Sabtu, 12 Maret 2011

Dampak Bencana Gempa Terhadap Lingkungan Binaan Bangunan Kuno Warisan Budaya di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat

Oleh Heldi
Programme Doctor of Philosophy Ph.D (Fasilities Management) Fakulty Geo-Information Science of Engeneering   University Technology Malaysia
Dosen Seni Rupa dan Desain Komunikasi Visual Unversitas Negeri Padang
Editor (Drs. Nasbahry Couto, M. Sn)
Abstrak
Akhir-akhir ini, berbagai wilayah Indonesia diguncang gempa. Hal tersebut seakan menguatkan pendapat kalau bumi pertiwi ini dalam selimut bencana. Memang, secara geografis Indonesia merupakan daerah rawan bencana gempa dan tsunami. Indonesia terletak di antara tiga lempeng aktif dunia (triple junction plate convergence). Yaitu pertemuan tiga lempeng tektonik di dunia, Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur, yang dapat berpotensi terjadinya bencana. Kesiap-siagaan semua pihak untuk mengantisipasi bencana alam sangat diperlukan, terutama mengurangi dampak yang ditimbulkan. Gempa bumi merupakan gelombang yang dipancarkan dari suatu sumber elastik yang dilepaskan secara mendadak. Energi elastik tersebut terakumulasi secara bertahap di lokasi sumber gempa dengan kecepatan yang tidak terlalu sama besarnya. Hingga saat ini belum ada ahli yang bisa menetapkan kapan terjadinya suatu gempa.  Bencana alam, khususnya gempa bumi tidak dapat diketahui kapan dan dimana terjadinya. Karena itu, perlu adanya menajemen dan mitigasi bencana untuk mempersiapkan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan bencana gempa. Semua pihak harus menyadari pentingnya peran stakeholder untuk mempertahankan lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya. Dan pentingnya  penanganan bangunan secara spasial, ekonomi, sosial, dan budaya di kawasan lingkungan tersebut yang bertumpu pada suatu model rencana strategi manajemen berbasis  aset lingkungan binaan warisan budaya.
Kata kunci ; Lingkungan binaan, Warisan budaya, bangunan kuno, Stakeholder, Strategi manajemen. 
PENDAHULUAN
Indonesia merupakan daerah pertemuan tiga lempeng tektonik yang sangat besar, yaitu lempeng Indo-Australia, Eurasia dan lempeng Pasific. Masing-masing lempeng ini bergerak sesuai dengan arahnya masing-masing selama jutaan tahun. Misalnya lempeng Indo-Australia menabrak lempeng Eurasia di lepas pantai Sumatra, Jawa dan Nusatenggara, dan dengan bagian Pasific di utara Irian dan Maluku utara. Di sekitar lokasi pertemuan lempeng ini m umnya terjadi akumulasi energi tabrakan yang dapat terkumpul sehingga pada suatu saat lapisan bumi yang di tabrak tidak sanggup lagi menahannya, patah atau terlepas yang berakibat kepada terjadinya gempa bumi. Pelepasan energi sesaat ini menimbulkan berbagai dampak terhadap bangunan karena percepatan gelombang seismik, tsunami, longsor, dan liquefaction. Besarnya dampak gempa bumi terhadap bangunan bergantung pada beberapa hal; diantaranya adalah skala gempa, jarak episentrum, mekanisme sumber, jenis lapisan tanah dilokasi bangunan dan kualitas bangunan.

Peristiwa seperti ini juga pada suatu saat yang tidak ditentukan juga akan menimpa kawasan Provinsi Sumatera Barat. Karena kawasan ini berada di atas bagian lempeng yang dimaksud. yaitu pertemuan Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur.

Tidak hanya bencana hanya peristiwa gempa, tsunami, angin ribut, banjir, kekeringan, semburan lumpur, tanah longsor yang akan menimpa kawasan ini. Tetapi juga peristiwa lain seperti letusan gunung berapi atau gempa bumi aktif akan mengancam jiwa masyarakat. Oleh karena itu kesiapsiagaan semua pihak dalam mengantisipasi bencana alam sangat diperlukan. Terutama  untuk mengurangi dampak yang ditimbulkan.

Gempa bumi merupakan gelombang yang dipancarkan dari suatu sumber elastik yang dilepaskan secara mendadak. Energi elastik tersebut terakumulasi secara bertahap di lokasi sumber gempa dengan kecepatan yang tidak terlalu sama besarnya. Hingga saat ini belum ada ahli yang bisa menetapkan kapan terjadinya suatu gempa. (techno konstruksi bulan okt 09).

Para ahli atau ilmuan mencoba untuk meramalkan gempa, umumnya dilakukan  melalui dua cara. Pertama mempelajari sejarah gempa besar di daerah tertentu dan kedua memantau laju penumpukan energi di suatu lokasi. Namun, Lembaga Penelitian Geologi AS (United States Geological Study/ USGS) menilai metode ini tidak selalu akurat, gempa yang multiplikator adalah salah satu penghambatnya.
Maka dengan mengacu pada dasar bencana alam khususnya gempa bumi yang tidak dapat diketahui kapan dan dimana terjadinya, diperlukan manejemen dan mitigasi bencana guna mempersiapkan dan mengurangi dampak yang ditimbulkan dari bencana alam gempa tersebut.
Serangkaian bencana telah melanda negeri ini, dimana akibat dari gempa tidak  dapat dihindari dan memberikan dampak berupa kerusakan dimuka bumi ini. Misalnya, pada tanggal 6 Maret 2007 - Gempa bumi tektonik mengguncang Provinsi Sumatera Barat,  79 orang dinyatakan tewas berikut kerugian harta benda. Pada tanggal 30 September  2009 terjadi lagi gempa bumi di Sumatera Barat  dalam bentuk gempa tektonik yang berasal dari pergeseran patahan Semangko. Gempa ini berkekuatan 7,6 Skala Richter (BMG Indonesia) atau 7,9 Skala Richter (BMG Amerika) yang mengguncang daerah Padang-Pariaman. Sedikitnya 1.100 orang tewas dan ribuan terperangkap dalam reruntuhan bangunan dan ribuan bangunan hancur.

Kerugian terbesar dialami akibat kerusakan bangunan dan perumahan milik masyarakat yang mencapai 74 persen dari total Rp21,58 triliun. Boleh dikatakan hampir semua bangunan teknik sipil terletak diatas muka tanah, seperti bangunan gedung, menara, bendungan, prasarana transportasi dan bangunan kuno warisan budaya luluh lantak dari akibat goncangan gempa yang disebutkan di atas.

Khususnya di kota Padang, kerusakan yang terjadi tidak hanya pada bangunan baru, tetapi juga terhadap bangunan kuno  yang memiliki nilai-nilai warisan budaya lama. Sebanyak 52 unit dari 74 unit Benda Cagar Budaya (BCB) di Kota Padang rusak. Jika dinilai dengan rupiah, maka  kerusakan aset bersejarah itu mencapai miliaran rupiah. Untuk itu perlu suatu pengamatan di lapangan untuk meneliti tingkat karakteristik bangunan kuno yang mengalami kerusakan dan kehancuran itu. Umumnya bangunan kuno itu memiliki konstrusi bangunan dari bahan kayu dan atau gabungan bahan kayu, bahan semen/kapur, bata melengkung tanpa balok, elemen estetika pada pavilion dsb. (Zhank.205) 

Sejarah Singkat Kawasan Lama Kota Padang
Kota Padang memang memiliki sejarah yang panjang. Kota ini pada awalnya di bangun oleh Belanda sekitar abad ke 17-18 sebagai persinggahan  kapal dari pelayaran di wilayah Barat. Antara lain untuk merawat tentara Belanda yang sakit atau cidera sewaktu perang melawan Aceh. Disamping itu juga untuk kepentingan perdagangan dengan pribumi ke pedalaman bagian tengah Sumatera. Di pesisir timur Sumatera Belanda tidak berkuasa karena kawasan itu di kuasai oleh musuh Belanda seperti Portugis dan Inggris. Sedangkan daerah ujung sumatera di kuasai oleh kerajaan  Aceh. Satu-satunya jalan adalah membangun daerah transit di kawasan tengah Sumatera baik untuk perjalanan ke Eropah maupun untuk menyerang  kawasan ujung Sumatera yang dikuasai oleh kerajaan Aceh, sedangkan daerah pedalaman terdapat kerajaan Pagaruyung. Salah satu taktik Belanda untuk menguasai daerah Padang adalah membangun pangkalan di luar kawasan ini, yaitu di pulau Pisang seperti yang terlihat pada peta di bawah ini.  Di tempat ini kemudian di bangun Benteng dan gudang-gudang persenjataan milik Belanda.

Keterangan gambar : Padang tahun 1753. Bagian kiri adalah kawasan sungai Muara (Muaro) yang nantinya dipakai sebagai  pelabuhan pertama yang dibangun oleh Belanda untuk  gudang senjata, perkantoran dan sebagainya. Tetapi sebelum masuk ke kawasan ini Belanda membangun basis pertahan di pulau Pisang ( kanan bawah). Bagian tanjung yang menjorok ke laut dekat sungai Muara adalah Gunung Padang, pantai sebelah kanan adalah pantai Air Manis. Sumber: geheugenvannederland (2011)
                       Sumber Rusli Amran (1988)
Lambat laun daerah kawasan Muara dan sehiliran sungai ini di kuasai oleh Belanda. Di Kawasan ini kemudian di bangun rumah sakit  untuk merawat tentara Belanda, pergudangan, perkantoran dan sebagainya.

Sketsa dan gambaran tentang pembangunan kota Padang yang digambarkan oleh oleh seniman pelukis /(tekenaar):   Louis Henri Wilhelmus Merkus de Stuers pertengahan abad ke-18. Yang menggambarkan  bangunan pemukim Cina dan Kolonial Belanda. (A) Bangunan kelenteng di tepi air Muaro, untuk etnis Tionghoa. (D) adalah bangunan pertama (darurat) untuk rumah sakit tentara di daerah Ganting (B dan E) rumah sakit tentara yang dibangun permanen, (C dan F)  di perkirakan rancangan bangunan yang kemudian menjadi kantor Gubernur Belanda di Wilayah ini yang muncul sekitar tahun 1828-30). Stuers adalah pelukis kelahiran Batavia/Jakarta tahun 1830, meninggal di Batavia tahun 1869. Sumber: Geheugenvannederland (2011)
Pemandangan derah Ganting Padang tahun 1880, dipotret dari arah Timur ke Barat oleh Woodbury & Page / Batavia .Sebelah kanan adalah rumah sakit tentara Belanda yang sekarang juga berfungsi sebagai RS. Tentara tetapi namanya sudah di ganti. Oleh masyarakat Padang disebut dengan RS Ganting.  Bagian depan terlihat gunung Padang. Sumber: Geheugenvannederland (2011)
Catatan:
Untuk tidak salah tafsir, pengertian daerah Padang berbeda dengan pengertian kota Padang. Sistem kekotaprajaan di Hindia-Belanda dalam pemerintahan desentralisasi dimulai sejak keluarnya ordonansi (STAL 1906 No.151) yang ditanda tangani oleh Gubernur Jenderal J.B. van Heutsz tanggal 1 Maret 1906, dan sejak 1 April 1906 kota Padang telah berstatus Gemeente (kota). Sistem kekotaprajaan ini diperintah oleh seorang Burgemeester (walikota) dan bertanggung jawab kepada Dewan Kotapraja. Untuk ulang tahun kota Padang akan terlalu berlebihan jika ditarik ke masa lampau, hal ini telah menjadi polemik dalam menentukan ulang tahun kota Padang. Sumber:http://id.wikipedia.org/wiki/Pemerintahan_kota_Padang.
Bangunan Kuno yang Rusak Akibat Gempa
Diantara bangunan yang tersisa  itu adalah bangunan kuno peninggalan kolonial misalnya bangunan Nederlansche Handels-Maatschappij (NHM), Padangscdhe Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio. Diantara bangunan itu ada yang rusak dan hancur antara lain: (1) kerusakan struktural (miring, runtuh, deformasi vertikal, deformasi horisontal, retak); dan (2) kerusakan material (retak, patah, pecah dan mengelupas).

Sebenarnya gempa yang di jelaskan di atas hanya berlangsung beberapa menit, namun akibat yang ditimbulkannya baru akan pulih selesai dalam waktu lama hingga semuanya kembali seperti sediakala. Kejadian gempa di Padang, 30 September 2009   memiliki terjangan gempa bahkan mencapai ratusan kali sebelum kejadian itu. Sejak gempa di Nanggroe Aceh Darussalam, 26 Desember 2004, kota Padang dan sekitarnya sering diguncang gempa berskala 4 hingga 6 skala Richter. ”Jumlahnya mencapai ratusan,” kata Sujabar, petugas di Pusat Gempa Nasional Badan Meteorologi, Klimatologi, dan Geofisika.

     In box
Potensi Tsunami Akibat Gempa bumi
Sepanjang sejarahnya, perairan Selat Sunda telah berkali-kali mengalami gempa bumi dalam mag¬nitudo di atas 6 Skala Richter, dengan kedalaman yang relatif dangkal, dan mekanisme gempa vertikal. Hal demikian dapat saja berpotensi menimbulkan tsunami, seperti yang baru-baru ini terjadi di sebelah selatan Pulau Jawa pada 17 Juli 2006. Gempa bumi ini memiliki magnitudo Mw 7,7 dengan mekanisme gempa sesar naik, dan menimbulkan tsunami yang melanda beberapa daerah di selatan Pulau Jawa.
Menurut Gutscher & Westbrook (2007), tsunami¬genik yang diakibatkan oleh gempa bumi, umumnya berasosiasi dengan zona subduksi lambat yang biasanya menghasilkan gempa bumi dengan me¬kanisme sesar naik besar (mega-thrust earthquakes M>8.2). Dalam makalahnya disebutkan bahwa perulangan interval untuk tepian subduksi ber¬langsung lambat, lebih lama dibandingkan dengan zona subduksi cepat (berurutan dari beberapa ratus hingga beberapa ribu tahun). Contoh tsunamigenik zona subduksi lambat antara lain adalah gempa-gempa yang terjadi di perairan barat Sumatera, di antaranya gempa bumi yang terjadi pada 26 Desem¬ber 2004, sedangkan tsunamigenik zona subduksi relatif cepat adalah gempa bumi pada 17 Juli 2006 yang diperkirakan merupakan perulangan gempa tahun 1921 (~ 85 tahun). Kecepatan zona subduksi di Selat Sunda memiliki nilai 2 hingga 3 kali lebih cepat dibandingkan dengan zona subduksi perairan barat Sumatera namun agak lambat dibandingkan dengan zona subduksi di selatan Jawa, yaitu sebesar 5 mm/tahun.
Zona subduksi lambat (v ~ 4 cm/tahun) dicirikan oleh adanya endapan sedimen tebal pada palung (2-6 km) dan baji akresi (accretionary wedge) yang lebar. Penipisan baji akresi ini secara mekanik berhubungan dengan basal dan gesekan internal yang berkisar antara 4° hingga 12°. Beberapa baji akresi memiliki permukaan yang rata-rata dan kemiringan basal dangkal (masing-masing 1°- 2°), taper <4° yang mengindikasikan adanya lapisan sangat lemah. Selat Sunda termasuk ke dalam kategori ini dan mempunyai taper agak besar sekitar 5° hingga 7°, dan hampir semua baji dengan taper tersebut memiliki laju penunjaman yang lambat (0,5 hingga 4 cm/tahun). Selat Sunda merupakan peralihan dari laju penunjaman lambat menjadi lebih cepat.
Dampak langsung dari konfigurasi tersebut di¬khawatirkan akan menghasilkan deformasi di bagian atas batas bagian atas dip (up dip limit) zona seismo¬genik. Untuk baji akresi yang lebar (20 - 60 km), daerah di luar batas up dip memberikan kontribusi terjadinya tsunami. Sifat fisik sedimen pada baji akresi ini memiliki rigiditas (µ) rendah, porositas tinggi, dan slip co-seismik yang lambat. Kontribusi momen seismik mungkin rendah, namun berkontri¬busi menghasilkan tsunami sangat tinggi.
Gempa bumi di zona subduksi terjadi akibat tegasan yang terakumulasi disebabkan oleh kontak gesekan antara kedua lempeng tektonik yang salah satunya meluncur ke bawah yang lainnya (dalam hal ini Lempeng Hindia-Australia meluncur ke bawah Sumatera). Pada patahan slip selama gempa bumi, tegasan yang terakumulasi pada batas lempeng di dalam rupture area akan seluruhnya atau sebagian terlepaskan. Slip patahan juga akan merubah medan tegasan di daerah sekitar rupture area, dan perubah-an tegasan ini hampir selalu menambah akumulasi tegasan di segmen sekitar patahan, sebagai hasil pergerakan relatif lempeng. Apabila segmen-segmen yang saling berdekatan ini tidak pernah mengalami gempa bumi besar dalam waktu yang cukup lama, hal ini memungkinkan adanya peningkatan tegasan pada tingkatan mendekati kekuatan gesekan pada kontak antar lempeng. Tegasan tambahan yang dise¬babkan oleh gempa bumi besar di dekatnya mungkin cukup untuk menimbulkan gempa bumi baru pada segmen berikutnya.
Dalam katalog tsunami Soloviev dan Go (1974) disebutkan bahwa gempa bumi yang menyebabkan tsunami di Selat Sunda pernah terjadi pada tahun 1757, dengan magnitudo Ms7,5 dan ketinggian tsunami hanya berkisar hingga 1 m. Kesenjangan aktifitas gempa besar (seismic gap) di daerah ini sudah mencapai sekitar 250 tahun. Gempa bumi berkekuatan > 7 Skala Richter pada kedalaman dangkal dapat berpotensi menim¬bulkan tsunami. Zona subduksi Selat Sunda yang digambarkan sebagai segmen-segmen patahan diilustrasikan pada Gambar 2.

Potensi Tsunami Akibat Gunung Api
Tsunami yang diakibatkan oleh gunung api bi¬asanya bukan hanya disebabkan oleh erupsinya, me¬lainkan juga sebagai akibat jatuhan produk gunung api yang dimuntahkan ke laut (Gambar 3) atau run¬tuhan sebagian/seluruh tubuh gunung api ke dalam.Sumber: BNPB(Badan Nasional Penanggulangan Bencana)
                             


Guncangan dalam kurun waktu yang panjang secara perlahan telah melemahkan struktur bangunan yang tidak dirancang tahan gempa, antara lain ditunjukkan dengan keretakan tembok. Imbauan kepada masyarakat untuk melakukan perkuatan bangunan yang rentan terhadap gempa sudah dilakukan. ”Namun, sayangnya hal ini diabaikan karena mereka menganggap gempa besar belum pasti datang,” ujar Febrin A Ismail, Koordinator Tenaga Ahli Kelompok Siaga Tsunami (Kogami) Sumatera Barat.

Terlepas dari fakta bahwa Negara Italia selalu menjadi negara seismik bencana gempa, risiko gempa belum dihadapi oleh orang-orang dengan cara yang rasional kesadaran belum tumbuh terhadap dampak gempa bumi dan Selama dua dekade terakhir, seismologtelah melakukan yang terbaik untuk meyakinkan opini publik bahwa gempa bumi tidakperistiwa luar biasa, tetapi merupakan bagian dari sistem Mediterania geofisika, sehinggabentuk kejadian yang dialami mereka seharusnya tidak mengejutkan sama sekali (Boschi dan Dragoni, 1987,1991)

Berbagai dampak dari gempa terhadap lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat.


Wajah Kota Lama Padang masih compang-camping selepas diguncang gempa. Bangunan bersejarah di pinggiran Sungai Batang Arau kini tidak  lagi berdiri sempurna.

Kawasan Kota Lama Padang terletak di sekitaran Muara Padang, Jalan Batang Arau (memanjang di sisi Sungai Batang Arau), dan Pasa Gadang. Deretan gedung di sisi kiri jalan adalah gedung peninggalan kolonial Belanda baik dari akhir abad 19 maupun awal abad 20. Sekarang, bangunan-bangunan itu umumnya hancur berantakan karena gempa. Jenis BCB yang rusak terdiri atas bangunan Nederlansche Handels-Maatschappij (NHM), Padangscdhe Spaarbank, De Javansche Bank, dan NV Internatio. Kantor Balaikota Padang, SMA Negri 1 Padang, SMP 1 Padang, Klenteng, Masjid Raya Ganting, Gedung Juang 45 dan gereja Katedral. Selain itu sejumlah bangunan lama di kawasan Pasar Gadang Padang Selatan, juga rusak berat."Sejumlah BCB tersebut merupakan bangunan yang didirikan pada masa kolonial Belanda dan Jepang, sangat berharga sebagai aset budaya bersejarah dan wisata Kota lama Padang,"
    
   
Kota Lama, Wajah Sejarah Kota Padang

Lingkungan  binaan Kota Lama merupakan wajah warisan sejarah, karena dari sinilah ibukota Padang berasal. Padang dan Kota Lamanya seperti dua sisi mata uang yang tidak  bisa dipisahkan begitu saja. Dan tentu saja ini menghadirkan identitas keunikan tersendiri. Sebuah gradasi yang bisa dibilang jarang ada ketika dua generasi disandingkan sehingga menciptakan gradasi yang berwajah unik dan mempesona.
Gambar sebelah kiri adalah sungai Muaro padang, kanan adalah Balai Kota Padang. Bangunan ini adalah diantara bangunan peninggalan kolonial Belanda    

Pada dasarnya area Padang Kota Lama atau yang sering disebut kawasan Kota lama di Pasar Gadang. Kerusakan parah pasca gempa terjadi pada Pusat Kota Lama yakni Kawasan Pondok, Muaro dan Pasar Mudiak, di Kelurahan Pasa Gadang, Kecamatan Padang Selatan dan kecamatan Padang Barat. Pemko sedang berusaha melakukan revitalisasi dan rencananya akan memakan waktu dan jumlah uang yang tidak sedikit karena banyaknya bangunan bersejarah yang perlu dipugar dengan tetap mempertahankan karakter kota Outstadt atau Little Netherland mencakup setiap daerah di mana gedung-gedung yang dibangun sejak zaman Belanda. Namun seiring berjalannya waktu istilah kota lama sendiri telah hilang dan leyap ditelan bencana.

Secara umum karakter bangunan loji-loji di wilayah kota lama Padang ini mengikuti bangunan-bangunan di benua Eropa sekitar tahun 1700-an. Hal ini bisa dilihat dari detail seperti kota-kota lainnya di Indonesia seperti Jakarta, Semarang, Yokyakarta, contohnya Bandung, memiliki beragam warisan atau pusaka budaya (cultural heritage) dikenal sebagai kota yang kaya akan arsitektur kolonial berlanggam art deco, neo-klasik, sampai modern style. Hal ini dapat dicermati melalui karya CPW Schoemaker (Villa Isola, Gedung Kologdam, Masjid Cipaganti), Aalbers (tiga villa di Dago), Gerber (Gedung Sate), Maclaine Pont (Aula Barat dan Aula Timur ITB), dan lain-lain. Saat ini bangunan-bangunan tersebut mewadahi beragam fungsi kota seperti pendidikan, pemerintahan, perumahan, komersial, dan militer.

Bangunan bersejarah selain berperan dalam membentuk identitas suatu kota atau kawasan, juga memiliki potensi sebagai daya tarik wisata budaya. Wisata budaya adalah jenis wisata berupa perjalanan untuk mengalami tempat dan aktivitas yang secara otentik mewakili cerita dan atau sejarah masa lalu dan masa kini. Bangunan yang khas dan ornamen-ornamen yang identik dengan gaya Eropa. Seperti ukuran pintu dan jendela yang luar biasa besar, penggunaan kaca-kaca berwarna, bentuk atap yang unik, sampai adanya ruang bawah tanah. Hal ini tentunya bisa dibilang wajar karena faktanya wilayah ini dibangun saat Belanda datang. Tentunya mereka membawa sebuah konsep dari negara asal mereka untuk dibangun di Padang kota lama yang nota bene tempat baru mereka. Tentunya mereka berusaha untuk membuat kawasan ini feels like home bagi komunitas mereka.


Peta kota Padang pada masa kini. Sumber : berbagai sumber
Bagaimanapun bentuknya dan apapun fungsinya saat ini, Kota Lama merupakan aset yang berharga bila dikemas dengan baik. Sebuah bentuk nyata sejarah Perkembangan Kota dan sejarah Indonesia pada umumnya. Warisan budaya bangunan kuno merupakan aset yang sangat berharga, merupakan nilai-nilai peradaban sejarah dari masa lampau dari suatu bangsa, Bianchi(2005), Antariksa,(2007). 

Untuk mempertahankan bangunan bernilai sejarah masa lampau ini membutuhkan perlakuan yang menyeluruh dari segenap bangsa yang peduli atas keberadaan warisan budaya, persoalannya peninggalan warisan budaya bangunan kuno ini penuh tantangan antara lain umurnya yang sudah lama dimakan usia, mudah rapuh, begitu mudah hancur, dampak bencana: gempa,banjir,angin dsb. terlalu mudah dihilangkan dan dimusnahkan di dunianya, akibat prilaku dan pengaruh globalisasi, modernisasi, Jain,(2006), Engin,(2010).

Perkembangan dan pembangunan kota dengan apapun bentuk dalih alasan yang dijadikan sebagai pemusnahanan penghancuran peninggalan warisan budaya, dimana dianggap biaya pelestarian dan perawatan dari lingkungan binaan warisan budaya bangunan kuno ini mahal dan tidak efektif dan efisien. Arthantya,(2007), The Wellington City Council, (1995). Keprihatinan akan budaya di atas, menimbulkan gagasan untuk memperkuat citra kota sebagai kota yang memiliki identitas budaya melalui penanganan spasial dan sosial-budaya-ekonomi di kawasan lingkungan binaan bangunan bersejarah dengan bertumpu pada suatu model rencana strategi pengelolaan aset lingkungan binaan warisan budaya Soufiane, Sid (2009), Dari analisis rencana strategi manajemen yang dilakukan terhadap stakeholder pada level yang dikategorikan dalam segmen level top, medium dan line, berdasarkan situasi tersebut.

Ada tiga mekanisme issu utama yang berkembang yang dapat diungkap dalam pengurusan aset lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya yaitu,; (a) Adanya kepentingan yang dominan yang harus diatasi dari faktor- faktor yang dapat mempengaruhi terlaksananya sistem pengelolaan,; (b) tidak adanya  perencanaan jangka panjang, kurangnya inisiatif dan kelemahan mekanisme koordinasi antara departemen, manajemen dan koordinasi di tingkat sektor publik, kelemahan sistem pengelolaan yang berkelanjutan.; c) Belum adanya Rencana Strategi Manajemen pengelolan berkelanjutan yang efektif dan efisien.; d) UU No 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana sama sekali tidak memasukkan unsur pentingnya penanggulan terhadap bangunan cagar budaya yang hancur akibat bencana alam.

Keprihatinan akan budaya di atas, perlu  upaya pendekatan bottom-up untuk membangkitkan kembali apresiasi vitalitas komunitas budaya untuk berkreasi di tengah masyarakat yang serba modernisasi ini. Pilihan pendekatan ini, sekaligus dimaksudkan pula untuk menciptakan kawasan bersejarah sebagai pusat kebudayaan dalam perspektif demokratis. Dengan demikian, diharapkan mampu menumbuhkan daya tahan budaya terhadap tekanan-tekanan globalisasi modernisasi yang terjadi diperkotaan sehingga tidak punahnya sejarah kota lamanya. Heldi (2006),

Selama ini, telah dicoba berbagai program restorasi, konservasi, pelestarian dan pengelolaan  lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya yang dilakukan oleh pemerintah, sektor swasta, LSM, maupun kelompok masyarakat peduli. Tetapi kenyataannya sampai sekarang, warisan budaya tersebut masih saja terjadi  pembongkaran, penelantaran, tidak terurus sesuai fungsinya, dan tidak terkelolanya secara berkelanjutan, 

Akhirnya Le Corbusier (1937),  (Benjamin, 1993). Fossdal et al, (1999), dan Myhre, (1996) berpendapat bahwa warisan lama itu sangat memprihatinkan dan hanya tinggal menunggu hancur, musnah dan hilang dari sejarah masa lalunya. Semua program, cara, strategi, sistem kebijakan dan aksi yang dilakukan cenderung sporadis dan hanya mementingkan sepihak tidak memiliki pola acuan terhadap manajemen pelestarian warisan budaya.   Akibatnya program dan aksi tersebut tidak membuahkan hasil yang maksimal. Hal ini sangat urgensi dimana adanya faktor-faktor yang berpengaruh dan  kurangnya informasi dan tidak jelasnya siapa stakeholder untuk pelestarian dan pengelolaan warisan budaya. Sehingga siapa yang berperan, siapa yang berpartisipasi, dan apa yang dilakukan menjadi tidak jelas.

Kegagalan dalam pengelolaan warisan budaya secara berkelanjutan disebabkan oleh, pengelolaan yang tanpa mempertimbangkan kerangka kelembagaan di lokasi pengelolaan, (Ostrom 1990; Sithole 1997).Oleh karenanya kajian Collaborative Based Local (CBL) model pengelolaan kolaborasi berbasis lokal menjadi hal yang penting dalam kegiatan pengelolaan lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya dengan melibatkan semua pihak terkait sehingga mendukung upaya pemberdayaan masyarakat dan peningkatan kapasitas lokal di kawasan warisan budaya. Kajian CBL model,  juga diharapkan akan meningkatkan manajemen pengelolaan bangunan kuno warisan budaya secara signifikan dan berkelanjutan di Padang kota lama.

KESIMPULAN 
Keanekaragaman dan spesifikasi karakteristik kawasan lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya dan sejarah peninggalan kolonial di Kota Padang Provinsi Sumatera Barat, yang berkembang dari waktu ke waktu dan mengalami pasang surut atas keberadaannya, untuk ini perlu membuka diri sebagai masyarakat atau komunitas yang peduli  dalam pelestarian dan pengelolaannya secara konsisten, karena memiliki nilai-nilai peradaban dan jatidiri bangsa masa lampau untuk generasi sekarang. Untuk itu diperlukan suatu pendekatan yang mengantarkan kepada pemahaman terhadap upaya pelestarian dalam hal rencana strategi pengelolaan yang tepat akibat dampak yang ditimbulkan bencana gempa di Kota Padang antara lain.
  1. Pemahaman terhadap lingkungan binaan warisan budaya. Upaya ini dilakukan untuk membangun sebuah pengertian baru tentang pentingnya nilai-nilai sejarah budaya bangsa antara manusia dan lingkungannya, dan meletaklan manusia dan aktivitasnya sebagai bagian dari lingkungannya.
  2. Mengidentifikasi faktor-faktor kunci yang menjadi penghambat dalam pelestarian dan pengelolaan lingkungan binaannya dan mempelajari tingkat kesalahan dalam sistem pengelolaan yang umumnya terjadi selama ini, yang lebih menekankan kepada pembangunan aspek pengelolaan yang berkelanjutan.
  3. Penentuan dengan pemetaan warisan budaya bangunan kuno diantaranya dilakukan berdasarkan bangunan kuno milik pemerintah, swasta dan masyarakat yang terdaftar pada Bangunan Cagar Budaya (BCB) di Provinsi Sumatera Barat yang berkedudukan di Padangtown.
  4. Merancang sebuah model rencana strategi manajemen pengelolaan lingkungan binaan bangunan kuno mitigasi bencana yang berbasiskan komunitas, dan pendekatan nilai-nilai budaya lokal. serta memperhatikan kompleksitas sektor dan bidang-bidang terkait dengan perekonomian pembangunan budaya dan industri pariwisata.
  5. Mengevaluasi tingkat keberhasilan sebuah program pengembangan warisan budaya. maka perlu dibuat kriteria dan indikator kemajuannya pada setiap tahap-tahap pelaksanaanya, antara lain.
  • Terbentuknya motivasi organisasi yang berorientasi kepada dinamika apresiasi masyarakat berbudaya di lingkungan warisan budaya.
  • Semakin tingginya kepedulian, kesadaran dan rasa memiliki masyarakat tentang lingkungan binaan bangunan kuno warisan budaya yang mereka miliki.
  • Muncul dan berkembanganya semangat dan animo masyarakat untuk mengembangkan kawasan lingkungan binaan warisan budaya.
  • Terakomodasinya aspirasi dan meningkatnya partisipasi aktif masyarakat dalam pengembangan kawasan kawasan lingkungan binaan warisan budaya.
  • Terwujud dan terbinanya langkah-langkah untuk mengidentifikasi dan mengdokumentasi kawasan lingkungan binaan warisan budaya.
  • Terbentuknya model dan rencana strategi pengelolaan warisan budaya yang berkelanjutan dari stakeholder.
         In Box

          Bidang tematik dan Komponen ketahanan
1 Tata pemerintahan
•    Kebijakan, perencanaan, prioritas-prioritas dan komitmen politik
•    Sistem-sistem hukum dan pengaturan
•    Pengintegrasian ke dalam kebijakan-kebijakan dan perencanaan pembangunan
•    Pengintegrasian ke dalam tanggap darurat dan pemulihan
•    Mekanisme-mekanisme, kapasitas dan struktur kelembagaan; pembagian tanggung jawab
•    Kemitraan
•    Akuntabilitas dan partisipasi masyarakat

2 Pengkajian risiko
•    Pengkajian dan data bahaya/risiko
•    Pengkajian dan data kerentanan dan dampak
•    Kapasitas ilmiah dan teknis serta inovasi

3 Pengetahuan dan pendidikan
•    Kesadaran, pengetahuan dan keterampilan-keterampilan publik
•    Manajemen dan pertukaran informasi
•    Pendidikan dan pelatihan
•    Budaya, sikap, motivasi
•    Pembelajaran dan penelitian

4 Manajemen risiko dan pengurangan kerentanan
•    Manajemen lingkungan hidup dan sumber daya alam
•     Kesehatan dan kesejahteraan
•    Penghidupan yang berkelanjutan
•    Perlindungan sosial
•    Perangkat-perangkat finansial
•    Perlindungan fisik; langkah-langkah struktural dan teknis
•    Sistem dan mekanisme perencanaan

5 Kesiapsiagaan dan tanggap bencana
•    Kapasitas kelembagaan dan koordinasi
•    Sistem-sistem peringatan dini
•    Perencanaan kesiapsiagaan dan kontinjensi
•    Sumber-sumber daya dan infrastruktur kedaruratan
•    Tanggap darurat dan pemulihan
•     Partisipasi, kerelawanan, akuntabilitas

DAFTAR PUSTAKA
  •  Adishakti, Laretna T, 1997. “A Study on the Conservation Planning of Yogyakarta Historic-tourist City Based on Urban Space Heritage Conception”. Unpublished dissertation. Kyoto University, Japan.
  • Adishakti, Laretna T, 1999. “From Activities to Physical Environment: Conservation of Kota Gede, the Old Capital City of Mataram Yogyakarta, Indonesia”. Paper presented in the International Seminar on Historic Cities Conservation and Public Participation,  Kyoto, Japan.
  • Adishakti, Laretna T, 2003, Teknik Konservasi Kawasan Pusaka, Jurusan Arsitektur, Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta.
  • Ashworth, GJ. 1991. “Heritage Planning: Conservation as management of change”. Geo Press, the Netherlands.
  • Alexander, D. E.: 1991, Applied geomorphology and the impact of natural hazards on the built environment, Natural Hazards 4, 57-80.
  • Bartlett, R. V.: 1986, Ecological rationality: reasons and environmental policy, Environ. Ethics 8,221-240.
  • Bianchi Bandinelli, R.: 1974, AA, BB AA e CC, L'Italia storico artistica allo sbaraglio, De Donato, Bari, p. 142.
  • Boschi, E. and Dragoni, M. (eds.): 1987, 1991, Aree sismogenetiche e rischio sismico in Italia, I and
  • H, Istituto Nazionale di Geofisica, Rome
  • Boiface, Priscilla & Peter J. Fowler 1993 Heritage and Tourism in “the global village”. Routledge, London.
  • Creaco, S. And Querini, G. 2001. “Tourism and Sustaiable Economic Development”.
  • Dundu dan Elita, P. 2005. ”30 Tahun Revitalisasi Kota Tua Cuma Sebatas Konsep”. Kompas (Jakarta).
  • English Heritage, (2008), Managing Heritage Asset: Guidance for government departements on the of periode inspections forward work plans and asset management programmes.
  • Environment Protection and Heritage Council (2002) Issues Paper, National Tourism and Heritage Taskforce for the Environment Protection and Heritage Council Going Places. Developing natural and cultural heritage tourism in Australia.
  • Gere, J. M. and Shah, H. C.: 1984, Terra Non Firma: Understanding and Preparing for Earthquakes, W. H. Freeman, San Francisco, chapter 7.
  • Le Corbusier: 1937, Quand les cath(drales etaient blanches, Librairie Plon, Paris.
  • Wang, M.: 1981, Consequence of architectural style on earthquake resistance, Proc. China-U.S.A.
  • Novayanto, Ismu, (2008) “Perlindungan Karakter Visual Kawasan Oranjebuurt di Kota Malang”. Jurusan Perencanaan Wilayah dan Kota Fakultas Teknik Universitas Brawijaya
  • Nugroho, Garin (2008), Memperkuat Media dalam Pembangunan Ketahanan Kebudayaan Nasional, Makalah diskusi, Jakarta: Bappenas- Depbudpar.
  • NWHO 1999 Sustainable Tourism and Cultural Heritage A Review of Development Assistance and Its Potential to Promote Sustainability.
  • ONG. 2006. ”75 Persen Kota Tua Rusak Berat”. Kompas. (Jakarta), 6 Maret.
  • Undri, (2004), Urgensi, Strategi dan media dalam pengelolaan kekayaan budaya di era otonomi Daerah, BPSNT Padang.
  • Wardi, I Nyoman (2008), “Pengelolaan Warisan Budaya Berwawasan Lingkungan Studi kasus Pengelolaan Living Monument di Bali”. Jurnal Bumi Lestari Arkeologi Fakultas Sastra Universitas Udayana.
  • Zajac, Edward, (2010), Strategic Management Journal, “Strategy and The Design of Organizational Architecture”,Northwestern University.



Biodata  singkat
Heldi, kelahiran Padang ,22 Juli 1961, adalah alumni S1., Jurusan Seni Rupa FPBS UNP (1989) dan alumni S1., Teknik Sipil UBH (1990). Kemudian Pendidikan S2 di Ilmu Lingkungan UNP (2006). Dengan latar belakang demikian mengajar di Jurusan Seni Rupa, sebagai dosen tetap UNP Padang, Universitas Bung Hatta, STSI Padang Panjang, IAIN Imam Bonjol Padang, Universitas Terbuka PGSD Unri Pekanbaru. Sekarang sedang menyelesaikan pendidikan S3 di Universiti Teknologi Malaysia.


Lampiran: keterlibatan editor pada peristiwa gempa tahun 2009 sumber: groups.google.com/group/.../tree/.../f83ec7b7cfafe9f3?.