Rabu, 08 Oktober 2014

Pengertian Seni: Friksi Konsep dan Diskrepansi Arti Seni-5

Hal.5

8. Friksi Konsep Kegiatan Seni

Friksi itu bukan hanya dalam menafsirkan arti seni tetapi juga kepada kegiatan seni seperti fine art,  applied  art, dekorative art. Antara "kriya (craft)" dengan "seni" dan kriya yang dianggap "seni" yang bisa bergeser-geser.

Friksi kriya menjadi seni kriya mudah di pahami, karena anggapan bahwa kriya itu mudah dan bisa dijadikan benda seni. Disini terjadi diskrepansi makna kriya. Yang seharusnya bukan lagi benda kriya tetapi benda seni. Misalnya seni patung miniatur yang dianggap seni kyiya, atau sebaliknya kriya yang dianggap seni kriya. Dalam sejarah perkembangan seni biasa material kerajinan menjadi material seni, tapi sikap dan cara memandangnya, dan proses berseni sama dengan proses seni murni yang mementingkan ekspresi dalam prosesnya. Misalnya teknik menenun yang dipakai untuk ekspresi lukisan dinding (tapestry).

Friksi konsep kegiatan seni juga kelihatan oleh  Feldman (1976:114), dia melihat kriya sebagai friksi atau bergesernya seni sebagai hasil “kemahiran” / skill kepada dua arah yang berbeda (dan bisa bolak-balik). Skill yang satu menunjuk kepada seni, yang lain kepada kriya. Walaupun craft dianggap termasuk hasil skill, tetapi  mengutamakan ketrampilan tangan dari pada tujuan pengungkapan (ekspresi) pada seni visual. Walaupun keduanya dapat dimasukkan  ke dalam kategori “seni visual”, tetapi craft bukan bertujuan ekspresi.

Definisi ekspresi secara umum  adalah:
“conveying of thoughts or feelings: the communication of thoughts or feelings, e.g. directly to another person or through a work of art”
Hal ini dapat dipahami, bahwa konsep ekspresi sebenarnya baru saja ditemukan pada spirit seni rupa abad ke 19, yang sifatnya individual, sebelumnya seni adalah produk dari budaya dan masyarakat berbagai belahan dunia  yang bagi mereka belum memikirkan seni sebagai media ekspresi.

Contoh di bawah ini adalah sebuah bentuk friksi lain dalam kegiatan seni. Dimana terjadi pergeseran konsep menggambar kepada berekspresi. Perhatikan contoh konsep pembelajaran kriya yang dipakai sebagai  tujuan pembelajaran di bawah ini. Pernyataannya adalah berikut ini.
“Mengeskpresikan diri melalui gambar dekoratif dan motif hias daerah setempat.” (lihat tabel di bawah)

Istilah yang tepat sebenarnya ”membuat gambar dekoratif dan motif hias daerah setempat”. Istilah “ekspresi diri ” mungkin kurang tepat dipakai penulis rancangan pembelajaran ini. Pertama, apa kriteria yang dipakai mengukur keberhasilan “berekspresi diri” dalam konteks menggambar dekorasi dan motif hias? Kedua, jika tujuannya adalah menggambar dekorasi daerah setempat, siswa seharusnya mempelajari ciri dekorasi, dan maknanya jika ada simbol di dalamnya, tetapi bukan dalam kontek eskpresi diri.

Ekspresi dalam bahasa Indonesia yang baku adalah pengungkapan, proses menyatakan, memperlihatkan, menyatakan maksud, gagasan, dan atau perasaan. Jika dalam konteks seni, yang lazim artinya adalah untuk" mengungkapkan perasaan" hal ini berbeda dalam konteks "komunikasi" artinya bisa "memperlihatkan, atau menyatakan maksud ".  Semua frasa ini boleh dipakai, tapi tambahan kata “diri”, akan menegaskan arti “mengungkapkan perasan”

Mungkinkah bisa diseragamkan pemakaian kata ekspresi ini pada bidang seni rupa, musik, tari dan drama? Jika dipaksakan bisa saja. Seperti contoh di atas. Tetapi akan terjadi friksi konsep. Hal ini sudah lama penulis perhatikan pada panduan-panduan "modul pembelajaran" yang diberikan oleh PDK maupun oleh penulis buku seperti contoh di atas. Pada bidang non-seni rupa tidak menjadi masalah. Misalnya berekspresi melalui gerak tari pola tradisi, yang diungkapkan berasal dari diri pelaku sendiri. Para penulis modul pembelajaran cendrung kepenyeragaman. Kalau dikaji sebetulnya berbeda. Drama, tari, musik adalah seni sosial, produknya dari kelompok dan individu. ( Becker. H.S. 1982),  art Worlds.).  Seni visual dan desain adalah prakarsa individual (Dewey, Louwenfeld). Dia berada pada dua konteks eskpresi berbeda.

Menurut penuli,s bahasa visual agak berbeda dengan bahasa gerak atau bahasa simbol-simbol bunyi. Disini terlihat dengan nyata  adanya friksi konsep  “menggambar” kepada “berekspresi”. Mungkin penulis buku ini tidak menyadari bahwa simbol-simbol dan makna dalam seni tradisi itu telah baku dan tidak bisa diubah. Jika murid disuruh mengungkapkan kembali, yang terjadi hanya pengulangan makna melalui teknik menggambarnya. Sebab dekorasi dan makna (simbol) tradisi tidak boleh dirubah.  Logikanya kegiatan ini hanya menggambar, ketimbang kegiatan berekspresi diri. Menurut penulis diantara kesulitan guru dalam pembelajaran seni budaya, adalah pokok persoalan ini, pembelajaran ini bisa jadi hanya pengulangan-pengulangan apa yang terjadi di masa lampau.

Apresiasi Seni

Friksi-friksi dalam buku siswa Seni Budaya edisi revisi (2014). Apresiasi = merasakan keindahan dan makna karya seni.

Melihat uraian di atas, timbul pertanyaan apakah contoh dan pengertian-pengertian di atas perlu diberikan sebelum kegiatan apresiasi di SMA/MA? Tentu saja hal ini tergantung arah kebijakan pembuat buku.  Tetapi perlu pemahan terlebih dahulu apa makna itu dan merasakan itu. Menurut penulis istilah ini terlalu tinggi untuk anak SMA/MA/SMK, MAK, ini salah satu alasan bagi penulis untuk menyajikan tabel  di bawah ini untuk memperlihatkan tidak perlunya memahami makna tanpa dilandasi pengetahuan teori dan filsafat, sebab makna seni itu pada pengetahuan seni di PT, digali dari pengetahuan teori  filsafat. Lihat tabel berikut ini.


Jenis seni dan materialnya

Pokok Soal
(Subjek matter)
Isi yang digambarkan

Simbol 
(melambangkan) sesuatu

Makna
Tema =
(pokok pikiran, dasar cerita)

Ide yang mendasari
Ide yang mendasari simbol umumnya dari  peristiwa tragis
Makna denotatif
Makna konotatif
1.Seni Rupa
Tema
Ada Ide dasar
Ada, dari pokok soal dan elemen-elemen seperti warna dan bentuk dsb
Semua karya seni memiliki makna, karena mereka semua memiliki efek tetapi
tergantung pilihan interpretasi). seluruh diskusi "makna dalam seni" adalah yang paling membingungkan sebuah kesalahan tidak terletak pada seni, tetapi dalam penggunaan  kata- oleh kata manusia. Misteri yang tidak perlu, tak berujung, dapat dibuat dengan memakai  kata-kata yang samar sebagai "makna" seolah-olah mereka sederhana, tetapi mudah, dan rentan terhadap satu interpretasi.
(John Hospers)
2.Seni Drama
Tema
Ada Ide dasar
Sda, dari tampilan
3.Seni Sastra
Ada, (Tidak selalu ada) kadang hanya cerita
Ada ide dasar
Ada, misalnya cerita melambangkan kejahatan
4.Seni Musik
Ada , interpretasi pengamat  bebas.  Musik umumnya tidak menggambarkan sesuatu kecuali dirinya sendiri (suara)
Tergantung pemusik (bebas), interpretasi pengamat bebas
Tergantung imajinasi pengamat, biasanya di dukung oleh tampilan visual bersamaaan dengan tampilan musik

Istilah makna disini adalah interpretasi bebas, simbol juga sebuah makna (dalam bahasa indonesia). Jadi siswa cukup untuk memahami pokok soal dan pengetahuan simbol-simbol dalam seni. Sesuatu yang bermakna memang perlu di apresiasi. Warna merah dari bunga dapat dipelajari sebagai simbol sesuatu yang sedang mekar, perlu diketahui simbol adalah kesepakatan. Apa kesepakatan anak muda sekarang tentang warna merah pada lukisan bunga. Jadilah dia simbol. Hal ini di luar konteks apakah bunga itu masih bermakna sebagai lambang cinta di masa kini, yang interpretasinya bisa kemana-mana. Dan tidak perlu. Kalaupun diperlukan cukup sebatas makna denotatif dan konotatif, dan dijelaskan terlebih dahulu pengertian kata ini.

Apresiasi = kritik seni? Hal ini dipertanyakan karena mereka juga menjelaskan bahwa apresasi seni itu adalah dalam rangka kritik seni sebagai berikut ini.
“Kemampuan mengamati karya seni murni dan terapan dalam arti praksis adalah kemampuan dalam mengklassifikasi, mendeskripsi, menjelaskan, menganalisis, menafsirkan, mengevaluasi, serta menyimpulkan makna karya seni.” (hal.3)
Jika memang apresiasi maksudnya adalah kritik seni, tetapi kita lihat tidak ada  petunjuk  untuk siswa bagaimana cara melaksanakan kritik karya seni itu. Cuma saja karya di pajang di depan kelas, kemudian bersama-sama untuk memberi komentar yang diarahkan oleh guru. Jika kritik seni itu sebagai analisis, kenapa tidak diterangkan tahapan kritik karya. Kemudian pada uji kompetensi, hanya mengumpulkan kliping koran atau majalah, dimana ada gambar lukisan dan membahas siapa pelukisnya dan makna lukisannya. Cara pembelajaran kelompok (group discussion) seperti ini mungkin dipilih sebagai cara untuk apresiasi, bukan tidak mengandung kelemahan. Hanya sebagaian kecil dari siswa yang penuh kosentrasinya untuk memahami dan belajar. Terutama bagi yang pandai.

Apresiasi = penghargaan
Topik apresiasi seni memang bisa sangat luas, dia bisa membahas respon estetika, sejarah seni, kritik seni, pendidikan seni, pendidikan estetika, seperti yang dikatakan oleh (Barret, T, 2007).
"The topic of art appreciation is vast: An Internet search of art appreciation yielded about 3,540,000 results. The complexity of the concept of art appreciation is itsoverlap with related concepts of aesthetic response, art history, art criticism, arteducation, aesthetic education, and art museum education. Appreciation is also affected by understandings of concepts of perception, sensibility, interpretation, taste, preference,and evaluation or judgment. Appreciation is meshed with beauty and beauty to aestheticexperience. In aesthetic philosophy as well as in daily living, concepts of beauty and appreciation are applied to nature, works of art, and a wide range of artifacts."(Barrett,Terry.2007.Teaching Toward Appreciation,The Ohio State University.Published in International Handbook of Research of Arts Education. Liora Bresler, ed. New York: Springer, 2007, pages 639-654. 
Namun  (Barret, T, 2007). juga mengambil kesimpulan bahwa, "Apresiasi seni lazimnya dan seringkali secara eksplisit diklaim sebagai hasil yang diinginkan pendidikan seni". Namun yang penting saat dia merumuskan definisi apresiasi adalah:
Appreciation entails valuing, positive or negative; it isdependent on acquired perception that requires initiation and practice, training one'ssensibilities, and learning how to apply apt vocabulary to distinguish aspects of what is being appreciated. Succinctly, appreciation requires knowledge. 
Dan hal ini sejalan dengan jalan pikiran saya tentang pendidikan seni, tentang bahasa sebagai hal yang penting dalam apresiasi dan pendidikan seni, oleh karena itu membutuhkan pengetahuan.

Persepsi Ide. Dalam teori psikologi persepsi sebuah persepsi dapat merangsang timbulnya ide-ide baru. Pembelajaran kritik seni penting sebagai pasangan dari berkarya seni, yaitu merangsang timbulnya kosa kata baru atau kosa kata lama dari bahasa visual yang diamati siswa ke bahasa verbal yang dikuasainya. IDE merupakan sesuatu yang sangat penting dalam proses kehidupan manusia. IDE yang cemerlang selalu dibutuhkan saat kita sedang mencari solusi dalam memecahkaan masalah. Apapun jenis kegiatan, pekerjaan, usaha manusia untuk kelangsungan hidupnya tidak pernah terlepas dengan istilah IDE. Konsep baru dalam pendidikan seni adalah: Problem solving, communication, innovation, and creativity.Sumber gambar. Karya mhs. Seni Rupa UNP. 2004-2005.
Beberapa Kesimpulan

Buku-buku atau petunjuk yang datang dari pusat pendidikan di Indonesia seharusnya di buat hati-hati dan tidak sembarangan, Jangan hanya karena proyek yang menguntungkan segelintir orang yang jadi korban adalah anak didik dan juga guru-guru yang patuh terhadap petunjuk itu.

Penulis melihat apa yang diberikan kepada siswa dalam pelajaran seni ada peringkat dan tahapnya, misalnya harus sesuai dengan kebutuhannya kosa kata bahasa yang yang harus dikuasai siswa. Sebab jika bahasa dan konsep-konsep buku ini terlalu tinggi dan luas akan kurang dipahami siswa. 

Inti dari uraian halaman ini adalah pemakaian bahasa, kosa kata dalam praktik seni maupun persepsi seni (apresiasi Seni). Peran orang bahasa penting dalam menentukan peringkat kesulitan bahasa konsep, dalam memahami dunia materi.Terutama dalam apresiasi dan kritik seni, kebanyakan orang mudah berkarya, tetapi sulit untuk menerangkannya. Bukan saja peran orang bahasa, tetapi juga pakar seni yang memahami ilmu seni yang benar dan tidak keliru dalam menjelaskan sesuatu.

Tidak mudah untuk menjelaskan fenomena dunia materi, disamping tingkat kesulitan  kosa kata yang dipakai. Peringkat kesulitan bahasa konsep inilah yang menentukan peringkat pembelajaran seni dalam pendidikan seni, bukan peringkat kesulitan teknik produksi seni dan teori-teori.

Istilah estetika terapan adalah friksi (kata benda) dari benda pakai menjadi benda seni (kata sifat). Sumber masalah friksi adalah teori dan makna estetik sendiri bisa bermuka dua sesuai konsep Dewey adalah pengalaman saat seniman berkarya dengan ekspresi dan unsur emosinya. dan pengalaman estetik saat pengamat saat mengamati produknya (misalnya musik). Estetika terapan menimbulkan kesan bahwa produk benda pakai seakan produk pengalaman estetik, sedangkan produk benda pakai adalah produk desain. Jadi istilah estetik adalah hanya pada sisi persepsi pengamat, bukan tujuannya. 

Dari dari buku karangan Dewey setebal 353 hal. tentang pengalaman estetik beliau hanya 3 kali memakai kata artistik yang ambigu, karena bisa menjadi friksi antara seni (fine art) dan persepsi. Hal ini bisa dilihat dari halaman indeks buku karangannya. Pendekatan teori Dewey yang "Pragmatis"masih relevan sampai sekarang karena tidak terkungkung dengan estetika sebagai filsafat, tetapi berkenaan dengan estetika yang ada dalam kehidupan keseharian manusia, bahkan beliau adalah pelopor dalam masalah seni multikulturalisme.

Fenomena-fenomena pengamatan seni/apresiasi seni, tidak bisa diartikan “pengalaman estetik seni” tetapi persepsi estetik seni.  Sebab yang dimaksud seni disini adalah kegiatan seni, bukan kegiatan mempersepsinya. Ada fenomena persepsi lainnya seperti persepsi ilusi, gestalt, persepsi ide, “bottom-up”, dan “top-down”  dsb. Yang terangkum  pada dua jenis respon manusia (respon estetik dan respon kritik). 

Ada anggapan bahwa prinsip organisasi bentuk estetik satu-satunya prinsip yang dipakai dalam berkarya, pada hal bukan (komposisi), hal ini juga dipelajari pada tari, drama dan musik. Tapi itu bukan satu-satunya prinsip organisasi estetik pada bidang seni rupa dan desain. Misalnya prinsip organisasi estetik Fibonancy dan golden section adalah salah satunya bentuk lain prinsip organisasi estetik.

Desain itu bukan ilmu terapan seni, tetapi secara implisit ada pada seni, desain dan kriya, matematik, sains dsb. Saat seorang pelukis, desainer dan pengriya akan bekerja maka berlangsung ancang-ancang (rencana) membuat sesuatu.

Friksi pada seni adalah akibat tak langsung dari kekakuan yang muncul akibat "revolusi industri". Di negara atau daerah yang tidak  terjadi "revolusi industri", masyarakat yang berciri rural, seperti Bali tetap menggunakan dan berpikir tentang produk seninya seperti zaman silam.

Dalam pandangan budaya Timur, misalnya negara penganut Islam kadang-kadang antara konsep ‘craft’ dan "arts" tidak dipisahkan secara tegas, produk kriya dapat diapresiasi sebagai karya estetik. Dalam karya seni rupa Islam misalnya, ‘khat’ atau kaligrafi dianggap setara kedudukannya dengan “fine art” Barat (Gazalba,Sidi,1977)

Konsep  fungsi seni murni dan seni pakai menjadi relatif sifatnya, sebab seni di zaman sekarang bukan hanya untuk kepentingan berekspresi, sebuah fungsi seni yang dibatasi hanya untuk kepentingan ungkapan individu. Setelah kepentingan berekspresi usai, menunggu kepentingan lain misalnya ekonomi dan sosial.  Hal ini berlaku  untuk  semua jenis produk yang dibuat oleh manusia,  dengan tidak membeda-bedakan  konsep seni murni atau  seni pakai. Semua karya seni akhirnya dilihat dalam konteks kepentingan visual dan lingkungan, yang berada di atas kepentingan berekspresi. 

Sumber

  • Atmazaki, 2005.Teknik-teknik Menulis Artikel Populer.Bahan pelatihan menulis artikel dalam Pelatihan Peningkatan Kemampuan Karya tulis Ilmiah Dosen Prodi Seni Karawitan STSI Padangpanjang, tanggal 13—15 Juni 2005 
  • Gazalba,Sidi,1977. “Pandangan Islam Tentang Kesenian 
  • Linda Candy, Creativity & Cognition Studios. http://www. creativityandcognition.com. 
  • Suryahadi, 2008 Seni Rupa untuk SMK. Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. 
  • Sujoko. 1993. “Sebutan Seni”, Hasil Seminar, Bandung. 
  • Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved. 
  • Arini, Sri Hermawati Dwi, 2008. Seni Budaya Jilid I: Untuk Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional. 
  • Bujono, Bambang, 1983. “Ia yang Memilih sepi”, Tempo, 2 April, 1983


[1] Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[2] Microsoft® Encarta® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.
[3] Menurut Compton (1996) bentuk-bentuk seni visual (visual arts) tertua - yang dikenali dari manusia  masa lampau - lazimnya dalam bentuk hiasan, bukan ekspresif  sebagaimana yang terdapat pada seni modern. Hal ini dapat dipahami, "budaya visual" adalah friksi lebih lanjut dari "seni visual", dimana pada "budaya visual" khusus membicarakan "imaji-imaji visual" yang dikembangkan oleh budaya tertentu misalnya kartun animasi jepang.
[4] Bangun, Sem Cornelius; Zebua,S.,Narawati,T., Maua,Z.R. Dkk.214. Seni Budaya, SMA/MA/SMK/MAK, Jilid.1. Kelas XI. Semester 1. Kemendikbud
[5] Arini, Sri Hermawati Dwi,dkk. 2008. Seni Budaya Jilid II: Untuk SMK,  Direktorat Pembinaan Sekolah Menengah Kejuruan, Direktorat Jendral Manajemen Pendidikan Dasar dan Menengah, Departemen Pendidikan Nasional.
[6] sebuah lukisan bisa dilihat dari segi (1) aspek konseptual, (2) aspek visual seperti komposisi, (3)  aspek kontekstual seperti etika, dan (4) aspek teknis dan sebagainya.  
(7) Sujoko. 1993. “Sebutan Seni”,  Hasil Seminar, Bandung.
(8) Dahulu “art” mungkin terikat sekali dengan konsep sosial seperti agama, politik, ekonomi yang mungkin mengekang sekali ekspresi individu. Dengan konsep baru ini maka seni itu dapat diklaim bebas dari itu. Akhirnya, hasil karya yang tidak memenuhi tuntutan kebebasan tersebut, dianggap bukan seni. Dan jauh di bawah taraf ataupun harkat seni, dan disebut kriya.
(9) Prof M P Ranjan,[1] CEPT University, India: http://Design-for-india.Blogspot.Com/


Lihat Sambungan halaman
Halaman 1: Friksi dalam Istilah Seni
Halaman 2: Samakah Seni Rupa dengan Seni Murni ?
Halaman 3: Aspek Sejarah Istilah Seni di Indonesia
Halaman 4: Inspirasi sebagai ancang-ancang (desain) dalam Seni
Halaman 5: Friksi Konsep kegiatan Seni dan Apresiasi Seni

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar