sebenarnya ide-ide atau pemikiran seniman sesuai dengan ungkapan dalam karyanya. Jikapun ada karya seniman yang masih hidup dibeli oleh museum, bukan untuk dipajang tetapi hanya untuk disimpan atau diamankan. 9)
Demikianlah ada sebuah mata rantai mulai dari “pembacaan karya seni”(kritik seni, kurasi), penulisan sejarah seni dan konservasi artefaknya di museum yang semuanya ini disebut “infrastruktur seni”.
Menurutnya, seni kontemporer memiliki dua arah pembacaan seni yang berlainan kalau tidak dikatakan bertentangan yaitu antara pembacaan seni “modern” - yang ingin “membaca” sesuatu yang baru yang kedua adalah “posmo”. Jika pembacaan seni modern melahirkan yang disebut “sejarah seni”, maka pembacaan seni posmo beralih kepada pembacaan seni berdasar budaya, sosiologi dan kritik “post-modern”.
Catatan Akhir
Teori adalah seperangkat konsep-konsep,
asumsi-asumsi dan generalisasi-generalisasi yang beriterelasi secara sistematis
mendeskripsikan dan menjelaskan suatu fenomena atau perilaku. Teori memberikan
kriteria dan arah bagi riset empirik untuk memperoleh informasi-informasi baru
maupun sebagai pedoman rasional untuk bertindak. Teori dapat direformulasi
melalui riset; dan apabila teori itu diaplikasikan dalam tindakan oleh
individu, maka teori itu menjadi praktik. Jadi dapat disimpulkan ada suatu
simbiosis antara teori, riset dan praktik. Pada kenyataannya tidak ada praktik
yang tidak didasarkan pada teori atau sebaliknya. Sesuai dengan konsep
Sullivan, maka praktik seni dianggap sebagai sebuah riset. Di mana
seorang perupa menemukan argumen, ide, konsep atau teori yang diperolehnya
sepanjang perjalanan praktik seni yang dianggap sebagai sebuah riset. Walaupun
pandangan ini dapat mengubah visi tentang praktik seni. Namun,
hanya ada di wilayah praktik seniman akademik dan banyak seniman yang bukan
berasal dari akademik dan atau yang tidak memiliki minat untuk mendalami studi
teks dan lainnya dalam berkarya. Jadi, konsep-konsep seniman dapat bersumber
dari area yang luas baik dari pengalaman akademik, pribadi maupun
otodidak (belajar sendiri).
Namun, seniman masa kini tidak hidup di jaman Rembrand atau Van Gogh, dia ada dalam dunia modern yang banyak pilihan. Paling tidak dia dapat menentukan pilihan arah atau tujuan berkarya, memilih “audience/user-nya”. Mencocokkan karyanya dengan user-nya, merumuskan strategi untuk mencapainya (policy), dengan kata lain: memahami aspek-aspek estetik, psikologis, teknologi dan daya tarik seni untuk usernya. Hal yang sama terdapat pada berbagai cabang seni modern lainnya seperti musik, teater dsb. Artinya, dia mempelajari seni demi sebuah pilihan strategi. Jika tidak, dia hanya sebagai pak turut yang baik dari sebuah sejarah seni. Biasanya hanya akan mengulangi cara-cara masa lampau (tradisi). Memandang kepada kebesaran seniman etnik ataupun modern masa lalu, seakan bisa mengulanginya lagi untuk masa sekarang. Sebagai penutup baiknya kita mengutip pendapat pakar seni Stephen Scrivener & Peter Chapman, Scrivener berargumen bahwa :(10) .
“.......tujuan dari riset seni
visual adalah seni visual itu sendiri dan riset seni visual itu tidak
harus dipahami sebagai hal yang erat kaitannya dengan riset ilmiah
asli yang dikerjakan dalam rangka memperoleh pengetahuan dan pemahaman, tetapi
terkait dengan bagaimana seseorang memperoleh ciptaan yang asli yang dikerjakan
dalam rangka menghasilkan sesuatu yang baru. Karenanya, Scrivener meninjau
kembali kedua aktivitas (teori dan praktik seni) dan tujuan riset harus
dipahami sebagai apa adanya. Scrivener membenarkan posisinya, dengan membantah
bahwa perdebatan yang ada sekarang terlalu memusatkan pada corak
penelitian yang umum (general), dengan begitu, tujuan riset dalam seni nampak
kabur, ia menjelaskan bahwa masing-masing disiplin pengetahuan itu memiliki
arah yang jelas.”
Banathy (1994) dalam Scrivener (2004)
misalnya, mengidentifikasi “ tiga kutub kebudayaan manusia”: yang pertama ilmu
pengetahuan (sains) yang kedua humaniti dan yang ketiga desain, sedangkan
posisi seni dalam kerangka klassifikasi yang tidak masuk ketiga butir di atas.
Ilmu pengetahuan (sains) mempunyai tujuan
untuk pengembangan pengetahuan dunia alam; humanitis bertujuan mempercepat
pemahaman kita tentang pengalaman manusia (human experience); dan ilmu
desain bertujuan mempercepat kapasitas kita untuk merealisasikan visi masa
depan menjadi kenyataan.
Oleh karena itu, kita dapat berargumentasi bahwa seni mempunyai arah dan bermaksud memajukan wawasan tentang emosi, alam diri manusia dan hubungannya dan dengan tempat kita di dunia, “inter alia”.
Singkatnya, Scrivener mengajukan sebuah kriteria yang dianggap memenuhi syarat karya seni yang berasal dari riset seperti yang terlihat pada tabel di bawah.
Norma-Norma yang dianggap kreatif dari seni yang dihasilkan melalui penelitian oleh Scrivener (2004)
- Artefak (karya seni) adalah sebuah hasil produksi sendiri
- Artefak (karya seni) memiliki mutu tinggi dan asli dalam
konteks budaya, sosial, politis atau estetik atau konteks
lainnya
- Artefak (karya seni) adalah hasil tanggapan terhadap sebuah isu,
perhatian dan minat tertentu.
- Artefak (karya seni) mencerminkan perhatian dan minat
terhadap isu-isu itu.
- Isu-isu itu, memperhatikan dan meminati refleksi budaya, sosial
politik atau aspek sosial yang menarik.
- Artefak (karya seni) menghasilkan pengertian/ pemahaman
- Artefak (karya seni) adalah pusat proses pemahaman.
- Proses produksi kreatif harus berasal dari self-conscious (yang
disadari), reasonabel dan reflektif
Catatan Kaki
- Teori respon pembaca dalam bidang sastra sering juga dikenal dengan istilah teori resepsi sastra, teori ini memusatkan perhatian pada hubungan antar teks sastra dan pembaca, teori ini juga menjadi landasan konseptual kritik sastra atau penelitian sastra yang secara khusus ingin melihat relasi pembaca dan teks sastra, kritik sastra yang berlandaskan pada teori ini adalah kritik respon pembaca ( reader-response criticism ).Kritik ini menyatakan bahwa “makna” karya sastra adalah interpretasi yang diciptakan atau dikonstruksikan/ dihasilkan oleh pembaca dan penulis sebagai subjek kolektif. Ia memberikan tindakan perhatiaan pada tindakan kreatif pembaca dalam memasukan makna kedalam teks sastra. Kritik ini menganggap bahwa orang yang berbeda repertoa/gudang bacaan seorang subjek pembaca akan menafsirkan teks karya sastra secara berbeda, tergantung dari presfektif mana ia melihat dan sejauh mana kadar repertoa pembaca dalam memahami teks karya sastra tersebut. Sebagai konsikuensi logis pluralitas dan kompleksitas pemberiaan makna terhadap interpretasi teks tadi merupakan sebuah keniscayaan. Oleh karena itu teori ini menyatakan tidak ada pembacaan atau intrepretasi tunggal ataupun yang paling benar, akan tetapi yang paling optimal. Karya sastra itu ada jika ia dapat mempengaruhi pembaca, baik itu berupa tindakan-tindakan yang sifatnya aktif, maupun sebuah penilaiaan terhadap teks karya tersebut.
- Pembacaan teks dalam bidang seni rupa adalah pembacaan makna oleh pembaca teks (pengamat seni rupa) seperti. Lihat juga J. M. Lemke, Visual and Verbal Resources for Evaluative Meaning in Political Cartoons, City University of New York, http//academic.brooklyn.cuni.edu.education/jlemke/papers/cart-vis.com. Diakses 24-03-08. Lihat pula Chandler, Daniel. Semiotic for Beginner, http //www.aber.ac.uk/ media/documents/S4B/ semiotic. hmtl
- Vischer menggunakan istilah Einfühlung (“in-feeling” atau “feeling-into”) dalam tesis doktornya (On the Optical Sense of Form: Sebuah Kontribusi untuk Estetika - 1873) adalah sebutan pertama dari kata ini di cetak/tulis.
- Theodor Lipps (lahir tanggal 28 Juli 1851 di Wallhalben – dan meninggal tanggal 17 Oktober 1914 di Munich) adalah seorang filsuf Jerman. Lipps adalah salah satu profesor universitas Jerman yang paling berpengaruh pada zamannya, menarik banyak mahasiswa dari negara lain. Lipps sangat prihatin dengan konsepsi seni dan estetika, dengan fokus banyak filosofi sekitar isu-isu tersebut. Di antara pengagumnya mendalamnya adalah Sigmund Freud, Lipps kemudian menjadi pendukung utama gagasan alam bawah sadar. Dia berpendapat bahwa setiap pernyataan itu memiliki tingkat kesadaran dan kelucuan terkait dengan sisi negatif yang tersembunyi. Dia mengadopsi gagasan Robert Vischer empati atau simpati estetik (Einfühlung). Akhir dari hidupnya, Lipps mengadopsi beberapa ide dari Husserl. Dia tidak menyukai psychologism, beberapa muridnya bergabung dengan Husserl untuk membentuk cabang filsafat baru yang disebut Fenomenologi Esensi.
- Jauss sebagai tokoh perumus dan pengembang teori resepsi sastra, dalam teorinya ia memusatkan perhatian bagaimana suatu karya diterima pada suatu masa tertentu berdasarkan horizon penerimaan tertentu atau rwartungshorisont atau horizon of expretion. Partisipasi pembacalah yang menghidupkan karya sastra. Sebuah karya baru menjadi peristiwa sastra, bila karya itu telah dilihat dengan adanya hubungan antara karya sastra lain. Suatu karya akan menyebabkan pembacanya memberikan reaksi tertentu berdasarkan strategi tekstual tertentu. Jadi bisa kita asumsikan bahwa penerimaan (resepsi) dapat dilihat sebagai perluasan dari aspek semiotik yang timbul dalam pengembangan dan perbaikan sistem penafsiran. Dengan kata lain perubahan horison penilaian juga bisa mengalami perubahan.
- Lih. Bourdieu, 1989. “Social Space and Symbolic Power.” Sociological Theory, vol. 7
- Lih, Mulyana, Deddy. 2005. Ilmu Komunikasi: Sebuah Pengantar, Bandung: PT. Remaja Rosdakarya
- Barnes. 2002. Art. (Microsoft Encarta Encyclopedia. CD-Room, 2002-2003)
- Majalah Visual Ars (Indonesia)
- Scrivener, Stephen& Chapman, Peter. 2004.The practical implications of applying a theory of practice based research: a case study Coventry University, England mailto:s.scrivener@csm.arts.ac.ukIntroduction,
- Lihat juga tulisan ini.
- Lihat juga tulisan Yumi Kinoshita dari University of California Santa Barbara