Selasa, 16 September 2014

Teori Seni dalam Dunia Pendidikan (bagian 1)


Oleh Nasbahry Couto

A.Pendahuluan


Sebagai sebuah pandangan (hipotesis), teori seni itu adalah teori-teori dan konsepsi seni yang ada di sepanjang sejarahnya. Terutama hasil pemikiran para filsuf dan teoritikus yang sangat luas dari para pemikir Barat. Namun menurut penulis, teori seni yang luas itu ada dalam dua core besar yaitu teori tentang seni  (“Theories about Art” ) dan teori di dalam seni (Theory in Arts).
Ada teori-teori lain yang mempengaruhi konsep seni -- tetapi pada dasarnya tidak dapat dimasukkan ke dalam ke dua kelompok teori di atas -- yang disebut teori di luar bidang seni (outside the field of art theory). Teori di luar bidang seni misalnya teori fisika dan matematik, Teori fisika Newton tentang cahaya misalnya, dipakai untuk menjelaskan teori warna. Teori relativitas Einstein  diduga meng- inspirasi lahirnya seni kubisme (Shest, Herman, 2009)[1] dan (Laporte, Paul. M., 1966), teori-teori seperti ini tidak akan di bahas dalam laman ini. Memang dalam sejarah seni terlihat beberapa teori dan konsep yang berada di luar bidang seni namun dapat  memberi ide kepada teoritikus seni dan seniman untuk berkarya.

“Theories about Art” (Teori tentang Seni) adalah bersifat memaparkan “what is art”, atau apakah seni itu atau apakah seni rupa itu dan fungsinya dalam kehidupan manusia, misalnya apakah seni dan fungsinya dalam pendidikan?. Artinya, teori ini lahir menurut posisi teoretis penulis dan paradigmanya; yang hanya berlaku pada posisi teori pendidikan berikut aplikasinya. 

Menurut pendapat penulis teori ini  cenderung  berfungsi hanya untuk memberi penjelasan (eksplanasi) apa seni dan seni rupa itu pada posisi masing-masing bidang teoritisnya. Teori-teori yang lahir dari teori tentang seni (“Theories about Art” ) itu bisa sangat luas. Ilmu filsafat misalnya, menjelaskan dari sudut filsafat (Lihat buku The Liang Gie, 1975. Filsafat Keindahan). Gie, secara rinci menjelaskan apa seni itu dari sudut filsafat. Sesuai dengan tujuan berfilsafat. Umumnya, filsafat adalah  dalam rangka mencari  “kebenaran” menurut paradigma filsafat sebagai sebuah interpretasi. Filsafat seni tidak di bahas dalam uraian ini.

Teori pendidikan seni sebenarnya termasuk “Theories about Art”, yaitu yang mencoba untuk menjelaskan peran seni dalam pendidikan. Seterusnya, teori pengajaran menjelaskan bagaimana cara mengajar di bidang seni rupa. Teori-teori tentang seni rupa adalah untuk menjelaskan apa seni dan bagaimana seni itu, kedudukan dan peran seni itu dalam berbagai aspek, seperti, filsafat, ekonomi, sosial. Dapat disimpulkan “teori tentang seni“(“Theories about Art” ) bukanlah semata untuk praktik seni “an sich”. Tetapi  praktik di bidang masing-masing ilmu itu.
Catatan Kaki:
[1] Dalam artikel Shest, Herman. 2009. A Clarification of Einstein’s Theory of Relativity and the four-dimensionality of Cubism in the early Twentieth Century”, http://kkartlab.in/profiles/blogs/jennifer-gimmells-article-on-a-1
Lihat juga Paul. M. Laporte, : Cubism and Relativity: With a letter of Albert Einstein, pada  Art Journal   Vol. 25, No. 3, Spring, 1966, http://www.jstor.org/discover/10.2307/774982?uid=3737496&uid=2&uid=4&sid=21104253750491
B. Teori di dalam Seni Rupa (Theory in Arts)

Teori di dalam seni yaitu teori apa saja yang dipakai dalam praktik berkarya seni. Teori ini  cenderung  untuk diaplikasikan. Teori-teori ini tidak akan di bahas lebih dalam pada tulisan ini. Di antaranya  yang terpenting adalah teori-teori  dasar visual, teori bentuk, teori perspektif, teori warna, teori persepsi, teori komunikasi, teori psikologi bentuk, teori proporsi canon, teori gaze, teori simbol dan semiotika dan sebagainya. Sejajar dengan makna teori adalah konsep, idea atau gagasan yang diterapkan dalam praktik seni.

Teori psikologi analisis Freud misalnya, menginspirasi lahirnya gaya seni lukis surealisme dan seterusnya. Teori anatomi tubuh manusia misalnya, diperlukan saat menggambarkan bentuk tubuh manusia. Untuk menggambarkan ruang pada bidang datar diperlukan teori perspektif. Teori proporsi "canon" atau "golden section", misalnya, diperlukan saat seniman ingin mengatur tampilan seni berdasarkan proporsi matematis. Teori gaze diperlukan saat seniman ingin memperlihatkan bagaimana seharusnya sebuah pose manusia di tampilkan, misalnya, dalam seni film atau animasi dan seterusnya.

Teori dalam seni rupa dapat menuntun dalam praktik dan menghasilkan karya seni. Oleh karena itu, dalam bidang pengajaran, penelitian dan evaluasi pendidikan seni rupa teori-teori semacam ini sering dipakai dalam mengukur keberhasilan seorang siswa atau pelaku seni dalam berkarya. Misalnya, apakah tepat proporsi sebuah figur atau anatomi yang digambarkan. Apakah cocok antara konsep bentuk yang diutarakan dengan tampilan karyanya. Apakah efektif  medium yang digunakan untuk tujuan ekspresi bentuk tertentu . Dalam mencapai tujuan ekspresi juga dibahas aspek keterampilan nya dalam teknologi, material dan bahan yang dipakai, serta bagaimana caranya seni itu di kemas, dipamerkan, didisplay dan digelar sehingga dapat di konsumsi oleh publik. Ini juga sebuah keterampilan   seniman. Keterampilan  seniman  juga terlihat saat bagaimana dia mensosialisasikan dan membudayakan  konsep-konsep barunya dari karyanya  ke publik.

Teori atau konsep seni dapat dikembangkan lagi dalam konteks yang lebih luas misalnya, teori-teori tentang situasi/tempat, ruang , dan aksi seni untuk pemakai. Teori tempat misalnya, menjelaskan tempat sebagai  “peta ingatan” (mental map) warga di sebuah kota. Sebuah patung misalnya dapat menjadi penanda tempat dan atau “ sense of place” dan atau landmark (Kevin Lynch, 1960). Teori-teori seni rupa semakin komplek dan rumit, secara akademis konsep-konsep atau teori biasanya dirumuskan terlebih dahulu sebelum berkarya.

C. Teori Tentang Seni dalam dunia Kependidikan

Teori tentang seni dalam dunia pendidikan sebenarnya relatif sempit, namun akan luas, jika masuk ke bidang pendidikan dan pembelajaran seni. Yang dimaksud dengan ini adalah pendidikan seni mulai dari tingkat sekolah dasar sampai ke perguruan tinggi, di sekolah umum atau kejuruan. Sebaliknya ada juga pendidikan seni yang berkembang di luar persekolahan umum. 

Beberapa topik teoritis yang mungkin muncul dari aspek pengembangan seni adalah sebagai berikut ini. 

Teori tentang filsafat dan Sejarah pendidikan seni (History of Art Education & Theory)
Teori tentang Ekspresi (Art Expression)
Teori tentang Pengalaman estetik (Aesthetics Experience Theory)
Teori tentang Pengembangan Kreativitas (Creativity Development Theory)
Teori Bakat
Teori tentang pengembangan apresisasi anak (Art Appreciation theory)
Kemudian yang berkaitan dengan praktik pendidikan dan pembelajaran  adalah sebagai berikut ini.
1. Teori tentang tujuan Pendidikan (Art Education Objective)
2. Teori tentang Pembelajaran Seni (Art Learning and Training Theory)
3. Teori Pendidikan Seni Berbasis Anak;
4. Teori Pendidikan Seni Berbasis Disiplin (disiplin ilmu seni);
5. Teori Pendidikan Seni Berbasis Kontekstual/Multikultural.

Oleh karena masalah ini juga luas maka hanya sedikit yang disinggung dalam uraian ini.

Teori tentang filsafat dan Sejarah Pendidikan Seni (History of Art Education & Theory)

Sejarah, teori, konsep dan filsafat sebenarnya sangat erat pertaliannya, jika kita membahas sejarah maka terdapat teori di dalamnya, sekaligus konsep-konsep dan filosofi yang melatarbelakangnya, misalnya konsep-konsep dan teori pendidikan seni. 

Menurut cerita, sejak jaman Yunani kuno dan Eropah sampai abad Pertengahan (abad ke-15) sebenarnya pendidikan seni sudah dikenal masyarakat yaitu melalui perekrutan calon-calon pekerja seni di tempat pelatihannya. 

Tradisi pendidikan seni di jaman Yunani kuno sampai abad Pertengahan itu meliputi: sistem pendidikan “pewarisan, pencantrikan, magang dan sanggar” yang oleh pakar pendidikan   disebut sebagai “pendidikan profesi” (di luar sekolah umum). Yang terjadi di Eropah ini juga terjadi di Indonesia dalam versi yang mungkin berlainan.

1.Pendidikan Seni untuk Ketrampilan dan Profesi

a. Sistem Pewarisan (Parental Sucsesion/ Penggantian Orang Tua)

Pendidikan seni dikenalkan dengan cara mengalihkan keterampilan ketukangan (crafmanship), misalnya oleh orang tua atau anggota keluarga yang trampil kepada anak dengan cara pewarisan. Cara pewarisan ini bagi orang tua merupakan kebanggaan, meskipun ada pemaksaan. Namun bagi lingkungan masyarakat tertentu cara ini dianggap penting. Cara seperti ini masih ada sampai sekarang, misalnya tukang emas atau perak, di daerah “Guguak”, IV Koto, di Bukittinggi Sumatera Barat, menyimpan rahasia kepandaian (pandai emas) ini hanya untuk anak-anak dan keturunannya yang terpilih (sumber: penelitian penulis). Tukang emas atau “toko Emas)” yang ada di sumatera Barat sekitar abad ke 19 umumnya berasal dari desa ‘Guguak” ini. Walaupun sekarang, kepandaian ini sudah menyebar ke tempat lain. (sumber: penelitian penulis).
Catatan penulis: Istilah seni pada bagian pertama ini dapat ditafsirkan sebagai bukan pengertian seni yang kita kenali sekarang. Bahwa sebutan "seni" -- dalam sejarahnya-- juga mengalami friksi. Pada awalnya, membuat seni bisa saja membuat sesuatu benda yang bersifat artistik. Penjelasan mengenai hal ini sangat kompleks, dan memerlukan pembahasan tersendiri.
b. Sistem  Magang, Pencantrikan, Clerk, Volunteer, Overripe  (apprentice) 
Apprentice (bhs. Inggris) “aprendre” (Bhs. Perancis kuno), berasal dari bahasa Latin apprehendere, (abad ke 14), artinya “belajar”. Sedangkan “apprenticeship” adalah sistem pembelajaran melalui magang. Apprenticeship artinya adalah: to give somebody work as an apprentice to a skilled professional.
Pada awalnya, konsep pendidikan ini sebenarnya perluasan dari konsep sistem pewarisan, kemudian berkembang kepada sistem “magang” yang kita kenal sekarang. Di Abad Pertengahan di Eropah misalnya muncul serikat gilda (gilde) kerajinan (craft guilds) yang di kontrol oleh dewan kota. Yaitu (perdagangan dengan ketrampilan sejenis) gunanya untuk menjaga kualitas kepandaian ini dengan ketat melalui organisasi gilda (guilds). Artinya mendidik orang agar menjadi profesional. Jadi menurut cerita, ada craft guild patung, lukis dan tukang tenun woll, tukang sepatu dan sebagainya. Yang dapat diakui (di syahkan) oleh “dewan kota” adalah yang sudah dianggap “master”(profesional), master ini yang kemudian memilih dan mendidik calon-calon master baru dengan gelar atau tingkatan tertentu melalui pendidikan yang disebut apprenticeship. Dalam Wikipedia disebutkan cara pendidikan “kuno” ini masih ada sampai sekarang di Eropah, di Indonesia sekarang dikenal dengan nama “magang”. Dahulu kepandaian ini tidak hanya terbatas pekerjaan pria tetapi juga wanita seperti tukang jahit, tukang roti dan sebagainya, sebagaimana yang dicatat oleh Encyclopaedia:
Apprenticeship, system of learning the skills of a craft or trade from experts in the field by working with them for a set period of time. The apprenticeship system was used extensively by the craft guilds in the Middle Ages. It continued to be important in learning a trade until the Industrial Revolution in the 18th century, after which it was largely replaced by the factory system. 
Sebagai contoh misalnya  Vincent Willem van Gogh  lahir tanggal 30 Maret 1853, di  Zundert, propinsi Brabant di Belanda,   yang dianggap seniman yang lahir dari sistem aprentis. Dia  anak paling tua, dari  keluarga Protestan. Pada umur 16 tahun Van Gogh magang di dealer seni rupa di  Hague, dan bekerja disana beberapa lamanya, kemudian di London dan Paris selama tahun-tahun 1876. 

c. Sistem Sanggar, Studio dan Atelier

Di Eropah sistem sanggar berkembang setelah adanya kebebasan seniman berkarya di luar kontrol gereja dan dewan kota. Sanggar sebenarnya label Indonesia, yaitu terjemahan tidak langsung dari kata  “studio” dan atau “atelier”, yaitu “tempat seniman bekerja”.  Di Perancis “Atelier”(Bhs.Perancis) adalah tempat kerja tukang kayu (workshop), tetapi pengertiannya sama yaitu tempat kerja para tukang atau seniman. Melalui sanggar, studio dan atelier, seorang dapat belajar kepada pemiliknya atau menjadi anak buah di  studio sambil belajar.

Di Indonesia sanggar-sanggar seni berkembang terutama di kota-kota di awal zaman kemerdekaan, terututama di kota Yogyakarta, Jakarta dan juga di Sumatera.

Tradisi sistem pendidikan seni profesional cenderung dapat dimaknai sebagai pendidikan keterampilan yaitu jenis keterampilan motorik. Mereka memperoleh keterampilan melalui belajar untuk bekal “hidup”. Misalnya seorang dapat belajar dalam sanggar, yang oleh orang pendidikan disebut  memperoleh keterampilan “vokasional” yang dapat digunakan untuk mencari nafkah.

2. Pendidikan Seni di Sekolah Umum (Non Profesi)


 John Lock (1632-1704), sumber:
Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved.

a. Awal pendidikan formal: Pendidikan Ketrampilan, Seni untuk Kepentingan Kerajaan, Pemerintah, Agama, dan Lembaga

Menurut Gutek (2009), sekolah umum memiliki sejarah yang panjang, jika diteliti tentang sejarah pendidikan maka akan terlihat pendidikan yang diselenggarakan masyarakat itu  sebagai berikut: 

(1) Pendidikan masyarakat masa “pratulis” atau prasejarah. 

(2) Pendidikan di Afrika dan Asia Kuno, seperti pendidikan Hinduisme di India dan konfusius serta Taoisme,  di Cina. 

(3) Pendidikan di Yunani Kuno oleh kaum Sophisme (400 SM), yang melahirkan liberal arts, pendidikan Sokrates, pendidikan Plato (387 SM) yang melahirkan sekolah di kota Athena yang disebut “Academy” yang pembelajarannya berlangsung di alam terbuka. Kemudian sekolah Aristoteles (335 SM). Plato dan Aristoteles dengan giat menganjurkan pengajaran musik dan gimnastik dalam kaitannya dengan pembentukan manusia Yunani yang ideal.  Mereka tidak mendukung pendidikan gimnastik dan musik bagi murid untuk menjadikan sang murid sebagai tenaga profesional. Kemudian metoda pendidikan Isokrates (abad 4 M).
Catatan Salam (2012) sebagai berikut.
Bagi bangsa Yunani pada zaman Klasik, seni rupa memiliki kedudukan yang lebih rendah dibanding dengan musik dan puisi.  Hal ini disebabkan karena profesi sebagai pelukis, pematung, arsitek, atau pengrajin kurang bergengsi dan dianggap tidak selayaknya menjadi profesi para kaum bangsawan.  Profesi sebagai pelukis, pematung, atau pengrajin pada umumnya diturunkan dari ayah ke anak atau melalui kegiatan pemagangan di sanggar.  Meskipun demikian, diperoleh informasi bahwa pendidikan seni rupa dalam bentuk menggambar diberikan di sekolah umum tingkat dasar.  Disebutkan bahwa di Sicyon, Peloponesus, pada pertengahan abad ke-4 SM, di sekolah dasar yang hanya diikuti oleh murid laki-laki, diberikan pelajaran menggambar dengan obyek figur manusia (Hubbard 5)
(4) Pendidikan di Romawi Kuno yang menekankan aspek pendidikan untuk perang, penaklukan, politik, dan administrasi.

(5) Pendidikan orang Yahudi kuno.

(6) Pendidikan di abad Pertengahan yang diprakarsai oleh Gereja Katolik Roma (agama Kristen), pada sekolah ini mulai muncul sekolah untuk pendeta, untuk kaum biarawan mulai tingkat dasar sampai tinggi. Pada masa ini juga muncul yang disebut sekolah aprentis dengan gildanya (lihat uraian di atas).

(7) Sekolah Arabian, sekitar abad ke 10-dan ke 11, pendidikan yang bersifat Arab ikut mempengaruhi Eropah melalui sekolah Arab di Utara Afrika dan Spanyol. Seperti yang di catat oleh Gutek (2009):
“Western educators learned new ways of thinking about mathematics, natural science, medicine, and philosophy. The Arabic number system was especially important, and became the foundation of Western arithmetic. Arab scholars also preserved and translated into Arabic the works of such influential Greek scholars as Aristotle, Euclid, Galen, and Ptolemy. Because many of these works had disappeared from Europe by the Middle Ages, they might have been lost forever if Arab scholars such as Avicenna and Averroës had not preserved them. Sumber:Bahan ini diperoleh dari  tulisan Gerald L. Gutek, B.A., M.A, P.hd., Profesor Departemen Education, Loyola University, Chicago, penulis dari "Pengalaman Sejarah Pendidikan Barat", dan buku lainnya
(8) Pada abad ke-11, muncul sekolah skolastik yang dipengaruhi oleh filsafat Bible, sekolah skolastik ini mencapai puncaknya pada ajaran-ajaran Saint Thomas Aquinas, tentang “kepercayaan, cinta dan belajar” yang juga diajarkan pada University of Paris.

(9) Pendidikan di zaman “renaisan” atau “rebirth”, sesuai dengan artinya “kelahiran kembali”, adalah penolakan kaum humanis  terhadap dogma gereja. Tokoh-tokoh penting pemikir humanis renaisan diantaranya adalah Dante Aleghieri, Petrarch, dan Giovanni Boccaccio, kemudian tokoh Desiderius Erasmus dari Belanda. Materi pelajaran utama pada saat itu adalah archaeology, astronomy, mythology, history, dan Scripture (Injil). Pada saat itu juga terbuka peluang untuk sekolah kaum wanita untuk mempelajaanri art, music, needlework (menjahit), dancing, dan poetry, yang dianggap cocok untuk kaum wanita.

(10) Pendidikan di era Reformasi Protestan, adalah akibat penolakan terhadap ajaran Kristen, Katolik Roma, kemudian disebut agama  Protestan, penganjurnya adalah John Calvin, Martin Luther, dan Huldreich Zwingli. Pendidikan diutamakan kepada ajaran baru ini disamping pendidikan berbasis vernacular (bahasa daerah) primary schools dengan penekanan kepada reading, writing, arithmetic, dan agama Protestan untuk anak-anak dengan dasar bahasa mereka sendiri.

(11) Pendidikan di abad ke-17, umumnya dipengaruhi oleh pemikir-pemikir seperti Jan Komensky dari Moravia, kemudian filsuf Inggris John Locke.

(12) Di zaman Pencerahan atau “Enlightenment”, di abad ke-18, zaman ini juga disebut dengan zaman Age of Reason (Era Akal Sehat), secara tidak lagsung juga dipengaruhi oleh revolusi Amerika, yang tidak terlepas dari pemikir Benjamin Franklin yang mengembangkan azas-azas nilai  pendidikan utilitarian (kemanfaatan, keberfungsian) dan scientific di sekolah-sekolah Amerika. Kemudian juga Thomas Jefferson untuk menyebar luaskan paham “civic education” (pendidikan bagi umum” dan  citizens (warganegara) untuk tujuan bangsa yang bersifat demokratis.

(13) Pendidikan modern berakar di abad ke 19, melalui pemikiran pendidik orang Swiss  Johann Heinrich Pestalozzi, yang terinspirasi oleh pemikiran filsuf Perancis French Jean Jacques Rousseau, dia mengembangkan pendidikan yang berbasis dunia alami anak-anak. (lihat uraian selanjutnya).
Menurut cerita, pemrakarsa pendirian lembaga Akademi Seni secara formal diawali oleh kerajaan (raja) dan pimpinan agama (gereja). 

Dalam hal ini raja dan  pimpinan agama selaku  pelindung terpanggil untuk bertanggungjawab dalam hal pengelolaan seni untuk kepentingan gereja dan juga untuk kepentingan kemegahan istana kerajaan. Namun, peran raja dan pimpinan agama akhirnya semakin lama berangsur-angsur berkurang dan hilang seiring dengan perjalanan sejarah.

Menurut (Murray,& Murray, 1976) sejak abad ke-13 di mulai Italia didirikan lembaga pendidikan seni dengan sistem baru yang disebut Akademi Seni. Sebagai contoh di Italia dikenal dengan nama  Accademia di San Luca yang sudah  lama berdiri, yaitu sejak tahun 1593. Di Perancis Royal Academy of Painting and Sculpture, yang mengikuti pola di Italia, dan dibangun tahun 1648. Di Inggris  Royal Academy of Arts, yang mulai di London tahun 1768. Pendirian lembaga baru ini kemudian diikuti oleh negara-negara Eropa dan negara lainnya. Sumber: Murray,Peter & Murray,Linda.1976. Dictionary of Art & Artist. New York : Penguin Books. Sekolah dan training musik mulai dibangun lewat sebuah konservatori di Paris tahun  1795. Berbagai konservatori mulai dibangun di Eropah dan Amerika sesudahnya. Kemudian mereka bergabung dengan sistem Univesitas. Sekolah Tari moderen pertama  dibangun di  Royal Academy of Dance, yang disponsori oleh King Louis XIV 1661 di Paris. Melaluinya dan beberapa sekolah Perancis lainnya, Paris kemudian menjadi pusat pendidikan dan latihan balet.

Training   bidang teater pada abad ke 20 masih mirip dengan sistem aprentis. Aktor muda bekerja di teater sambil belajar ketrampilan dan pertunjukan drama. Sekarang terdapat dua bentuk utama, tipe sekolah drama. Beberapa diantaranya mirip dengan Studio Aktor di New York City dan di Royal Academy of Dramatic Art di  London, pelajarannya melulu  akting. Yang lain  misalnya seperti  Yale School of Drama, bengkel atau workshops drama ini bergabung pada universitas dan college (Murray,& Murray, 1976)

Pada abad ke-14—15, yang disebut zaman Renaisan dengan “gerakan humanismenya”, seni bukan lagi monopoli urusan kerajaan dan agama (gereja), melainkan milik semua orang yang mampu bergiat dan memiliki. Semenjak itulah seni juga bagian dari kegiatan orang-orang yang awan dan tidak terkait lagi dengan  ikatan kerajaan atau agama. Perkembangan selanjutnya, mendorong adanya kesempatan kebebasan seniman untuk melahirkan karya seni yang terbebas dari ikatan raja dan gereja dan bersifat individu. Kegiatan seni akhirnya  tidak terbatas pada kelompok sosial elit ini dan menyatu dengan kehidupan sehari-hari orang awam.

Ingres,  adalah contoh seniman yang lahir dari sistem pendidikan akademis. Nama aslinya  Jean-Auguste-Dominique Ingres, yang lahir bulan 29 Agustus 1780, di Montauban, Perancis. Pendidikannya dimulai sejak usia 6 tahun di bawah pengaruh Revolusi Perancis. Pada usia 11 tahun, dia belajar di Academy of Toulouse.  Sejak usia 16  tahun, Ingres sudah bisa bergabung di orkestra dengan memainkan biola. Dia tetap memainkan biola sepanjang hidupnya sebagai suatu hobbi. Tetapi pada usia 17 tahun, dia mulai belajar melukis kepada Jacques-Louis David, sebagai seorang pimpinan seni lukis neo-klassik pada saat itu. Beberapa lama sesudah itu dia mulai berkarya dan sukses di Paris, khususnya di bidang seni lukis potret.

Peran dan fungsi pendidikan seni dalam bentuk sekolah formal semakin berkembang sejak abad ke-17 sampai abad ke-19 (lihat uraian sebelumnya).  Ketika ini, lahir tokoh-tokoh ahli pendidikan seni antara lain J. A. Comesius (1652-1770), John Lock (1632-1704) [2] , J. J. Rousseau (1712-1778) [3], J.H Pestalozzi (1746-1827) yang memberi penguatan pentingnya pendidikan seni dimasukkan dalam mata pelajaran di sekolah.
Catatan Kaki:

[2] John Locke (1632-1704), filsuf Inggris, yang mendirikan sekolah empirisme.
Salah satu pemikir Pencerahan paling berpengaruh, filsuf Perancis Jean Jacques 
[3] Rousseau berpendapat bahwa kebebasan individu lebih penting daripada lembaga negara. Tulisan-tulisan politiknya membantu mengilhami Revolusi Perancis (1789-1799). Ia juga menulis fasih tentang pendidikan, dengan alasan bahwa anak-anak belajar terbaik dengan berinteraksi secara bebas dengan lingkungannya. Pemikirannya tentang pendidikan, diantisipasi oleh reformasi sekolah abad ke-20 
b. Pendidikan Ketrampilan

Pada awalnya pendidikan seni dimasukkan di sekolah dengan sebutan mata pelajaran “menggambar” oleh seorang tokoh penting J. A. Pestalozzi (Johann Heinrich Pestalozzi, 1746-1827) yang juga mendukung konsep “rasionalisme” yaitu konsep pendidikan di jaman renaisan. 


Gambar Johann Heinrich Pestalozzi pendidik orang Swiss, yang secara luas dianggap sebagai pelopor pendidikan anak usia dini. sumber: Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008 Microsoft Corporation. All rights reserved. Lukisan ini di duga dibuat dengan teknik etsa (eching).

Menurut Pestalozzi melalui kegiatan menggambar, anak-anak dapat mengembangkan kemampuan pengamatannya menjadi kritis dan tajam. Kemampuan ini dianggap penting bagi pengembangan penalaran, sains dan teknologi. Konsep pendekatan rasionalitas (kerasionalan) ini telah berkembang di masyarakat berbagai negara dan banyak diikuti oleh kalangan pendidik. 

Filosofi Pestalozzi, pertama kali yang mengusulkan dalam pengajarannya pada tahun 1770-an -- yang didasarkan pada prinsip -- bahwa anak-anak  harus tumbuh secara baik dan alami , pendidikan harus menjamin bawaan anak. Pestalozzi mendirikan beberapa sekolah untuk anak-anak miskin dan yatim piatu di Swiss. 
d. Teori tentang Pengalaman estetik (Aesthetics Experience Theory)

Untuk pertamakalinya, John Dewey, (1859-1952) dalam bukunya  Art As Experience (1934: 22) mengatakan bahwa pengalaman estetik menggambarkan sejenis pengalaman yang spesial karena terjadinya sentuhan dengan gejala keindahan yang ditentukan oleh pengetahuan, pengalaman, cita rasa dan konteks budaya. Bahkan etika-estetik itu penting, karena semua manusia dapat menghargai yang baik dan menarik .

John Dewey secara signifikan mempengaruhi pendidikan Amerika. Dia adalah seorang psikolog pendidikan, filsuf, dan aktivis politik yang adalah advokasi yang memusatkan perhatian untuk sistem instruksi pembelajaran anak-anak. Dia percaya bahwa pembelajaran harus melibatkan dan memperluas pengalaman peserta didik. Dia mendorong pendidik untuk merefleksikan strategi dan membuat kegiatan yang terkait dengan hal-hal yang konkret dan praktis untuk kehidupan mereka masa yang akan datang.Sumber: Microsoft ® Encarta ® 2009. © 1993-2008.
Sebagai pengaruh Dewey, Clive Bell (1881 - 1964), di kemudian mencari rumusan estetik itu melalui “ciri-ciri benda estetik” dan analisa objektif, yang melahirkan filsafat dan “teori formalisme”nya (Formalism Theory). Dasar pemikiran ini dapat ditelusuri kembali ke pemikiran orang Yunani kuno tentang estetik, yang memunculkan kembali konsep perbandingan keemasan (golden section). Kemudian konsep matematik Fibonacci (Leonardo Fibonacci atau Leonardo of Pisa,1170?-1240?) -- ilmu yang yang diperolehnya dari budaya Arab dan India klasik -- yang disebut dengan “deret bilangan Fibonacci”.
Catatan penulis:
Rumusan ini kemudian mempengaruhi praktisi dalam berbagai bidang untuk terapannya di bidang seni, seni lukis, dan berbagai bidang desain, sebagai contoh ukuran buku dan kertas seperti kuarto, folio, atau A1, A2, A3 dan A4, dst, sekarang adalah terapan teori estetika Fibonacci)
Konsep pengalaman estetik juga mempengaruhi penyair dan kritikus seni patung Inggris Herbert Edward Read (1893-1968) dan merumuskan bahwa “seni” adalah segala sesuatu bentuk-bentuk“yang menyenangkan”.

Jika Clive Bell melihat dari segi objektifitas kebendaan, Susanne K. Langer (1895-1985), melihat seni itu bukan semata lahir dari objektifitas estetik, tetapi hal-hal yang ada dibalik objektifitas estetik itu, yaitu sebagai keinginan untuk melambangkan sesuatu, maka lahir teori bahwa seni disamping estetik juga simbolik (teori simbolisme dalam seni). Dan apa yang simbolik itu juga berkaitan dengan emosi dan perasaan. Misalnya, Susanne K. Langer (1895-1985), dan Goodman (dalam Smith and Smith, 1981: 91) bahwa pengalaman estetik mencakup pengalaman kognitif maupun pengalaman rasa yang melibatkan kemampuan berpikir logis,  kepekaan rasa, dan peran aktif dari emosi.

e. Pengaruh Teori Psikologi analisa Feud

Pengaruh Teori Psikologi analisa Feud, ternyata juga merambat ke bidang pendidikan seni, memunculkan konsep baru dalam pendidikan seni. Dalam konsep ini, karya seni bukan lagi semata-mata hasil tiruan alam yang memiliki keindahan obyektif, melainkan merupakan wadah ungkapan pengalaman batin seniman. Bertolak dari konsep ini orang mulai mengkaitkan kegiatan seni sebagai sarana pengalaman batin sebagaimana seniman. 

Pembaharuan konsep ini terjadi diberbagai negara dengan tokoh-tokohnya antara lain Van Prang, E.Cooke, G. Hirth, G. Kerschensteiner (1854-1932), Victor lowenfeld (1903–1960) , Wickizer dan sebagainya.
  
f. Munculnya Teori Ekspresi (Art Expression)

Munculnya teori seni untuk berekspresi adalah pengaruh tidak langsung dari teori Freud. Hal ini menyokong kepada  pandangan pakar pendidikan bahwa berekspresi  merupakan kebutuhan manusia dalam mengkomunikasikan perasaan kepada pihak lain. 

Pandangan yang sama misalnya terdapat pada tulisan Wickiser (1974), Van Prang, E.Cooke, G. Hirth, G. Kerschensteiner dan sebagainya yang melihat tujuan belajar seni sebagai kegiatan ekspresi dan bukan hanya sebagai hasil ketrampilan (skill).

Setelah ini muncul teori-teori lain yang berkembang dalam dunia pendidikan seni, hal ini bukan saja dipengaruhi oleh perkembangan teori ketrampilan seni tetapi oleh perkembangan teori kependidikan dan pembelajaran, yaitu tentang tujuan pembelajaran seni dan pendidikan pengalaman estetik.

Ekspresi merupakan pernyataan kejiwaan yang berfungsi untuk memenuhi kebutuhan hidup manusia dalam mencari kepuasan. Ekpresi juga merupakan kebutuhan manusia dalam mengkomunikasikan isi hatinya kepada pihak lain. Berekspresi dalam seni berarti menuangkan isi hati dengan menggunakan sarana gambar, gerak, nada suara atau kata.

Teori-teori psikologi yang dipakai sekarang ini (baik oleh bidang pendidikan, seni dan lainnya) banyak mendapat kritikan, misalnya Oleh Ken Wilber (1949-..) [4] yang dalam khazanah psikologi di Indonesia memang belum sepopuler Freud, Jung, Maslow, Pavlov, Skinner dan tokoh-tokoh besar psikologi lainnya. Namun buah pemikirannya teramat penting untuk dicermati dan dikaji. Wilber mengkritik Freud yang terlalu melihat manusia sebagai mahkluk pesakitan yang kehilangan kebebasannya karena dikuasai oleh impuls-impuls bawah sadarnya. Dia juga mengkritik Pavlov, dan Skinner, pendiri behaviorisme, yang telah menjatuhkan martabat manusia karena disamakan dengan binatang yang hanya bereaksi ketika stimulus diberikan.
Ada tulisan yang menarik tentang aplikasi teori ekspresi ini yang kebetulan terjadi di Yogya, di awal kemerdekaan, tulisan ini di tulis oleh Jim Supangkat & Sanento Yuliman, dalam buku G. Sidharta di tengah Seni Rupa Indonesia, terbitan Gramedia, tahun 1982 halaman 14, sebagai berikut ini.
 "Janggal campur kagum, Sidharta memperhatikan gurunya melukis. Hendra Gunawan sang guru memang teatral bila bekerja: berteriak, mengamuk, lalu menghujamkan catnya ke kanvas. Memang corak inilah yang melanda dunia seni lukis saat itu. Gaya yang percaya pada "greget" (ekspresi/ jiwa yang nampak) dalam melukis".
f. Menggapai Tujuan Pendidikan Melalui Seni: Herberd Read (“Education Through Art” )

Dapat dikatakan konsep-konsep dan filosofi Dewey menjadi poros dari teori tentang seni dalam pendidikan, walaupun dia juga memberi andil untuk mengarah seni sebagai alat pendidikan. Namun yang mengarahkan seni untuk kepentingan pendidikan secara nyata adalah Herbert Read (1893-1968) dalam bukunya “Education Through Art” secara fisiologis mengatakan, bahwa seni dapat dipakai sebagai alat untuk mencapai tujuan-tujuan pendidikan. Konsep ini menjadi populer diberbagai negara. Diantara pemikiran yang muncul dari tulisan Read ini adalah:

Seni Sebagai Alat Pendidikan 

Read (1978), mengatakan bahwa pendidikan seni berfungsi sebagai alat pendidikan, yaitu dapat mengembangkan  kepribadian pebelajar secara utuh mencakup potensi fisik, mental pribadi, dan sosial anak didik secara umum seperti halnya pada mata pelajaran lain melalui program pengajaran seni.
Pengembangan potensi tersebut diperoleh sebagai akibat dari terlatihnya pebelajar dalam kegiatan mengungkapkan pengalaman batin (estetik) secara jujur (pribadi), unik, baru, serta pengalaman pengakraban, mempersepsi, menganalis, menginterpretasi, menilai dan menghargai objek estetik atau karya seni.

Perolehan hasil kegiatan berupa terkoordinasinya kepekaan gerak motorik (skill) dengan keseluruhan indera, sikap keberanian mengemukakan pendapat, kemampuan berpikir secara integral, bekerjasama, berkesetiakawanan sosial, bertoleransi, penghargaan, demokratis, beradap, mampu hidup rukun dalam masyarakat dan budaya yang majemuk serta dampak-dampak yang lainnya di luar seni itu sendiri.

g. Teori Stimuli -Respon dan Sensasi Haptic Thomas Munro dan Lowenfeld

Pengaruh Dewey cukup luas, diantaranya Thomas Munro (1897-1974),  juga dipengaruhi oleh pemikiran Dewey ini, kemudian menelusuri lebih dalam tentang estetika ini di berbagai produk budaya Barat dan Timur dan juga menghubungkannya dengan aspek psikologi serta pendidikan manusia. Misalnya pendapat tentang estetika adalah suatu proses psikologis dan atau respon manusia terhadap stimuli objek [5]--terutama melalui sensasi persepsi oleh indera manusia kemudian bermuara kepada “interpretasi” seperti asosiasi, pemahaman, imajinasi dan emosi. Karya Munro, dapat dilihat dalam bukunya The Arts and their Interrelations. New York: Liberal Arts Press, 1949; dan beberapa esei yang ditulisnya Art Education: Its Philosophy and Psychology; Selected Essays. New York: Liberal Arts Press, 1956.[6]

Kemudian Victor lowenfeld (1903–1960)terkenal dengan teori Visual-Haptic dalam Pendidikan Seni yang diasimilasikan dari sumber Wina. Dia selalu menganggap pengajaran yang baik sebagai sebuah dialogis.Viktor Lowenfeld (1903-1960) adalah seorang profesor kelahiran Austria, pengajar seni di Pennsylvania State University, AS. Dengan bukunya yang terkenal: Genesis of Sculpturing, 1932; Sculptures by the Blind, 1934; The Nature of Creativity, 1938; Creative and Mental Growth, 1947; dan Your Child and his Art (1947). 


Konsep tahapan seni anak Lowenfeld ini diambil dan didasari oleh dua sumber. Salah satunya adalah sekolah psikologi psikoanalisis di mana telah dibuktikan adanya pertumbuhan estetika, sosial, fisik, intelektual, dan emosional tercermin dalam seni anak-anak. Yang kedua adalah konsep tahap pertumbuhan anak dalam seni, yang berasal dari sumber-sumber Jerman dan Austria (Wina). Tahapan terdiri dari (1) masa coretan bebas, corengan terkontrol,  2-4 tahun; (2) pra skema: 4-6 tahun; (3) skema: tujuh sampai sembilan tahun; (4) usia awal realisme, geng: 9-11 tahun; (5) realisme semu/ usia penalaran: 11-13 tahun; dan (6) periode kepastian/ krisis remaja: empat belas tahun dan lebih tua. Lowenfeld tidak mengklaim tahapan ini asli temuannya namun diperoleh dari sumber-sumber sebelumnya.
Konsep-konsep Lowenfeld bukan tanpa kritik. D'Amico misalnya merasa bahwa pendidikan seni Lowenfeld terlalu over-psikologis dan hal ini mendorong banyak orang untuk mengejar penelitian psikologis daripada memperdalam kekuatan kreativitas anak. Selain itu, dengan terjadinya gerakan reformasi kurikulum yang didorong oleh pencapaian ruang angkasa Soviet, seperti peluncuran Sputnik pada tahun 1957, Amerika mulai mementingkan bentuk disiplin studi yang berorientasi penelitian dan mulai menantang gagasan Lowenfeld tentang kreativitas sebagai tujuan utama pendidikan seni.[7]
Catatan Kaki:[5] Etika Aesthetic mengacu pada gagasan bahwa perilaku manusia dan perilaku seharusnya diatur oleh apa yang dianggap menarik dan cantik. John Dewey telah menunjukkan bahwa perpaduan antara estetika dan etika sebenarnya tercermin dalam pemahaman kita tentang perilaku yang "adil" - kata yang bermakna ganda yang menarik dan dapat diterima secara moral. Baru-baru ini, James Page telah menyarankan bahwa etika estetika dapat dipakai membentuk pemikiran dan filosofis untuk pendidikan perdamaian. [6]Thomas Munro (1897, Omaha, Nebraska - 14 Agustus 1974, Sarasota, Florida) adalah seorang filsuf Amerika seni dan profesor sejarah seni di Western Reserve University. Ia menjabat sebagai Kurator Pendidikan untuk Cleveland Museum of Art selama 36 tahun (1931-1967). Ia dididik di Amherst College (BA 1916) dan Columbia University (MA 1917), di mana ia dipengaruhi oleh filsuf dan pendidik John Dewey. Munro menjabat sebagai sersan untuk layanan psikologis dari Army Medical Corps sebelum kembali ke Columbia untuk mendapatkan gelar Ph.D.-nya[7]Tentang D'Amico ini lihat di http: //pocketknowledge.tc.columbia.edu/home.php/browse/29265)h.Teori Pendidikan, Pembelajaran dan evaluasi seni oleh Eisner

Elliot W. Eisner ( 1933 -2014),  telah membuat kontribusi yang signifikan terhadap apresiasi orang terhadap proses pendidikan. Ia terutama dikenal karena karyanya dalam pendidikan seni, studi kurikulum, dan evaluasi pendidikan.

Profesor Pendidikan dan Seni di Universitas Stanford. Secara luas dianggap sebagai teoritikus terkemuka pendidikan seni dan estetika di Amerika Serikat, ia telah memenangkan pengakuan luas untuk karyanya baik dan luar negeri. Semasa hidupnya dia adalah Presiden National Art Education Association di Amerika, Masyarakat Internasional untuk Pendidikan Melalui Seni

Dia banyak mengarang buku antara lain: The Educational Imagination (1979, 1985, 1994) - an exploration of the design and   evaluation of curriculum programmes); The Art of Educational Evaluation (1985) - a collection of essays covering key aspects of his earlier work; Cognition and Curriculum (1994) - an examination of the mind and representation); and The Enlightened Eye (1991, 1998) - the extension of his thinking to qualitative research into education). He also made an important contribution to the school reform debate in North America especially through his book, The Kind of Schools We Need (1998).

Bagi Eisner (1972: 58) keunikan fungsi pendidikan seni dalam orientasi pengajaran seni dapat dipetakan dalam sebuah hubungan triadik, yaitu: (1) pandangan pendidikan seni berbasis anak, (2) pandangan pendidikan seni berbasis subjek (disiplin ilmu), dan (3) pandangan pendidikan seni berbasis kebutuhan masyarakat. 

Dari sudut pandang kebutuhan anak, secara psikologis keunikan mata pelajaran pendidikan seni utamanya berkaitan dengan kontribusi seni terhadap kebermaknaan dan kebermanfaatan bagi kebutuhan perkembangan pebelajar, yakni terletak pada pemberian pengalaman estetik secara alamiah dalam bentuk kegiatan berekspresi diri secara kreatif dan berapresiasi (respon kreatif) sehingga dapat membantu mengembangkan keseluruhan potensi kepribadian utuh (holistik) pebelajar baik aspek pribadi, sosial, intelek, emosi, dan fisik.

3. Perkembangan Teori lainnya

Teori tentang pengalaman estetik, ekspresi, sensasi dan respon haptic, kemudian berkembang kepemikiran yang lebih luas oleh para ahli yang sama dan lainnya, pada dasarnya adalah dalam sudut pandang ilmu psikologi. Misalnya banyak teori lain yang muncul dari aspek psikologis seperti teori bakat, teori kepribadian, teori impuls estetik dan sebagainya.

Dikatakan oleh para ahli bahwa, pendidikan Seni sebagai aesthetic needs memiliki fungsi yang esensial  dan unik, sehingga mata pelajaran ini tidak dapat digantikan dengan mata pelajaran lain. Berdasarkan berbagai kajian dan penelitian, baik secara filosofis, psikologis maupun sosiologis ditemukan bahwa pendidikan seni memiliki keunikan peran atau nilai strategis dalam pendidikan sesuai perubahan dan dinamika masyarakat,  diantaranya adalah sebagai berikut ini:
  • dapat membantu mengembangkan perasaan anak (Ross: 1990), 
  • dapat digunakan sebagai sarana terapi dan kesehatan mental (Margaret Numberg), 
  • dapat mengembangkan imajinasi, kreativitas dan kemampuan artistik serta intelektual (Kaufman), 
  • dapat membantu perkembangan kepribadian dan pembinaan estetik anak (Wickiser: 1974), 
  • dapat meningkatkan kemampuan apresiasi anak didik (Chapman)

i. Teori tentang Pengembangan Kreativitas (Creativity Development Theory)

Umumnya kreatifitas diartikn sebagai daya atau kemampuan untuk mencipta. Melalui kegiatan berolah seni kreatifitas atau daya cipta anak dapat dikembangkan. Berolah seni yang dimaksudkan adalah melakukan kegiatan pengenalan, eksperimen dalam berbagai bentuk jenis alat/bahan dan teknik mewujudkan/menampilkan karya seni, baik melalui rupa, gerak, nada suara atau kata.

Membangkitkan dan membebaskan anak untuk melakukan kegiatan berolah seni sesuai kemampuan dan minatnya serta memberi kesempatan kepada anak-anak untuk mencoba memecahkan masalah ketika berolah seni sehingga menghasilkan hal-hal baru dan unik baginya merupakan sarana yang baik dalam upaya membina dan mengembangkan kreatifitas.

Sebagimana dikatakan oleh tokoh-tokoh seperti Dewey, Read dan Ross, bahwa melalui pembelajaran seni dapat membantu meningkatkan daya kreatifitas anak. Kreativitas dan Aktivitas.
Terdapat banyak pengertian kreativitas yang terkenal di antaranya yang mendifiniskan kreativitas  dalam empat dimensi yang dikenal  dengan Four P’s of Creativity, yaitu
(1) kreativitas dari segi person (pribadi),
(2) kreativitas sebagai suatu process (proses)
(3) kreativitas sebagai press (pendorong), dan
(4) kreativitas dari segi product (hasil).

Kreativitas dari segi person   mengacu pada potensi daya kreatif yang ada pada setiap pribadi. Kreativitas sebagai proses  proses  mengacu pada suatu bentuk pemikiran dimana individu berusaha menemukan hubungan-hubungan  yang baru, mendapatkan jawaban,  metode atau cara-cara baru dalam mengahadapi  suatu masalah. Kreativitas sebagai press merupakan kreativitas yang datang dari dalam diri sendiri (internal) berupa hasrat dan motivasi yang kuat untuk berkreasi. Kreativitas dari segi produk  yaitu segala sesuatu yang diciptakan oleh seseorang  sebagai hasil dari keunikan pribadinya dalam berinteraksi dengan lingkungan (Satiadarma dan Waruwu, 2003).

Sekarang ada pendapat baru tentang 5 teori pokok  kreativitas, tulisan Carol Rzadkiewicz tentang The Five Major Theories of Creativity, lihat di https://suite.io/carol-rzadkiewicz/2d7v20v, yang berpendapat bahwa teori pokok tentang kreativitas itu ada 5 yaitu:
1.The Psychoanalytical Theory of Creativity
2.The Mental Illness Theory of Creativity
3.Eysenck's Theory of Psychoticism
4.The Addiction Theory of Creativity
5.The Humanistic Theory of Creativity

Kreativitas melahirkan   aktivitas   atau kreativitas ditunjukkan oleh adanya   aktivitas. Orang yang mempunyai kreativitas tinggi biasanya menghasilkan berbagai   aktivitas . Pembelajaran yang berbasis pada   aktivitas   (active learning) akan menuntut kreativitas berpikir lebih banyak daripada pembelajaran biasa.

j. Teori tentang Pengembangan Bakat

Secara umum orang berpendapat bahwa bakat anak dibawa sejak lahir, namun bakat anak ini sulit berkembang jika tidak dipupuk. Bakat anak dibidang seni dapat dipupuk melalui pembelajaran seni. Pendidikan seni yang memberikan kesempatan pada anak untuk mengenal dan menjelajah berbagai media seni, serta sikap/dukungan dan motivasi guru yang positif terhadap anak-anak untuk berpeluang memelihara dan mengembangkan bakatnya. Lihat juga teori Suzuki tentang pengembangan bakat [8]

Menurut para ahli anak Berbakat (Gifted & Talented). Giftedness berakar dari konsep biologis. Sebuah nama inteligensi taraf tinggi. Hasil dari integrasi yang maju dan cepat dari berbagai fungsi otak yang meliputi penginderaan, emosi, kognisi, dan intuisi. Fungsi yang maju dan cepat tersebut diekspresikan dalam bentuk kemampuan-kemampuan kognisi, kreativitas, kecakapan akademik, dan kepemimpinan, seni rupa, seni pertunjukan dan sebagainya. Individu yang tergolong gifted & talented ialah yang menampilkan atau yang menjanjikan harapan untuk menampilkan inteligensi taraf tinggi. Kemajuan dan kecepatan perkembangan tersebut menyebabkan individu memerlukan layanan atau   aktivitas khusus yang disediakan oleh sekolah  agar  kemampuannya berkembang lebih penuh. Anak berbakat diartikan juga sebagai anak yang mampu mencapai prestasi tinggi karena memiliki kemampuan-kemampuan unggul, seperti interaksi dan kemampuan intelektual di atas rata-rata, komitmen yang tinggi terhadap tugas, dan kreativitas yang tinggi.
Catatan Kaki:
[8]Tentang bakat lihat teori Suzuki :

Suzuki Shin’ichi (1898-1998), Japanese music educator, creator of the Suzuki Method of teaching the violin. Born in Nagoya, the son of a violin maker, Suzuki studied the instrument in Japan and Germany. In 1946 he launched his Talent Education Movement in Japan; the premise of the movement is that all individuals possess talent which education can develop. Suzuki's method of teaching the violin, based on his observation of small children's rapid and natural acquisition of language skills, involves training children from the age of two with miniature instruments—progressively increased in size—without using written music, and encouraging parent participation. In 1950 he established his first school at Matsumoto in Nagano Prefecture, which soon began to produce famous violinists. The success of his method led to its adoption worldwide. He also published several books on education

k. Kecerdasan Visual: Persepsi Ruang

Persepsi visual adalah persepsi yang didasarkan pada penglihatan. Persepsi ini sangat mengutamakan peran indra penglihatan (mata) dalam proses perseptualnya. Dengan demikian proses perkembanganya tergantung pada fungsi indra mata. Pada persepsi visual, ketajaman dan kejelasan penglihatan secara tepat terjadi pada usia 5-7 tahun dan 9-10 tahun. Pada usia 10 tahun inilah perkembangan puncak dari ketajaman penglihatan yang dapat diraih oleh anak.

Menurut Gardner  ada tujuh tipe kecerdasan manusia yaitu: (1) language, (2)music, (3)logic dan (4) mathematics, (5) visual-spatial conceptualization, (6) bodily-kinesthetic, (7)bknowledge of other person, dan knowledge of ourselves.

Namun telah banyak kritik terhadap teori kecerdasan ganda ‘multiple intelligencenya’ Gardner ini. Para ahli berpendapat bahwa Gardner hanya berdasarkan ide-idenya lebih pada penalaran dan intuisi dari pada studi empiris. Mereka mencatat bahwa tidak ada tes yang tersedia untuk mengidentifikasi atau mengukur kecerdasan tertentu dan bahwa teorinya sebagian besar mengabaikan hasil penelitian yang menunjukkan kecenderungan kemampuan yang berbeda untuk membuktikan korelasinya dengan faktor kecerdasan umum. Selain itu, kritikus berpendapat bahwa beberapa kecerdasan Gardner diidentifikasi -- seperti kecerdasan musik dan kecerdasan kinestetik-- harus dianggap hanya sebagai bakat, karena hal ini biasanya tidak diperlukan untuk beradaptasi dengan tuntutan hidup.

Melalui konsep kecerdasan ini, maka konsep ekspresi dalam pendidikan seni dapat bermasalah, karena emosi disamakan dengan kecerdasan, konsep-konsep penting dalam pendidikan seni seperti emosi, estetika, ekspresi dikaitkan dengan kecerdasan.


Sesudah teori Gardner, Teori Kecerdasan Ganda, selanjutnya dikemukan oleh Psikolog Amerika Robert Sternberg,  tahun 1983, dia mengemukakan  segitiga kecerdasan manusia yaitu: analytic intelligence, creative intelligence, dan practical intelligence. [1]Ini bukan kecerdasan ganda seperti dalam teori Gardner, tetapi bagian yang saling berhubungan dari satu sistem. Dengan demikian, banyak psikolog menganggap teori Sternberg sebagai kompatibel dengan teori kecerdasan umum, untuk melihat teori kecerdasan ini lihat  tabel 1.1 di bawah ini.
Tabel 1.1 perkembangan teori kecerdasan (intelligence) 


sumber: Microsoft ® Encarta ® 2009


4. Dilema Teori Seni: Antara Imitasi, Ekspresi dan Estetik Formalis


Sampai sekarang masih dibicarakan dilema-dilema dalam teori seni, untuk memudahkan lihat tabel di bawah ini (hanya beberapa contoh). 

Dilema Imitasi dan Ekspresi

Seni sebagai Imitasi
Seni sebagai ekspresi
1.Diantara tokoh pemikir
Plato (400 SM)
Leo Tolstoy, Langer

Seni sebagai ungkapan dunia nyata yang dilihat seniman, Seni sebagai temperamen dan eksistensi dunia luar, misalnya keindahannya.
Seni adalah sebagai cermin jiwa dunia dalam, pikiran dan perasaan manusia
Dan diutarakan dalam simbol (S. K. Langer)
2. Dilema Seni
Menyembunyikan seni di balik tampilan karya seni
Apakah ekspresi perasaan batin seniman itu ada pada proses  berkarya (proses kreasi), atau perasaan seniman itu ada pada produk yang dihasilkan?

Dilema Teori Ekspresi dan Teori Estetik dalam Proses Penciptaan Seni

Dilema Penciptaan Karya Seni
Penciptaan sebuah karya seni adalah mewujudkan kombinasi baru dari unsur medium seni.
Penciptaan adalah reformasi dari bahan-bahan yang sudah ada sebelumnya
1
Ketika seseorang dikatakan mengekspresikan perasaan, apa yang secara khusus yang dia lakukan?

Apa dilakukan?
2
(1) Bahwa penciptaan seni adalah (atau melibatkan) ekspresi  diri  (ungkapan ide); (2) yang lain mengatakan bahwa itu adalah ekspresi perasaan, kedua hal ini bersamaan, terpisah, atau hanya salah satu?
Mana yang dipilih ekspresi sebagai ide (konsep) atau  ekspresi sebagai perasaan?
3
Terlalu mudah untuk mengatakan penciptaan adalah proses penciptaan artistik, padahal penciptaan adalah keperluan seniman mengekspresikan sesuatu Emosi manusia yang sebenarnya tidak selalu ada hubungannya dengan seni apalagi aspek artistik dalam seni
Apakah ekspresi emosi sama dengan ekspresi artistik?
4
Pembicaraan penciptaan teori ekspresi oleh ahli seni hanya tentang perasaan artis, sementara penciptaan terjadi dalam medium seni itu sendiri
Apakah ekspresi seni seniman ada pada Karya  Seni ?

Teori Formalisme


Formalisme
Seni Visual
Seni Sastra
Seni Suara/Musik
Mementingkan Persepsi Visual
Seni sebagai apa yang kelihatan dari apa yang nampak, apa yang tampak menjadi tujuan seni (warna, bentuk, tekstur dsb)
(tangible cultural)
Apa yang tampak tidak menjadi tujuan seni (kata-kata, kalimat), tetapi dibalik kata-kata itu.
(Intangible cultural)
Seni sebagai suara tidak mewakili apa-apa kecuali suara itu sendiri   
Penikmatan seni
(estetik)
Apa yang tampak adalah untuk dinikmati (tidak yang ada diluar itu) seni dinilai bukan dari maknanya
(teori formalis)
Apa yang tampak di interpretasikan, sebagai representasi, sebagai ekspresi, kata-kata (seni) sebagai kendaraan kebenaran atau pengetahuan atau perbaikan moral atau perbaikan sosial. Berlawanan dengan teori formalisme. 
Apa yang terdengar adalah untuk dinikmati (tidak selalu  perlu diinterpretasikan). 
Emosi ada pada diri pendengar, hal ini berlawanan dengan teori ekspresi
Perlawanan atau dukungan terhadap formalis?
Mengkonstruksikan makna visual dengan semiotika (Pierce, Saussure)
Dekonstruksi (Derrida), makna tumpangan dikeluarkan dari teks, makna dilihat hanya dari hubungan antar teks (dekonstruksi)
Menafsirkan makna melalui ekspresi kultural Lavi-Strauss
 

M. Pendidikan Seni dan Seni Rupa Indonesia?

Literatur tahun 70-80-an seperti konsep Postmoderen, dan teori  Eisner tentang seni dan kepribadian (tahun 1990-2000-an) tentu sekarang sudah tidak sepenuhnya diakui dan dipraktikkan di Amerika pada awal abad ke 21 ini. Digantikan oleh pandangan dan teori-teori baru tentang fungsi pendidikan seni di sekolah. 

Perubahan-perubahan itu secara garis besarnya adalah sebagai berikut.

1. Pola 1.Teori-teori tentang posmodrenisme juga mempengaruhi bidang pendidikan dengan pentingnya multikulturalisme dalam seni. Teori ini mendorong untuk mengintegrasikan seni dengan budaya dalam pendidikan seni.  Namun demikian isu-isu multikulturalisme dalam seni ini hanya pada negara-negara bagian tertentu di Amerika yang menonjol dalam masalah ini, bukan untuk seluruh negara bagian.[9]
Munculnya teori postmodern telah membawa sikap baru terhadap penafsiran estetika. Dalam pandangan ini, ahli teori berhadapan dengan asumsi bahwa perihal indah (beauty) menjadi pusat perhatian baik bagi seni maupun estetika. Para pemain estetik postmodern berpandangan  bahwa mereka lebih tertarik pada pengalaman emosional seni daripada apa artinya estetika. Dalam arti kata, estetika postmodern kembali  ke akar permasalahan sensoris, dan tidak tertarik pada pemahaman estetik sebagai filsafat sebagai  presentasi estetik yang universal dan artistik, namun berinvestasi kepada kedalaman pengalaman estetis dalam pengalaman itu sendiri.

Kualitas estetika yang diamati berada dalam pengakuan universal, dari sekian banyak ekspresi tampilan manusia melalui lintas budaya. Dengan cara bawaannya, manusia muncul untuk berbagi beberapa penilaian estetika pada tingkat primordial, atau insting (Dutton, 2009). Demikian pula, hal-hal tertentu menyebabkan reaksi yang sama melalui lintas budaya, seperti benda yang asing tidak mengenakkan atau sesuatu yang menyenangkan, yang mendukung perspektif teori kesamaan manusia (Dissanayake, 2000). Sebagaimana lumrahnya segala sesuatu tentang manusia, akan ada penyimpangan dari semua aturan, mengungkapkan bahwa banyak seni dan kehidupan dinilai pada tingkat individu.


Paul Ford, What is Aesthetics? 2009
2. Pola 2. Pentingnya Seni untuk Industri dan Ekonomi 
Seni untuk industri, atau seni kreatif berkembang di Eropah dan Amerika. Bermacam teori baru dalam pendidikan misalnya pentingnya pendidikan desain, menyebabkan “pendidikan seni yang klassik” sudah dianggap ketinggalan zaman. Pendidikan ini sekarang disebut dengan “pendidikan seni visual dan desain”. [10] Dan pentingnya “problem solving”2) dalam pendidikan seni visual dan desain. Konsep ini sekarang sangat berkembang di Amerika. Tujuannya adalah agar: Berpikir Kritis dan Pemecahan Masalah (problem solving), Komunikasi, Kolaborasi dan Kreativitas dan Inovasi, dapat menyatu dalam kurikulum seni . Hal ini juga dapat dilihat dari berbagai aktifitas berbagai kelompok seperti kelompok Art Of Problem Solving, Guggenheim, di Amerika.[11]
Catatan Kaki:
[9] “A Synthesis of Scholarship in Multicultural Education” http://www.ncrel.org/sdrs/areas/issues/educatrs/leadrshp/le0gay.htm 
[10] Lihat di : 21st Century Skills Arts Map, National Art Education Association (NAEA),http://www.arteducators.org/research/21st-century-skills-arts-map 
[11] Lihat artikel Katrin Oddleifson Robertson ,The Arts and Creative Problem Solving, http://www.pbs.org/parents/education/music-arts/the-arts-and-creative-problem-solving/ 
Lihat http://www.guggenheim.org/new-york/education/school-educator-programs/learning-through-art/research-studies/art-of-problem-solving

D. Teori untuk Sosiologi Seni

Perkembangan Masa Kini (sejak tahun 2012), mengikuti pola ke-2

Perkembangan terakhir pendidikan seni di Amerika, khususnya oleh NEA (National Endowment for the Arts, USA), dalam cara memandang seni dalam konteks sosial pada saat  ini. Yaitu adanya perubahan dalam cara melihat seni yang lepas dari tradisi akademis yang klasik. Pada Kamis, September 20, 2012, para pemimpin seni muncul berkumpul di Universitas Amerika untuk berpartisipasi dalam forum publik NEA.untuk membicarakan " How Art Works ". Forum ini dipakai untuk "mengeksplorasikan laporan NEA yang baru dirilis berjudul Bagaimana Peta Sistem Karya Seni: The National Endowment for the Arts’ Five-Year Research Agenda, with a System Map and Measurement Model”.Termasuk untuk menjelaskan tentang bagaimana Kerja Seni oleh NEA untuk keterlibatan warga yang mewakili berbagai membentuk pengalaman dan perspektif termasuk seniman dan non-seniman, akademisi, pembuat kebijakan, dan orang-orang bisnis untuk mengembangkan pandangan umum dari hubungan antara seni dan hasil individu dan masyarakat. Rangkaian pertukaran menghasilkan sistem peta seni dan dampaknya.


Catatan
National Endowment for the Arts (NEA) adalah lembaga independen dari pemerintah federal Amerika Serikat yang menawarkan dukungan dan pendanaan untuk proyek-proyek memamerkan keunggulan artistik.  (sumberWikipedia): 


Untuk memperbesar gambar, klik kanan gambar, tampilkan di tab baru

Dalam presentasinya dapat dilihat peta yang sangat diantisipasi untuk pertama kalinya. Di tengah peta adalah (1) ciptaan seni (art works) dan (2) partisipan seni (pelaku seni),  Dari tengah bercabang: (3) manfaat artis untuk individu, (4) kepentingan seni untuk masyarakat dan komunitas, (5) kapasitas masyarakat untuk berinovasi dan mengekspresikan ide-ide, (6) infrastruktur seni,(7) pendidikan dan training, dan akhirnya di bagian atas dan hampir dipisahkan adalah (8) dorongan manusia untuk menciptakan dan berekspresi .
Peta ini adalah representasi abstrak dari interaksi antara:
Partisipasi Seni, termasuk partisipasi penciptaan seni;
Seniman, karya seni, dan audiennya;
Bagaimana partisipasi seni mempengaruhi kehidupan individu dan masyarakat; dan
Bagaimana individu dan masyarakat berpengaruh kepada seniman dan karya mereka.

Kreasi Seni


Untuk memperbesar gambar, klik kanan gambar, tampilkan di tab baru

Apa yang dimaksud dengan kreasi seni telah diperluas dalam peta ini, bukan lagi seperti yang terdapat dalam pengertian seni yang klassik. Karya seni bisa muncul dari disiplin yang berbeda-beda. Treshold (ambang penerimaan) adalah energi minimal agar stimulus disadari audience, yang juga dibatasi oleh waktu (x time) yang mampu membangkitkan aktivitas neural. Hasil karya seni biasanya disebut hasil pengamatan atau “persepsi” seni. Mengamati sastra, bisa satu minggu sebab mesti dibaca semuanya dulu, mengamati lukisan bisa sekali lihat dalam beberapa menit. Menonton video bisa dua jam. Melihat bangunan (arsitektur) bisa berhari-hari atau hanya sekali lihat. = (x time). Ahli sejarah, bisa bertahun-tahun mempelajari artefak sejarah arsitektur, tetapi ini bukan kegiatan apresiasi seni, tetapi untuk penelitian dan penulisan sejarah seni.
Peta ini dapat dilihat secara sangat sederhana dan bisa juga dilihat sangat rumit. Secara sederhana, peta mengatakan bahwa dengan motivasi dan kesempatan, seseorang (artis) menyusun dan dapat mengekspresikan ide. Ide ini, dan memiliki pengaruh saat mencapai orang lain. Dampak ini dapat dilihat dalam diri individu yang terlibat dengan karya seni, dalam masyarakat, dan / atau dalam pertukaran ekonomi. Dampak ini mengalir ke masyarakat yang lebih besar, yang mempengaruhi kapasitas kreatif, serta sarana dan kemampuan untuk berekspresi.

Dampaknya juga mengalir kembali ke seniman, langsung dalam beberapa kasus (misalnya, artis menjual karya seni) dan secara tidak langsung melalui pendidikan, infrastruktur, dan kebutuhan umum berkreasi masyarakat dan kebebasan berekspresi. Jika lapisan digali lebih dalam maka dia dapat mengungkapkan kompleksitas. Misalnya, pertanyaan tentang siapa yang memiliki "hak" untuk menyatakan status karya seni seniman, apakah audiens, atau pihak ketiga, namun informasi ini tidak membutuhkn jawaban dalam peta sistem ini. Semua perspektif ini bisa jadi mungkin terjadi, namun tidak ada satu perspektif yang istimewa, maupun dalam memilih pengaruh satu efek perspektif yang diamati, dan pada tingkat apapun besarnya

Infrastruktur seni.


Unsur-unsur yang termasuk lembaga (infrastruktur ini adalah), (1) TKS (Tempat Kejadian Seni), (2) Organisasi Seni, (3) Sekolah Seni, (4) Dukungan dana dari volunter (Sukarelawan) seni, (5) Jaringan serikat dan asosiasi seni, (6) kebijakan publik , (7) dan unsur infrastuktur lainnya. Masing-masing unsur ini dapat diperluas atau di interpretasikan sesuai dengan kondisi setempat dari tempat dan atau komunitas dimana produksi dan peristiwa seni itu berlangsung

Partisipant Seni

Partisipan Seni (Arts Participation). Yaitu siapa saja yang bertindak (1) memproduksi, (2) menafsirkan, (3) mengkuratorial, dan sebaliknya juga mendapatkan (4) mengalami seni. Partisipan Seni (arts partisipant) adalah salah satu aspek penting dari pendorong hasil atau Kreasi Seni (Arts Creation). 
Time spent adalah waktu yang terpakai dalam (1) pengalaman (pengamatan), (2) produksi, (3) interpretasi dan (4) kuratorial seni. Misalnya mengamati arsitektur bisa sekilas, membaca buku novel bisa seminggu, menikmati musik di mobil bisa, sepanjang jalan, menonton film bisa dua jam.
Agen Penciptaan Seni secara luas adalah seniman, dan secara inklusif didefinisikan sebagai orang yang menyatakan dirinya, atau dirinya sendiri dalam batas-batas serangkaian praktik seni yang diketahui, atau yang muncul dan dipentingkan, dengan tujuan mengkomunikasikan karya seni kepada orang lain. Seni, dalam sistem ini, dibuat oleh seseorang dengan maksud tertentu.
Tentang perbedaan antara seni tinggi dan seni rendah tidak perlu lagi dilakukan, karena keduanya dapat ditampung dalam peta ini. Tetapi mengubah "luas" dari definisi seni akan mengubah jumlah orang yang terlibat, dan karena berapa banyak orang dapat dipengaruhi dan dampaknya, seberapa besar (relatif terhadap total penduduk) yang terkait. Apakah konsep peta ini juga meliputi penerbitan, radio, dan atau film, misalnya, sangat mempengaruhi berapa banyak orang yang terlibat dengan seni dan, khususnya, seberapa banyak manfaat ekonomi langsung yang timbul dari seni. Sebenarnya partisipasi adalah suatu gejala masyarakat demokratis dimana orang diikutsertakan dalam suatu perencanaan serta dalam pelaksanaan dan juga ikut memikul tanggung jawab sesuai dengan tingkat kematangan dan tingkat kewajibannya. Di lingkungan sekolah yang tidak demokratis partisipasi hanya oleh kelompok yang diinginkan oleh orang yang berpengaruh (mis.pimpinan), yang tidak disukai disingkirkan.
Pendidikan dan Training Seni

Pendidikan dan Pelatihan mencakup spektrum (1) seni sebagai subjek pendidikan, melalui pendidikan formal dan informal, misalnya sekolah non-formal, kursus, magang, otodidak (belajar sendiri) dari internet seperti belajar ke sajian YouTube. (2) Spektrum kedua adalah sekolah non-seni yang menghasilkan seni. Sekolah non-seni seperti sekolah kriya, desain, arsitektur dan enginering bisa saja menghasilkan sesuatu produk yang bersifat artistik atau seni walaupun seni itu bukan tujuannya. Enginering dapat menjadi bagian dari kegiatan militer dan ekonomi, misalnya pembuatan pesawat tempur. Tetapi jangan dianggap/dikelirukan bahwa spektrum pendidikan non-seni adalah wilayah terapan ilmu seni. Masing-masingnya memiliki kegiatan, sistem instruksi dan disiplin berbeda-beda. Demikian juga dalam hal evaluasi dengan sistem instruksi dan disiplin berbeda pula.Kerajinan atau musik tradisi misalnya, memiliki kegiatan dan sistem evaluasi tersendiri.

Salah satu risiko pemetaan sistem ini adalah kecenderungan untuk mencoba untuk mengakomodasi segala sesuatunya  ke dalam peta. Untuk membatasi risiko ini dalam konteks Bagaimana Karya Seni, telah diasumsikan bahwa sebuah karya seni adalah tindakan ekspresi kreatif yang dilakukan dalam batas-batas serangkaian praktik yang diketahui atau muncul dan didahulukan dengan tujuan untuk mengkomunikasikan karya kepada orang lain (misalnya, kinerja simfoni, proyek karya akhir seni seorang remaja, dan sebuah praktek merenda seorang nenek). Dalam hal ini,  kita dapat tertarik secara khusus dalam hal dampak seni pada individu dan masyarakat. Dalam  definisi ini ditetapkan bahwa setidaknya ada satu orang pelaku (dapat juga sekelompok orang), selain artis yang diperlukan untuk terlibat dengan pekerjaan seni.

Melihat uraian di atas,yang jadi pertanyaan adalah bagaimana menampung persepsi baru "peta karya seni" ini pada pendidikan umum.Dan materi apa yang cocok untuk masuk ke dalam sistem peta ini. Maka dapat diprediksi bahwa pendidikan seni dan desain di Indonesia mungkin tertinggal. Timbul pertanyaan: Apakah melalui pelajaran (1) "Prakarya" dan (2) "Seni Budaya" (dalam kurikulum seni budaya 2013 di sekolah umum dan khusus di Indonesia) merupakan dasar pengetahuan seni, desain dan budaya, untuk memahami fungsi seni, desain dan budaya manusia yang diperlukan di abad ke-21?Apakah ada elemen-elemen komunikasi, Kolaborasi, Kreativitas dan Inovasi dalam pembelajaran ini ? Atau paling tidak mendekati teori yang relevan dengan kebutuhan pendidikan seni di abad ke-21.

Untuk melihat secara menyeluruh, maka diperlihatkan beberapa para pemikir, penulis dan praktisi seni yang mempengaruhi konsep pendidikan seni seperti tabel 1.2 di bawah ini. Teori Kependidikan sangat banyak, jadi dibatasi hanya pada pemikir tertentu.

Tabel 1.2  “Time Line” Beberapan  Para Pemikir, Penulis yang Mempengaruhi Konsep/ Teori  Pendidikan Seni.

Nama Pemikir

Teori/ Konsep / Filsafat

Karya Buku / Tulisan dan Esai berpengaruh
Reputasi Tokoh

John Amos Comenius atau Komensky (1592-1670)
Teori mengajar
The Great Didactic (1628-1632; translated 1896, 1931).
Bapak  Pendidikan modern dari Cekoslovakia

John Lock (1632-1704)
Teori  individu sebagai papan tulis kosong  (blank slate theory)
Locke’s Essay Concerning Human Understanding (1690)
Filsuf Inggris penemu sekolah empirisme


Jean Jacques Rousseau (1712-1778)

Filsafat Naturalisme
Beliau adalah Penulis buku :Discours sur les ilmu et les arts (Wacana tentang Ilmu dan Seni, 1750), The New Heloise (1761), The Social Contract (1762; trans. 1797)
Bapak abad pencerahan (abad ke 18) Filsuf Perancis, teoritikus sosial dan politik, musisi, ahli botani,

Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-1762),
Baumgarten, adalah filsuf modern pertama yang mempertanyakan keindahan secara sistematis, Beliau yang memperkenalkan istilah estetika dan mendefinisikan pengalaman keindahan sebagai pengakuan sensorik atas kesempurnaan.

Tahun  1750-58 dia mengemukakan dua volume karangan tentang Esthetics.Beliau adalah Penulis buku :Ethics (1740), Natural Law (1765), dan General Philosophy (1770).
Dia adalah filsuf Jerman, lahir di Berlin. Ia belajar dengan filsuf Jerman dan ahli matematika Baron Christian von Wolff di Universitas Halle dan awalnya dipengaruhi oleh karya filsuf Jerman lainnya, Baron Gottfried Wilhelm Leibniz.

Johann Heinrich Pestalozzi (1746-1827)
Teori Pembaharuan Sosial melalui pendidikan, dia dipengaruhi  oleh Rousseau

The Evening Hours of a Hermit (1781), Leonard and Gertrude (4 volumes, 1781-1785),
Perintis pendidikan anak usia dini dari Swiss

Horace Mann (1796–1859)
Horace Mann School
“Secular nature”, sekolah persiapan untuk kerja.
A Few Thoughts for a Young Man (Boston, 1850) online
Slavery: Letters and Speeches (1851)
Powers and Duties of Woman (1853)
Sermons (1861)
Life and Complete Works of Horace Mann (2 vols., Cambridge, 1869)
Thoughts selected from the Writings of Horace Mann (1869) online
The Case for Public Schools
Mann, Horace. The Life and Works of Horace Mann, with introduction by his second wife, Mary Peabody Mann. online
Horace Mann Sekolah (juga dikenal sebagai Horace Mann atau HM) adalah perguruan tinggi sekolah persiapan independen di New York City, yang didirikan pada tahun 1887.

Georg Kerschensteiner (1854-1932),
Kerschensteiner pelopor pemikiran "learning by doing," dan ia merancang sekolah untuk mempresentasikan etika ini sebagai komponen penting dari pendidikan yang baik dan utuh. Pengaruh pemikiran ini terasa sampai sekarang kepada sistem pendiidikan di Jerman yang mengharuskan mahasiswa belajar dalam dua sisi: (1) kuliah dan (2) praktik , yang dilakukan bertahap dalam semesteran. Tidak seperti di Indonesia yang praktiknya hanya di akhir masa studi dan tugas akhir secara komprehensif
Theorie der Bildungsorganisation (Theory of Educational Organization, 1933).
Teoritikus Pendidikan Jerman, pelopor pendidikan vocasional

Sigmund Freud (1856-1939)
Psychopathology, studi dan pengobatan gangguan pikiran
 (1)“The Psychopathology of Everyday Life”, (1904); (2)“ The Interpretation of Dreams” (1900)

Dokter Austria, ahli saraf, dan pendiri psikoanalisis, yang menciptakan pendekatan yang sama sekali baru untuk memahami kepribadian manusia

John Dewey (1859-1952)
Teori pengalaman estetika
Psychology (1887), The School and Society (1899), Democracy and Education (1916), Reconstruction in Philosophy (1920), Human Nature and Conduct (1922), The Quest for Certainty (1929), Art as Experience (1934), Logic: The Theory of Inquiry (1938),
Filsuf Amerika, psikolog, dan pendidik

Carl Gustaf  Jung (1875-1961),
Teori alam bawah sadar (Unconscious)
Psychology of the Unconscious (1912; trans. 1916)
Psikiater Swiss, yang mendirikan sekolah psikologi analitis i. Jung memperluas pendekatan psikoanalisis Sigmund Freud, menafsirkan gangguan mental dan emosional sebagai upaya untuk menemukan keutuhan pribadi dan spiritual

Clive Bell (1881 - 1964)
Bell adalah salah satu pendukung paling menonjol dari teori formalisme dalam estetika. Dalam formalisme umum (yang dapat ditelusuri kembali ke teori Kant)
Art (1914)
Pot-boilers (1918)
Since Cézanne (1922)
Civilization (1928)
Proust (1929)
An Account of French Painting (1931)
Old Friends (1956)
Kritikus Seni Inggris

Herbert Edward Read (1893-1968)
Filsafat: ekstensialisme, dan sangat dipengaruhi oleh pemikir proto-ekstensialis Max Stirner.


The True Voice of Feeling: Studies in English Romantic Poetry (1953). His important critical works include Form in Modern Poetry (1932) and The Philosophy of Modern Art (1952). In Education Through Art (1943),
Penyair Inggris dan kritikus, terutama sastra dan patung

Susanne K. Langer (1895-1985)
Teori simbolisme dalam seni
In her principal work, Philosophy in a New Key: A Study of the Symbolism of Reason, Rite and Art (1942), Feeling and Form (1953) and Mind: An Essay on Human Feeling (2 volumes, 1967-72).
Filsuf Amerika, yang menulis secara ekstensif estetika dan filsafat bahasa dan analitik

Jean Piaget ( 1896 – 1980)
Pelopor terkemuka dari teori constructivist  pengetahuan
The Language and Thought of the Child (1926), Judgment and Reasoning in the Child (1928), The Origin of Intelligence in Children (1954), The Early Growth of Logic in the Child (1964), and Science of Education and the Psychology of the Child (1970).

Psikolog Swiss, terkenal karena karya rintisannya pada pengembangan kecerdasan pada anak-anak. Studinya memiliki dampak besar pada bidang psikologi dan pendidikan.

Thomas Munro (1897-1974)
dipengaruhi oleh teori-teori  filsuf dan pendidik John Dewey
Thomas Munro and Guillaume, Paul. Primitive Negro Sculpture. New York: Harcourt, Brace & Company, 1926; Scientific Method in Æsthetics. New York: W.W. Norton & Company, 1928; The Arts and their Interrelations. New York: Liberal Arts Press, 1949; Art Education: Its Philosophy and Psychology; Selected Essays. New York: Liberal Arts Press, 1956; and Read, Herbert. The Creative Arts in American Education: The Interrelation of the Arts in Secondary Education. Cambridge: Harvard University Press, 1960; Evolution in the Arts, and Other Theories of Culture History. Cleveland: Cleveland Museum of Art, and H. N. Abrams, 1963;Oriental Aesthetics. Cleveland: Press of Western Reserve University, 1965; Form and Style in the Arts: an Introduction to Aesthetic Morphology. Cleveland: Press of Case Western Reserve University, 1970
filsuf Seni Amerika dan profesor sejarah seni di Western Reserve University

Victor lowenfeld (1903–1960)
Dr Lowenfeld terkenal dengan teori Visual-Haptic dalam Pendidikan Seni yang diasimilasikan dari sumber Wina. Dia selalu menganggap pengajaran yang baik sebagai sebuah dialogis.
Genesis of Sculpturing, 1932; Sculptures by the Blind, 1934; The Nature of Creativity, 1938; Creative and Mental Growth, 1947; and Your Child and his Art (1947).
Viktor Lowenfeld (1903-1960) adalah seorang profesor kelahiran Austria, pengajar seni di Pennsylvania State University, AS.

Burrhus Frederic (B. F.) Skinner (1904-1990)
Skinner disebut bagian tertentu dari behaviorisme "Radikal" Behaviorisme.

Among his important works are Behavior of Organisms (1938), Walden Two (1948), and The Technology of Teaching (1968). In Beyond Freedom and Dignity (1971), Skinner advocated mass conditioning as a means of social control. Later works include Particulars of My Life (1976) and Reflections on Behaviorism and Society (1978).
was an American psychologist, behaviorist, author, inventor, and social philosopher.

Henry Nelson Goodman, (1906-1998)
Teori asketik (Asceticism)
Fact, Fiction, and Forecast. Cambridge, MA: Harvard UP, 1955. 2nd ed. Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1965. 3rd. ed. Indianapolis: Bobbs-Merrill, 1973. 4th ed. Cambridge, MA: Harvard UP, 1983.
Filsuf Amerika

Abraham Harold Maslow (1908-1970)

Toward a Psychology of Being (1962) and Farther Reaches of Human Nature (1971)
Psikolog Amerika dan eksponen terkemuka psikologi humanistik.

Ralph Lewanda Wickiser (1910–1998)
Wickiser aeorang penulis untuk Encyclopedia of the Arts dia bertindak sebagai editor kontribusi pada tahun 1946, Karena kurangnya buku teks yang baik pada seni modern serta minatnya dalam pendidikan seni,
Wickiser adalah penulis: An Introduction to Art Activities tahun 1947, dipublikasikan oleh Henry Holt and Co.
Dia adalah was an American seorang seniman Amerika

Elliot W. Eisner ( 1933 -2014)
Elliot W. Eisner (1933-) telah membuat kontribusi yang signifikan terhadap apresiasi kita terhadap proses pendidikan. Ia terutama dikenal karena karyanya dalam pendidikan seni, studi kurikulum, dan evaluasi pendidikan.
Dia banyak mengarang buku antara lain: The Educational Imagination (1979, 1985, 1994) - an exploration of the design and evaluation of curriculum programmes); The Art of Educational Evaluation (1985) - a collection of essays covering key aspects of his earlier work; Cognition and Curriculum (1994) - an examination of the mind and representation); and The Enlightened Eye (1991, 1998) - the extension of his thinking to qualitative research into education). He also made an important contribution to the school reform debate in North America especially through his book, The Kind of Schools We Need (1998).
Profesor Pendidikan dan Seni di Universitas Stanford. Secara luas dianggap sebagai teoritikus terkemuka pendidikan seni dan estetika di Amerika Serikat, ia telah memenangkan pengakuan luas untuk karyanya baik dan luar negeri. Presiden National Art Education Associaition, Masyarakat Internasional untuk Pendidikan Melalui Seni

Howard Earl Gardner (1943....)
theory of multiple intelligences

 adalah seorang teoritikus perkembangan psikologi Amerika

Janet L. Miller 
Penelitian dan pengajarannya fokus pada persimpangan kurikulum dan teori feminis, konstruksi subjektivitas guru dalam reformasi kolaboratif sekolah dan upaya penelitian, dan biografi dan otobiografi sebagai bentuk postmodern penyelidikan kualitatif.


Karyanya cukup banyak diantaranya : Miller, J. L. (2000). English education in-the-making. English Education, 33, 34-50.
Miller, J. L. (2000). What's left in the field .... A curriculum memoir. Journal of Curriculum Studies, 32, 253-266.
Miller, J. L. (1999). Putting cultural studies to use: "Translating the curriculum." Journal of Curriculum Studies, 31, 107-110.

Janet Miller adalah Profesor Pendidikan Bahasa Inggris dan Koordinator Program Program Pendidikan Bahasa Inggris / Pengajaran bahasa Inggris di Departemen Seni dan Humaniora di Teachers College, Columbia University.

Ken Wilber (1949....)
Integral Theory, In 1998 he founded the Integral Institute.
Integral Theory, 1998
Penulis Amerika dan pembicara publik, Ia telah menulis dan berceramah tentang mistisisme, filsafat, ekologi, dan psikologi perkembangan

Edmund Burke Feldman
Kritik seni
Dengan karir yang membentang lebih dari 50 tahun, Feldman adalah penulis sejumlah buku, bab buku dan artikel profesional, termasuk Becoming Human Through Art: Aesthetic Experience in the School, The Artist, Thinking About Art, Varieties of Visual Experience and Practical Art Criticism. Selain itu, banyak sekolah, universitas dan museum menggunakan metode Kritik Aesthetic Feldman untuk melihat seni.
Feldman adalah Alumni Yayasan Distinguished Profesor Art, Emeritus, di University of Georgia. Ia menerima gelar sarjana dari Syracuse University, gelar master dari UCLA dan doktor dari Universitas Columbia. Ia bergabung dengan departemen seni di Georgia pada tahun 1966.

Catatan: Tidak semua pemikir seni dikemukakan dalam tabel di atas, hanya beberapa yang dianggap penting dan banyak dibicarakan di Indonesia.


Beberapa Teori terbaru tentang Seni dan Sosiologi Seni

Uraian teori seni terbaru ini lebih lengkap ada buku Pengantar Sosiologi Seni (2013), himpunan karangan Nasbahry Couto dan Indrayuda, Padang: UNP, Press
1. Howard Saul Becker, 1928-- ,Teori yang dikemukakannya : Dunia Seni (Art Worlds) 


Seni adalah kegiatan kolektif yang memerlukan kerja sama dari sejumlah orang dan berbagai kegiatan. Dunia Seni menurut Becker adalah dunia bagi seluruh individu, Dunia Seni adalah segala hal yang berkontribusi (memberikan sumbangan) pada penciptaan seni.








Karya Buku / Tulisan dan Esai berpengaruh:
Buku karangannya banyak tetapi yang terpenting untuk seni adalah 
Art Worlds. (Berkeley: University of California Press, 1982). ISBN 978-0-520-25636-1
Reputasi:  Howard Saul Becker (lahir April 18, 1928) adalah seorang sosiolog Amerika yang telah membuat kontribusi besar untuk sosiologi deviance, sosiologi seni, dan sosiologi musik.
2. Pierre Bourdieu (1930- 2002 ), Teori yang dikemukakannya : Field Theory (Teori Area)

Dalam arena produksi kultural terdapat tiga produksi yang diproduksi, yaitu 1) objek material (lukisan/sastra dengan segala kualitas terindranya), 2) pencipta/Kreator (dengan segala latar  historis serta arena kulturalnya sendiri), dan nilai-nilai legitimasi yang ada di dalam (dan di regangan) objek akibat status penciptanya dan kekuatan luar. 3) Kekuatan luar yang di maksudkan ialah kritikus/kurator sebagai pengkaji; institusi pedagogis sebagai peletak hukum-hukum; lembaga-lembaga seni sebagai wadah (kawan sekaligus lawan) bagi para seniman; dan museum sebagai wadah legitimasi objek, yang kesemuanya memiliki kemampuan legitimasi di arena seni (dan arena kekuasaan secara tidak langsung).



Karya Buku / Tulisan dan Esai berpengaruh: La Distinction (1979; Distinction, 1984), Le Sens pratique(1980; The Logic of Practice, 1990), La Noblesse d’état (1989; The State Nobility, 1996), and Sur la télévision (1996; On Television, 1998) Ia dikenal sebagai seorang intelektual publik yang lahir dari pengaruh pemikiran Emile Zola dan Jean-Paul Sartre. Konsep-konsep yang ia kembangkan sangat berpengaruh di dalam analisis-analisis sosial atau filsafat di abad 21.

3. Denis Laurence Dutton (1944 - 2010), Teori yang dikemukakannya: Teori evolusi naluri manusia dalam seni.


Evolusi naluri seni melalui pancaindra. panca indra sebagai alat persepsi, ekspresi, komunikasi yang utama dalam hidup,yang berkembang hanya mata dan telinga (seni musik dan rupa/visual) sebagai alat ekspresi seni. Premis Dutton) berdasar teori evolusi. Teori warisan budaya dan pemeliharaan budaya menurut Dutton hal itu bersifat politis dan  jelas bertentangan  atau tidak relevan dengan teori ini Dutton. Teori Dutton ini, lebih bernada universal, sebab menerobos batas-batas budaya. Misalnya, kenapa manusia mengembangkan sensasi rasa takut kepada ular dari pada kepada kelinci? 

Catatan penulis: siapa yang dapat menjamin, bahwa seseorang dapat mengembangkan naluri seni secara evolusi  terhadap musik klassik Eropa ketimbang seni budaya jawa, atau lagu dangdut?


Karya Buku / Tulisan dan Esai berpengaruh:
Denis Laurence Dutton (1974). Art and anthropology: aspects of criticism and the social studies. University of California, Santa Barbara. 

Denis Dutton (1983). The Forger's art: forgery and the philosophy of art. University of California Press. ISBN 0-520-04341-3.

Denis Dutton, Michael Krausz (1985). The Concept of creativity in science and art. M. Nijhoff. ISBN 90-247-3127-5.

Denis Dutton (2003). Jerrold Levinson. ed. "Authenticity in Art". The Oxford Handbook of Aesthetics (Oxford University Press).

Charles A. Murray, Denis Dutton, Claire Fox (2008). In Praise of Elitism. Centre for Independent Studies, The. ISBN 1-86432-166-0.

Denis Dutton (2009). The art instinct: beauty, pleasure, & human evolu-tion. Oxford University Press US. ISBN 0-19-953942-1.

Michael Krausz, Denis Dutton, Karen Bardsley (2009). The idea of creativity. BRILL. ISBN 90-04-17444-3. 

Reputasi: Dutton adalah seorang profesor filsafat seni di Universitas Canterbury di Selandia Baru, dan pendiri dan editor dari situs Web Arts  & Letter Daily. Gagasannya  diawali dari konsepnya tentang evolusi psikologi sejak 1990-an. Bahwa beberapa perilaku manusia sejak   zaman   batu secara psikologis dan genetik dapat memperlihatkan adanya instink ini.
4. Ellen Dissanayake, Teori yang dikemukakannya: “Art as making special”


Helen Dissanayake, Sumber: http://www.washington.edu/alumni/columns/march09/art.html


Intisari dari perilaku seni secara sosiologis adalah saat manusia membuat sesuatu dari hal yang biasa, menjadi luar biasa artinya seni adalah sesuatu yang dibuat khusus (“Art as making special”).Munculnya “Tari piring”, gerak menyajikan makan pada rumah makan Padang, adalah hal kejadian biasa, gerak menyajikan makan kemudian diciptakan khusus, dilihat secara khusus = ditampilkan di atas pentas = seni? Sebuah kegiatan khusus yang akhirnya menciptakan seni karena di “pentas” kan atau disajikan sekhusus. (http:/ /melancongminang.blogspot.com /2010/03/ manatiang-piriang.html)

Karya Buku / Tulisan dan Esai berpengaruh:
What is Art For? (1988)
Homo Aestheticus (1992)
Art and Intimacy: How the Arts Began (2000) 
Reputasi:
Nama lahir Dissanayake adalah Ellen Franzen; dia lahir di Illinois dan dibesarkan di Walla Walla, Washington, ia menerima gelar BA gelar dari Washington State University pada tahun 1957 Dia tinggal di Seattle, dan berafiliasi dengan University of Washington. Dia telah mengajar di Sekolah Baru untuk Penelitian Sosial di New York City, University of Edinburgh di Skotlandia, Sarah Lawrence College, Sekolah Seni Nasional di Papua Nugini, dan Universitas Peradeniya di Sri Lanka. Pada tahun 1997 ia adalah seorang profesor tamu di Ball State University di Indiana, dan tahun berikutnya mengajar di University of Alberta di Edmonton, Kanada.
5. Bruno Latour, (1947---), Teori yang dikemukakannya: Actor Network Theory

Ia terkenal karena bukunya  We Have Never Been Modern (1991; English translation, 1993), Laboratory Life (dengan Steve Woolgar, 1979) dan Science in Action (1987). sosiolog dan  antropolog Perancis,  teorinya ini  berpengaruh besar ke bidang Studi Sains dan Teknologi (STS/ Saince & Technology Study)  Setelah mengajar di. École des Mines de Paris (Centre de sociologie de l'Inovasi) 1982-2006, dia sekarang Profesor Ilmu Po di Paris (2006), di mana ia adalah direktur ilmiah dari Ilmu Po Medialab




Tulisan ini bersambung ke bagian 2, klik kanan ini

6 komentar:

Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar