Oleh Nasbahry Couto
PROLOG
Intelektualisme itu mungkin penting sebagai modal untuk bekerja, masa kini maupun masa yang akan datang. Terutama dalam hal kemampuan berkomunikasi dan berbahasa asing. Namun lebih penting lagi kemampuan BEKERJA SECARA NYATA. Soal lulusan apa dan ijazah dan peringkatnya apa tak penting lagi.
Utaian di bawah lebih menekankan kepada aspek sejarah, budaya dan experience pribadi.
Baca juga 200 ribu calon guru lulusan perguruan tinggi LPTK menganggur setiap tahunnya
1. Bagian Pendahuluan
Baru2 ini penulis tertarik dengan ucapan dan argumentasi Rocky Gerung yg dilandasi oleh logika dan filsafat. Terutama dalam membahas berbagai hal di negeri ini seperti pada youtube dan medsos lainnya. Tapi dia bukan orang minang.
Sebabnya tak lain mengingatkan penulis dahulu belajar filsafat dan ilmu logika dengan drs. Adjat Sakri. M.A dosen di prog. studi ilmu komunikasi Seni, dept. Seni Rupa ITB tahun (1970-1973). Di samping filsafat dan logika, juga belajar ilmu komunikasi, sosiologi, antropologi dan psikologi yg diperlukan dalam komunikasi. Yg mengajar sebagian besar dosen2 luar biasa dari UNPAD karena ITB tak punya dosen seperti itu. Penulis juga kagum dg Mahfud MD tapi itu bidang hukum sebab dia intelektual islam dan orang madura yang berani bicara tentang korupsi di negeri ini.
Lihat juga Budaya konflik dan politik identitas orang minang
Kenapa begitu? Sebab di luar kebenaran, kekurangan, kesalahan dan berbagai interpretasi tentang Rocky Gerung perlu dipikirkan pentingnya fungsi logika dan filsafat dalam kehidupan keseharian, dan tentu saja hal ini harus dimiliki oleh civitas academica di PT. Hal ini pula penyebab penulis ingin mengutarakan pengalaman ini waktu mengajar. Di antaranya tentang suasana intelektualitas yg berkembang dalam bertugas saat itu, dan mencoba memahami sebab2nya. Kalau tak ada yg menulis tentang ini, siapa lagi. Hal ini takkan pernah terungkap. Jadi penulis memberanikan diri untuk menulisnya.
Namun penulis tak kan membahas tokoh Rocky ini atau Mahfud, tapi merindukan munculnya tokoh2 baru atau tokoh2 yg mirip dg beliau ini di Sumatera Barat, tokoh intelektual yg bisa jadi idaman dan panutan di indonesia dan mengkaji sesuatu di luar konteks SARA (suku agama dan ras). Oleh karena tentang golingan intelektual di era kolonial ini sudah banyak yg menulis. Hal ini tak perlu di ulang2. Dan penulis lebih suka menjelaskan pengalaman intelektual di kampus secara umum yg erat hubungannya dengan budaya dan sejarah minang.
Fenomena Sekolah Ketrampilan
Sebagaimana yg banyak ditulis sejak zaman belanda sampai dengan pendirian sekolah tinggi hanyalah sekolah ketrampilan untuk tenaga skill menjalankan pemerintahan kolonial dan tradisi itu berlanjut sampai zaman sesudahnya. Artinya sumatera barat tak punya modal dasar yang kuat untuk menghasilkan kelompok cendikiawan asli dari Sumatera Barat yang berpengaruh di Indonesia secara berkesinambungan. Kecuali bidang sastra dan bahasa Indonesia. Memang banyak pengarang sastra minang yg perpengaruh tetapi itu muncul setelah mereka hijrah ke Jakarta, khususnya di Penerbit Balai Pustaka demikian juga seniman pelukis seperti Nashar, Rusli dan sebagainya.
Sebagai contoh ialah munculnya sekolah-sekolah yg mirip dengan sekolah era kolonial pada tahun 1948. Yaitu sekolah yg berfungsi sebagai pamongpraja. Maka sesudah kemerdekan didirikan 6 (enam) akademi yang terdiri dari Akademi Pamong Praja, Akademi Pendidikan Jasmani, dan Akte A Bahasa Inggris, Akademi Kadet, dan Sekolah Inspektur Polisi. Keenam akademi tersebut berada di Bukittinggi.
Konon kabarnya keberhasilan mendirikan enam akademi ini memacu para pemuka masyarakat Sumatera Barat untuk mendirikan sebuah universitas seperti yang akan diuraikan selanjutnya.
Misalnya INS, adalah hanya Sekolah ketrampilan di minang zaman kolonial sepertinya ada juga yang melahirkan penulis yg terkenal. Misalnya A.A.Navis terkenal karena cerita pendeknya Robohnya Surau Kami. Novelnya yang berjudul "Saraswati" diterbitkan kembali oleh Gramedia Pustaka Utama pada 2002
Ketrampilan Mengajar
Ternyata sebagian besar dosen2 di tempat saya mengajar basic nya juga sekolah ketrampilan, dan vocasional, dan banyak juga yg dari SMSR , PGA, dan jelas itu berbeda dg lulusan SMA. dari SMA ilmu pasti alam / sekarang disebut IPA. Yang berasal dari sekolah ketrampilan tentu tak dilatih berpikir untuk memahami ilmu pasti dan ilmu sosial, apalagi ilmu logika dan filsafat, sebab bukan itu tujuan pendidikannya, sehingga mungkin ini salah satu penyebab lemahnya kemampuan komunikasi tulisan, logika serta penyampaian informasi. Belum lagi jika sesudah itu masuk ke PT yg sebenarnya harus punya landasan kuat dalam hal ilmu dasar seperti logika dan filsafat.
Di lingkungan tempat bertugas sekitar tahun 80-90 an juga tak mementingkan ilmu2 dasar berpikir seperti ilmu filsafat dan logika, dan kebanyakan hanya ilmu praktis untuk mengajar misalnya sebagai guru gambar dan kerajinan, dan apa yg akan diajarkan juga sudah ada silabusnya yg disusun oleh Dikbud. Apalagi program Diploma 1,2 dan 3. Saat itu terpikir buat apa repot2 berpikir tentang ilmu. Paling tidak, beberapa periode penulis juga terbawa arus pemikiran seperti itu.
Tetapi hal itu berubah sejak tahun 2007, dimana rektor UNP saat itu Prof. Dr. Mawardi Effendi, dari fak. Ekonomi mulai mendorong dosen2 untuk menulis buku ilmiah. Mulai pada saat itu ada perhatian pada keluasan bidang ilmu di luar apa yg akan di ajarkan Beliau juga mendirikan penerbit UNP press. Dan penulis ikut terlibat di dalamnya karana kesulitan teknis penerbitan. Penerbitan saat itu dipimpin oleh Prof. Dr. Atmazaki, Mpd. Dari jurusan bhs. Indonesia. Sebagai catatan di tahun 2007 itu saja sudah terbit 25 judul buku dan sampai tahun 2017 terbit sekitar 223 judul buku. Atau rata2 24 judul pertahun.Setelah penulis keluar dari unp press 2017 mulai berkurang buku yg diterbitkan. Sejak tahun 2017-2020 tercatat terbit hanya 270 judul berarti hanya bertambah 47 judul (3 thn]. Itu berarti 15 judul pertahun. Dan lembaga sebesar itu hanya menghasilkan buku 1-2 bh perbulan. Dan menurut pengurus baru UNP press itu disebabkan banyak dosen menerbitkan bukunya di luar UNP Press. Lihat data unp press di sini. Rektor UNP (sekarang) ternyata juga tidak menerbitkan bukunya di UNP Press (lihat datanya disini) dan kebanyakan dosen suka di penerbit Suka Bina press yg jaraknya 500 m dari kampus.
Era pimpinan Prof. Dr. Mawadi Effendi. adalah titik awal masa emas pembangunan UNP sebab disamping membangun civitas academica, dimasa beliaulah semua yg terlihat secara fisik gedung2 dan sarana direncanakan dan mulai di bangun seperti yg terlihat sekarang. Bagi penulis, walaupun badannya kecil dan apapun kekurangannya, beliau adalah motivator yg hebat, pimpinan yg bukan feodal yg hanya mementingkan seremonial. Beliau adalah orang yg selalu memperhatikan bawahannya.
***
Sesuai dengan topik artikel ini INDUSTRI OTAK ORANG MINANGKABAU, yaitu polemik yang pernah viral di sumatera barat sejak tahun 2019 (sebelum covid) dan topik ini masih menggema sampai tahun belakangan. Oleh karena itu penulis merasa perlu mencatat dan menulis sedikit sejarah intelektual yang berkembang di tempat ini.
Tokoh yang berpengaruh
Sebagaimana yg diuraikan di atas tokoh bidang sastra dari minang zaman kolonial cukup berpengaruh misalnya Marah Rusli.
Marah Rusli bin Abu Bakar lahir di Padang, Sumatra Barat pada 7 Agustus 1889. Siti Nurbaya (Sebuah Roman) yang terbit pada 1920 dianggap sebagai pencapaian terbesarnya hingga Pemerintah Rusia memberikan hadiah tahunan di bidang sastra kepada Marah Rusli pada tahun 1969. Karya tersebut juga diterjemahkan ke dalam bahasa Rusia
Demikian juga dibidang politik sempat menghasilkan tokoh2 pejuangan dalam politik dan kemerdekaan di Indonesia sebagai "founding father" kemerdekaan.
Baca founding father indonesia
Saat bertemunya orang minang dengan budaya barat bahasa yg di pakai adalah bahasa belanda dan melayu minang dan bhs eropa lainnya. Ini adalah model generasi awal kaum intelek yg berpusat di kota bukittinggi dan desa kecil Koto gadang.
Baca perhimpunan julius tahun 1906 oleh Suryadi.
Baca: sekolah raja di bukittinggi
Menurut Dr. Suryadi (Singgalang, 19/3/2017) foto klasik ini mengabadikan pelajar Kweekshool Fort de Kock tahun 1908. Jadi, foto ini dibuat setahun setelah dua orang muridnya yang kemudian menjadi terkenal karena menjadi aktivis pergerakan politik memasuki sekolah ini. Mereka adalah Ibrahim Tan Malaka dan Baginda Dahlan Abdoellah. Sangat besar kemungkinan Ibrahim dan Dahlan Abdoellah ada di antara rombongan murid-murid yang terlihat dalam foto ini.
Di halaman 71 buku yang menjadi sumber foto ini, nama Ibrahim tercatat bersama teman-teman sekelasnya sebagai murid yang mendaftar di Kweekschool Fort de Kock tahun ajaran 1907 (luhat gambar). Mereka adalah: Ibrahim [Tan Malaka], Djalin, Dahlan [Abdoellah], Bermawi (dari Gouvernement S.W.L. [Sumatra’s Westkust]), Padjar, Ma’az (dari Tapian-na-oeli/Tapanuli), T. Oesman, Nja Oemar (dari Atjeh), Djamal, Doeng (dari Lampong), Abd. Gani (dari Palembang), Moh. Daoed, Moestafa (dari Bengkoelen), Ahmad (dari W[est] Borneo), Marah Kamin (dari Tapian-na-oeli), dan Sjarifah (dari Gouvernement S.W.K.). Semuanya 16 orang. Sjarifah adalah satu-satunya murid perempuan di sekolah itu. Ia adalah gadis Minang pertama yang mengecap pendidikan sekuler. Sjarifah adalah anak dari guru pribumi yang kharismatik Nawawi Soetan Makmoer yang mengajar di sekolah itu.
Kemudian muncul berkembang sekolah2 agama. Misalnya di kota Padang Panjang yg sering disebut sebagai kota serambi mekah. Pernah melahirkan tokoh islam dari pendidikan Thawalib yang berorientasi keagamaan dan berbeda dengan generasi kolonial sebelumnya.
Baca juga: kelahiran intelektual islam di sumatera barat
INS Kayu tanam
Sampai pada akhir penjajahan Belanda telah menamatkan 6 angkatan. Baik siswa yang berdatangan dari seluruh pelosok Sumatra atau dari Jawa dan Kalimanta, yang menamatkan atau tidak pendidikan, berperan banyak bagimengisi Kemerdekaan Indonesia, baik dibidang usaha, pemerintahan,politik, militer, pendidikan dan kebudayaan.
Musibah datang berkepanjangan menimpa Ruang pendidik INS. Pada perang Kemerdekaan seluruh kampus dibumi hanguskan oleh tentara kita. Selesai perang kemerdekaan Ruang Pendidik INS dibangun kembali. Namun pada peristiwa PRRI kampus ditimpa musibah lagi oleh bumiangkat.
Diatas puing-puing akibat musibah yang menimpa tanah airitu, pada 31 Oktober 1967 Ruang Pendidik INS dibangun kembali oleh Engku Sjafei bersama masyarakat dengan mendirikan pondok-pondok belajar
Pendidikan Universitas
Mulai sejak tahun 1949 mulai direncanakan perguruan tinggi yg bersifat universitas dan bukan semata pengisi tenaga kerja di pemerintahan. Pada tahun 1949 mulai direncanakan untuk mendirikan Fakultas Hukum di Padang, Fakultas Kedokteran di Medan dan Fakultas Ekonomi di Palembang. Namun, karena berbagai keterbatasan yang dihadapi pada waktu itu, pemerintah Indonesia menunda untuk menyetujuinya.
Akibat penundaan ini, “Yayasan Sriwijaya” berinisiatif untuk mendirikan Balai Perguruan Tinggi Hukum Pancasila (BPTHP) di Padang pada tanggal 17 Agustus 1951. Mengikuti langkah Yayasan Sriwijaya itu, kemudian pemerintah mendirikan Perguruan Tinggi Pendidikan Guru (PTPG) di Batu Sangkar pada tanggal 23 Oktober 1954, Perguruan Tinggi Negeri Pertanian di Payakumbuh pada tanggal 30 November 1954, dan Fakultas Kedokteran serta Fakultas Ilmu Pasti dan Ilmu Pengetahuan Alam di Bukittinggi pada tanggal 7 September 1955. Keempat perguruan tinggi itu diresmikan oleh Wakil Presiden Drs. Mohammad Hatta. Seiring dengan itu, Yayasan Sriwijaya juga menyerahkan BPTHP kepada Pemerintah Propinsi Sumatra Tengah. Semenjak itu BPTHP berganti nama dengan Fakultas Hukum dan Pengetahuan Masyarakat. Kelima fakultas itu menjadi cikal bakal dalam mendirikan Universitas Andalas
2. Suasana Budaya dan Intelektual Kampus masa kini
2.1 Warisan Barat
Ciri2 berkembangnya intelektualitas di kampus sebagai sisa warisan Barat terlihat dari keberadaan pusat2 kajian ilmu tertentu dan koneksinya secara nasional dan internasional, ada petemuan silang antar ilmu dan ahlinya (tidak merasa benar sendiri) Ada ahli yg dapat menguasai beberapa bahasa asing. Ada eksploirasi ke lapangan dan penelitian yang terus menerus pada bidang tertentu. Ada tulisan2 mereka terus menerus dalam bentuk buku yg diterbitkan dan disebarkan. Dan juga menulis di internet yg bisa dibaca semua kalangan. Jadi bukan hanya artikel di scopus untuk naik pangkat. Kemudian ada saling rasa menghargai masing2 talenta dan bakat. Ada sifat demokratis terbuka dan tidak ada suasana feodal dan sebaliknya tak ada bicara kasar. Itu memang suasana ideal yg tak selalu ada pada PT baik negeri atau swasta, apalagi jika tujuan PT itu komersial.
Suasana intelektualisme sy rasakan sekali sewaktu sy bertugas sbg dosen tetap yayasan di jurusan arsitektur kampus universitas bung hatta tahun 80 an. Sebab bung hatta saat itu juga banyak kerjasama dengan pt.luarnegeri dan pengiriman mhs.untuk studi. Banyak hal yg saya tak tahu tentang budaya minang sangat berkembang di tempat ini. Tapi kelompok diskusi ini bubar seiring perubahan status saya dari dosen tetap yayasan menjadi dosen luar biasa dan juga oleh perkembangan waktu.
Waktu saya mengajar di UNP juga banyak teman, misalnya ada pak prof. Dr. Mestika Z (alm), dengan pusat kajian sejarahnya sering memanggil sy ke kantornya, dan kami saling mengisi kekurangan, dan Dr. Helmi Hasan (alm) dari FIS yg ahli tentang ketatanegaraan. Dan ada pula prof.dr. Atmazaki ahli bahasa dan ahli manajemen olahraga pak Prof. Dr. Syahrial Bakhtiar, yg pernah jadi ketua Koni Sumbar sebagai teman berdiskusi. Dan dengan pak prof. Dr.Niswardi Jalinus dari teknik mesin, yg pernah minta tolong menyusun naskah monografi tentang" Kerapatan Adat Banagari dari nagari Labuah dan Parambahan" Limo Kaum. Tanah Datar, dan mendikusikan tentang pendidikan vocasional. Prof. Dr. Ardipal dan Prof. Dr. Indrayuda dari sendratasik dan ibu Dr. Siti Fatimah dari FIS yang senang mendiskusikan tentang apa saja yg saya tulis. Banyak teman2 dekat lainnya di UNP yg tak usah disebutkan satu persatu. Ada yg menganggap hubungan antar bidang ini tak baik. Karena memungkinkan adanya peluang munculnya plagiarisme. Tapi banyak juga yg setuju karena melalui cara seperti itu munculnya ide- ide dan wawan ilmu pengetahuan baru. Dan memang kita tidak hidup seperti di abad ke 18 dan 19. Dimana yg dianggap cerdas adalah orang yg menciptakan ilmu.
Dengan kemajuan teknologi bersahabat dan berdiskusi itu juga tidak harus ketemu. Bertahun tahun lamanya sy berdiskusi dan menulis bersama pak Dr. Zakaria S.Sutedja yg tahun 2022 masih dekan Fakultas Seni dan Desain,UPI Bandung dan pak. Dr. Tri Karyono yg eks. Ketua program S3 Sr UPI Bandung. Sekalipun sy tak pernah ketemu tatap muka dengan beliau. Dan itu berlangsung sejak tahun 2018 sampai sekarang. Kita ketemu hanya di WA, Video Call atau surel.
Demikian juga tradisi kampus yg sy alami umumnya bersifat terbuka misalnya yg saya alami saat saya kuliah di ITB dulu, baik dalam perkuliahan mapun penyelesaian skripsi maupun thesis. Misalnya drs. Wiyoso Yudosaputro dosen sejarah tahun 1970an adalah dosen UPI Bandung, dan juga menjadi pembimbing skripsi thn.1978. Misalnya saat mengambil tesis di S2 pembimbingnya adalah Dr. Yuswadi Saliya dosennya dari jur arsitektur ITB sebab topiknya terkait dengan arsitektur. Kemudian Prof. Drs. Yakob Sumarjao dari STSI (skrg. ISI Bandung) juga pembimbing sy. Diskusi terbuka itu bukan hanya antar mhs dengan dosen tapi juga antara dosen yg asalnya maupun disiplin ilmunya berbeda. Dan tradisi di ITB tak malu2 mendatangkan orang luar ITB ke kampus untuk mengajar jika orang dalam tak relevan (bukan tak mampu mengajar). Jadi orientasinya intelektual dan kepakaran bukan soal peraturan formal dan "inner cicle". Dan juga bukan soal siapa yg terima uang. Kemudian diterimanya saya mengajar di arsitektur bung hatta juga karena dosen2 generasi lama saling tukar dosen mereka di ITB antara arsitektur dan seni rupa. Tradisi ini kalau dipelajari dari sejarah desain berasal dari pendidikan desain Bauhaus di Jerman abad ke 19.
Namun ITB juga punya kelemahan, karena bidang ilmu itu di bagi atas ilmu murni dan tetapan. Maka ijazah s2 saya tercantum dengan nama Master Seni Murni, suatu nama yg aneh dan sama sejali tak berguna dan bisa masuk ke dalam proyek2 pembangunan dan ikut berkiprah di sana. Karena aturan penerintah yg bisa masuk adalah Master Seni Rupa. Padahal master seni itu maksudnya sama dengan Master Seni Rupa.
2.2. Pengaruh Budaya Lokal ke Kampus
Umum terjadi dimanapun budaya lokal pasti berpengaruh kepada budaya intelektual di kampus. Siapa bilang tidak ada budaya lokal juga berkembang di kampus, selain penggunaan bahasa minang juga perilaku komunitas kampus. Budaya itu berakar dari budaya minang yg asli. Tradisi sosial budaya ini bisa juga masuk kampus. Dalam situasi inner cicle sebuah PT. Muncul dua sikap,yg pertama pragmatis, asal dapat ijazah, yg. Kedua ingin keluar dari sana. Trikora Iriamnto yg bekas mahasuswa penulis misalnya. Dia keluar dari program S2 Seni Budaya karena menganggap percuma saja belajar di sana karena dosen pengajar s2 nya kurang representatif dalam mengajar. Sedang uang habis karena biaya tinggi.
Situasi inner cicle seperti ini juga lahan subur lahirnya manusia ABS demi kestabilan kelompok dimana orang hidup. Dan dapat dapat dipertanyakan dalam situasi psikologi sosial seperti ini, bagaimana pula membangun industri otak di minangkabau jika tidak ada keterbukaan atas kepakaran dan bukan kepada kekayaan dan pangkat.
3. Cerita dan diskusi tentang industri otak orang minang oleh penulis lain
Tulisan2 dan artikel tentang industri otak di sumatera barat ini cukup banyak, tapi sy cukup mengapresiasi tulisan Suryadi yg pengajar di Belanda yg dengan jelas menerangkan sebab2 munculnya intelektualitas di kalangan masyarakat minangkabau di era kolonial. Namun sebelum masuk ke tulisan Suryadi ada baiknya kita lihat beberapa tulisan lain yg membahas tentang industri otak atau intelektualitas minang ini lebih dulu. Antara lain.
3.1 Komentar Terhadap Tulisan Ag.st.Mantari
12 Jan 2019 . Dari: MinangSatu.com oleh Ag. Sutan Mantari. dengan tajuk. Menggugat Sumatera Barat Sebagai Industri Otak. Dia menyorot pentingnya dihidupkan kembali pendidikan surau zaman dulu sebagai basis pendidikan otak orang minangkabau yg berbasiskan islam.
Ag. St. Mantari dalam tulisannya juga mengkritik bahwa otang minang itu jadi yahudi karena sifat materialistiknya itu yg hanya mementingkan uang dalam hal segala-galanya. Hal ini terlihat saat Fauzi Bahar yg sebagai ketua LKAM sumbar, mengadakan pengangkatan gelar datuk kepada kapolda sumbar irjen pol. Teddy Minahasa. Apa yg dinilai Fauzi Bahar dan orang yg setuju kalau bukan orang yg punya banyak uang dan berpangkat? Hal-hal di belakang tokoh ini tak pernah di periksa. Padahal dia terlibat masalah narkoba. Bekas murid saya Trikora Irianto yg orang sumando turunan kerajaan pagaruyung (suami dari Puti Reno Revita) menjelaskan kepada sy bahwa, orang Pagaruyung sering pusing dengan masalah begini.
Ada cerita menarik tentang ini tahun 70 an saat saya ketemu dengan teman saya di jakarta katanya. Jika orang minang di tanya kenapa dia ke jakarta, dia jawab cari duit. Tetapi kalau ditanyakan ke orang jawa menjawab bahwa dia hanya cari kerja. Tiga bulan orang minang di jakarta dia sudah punya lapak untuk jualan. Tapi temannya orang jawa hanya jadi pesuruh di kantor sampai tua. Dua2nya tak punya modal ijazah untuk bekerja.
Ag.st. Mantari juga tak menyadari tokoh2 sumatera zaman dulu seperti Haji Agus Salim, Tan Malaka, Mohammad Hatta, Mohammad Natsir, Sutan Sjahrir, Hamka, Muhammad Yamin dsb itu berbasis pendidikan barat di era kolonial berbahasa belanda bukan semata pendidikan surau islam dan berbahasa minang. Bahkan Hatta juga penulis hebat tentang filsafat barat. Dia menguasai bahasa belanda dan inggris.
Dikemudian hari muncul intelektual islam seperti syekh Abdullah Ahmad, Syekh Daud Rasjidi, Syekh Abdul Karim Amrullah, Tuanku Mudo Abdul Hamid Hakim, Buya HMD Datuk Palimo Kayo, Buya Zainal Abidin Ahmad, dan Buya Mawardi Muhammad.
Nampaknya dia tak melihat perubahan zaman dan perubahan sosial, dimana dengan hengkangnya kolonial, maka orang minang kehilangan orientasi kemajuan pendidikan nya. Sebab mau orientasi barat (belanda) ogah, sebab semua berbau kolonial dibuang tapi dirindukan. Mau orientasi inggris seperti malaysia, direndahkan, dan malah malaysia dimusuhi. Mau berdiri sendiri seperti pendidikan INS kayu tanam kemudian sadar itu hanya sekolah ketrampilan. Sekolah2 agama seperti pendidikan Thawalib Padang Panjang memang memunculkan beberapa tokoh hebat. Tetapi kemudian pendidikan agama tak sepenuhnya bisa jadi panutan karena dianggap tak menjamin masa depan. Dan lebih memilih sekolah umum yg jenis dan arah pendidikannya lebih banyak. Sadar dengan kekurangan itu, sekolah2 agama tak lagi konsisten dengan tujuannya semula. Beberapa yg sadar atas kekurangan ini kemudian berusaha untyk menimba pengetahuan di pulau jawa dan juga kuar negeri. Tapi jarang yg mau balik ke sumatera barat sebab di rantau pejerjaannya dan posisinya lebih menarik.
Disamping itu terlihat beralihnya orientasi pendikan agama yg dulunya hanya mempelajari agama saja, sekarang ke pendidikan sekular. Sekarang semua jenis pendidikan sekular ada pada PT agama. Misalnya Universitas Muhamadiyah juga ada jurusan perbankkan, teknik dan parawisata.
Baca juga : Sebab berkurangnya minat untuk sekolah agama.
Persoalan sebenarnya adalah mirip dengan negara2 terjajah di asia-afrika, saat mereka merdeka mereka anti barat. Tapi alih2 mereka membenci budaya barat, mereka sebenarnya meneruskan praktik2 era kolonial dalam hukum maupun pemerintahan termasuk tradisi ilmu pengetahuan dan logika berpikir barat.
Apa yg terjadi di Indonesia ? Pertama munculnya generasi intelektual semu, dimana hanya sedikit memahami ilmu pengetahuan barat itu sebagai modal intelektualitasnya. Proses intelektualitas semu ini berlangsung lama dan diperparah lagi oleh gonta ganti kurikulum dan arah pendidikan yg sebenarnya meniru barat tapi tak seperti di barat.
Sebagai contoh sampai tahun 1975 di PT itu masih menggunakan sistem tingkat yg diadaptasi dari sistem pendidikan kontinental Eropa. Terutama sistem pendidikan di belanda. Tingkat sarjana muda (BA) dan tingkat sarjana (Master). Tahun 1973 sy sdh Sarjana Muda dan di Malaysia dan Filipina Sarmud itu setara dg S1, dan tahun 1979 saya sebenarnya sudah master dan gelarnya doktorandus (Drs). Tapi kemudian sy hanya diakui S1 maka tahun 1995 terpaksa mengambil strata2. Sebenarnys gelar drs. Itu bisa langsung mengambil s3 saat itu artinya master atau S2 saya dua kali. Yg dipelajari cuma itu2 juga saat di tingkat sarjana di ITB tahun 1974-1979. banyak yg bilang tesis saya itu setara dg disertasi s3.
Umur habis hanya untuk formalitas saja. Bukan penghargaan terhadap karya baik karya tulis maupun terhadap pengabdian dan kerja nyata. Itu salah satu alasan saya menulis apa saja baik dalam bentuk buku maupun dalam bentuk tulisan di blog. Dan insyaalah itu dibaca oleh orang2 yg membutuhkannya. Sehingga menimbulkan persahabatan dg teman2 di luar indonesia. Dari jepang, amerika maupun dari malaysia dan lainnya.
Kedua jika dirunut munculnya intelektualitas semu adalah akibat konflik ini berakar dari perseteruan di tingkat atas dan orientasi budaya. Misalnya pertengkaran besar terjadi 9 tahun sesudah kemerdekaan tentang orientasi budaya. Dapat dilihat dari kubu st.Takdir Alisyahbana yg pro barat, dan lainnya yg mengagungkan budaya timur (jawa?) masa lampau. Uraian tentang ini dapat dilihat pada buku: Polemik Kebudayaan.(1954), oleh.Achdiat K Mihardja, (editor).Penerbit: Perpustakaan Perguruan Kementerian PP dan K Jakarta.
Ketiga sebab2 munculnya intelektualitas semu ini juga karena sistem pendidikan strata dan pendidikan diploma namun penerapannya sangat tidak jelas. Sebab dari pendidikan diploma juga bisa ke pendidikan strata.
Dalam UU Sistem Pendidikan Nasional RI, S1 masuk kedalam kategori pendidikan tinggi umum, sementara D3 masuk kedalam kategori pendidikan tinggi vokasi, keduanya berada dalam jalur yang berbeda. Kedua jalur ini memiliki tujuan yang berbeda pula. Lulusan SMA sebaiknya meneruskan ke jalur S1 hingga S3, sementara SMK kearah jalur Diploma yaitu D1 sampai D4 (setara S1) hingga SP2 (setara S3).
S1 diarahkan pada penguasaan bidang ilmu pengetahuan tertentu, sementara D3 diarahkan untuk bekerja pada bidang pekerjaan terapan tertentu. S1 umumnya diselesaikan dalam 8 semester (sekitar 3,5 tahun), D3 dalam 6 semester (sekitar 3 tahun). Jika yang anda cari adalah ijazah dan ada rencana melanjutkan ke jenjang lebih tinggi misalnya S2 dan S3, maka S1 jelas lebih cocok. Namun bila bukan ijazah dan gelar yang dicari, maka pilihan D3 memiliki banyak keunggulan karena bisa mendapatkan kompetensi unggul di satu bidang ilmu terapan dengan waktu kuliah lebih singkat.
Baca juga: perbedaan pendidikan akademik atau Strata dengan pendidikan vocasioal atau Diploma.
Namun dalam kenyataan di lapangan, kedua jalur ini tidak memiliki batas yang jelas, artinya perpindahan jalur sangat dimungkinkan, yang paling umum adalah lulusan D3 bisa alih jenjang ke S1 walaupun jurusannya berbeda.
Namun untuk alih jenjang seperti ini akan memerlukan verifikasi dan pengakuan atas mata kuliah agar sejalan dengan jurusan yang dituju. Ini akan berakibat panjangnya waktu kuliah dan bertambahnya biaya. D3 diarahkan untuk melanjutkan ke D4, bahkan hingga ke Spesialis (SP1 dan SP2) yang setara dengan jenjang S2 dan S3, namun sayangnya saat ini masih sangat sedikit perguruan tinggi yang menyediakan program ini.
Baca juga tulisan Nasbahry tentang:Porspek Pendidikan Seni Rupa Berbasis Kompetensi (Konflik dua Pandangan)
Penulis pernah berpikir kalau saja bahasa Inggris diwajibkan sebagai bahasa kedua. Indonesia akan melejit pendidikannya dan tidak seperti sekarang. Hanya pondok pesantren masa kini yg mewajibkan muridnya berbahasa arab dan inggris. Menteri pedidikan RI tak satupun berpikir ke arah ini. Soal bahasa ini saya ingat tahun 80 an dua orang anak malaysia yg ingin belajar seni rupa di IKIP padang, tapi yg satu orang mengundurkan diri melihat kualitas dosen pengajar di seni rupa. Satu lagi terus belajar di sini, tapi dalam berbagai hal dia lebih banyak tahu dari literatur yg berbahasa inggris karena sumber2 belajar itu semua berbahasa inggris ketimbang dosen yg tidak bisa membaca buku asing. Dulu bahasa asing penting untuk membaca buku, tetapi sekarang lebih penting lagi untuk berkomunikasi dan berselancar di internet.
Menurut penulis yg terlibat dalam zaman itu, anak2 minang tahun 60-an dan seterusnya pada lari ke pulau jawa sebab disana terdapat sekolah2 terkenal tempat berkumpul orang2 pandai, walau tidak seluruhnya pandai dan cerdas
Contoh munculnya intelektual semu ini terlihat dari diskusi ini dimana tokoh2 pembicara yg berasal dari partai tak menguasai materi yg dibicarakan
***
3.2. Komentar terhadap tulisan Ahmad Syafii Maarif
4 Mei 2021. Dari: Republika.id https://www.republika.id › posts › r... oleh Ahmad Syafii Maarif yg di tulis Daan Yahya, dengan topik: Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggaan Semu (IV) -
Tulisan ini cendrung mengutip berbagai sumber pemikiran diantaranya menjelaskan bahwa Prof DR Asvi Warman Adam (LIPI) menolak usul euforia (industri otak ini) sebab memakai nama suatu etnis atau suku tertentu untuk identitas dalam sebuah negara, seperti provinsi akan menyebabkan bangsa Indonesia terpecah dan kembali ke era sebelum Sumpah Pemuda.” (Lih Tempo, 12 Maret 2021).
A.S Maarif juga menyorot fenomena lain yang muncul sejak akhir abad yang lalu misalnya cara beragama dengan menonjolkan serba lahiriah: pakai jenggot, kopiah putih, baju koko, celana cingkrang, dan cadar bagi perempuan.
Tetapi ada hal lain yang lebih serius: pendangkalan paham agama. Di samping model pakaian khas yang dipakai, banyak mubaligh, dai, ustaz, menyampaikan ceramah agama dengan marah-marah, hantam kiri-hantam kanan, tidak jarang dengan nuansa politik. Masyarakat diombang-ambingkan oleh ceramah.
Tentang fungsi penghulu di minangkabau juga dikritik oleh beliau sebab banyak pengangkatan datuk hanya karena politik, tokohnya dikenal, kaya, berpengaruh atau pimpinan masyarakat tetapi banyak dari mereka betada di luar komunitasnya. Jadi fungsinya tak ada dan hanya sekadar meminta tuah saja.
A.S Maarif juga mengutip apa yg diucapkan rektor UNP Ganefri tentang pendidikan orang minang masa kini, bahwa rata2 orang minang pendidikannya hanya sampai kelas VII . Jadi Ganefri mungkin melihat orang minang masa kini rendah tingkat pendidikannya.
Saya punya pengalaman indah dengan beliau ini. Suatu hari di tahun 2016, setahun setelah sy pensiun tahun 2015 saya bersama Prof. Dr. Syahrial Bakhtiar (saat itu jadi WR IV UNP) menghadap beliau di kantornya untuk membicarakan kemajuan penerbitan UNP press kebetulan saat itu sy masih bertugas di sana sebagai pimpinan. Pak Syahrial masuk ke dalam dan saya menunggu di luar. Insyaalah beliau keluar ruang bersama pak Syahrial, dan liwat begitu saja. Kemudian terdengar kabar kedua orang ini jadi rival dan berseteru dalam pemilihan rektor dan dimenangkan oleh Ganefri. Melihat situasi ini sy tahun 2017 pergi berlibur ke Malaysia, tentu saja minta izin. Tapi balik dari malaysia nama saya sudah tak ada di UNP press. Itu pertemuan pertama dan mungkin terakhir di UNP dg beliau. Tapi sy masih berkomunikasi sangat baik dengan pak Syahrial dan teman2 akrab lainnya yg baik hati di UNP sampai saat ini. Saya melihat pembangunan yg diawali oleh Pak Mawardi dilanjutkan oleh pak Ganefri, dan UNP tidak lagi hanya sekedar pencetak tenaga guru tetapi juga untuk pendidikan akademi seperti kedokteran, parawisata dan sebagainya. Dan keunggulan UNP adalah karena UKT nya terbilang murah sehingga menarik peminat lebih banyak.
***
3.3. Komentar terhadap tulisan Supardi
1 okt 2021 Dari scientia.id. atau https://scientia.id > TERAS. Supardi sebagain dari seluruh daerah bahkan Asia untuk tempat menuntut ilmu.
Tetapi saya mempertanyakan hal itu kapan terjadi sumatra barat menjadi tempat orang menggali ilmu. Kalau ilmu agama mungkin pernah tapi bukan ilmu2 lain seperti kedokteran ilmu teknik dan sebagainya jadi Argumen industri otak dan pusat menuntut ilmu bisa dipertanyakan dan diragukan.
Dulu memang ada masanya negara malaysia kekurangan guru dan tenaga ahli setelah kemerdekaan negaranya tahun 1957. Pendidikan peninggalan Inggris saat itu dianggap usang. Dan banyak tenaga guru dan tenaga ahli yg dikirim ke malaysia. Terutama dari sumatera barat.
Guru Indonesia di Malaysia kala itu umumnya ditugaskan selama tiga tahun di sekolah-sekolah menengah yang menggunakan bahasa Melayu sebagai bahasa pengantar. Mereka bertugas memperbaiki tata bahasa Melayu pelajar-pelajar Malaysia yang terbiasa bercakap-cakap dalam bahasa Inggris. Selain itu, ada pula upaya memperbaiki kurikulum sains peninggalan Inggris yang dinilai sudah usang. Sampai Juni 1972, terdapat 175 guru Indonesia yang tinggal dan bekerja di Malaysia.
Jadi saat itu mereka bukan mengirim anak2 untuk belajar ke sumatera barat. Sebab pendidikan tinggi di sumatera barat juga baru berkembang dan PT lebih dulu berkembang di pulau jawa. Sekarang justru sebaliknya PT di malaysia lebih maju daripada yg ada di sumatera barat.
Ada yg bisa dibanggakan pada orang minang pada masa kini yaitu sektor parawisata, dan kulinernya tapi itu juga bisa jadi topik konflik baru bagi ASB SBK, mudah2an saja tidak.
***
3.4. Konentar terhadap Pendapat Januarisdi
9 sept 2015. Dari sumbarprov.go.id https://sumbarprov.go.id > news > 5... dengan topik. "Mau menjadi orang hebat, membacalah!
: menjelaskan Minangkabau dulunya terkenal sebagai daerah literatur. Karena budaya orang Minang dulunya suka mendongeng. Budaya ini yang kini telah hilang,” kata Ketua Dewan Perpustakaan Sumbar, Januarisdi, dalam pertemuannya dengan jajaran unsur perpustakaan bersama Kepala Badan Perpustakaan dan Kearsipan Provinsi Sumatera Barat. Sebetulnya pendapat itu tidak tepat, yg paling tepat adalah budaya minang dahulu (mungkin juga sekarang) itu jago dalam budaya bertutur (bukan litetatur). Sebab tak ada tulisan minang, tak ada literatur munang, orang minang memang jago dalam budaya lisan seperti pidato adat, dalam petatah petitih. Soal apakah banyak dongeng tradisional minang rasanya juga tidak. Tapi bahwa dongeng itu penting dalam memotivasi membaca itu benar. Bacaan anak2 juga berubah seperti bacaan komik Doraemon, animasi sponge bob dan lain2 yg disenangi anak2 yg populer sesuai zamannya.
Lihat juga tulisan nasbahry couto tentang. Budaya anak (child culture) dan studi seni budaya
Bandingkan tentang child culture itu dari wikipedia.
Walaupun kantornya di penuhi buku, mungkin tidak mengetahui anak itu juga memiliki budaya. (Child culture), dan menurut pakarnya dan para peneliti, budaya anak itu berubah sesuai perubahan budaya pop (populer) pada zaman anak itu berada. Dengan dominannya orang dewasa memproduksi permainan anak2 dan juga berusaha untuk kembali ke budaya masa lampau, ada yg menyimpulkan adanya pemerkosaan budaya orang dewasa terhadap perkembangan budaya anak.
Pembelajaran seni budaya di indonesia cendrung berpikir untuk untuk mempertahankan budaya masa lampau sehingga seakan waktu itu dihentikan. Padahal setiap generasi memiliki tantangan kehidupannya sendiri. Dan anak itu bukan sepenuhnya milik kita dan sesuai dengan keinginan kita. Sebab tantangan hidup itu berbeda di setiap zaman. Sewajarnyalah kita memberikan ruang kepada mereka untuk mempersiapkan kehidupan yg berbeda dengan kehidupan kita. Jadi guru dan pemerintah bukan hanya mengajarkan apa yg mereka ketahui untuk kehidupan mereka, Tetapi belajar mengetahui hal-hal penting untuk kehidupan masa depan generasi muda.
Lihat juga; Pembagian Generasi berdasarkan kelahiran
Ada dua teori yg melandasi konsep perkembangan ini. Pertama menganggap budaya itu harus dijaga dan berkesinambungan, jadi titik awalnya hanya satu. Teori kedua menganggap setiap generasi memiliki titik awal budaya yg berbeda walaupun dipengaruhi oleh budaya sebelumnya.
Bukti tentang hal ini adalah budaya intelektual minang yg lahir di masa Bung Hatta, generasi sesudahnya memiliki titik awal yg berbeda dengan arah pengembangan yg berbeda pula sehingga hasilnya tak ada mirip intelektualitas seperti generasi Bung Hatta.
Contoh lain adalah pendidikan agama Thawalib Padang Panjang pernah melahirkan tokoh seperti Natsir dan HAMKA. Tetapi generasi murid Thawalib di kemudian hari tidak muncul tokoh-tokoh intelektual seperti HAMKA sebelumnya. Karena budaya anak yg belajar pada generasi berikutnya berbeda.
Aspek memahami budaya itu memang penting sebagai identitas. Diperlukan untuk dilestrarikan. Tetapi pada uraian sebelumnya juga sudah dibahas apapun penonjolan budaya yg bersifat etnis atau ras, maka budaya itu akan memancing perpecahan dan bertolakbelakang dengan tujuan sumpah pemuda yg ingin mempersatukan indonesia.
Pak Wiyoso Yudosaputro sebagai dosen sejarah seni dahulu menjelaskan adanya kerajaan2 yg bersifat feodal agraris di Indonesia. Kerajaan2 itu adalah pusat budaya keraton yang memakai strata sosial yg dipengaruhi budaya dan agama hindu dan budha. Budaya dan sikap hidup orang jawa umumnya dipengaruhi oleh sifat feodalistik dan strata sosial seperti yg digambarkan dalam dunia perwayangan, atau tradisi india dan hindu. Budaya itu sedikit banyaknya berpengaruh kepada sikap dan perilaku masyarakat dalam kehidupan sehari hari manusia jawa. Manusia terdiri dari kelas2 dan strata sosial. Yang sering juga disebut adat, budaya dan etika jawa. Buktinya bagaimanapun getolnya presiden Jokowi blusukan dan merakyat tapi saat acara seremonial tetap memperlihatkan budaya feodalistik jawa dan diperlakukan seperti raja. Pemerintahan berdasarkan politik dinasti juga terlihat pada keluarga beliau.
Dinasti adalah sistem reproduksi kekuasaan yang primitif karena mengandalkan darah dan keturunan dari hanya bebarapa orang.
Tapi budaya dan tradisi jawa feodalistik dan memiliki hirarki sosial seperti itu juga membuat peluang bagi eksploiasi dan perbudakan manusia oleh yg berkuasa dan punya uang kaum kapitalistik (sebelumnya kolonial).
Sejarah perbudakan di indonesia dapat menjelaskan hal itu.
Artinya kepada rakyat kcil yg memiliki soft culture atau budaya lunak (tradisi jawa dan indonesia) di kalahkan oleh budaya yg keras dan kuat (kapitalis yg umumnya terlihat di semua kota2 di indonesia). Sejarah negara cina dan sejarah barat dibangun oleh budaya keras Komunis dan kapitalis itu sebenarnya mirip karena di bangun oleh budaya keras. Buktinya terlihat walau pada awalnya memiliki ideologi berbeda. Pada akhirnya mereka sama.
Artinya seberapa jauh kepentingan budaya asli etnik jika pendukung etnik masuk dalam lingkaran pengusaha atau kemajuan teknologi. Jawabnya . Sebetulnya tidak ada urusan. Si pengusung budaya sebenarnya masuk sebagai mesin produksi dan atau mesin organisasi manajemen yg tidak peduli dengan budaya apapun kecuali budaya perusahaan yg memikirkan keuntungan sendiri.
Ternyata mempertahankan budaya seperti itu di indonesia hanya untuk kepentingan ceremonial. Dan juga parawisata untuk dipertontonkan. Tapi hal itu juga tak menarik lagi. Sebab budaya apapun sudah bisa dilihat orang berbagai pelosok dunia liwat internet.
Pemilik budaya lunak seolah-olah terdistorsi oleh budaya baru yg harus patuh dan membuang sikap dan kebiasaan budaya lama yg dianggap memiliki nilai2 tinggi sebagai warisan generasi sebelumnya.
Lagipula budaya lunak itu juga murahan dan dijual murah.
Tonton video ini tentang kritik bule terhadap parawisata murahan bali
Dan oleh karena ketidak berdayaannya eksploitasi manusia itu tetap berlanjut tapi dalam bentuk lain seperti adanya golongan masyarakat yg kerjanya hanya jadi TKI dan pembantu rumah tangga, buruh pabrik dan perkebunan, pelayan toko dsb.yang mau digaji rendah dan dieksploitasi tenaga dan pikirannya. Tanpa memerhatikan kesejahteraanya apalagi soal intelektualitas. Dan ini sudah berlangsung 90 tahun seja zaman presiden Sukarno memerlihatkan gaji buruh hanya cukup beli 5 litr beras di zaman kolonial. Sampai kini tidak ada perubahan. Bisa jadi penjajahan itu masih berlangsung sampai sekarang.
Di Malaysia pekerja2 orang Jawa di sebut indon dengan konotasi yg merendahkan
Namun demikian ada suatu ketika dan tempat yg berbeda dan masalah budaya itu berikut status tak begitu penting lagi. Contohnya adalah negata Australia. Di mana ijazah itu tidak penting dan kerja kuli dihargai tinggi. Dan jika ada perusahaan yg melanggar dan mrngehsploitasi tenaga manusia akan mendapat sanksi dan hukuma masalahnya kembali ke sistem yg berlaku di suatu negara. Dan sikap warganegaranya. Dan bagaimana negara mengatur agar rakyatnya bisa hidup layak dan makmur.
Baca juha : Australia negara kuli
Pada masa kini atau zaman digital anak2 tak lagi baca buku tapi membaca, menulis dan menggambar di tablet dengan stylus, belajar dan bekerja di laptop, PC dan H⁷P. Intelektualitas, bakat dan talenta anak berkembang sesuai dengan apa yg populer dan dimainkan sesuai zamannya.
Yg merusak tentu ada seperti melihat dan membaca content dewasa di hp dan laptop. Jadi jangan berpikir kita hidup masih seperti di zaman dahulu. Saat itu buku memang sangat berharga sekali. Orang hebat rata2 memang muncul dari membaca buku dan pada masa kanak2nya di dorong dan dimotivasl untuk membaca buku.
3.5. Komentar thd.tulisan Pariadi Saputra
2 des 2017. Terdapat tulisan Minangkabau Dulu dan Minangkabau Sekarang yg di tulis oleh Pariadi Saputra pada https://medika.stkip-pgri-sumbar.ac.id/read/2017/12/minangkabau-dulu-dan-minangkabau-sekarang.
Menurut saya tulisan ini isinya juga tak logis dan menerawang dengan ABS SBK nya itu. Apakah hubungannya dengan industri otak ? Sebaliknya kata ratusan tahun itu seakan akan tak mempedulikan sejarah bahwa ABS SBK itu sebenarnya peristiwa di akhir abad ke 19 atau zaman kolonial yg dikukuhkan di abad ke 21 ini. Inti dari tulisan Pariadi ini sebenarnya adalah tentang industri otak dari surau di mana lampau, yg di gadang-gadang. Dan mungkin juga karena munculnya tokoh intetektual dari kalangan agama seperti Hamka.
Kemudian muncul kekhawatirannya tentang disrupsi yg terjadi akibat kemajuan teknologi. Baik penggagas industri otak (dalam hal ini eks gubernur sumatera barat Irwan Prayitno), maupun Pariadi keliru dengan konsep ini. Tentang ABS SBK itu semua orang minang setuju dan tak membantahnya tapi kapan dan bagaimmana bentuk intelektualitas minang yg disebut industri otak itu?
***
3.6. Komentar terhadap Pendapat Suryadi.
Saya mengapresiasi tulisan Suryadi tgl.28 des 2008 dari.
https://sastra-indonesia.com/2011/04/cermin-bagi-provinsi-pusat-industri-otak/ yg bertopik: "Cermin bagi provinsi industri otak". Yang ditulis pada koran Padang Ekspress; sangat jelas menerangkan bahwa: masyarakat Minangkabau adalah etnis yang sangat responsif terhadap kebijakan pendidikan dan politik Belanda di zaman kolonial.
Suryadi adalah seorang dosen di Leiden di negeri Belanda keturunan Indonesia.
Dia memberikan kupasan mendalam tentsng asal-usul Elite Intelektual Minang dan reaksi masyarakat Minangkabau terhadap sistem pendidikan Barat yang diperkenalkan Belanda di daerah ini sejak pertengahan abad ke-19." Jadi tidak salah untuk mengutip sedikit tentang apa yg ditulis Suryadi ini. Yang menjelaskan munculnya sekolah-sekolah sekuler di zaman kolonial khususnya oleh belanda. Dia menjelaskan sebuah buku yg berasal dari sebuah disertasi Graves, “The Ever-victorious Buffalo: How the Minangkabau of Indonesia solved their ‘colonial question’” (University of Wisconsin, 1971) yang kemudian diterbitkan tahun 1981 yang berjudul The Minangkabau Response to Dutch Colonial Rule in The Nineteenth Century (Ithaca: Cornell Modern Indonesia Project). Baru 26 tahun kemudian edisi Indonesianya terbit. Karena itu selayaknya pujian diberikan kepada para penerjemah, editor ahli, dan penerbit yang telah berupaya menghadirkan buku ini kepada pembaca Indonesia.
Tak perlu mengutip tiap bab yg dijelaskan Suryadi ttg buku ini. Beberapa diantara yg penting adalah: " Rupanya masyarakat Minang pada umumnya bereaksi positif terhadap kehadiran sekolah sekuler ini, terbukti dengan munculnya domestikasi terhadapnya melalui pendirian apa yang disebut sebagai sekolah nagari (nagari school) yang berkembang di nagari-nagari penting penghasil kopi di pedalaman Minangkabau. Antusiasme orang Minang terhadap sistem pendidikan sekuler itu memaksa pemerintah melakukan pembenahan sistem pendidikan untuk peningkatan mutu (Bab 6, hlm.210-47). Mulai 1870 Belanda menertibkan kurikulum sekolah-sekolah nagari dan mendirikan sekolah dasar pemerintah serta sekolah lanjutan. Tahun 1880 terdapat tidak kurang dari 27 sekolah dasar pemerintah yang tersebar sejak dari Rao di utara sampai Balai Selasa di selatan. Reorganisasi ini dibarengi pula dengan pembenahan struktur kelembagaan pemerintah, khususnya yang berkaitan dengan pendidikan.
Hasil dari sistem pendidikan sekuler ini adalah lahirnya generasi muda Minangkabau yang bisa membaca “huruf Wolanda”. Merekalah tunas awal kaum elite Minangkabau modern. Dalam Bab 7 (hlm.248-70) penulis menelusuri sejarah kaum elite baru Minangkabau itu dengan melacak genealogi keluarga-keluarga yang pernah menduduki posisi cukup penting dalam birokrasi pemerintahan kolonial Belanda dan profesi-profesi yang cukup tinggi pada abad ke-20. Koto Gadang menjadi tempat studi lapangan Graves yang utama karena nagari ini memang sejak semula sudah menunjukkan respon positif terhadap sistem pendidikan sekuler yang diperkenalkan Belanda.
Bab 8 yang merupakan epilog buku ini (hlm.271-81) membahas reaksi golongan elite baru ini terhadap Pemerintahan Kolonial Belanda. Menjelang pergantian abad ke-20, peningkatan jumlah kaum elite baru ini yang bekerja dalam birokrasi dalam negeri (binnenlandsch bestuur) telah menyebabkan meluasnya desakan kepada pemerintah agar memperluas sekolah-sekolah di Minangkabau. Mereka menuntut supaya pengajaran bahasa Belanda, yang sempat dihentikan, diadakan lagi dan diperluas. Namun, pada saat yang sama efek bumerang sistem pendidikan sekuler ini mulai terasa. Belanda merasa khawatir kaum bumiputera jadi makin cerdas. Maka dilakukan lagi pengetatan administratif dan kurikulum di sana-sini.
Namun, rupanya bagi elite baru Minangkabau, kesempatan mencicipi pendidikan sekuler itu tidak semata-mata digunakan untuk bekerja menjadi ambtenaar dalam jajaran birokrasi pemerintahan kolonial; dengan berbekal ilmu yang didapat dari sekolah-sekolah Belanda banyak di antara mereka yang menjadi wirausahawan tangguh. “Orang Minangkabau menangkap dengan jitu aturan main kolonial yang baru dan sekuler itu menurut pengertian mereka sendiri; mereka mengambil apa yang mereka butuhkan dan menyesuaikannya untuk tujuan-tujuan khusus mereka” (hlm.280).
Studi Graves ini, yang mengombinasikan data arsip kolonial dan penelitian lapangan di Sumatera Barat, menyimpulkan bahwa intervensi kekuasaan kolonial Belanda terhadap masyarakat Minangkabau menyebabkan ambruknya kekuasaan elit tradisional kelas atas akibat rotasi berlangsung secara alami karena penerapan sistem administrasi politik baru bikinan Belanda selepas Perang Paderi. Mobilitas kelas menengah terpelajar hasil pendidikan sekuler itu ternyata mandek dalam ranah budaya-politik tradisional mereka. Untunglah mereka mendapat tempat dalam sistem birokrasi pemerintah kolonial. Mereka inilah yang menjadi cikal-bakal elite Minangkabau modern, yang sebagian kemudian mengisi sebagian besar elite politik Indonesia—sepenggal cerita tentang sejarah kegemilangan etnis Minangkabau yang kini mulai redup.
Sebenarnya agak susah juga untuk menyimpulkan topik ini tentang apa ke khasan intelektualitas minang. Dan ke arah mana akan dikerucutkan. Lagi pula jika kecakapan bicara itu dan komunikasi dalam bahasa minang sebagai argumen industri otak apakah talenta ini masih relevan dengan kebutuhan di masa depan?
Kalau kebesaran era Bung Hatta dan era Hamka di masa lampau yg jadi pedoman juga kurang bisa di andalkan.
Konflik2 orientasi budaya di indonesia yg menyebabkan indonesia terbelit dengan masalah intelektualitas semu. Mental manusia terjajah dan feodalisme masih terpatri dengan kuat, walau dimulut mengatakan sudah bebas dan merdeka. Dan selalu mencari musuh2 yg tak jelas, dengan sifat nonblok semua ideologi bisa jadi musuh, kapitalisme, sosialisme, komunisme, agama (islamphobia) bisa jadi musuh. Semua itu karena kekacauan di bidang intelektualime atau yg disebut intelektualime semu.
Mengerucut kepada inteletualisme yg ada di di sumatera barat sebenarnya ada beberapa titik terang dari beberapa penulis tentang hal sejarah intelektualitas di kalangan masyarakat minang. Di antaranya dari tulisan Suryadi dari Belanda.
Dan tentu saja akhirnya tentang pembinaan pendidikan manusia ke masa depan dalam konteks yg lebih luas dan bukan hanya untuk sumatera barat.
***
Memang slogan Sumatera Barat sebagai kawah candradimuka “industri otak” tak lagi begitu bergema selepas dipopulerkan oleh Prof. Dr. Irwan Prayitno saat menjabat sebagai Gubernur Sumbar 2 periode. Dan apakah beliau ini juga serius dengan perkembangan inteletualitas di sumatera barat rasanya masih diragukan. Salah satu ciri khas beliau ini adalah baca puisi kalau mulai pidato. Tapi belum ada terdengar kajian ilmiah tentang sastra dan puisi yg diselenggarakan oleh beliau.
Namun, memikirkan perguruan tinggi di Sumbar agar bisa masuk dalam deretan perguruan tinggi elite dan terbaik di Indonesia mungkin topik yg perlu dibincangkan. Dan saya tak begitu setuju dengan kuantitas saja dimana PT meluluskan ribuan mahasiswa tiap tahun akhirnya menganggur. Artinya kuantitas itu perlu tapi kualitas juga perlu dan yg terakhir inilah sy tak disenangi dulu oleh teman2 sama mengajar, mungkin oleh perbedaan latar belakang dan mungkin juga oleh sifat pengelompokan yg menolak sesuatu yg berbeda. Akhirnya sering meniadakan satu sama lain.
Baca juga 200 ribu calon guru lulusan perguruan tinggi LPTK menganggur setiap tahunnya.
3.7. Komentar Terhadap Pendapat Anggun Gunawan
Apa yg saya rasakan itu mirip sekali dengan apa yg dirasakan oleh Anggun Gunawan yg di tulis oleh Rizki tentang: "Menjadikan Sumbar Sebagai Pusat Pendidikan Tinggi di Indonedia. Pada
https://hariansinggalang.co.id/author/rahmatzikri/?amp. Pada jumat, 31 Maret 2023 | 19:42
Menurut pendapatnya :"Diversitas dosen di kampus-kampus Sumatera Barat perlu dilebarkan lagi dengan spektrum dan struktur latar belakang etnis dan latar belakang yang berbeda. Bisa kita katakan bahwa 80-90% dosen di perguruan tinggi Sumbar adalah orang Minang. Penyakit akut yang menimpa orang Minang itu, jika disandingkan dengan sesama mereka cenderung untuk menegasikan satu sama lain. Dosen-dosen beretnis Minang yang berkiprah di kampus-kampus multikultur di Jawa sangat mudah untuk terlihat dan menonjol dibandingkan dosen-dosen beretnis lain karena mereka bersaing dan berkompetisi dalam ruang etnis yang majemuk.
Sementara, di Sumatera Barat mereka bersaing “awak samo awak”(lingkaran dalam). Sehingga semangat yang terjadi lebih kepada sisi sentimentil. Ditambah lagi pameo “Urang Minang itu susah dipersatukan” (budaya konflik) makin membuat semangat maju bersama di kampus-kampus Sumatera Barat juga tidak sekuat kampus-kampus di Jawa.
Menurut Anggun Gunawan kmpus di Sumbar memerlukan keberanian untuk mengubah komposisi dosen Minang dan non Minang pada angka 60:40. Itu akan membuka kran masuknya dosen-dosen terbaik dari wilayah lain di Indonesia untuk merubah kultur akademik di Sumatera Barat. Jika mendapatkan “ruang kompetisi” berlain etnis diharapkan dosen-dosen Minang itu bisa meningkatkan kapasitas mereka lebih cepat lagi. Selanjutnya dia berpendapat khusus untuk perguruan tinggi swasta di Sumatera Barat, mereka perlu memperkuat struktur tenaga pendidiknya dengan alumni-alumni luar negeri. Rekruitmen khusus buat alumni-alumni luar negeri perlu digiatkan oleh PTS-PTS tersebut. Karena hal ini yang dilakukan oleh perguruan tinggi swasta terkenal di Jawa untuk bisa menggaet banyak mahasiswa dan menarik hati calon mahasiswa yang berprestasi. Rekruitmen spesial itu bisa dengan tagline “Sumbar Memanggil”. Jika para dosen PTS di Sumbar semakin besar komposisi lulusan LN-nya, maka kampus tersebut juga akan memiliki bargaining position yang makin kuat baik di sisi pemerintah maupun dari sisi masyarakat.
Sebagai penutup dia berpendapat tentu saja anak-anak muda Sumbar yang memiliki bakat dan potensi luar biasa serta lulusan S2/S3 dari kampus-kampus terbaik di luar negeri jangan disia-siakan. Seringkali saya melihat anak-anak muda Sumbar yang S1-nya di Jawa dan S2/S3 nya di luar negeri susah untuk bisa menembus seleksi dosen di perguruan-perguruan tinggi Sumatera Barat. Mereka mendapatkan resistensi karena S1nya bukan di kampus tempat ia melamar dan pihak petinggi kampus lebih menyukai inner circle-nya sendiri untuk menjadi kolega akademiknya. Hingga akhirnya anak-anak muda Minang potensial yang ingin mengabdi di Ranah Minang itu kemudian kembali harus merantau dan mengabdikan ilmu mereka di luar Sumbar."
****
EPILOG
(Catatan2 kecil)
Ancaman terbesar masa kini adalah TI dimana sebagian besar pekerjaan diambil alih oleh oleh mesin digital dan robot. Bagaimana arah dan orientasi pendidikan dalam situasi seperti itu untuk generasi sekarang dan juga untuk masa yang akan datang? Tentu saja tidak bisa di bayangkan, namun pendidikan yg mahal hari ini bisa saja sia-sia, saja karena tak terpakai dimasa yang akan datang. Manusia tambah banyak dan pekerjaan justru semakin berkurang.
Dapat dirangkumkan bahwa intelektualisme itu mungkin penting sebagai modal untuk bekerja, untuk masa kini mapun masa yang akan datang. Terutama dalam hal kemampuan berkomunikasi dan berbahasa asing. Namun lebih penting lagi kemampuan BEKERJA SECARA NYATA . Soal lulusan apa dan ijazah apa tak penting lagi.
Baca juga kemampuan peretas mahasuswa unair melebihi kemampuan peretas Byorka
****
Melihat foto2 di bawah terlihat bahwa kalangan intelektualitas minang masa lampau hidupnya juga bukan istimewa. Bahkan hidupnya susah sebagai keluarga guru. Terutama di peralihaan masa pra kemerdekaan indonesia. Paling tidak hal2 seperti itu dirasakan dan di alami oleh penulis. Suasana seperti itu berlanjut sampai sesudah kemerdekaan. Bahkan mungkin sampai kini.
Penulis pada tahun 1952. Dengan ayah adik dan ibu
Vv
Referensi:
biodata Rocky Gerung wikipedia
Biodata penulis. Wikipedia
Suryadi tgl.28 des 2008 dari.
https://sastra-indonesia.com/2011/04/cermin-bagi-provinsi-pusat-industri-otak/ yg bertopik: "Cermin bagi provinsi industri otak".
9 sept 2015. Dari sumbarprov.go.id https://sumbarprov.go.id > news > 5... dengan topik. "Mau menjadi orang hebat, membacalah!
2 des 2017. Pariadi Saputra Minngkabau Dulu dan Minangkabau Sekarang. pada https://medika.stkip-pgri-sumbar.ac.id/read/2017/12/minangkabau-dulu-dan-minangkabau-sekarang.
12 Jan 2019 . Dari: MinangSatu.com oleh Ag. Sutan Mantari. dengan tajuk. Menggugat Sumatera Barat Sebagai Industri Otak
4 Mei 2021. Dari: Republika.id https://www.republika.id › posts › r... oleh Ahmad Syafii Maarif yg di tulis Daan Yahya, dengan topik: Ranah Minang, ABS-SBK-AM-SM, dan Kebanggaan Semu (IV)
Rizki tentang: "Menjadikan Sumbar Sebagai Pusat Pendidikan Tinggi di Indonedia. Pada
https://hariansinggalang.co.id/author/rahmatzikri/?amp. Pada jumat, 31 Maret 2023 | 19:42
Tidak ada komentar:
Posting Komentar
Silahkan tinggalkan komentar Anda, jika ingin menggunakan emotion, silahkan klik emotionnya, dan kopy paste kodenya dalam kotak komentar