Kamis, 10 Februari 2011

Birokrasi, Birokrat & Kultur Pejabat Indonesia: Upaya Pemahaman tentang Tipologi Aparatur Negara dan Strategi Pengembangannya ke depan

Oleh: Mestika Zed
Makalah pengantar dipresentasikan pada Seminar Pengembangan Widyaswara bertema ”Peningkatan Kompetensi Widyasawara dalam Membangun Budaya Kerja Menuju Lembaga Diklat yang Berstandar Internasional”, diselengarakan oleh Litbang Pemda Sumatera Barat, Padang, Rabu, 29 Oktober  2008.
 Gambar 1.Sekolah raja di Bukittinggi tahun 1888, sebagai usaha untuk membangun tenaga pegawai di Jaman Belanda (Sumber Rusli Amran, 1988)
INDONESIA pada masa kolonial (Hindia-Belanda) pernah disebut dengan istilah beamb-tenstaat,  yaitu sebuah ‘negara pejabat’ yang khas, yang dijalankan oleh kumpulan pegawai yang demikian besar lewat jaringan birokrasi yang sangat luas dan rumit. Oleh karena birokrasi di sini merupakan instrumen yang sangat penting dalam melaksanakan tuntutan kepentingan kolonial, maka hampir bisa dikatakan, bahwa semua kebijaksanaan pemerintah kolonial, sesuai dengan sifatnya, diarahkan pada pemenuhan tuntutan penguasa kolonial Belanda. Selama abad ke-19, dan terlebih lagi sejak awal abad ke-20, ‘Hindia-Belanda’ telah tumbuh menjadi suatu negara kolonial yang sempurna, dengan mengandalkan sistem birokrasi modern, sementara sebagian besar tenaga pegawainya didukung oleh orang-orang bumiputra. Agaknya memang benar, bahwa roda pemerintahan yang digerakkan dari Batavia [Jakarta] itu senantiasa menggelinding “bagaikan mesin-mesin pabrik yang siap memaksimalkan hasilnya”.  Dan dengan itu pemerintah kolonial dapat mengharapkan koloninya menjadi wingewest (daerah untung) yang hasilnya diangkut ke ‘negeri induk’ (Holland).
Setelah Indonesia merdeka (1945), bekas jajahan Belanda itu cenderung mempertahankan struktur administrasi kolonial yang lama, kendatipun para pemimpin negara yang baru merdeka itu sering mengeluarkan pernyataan-pernyataan bernada nasionalistik sebagai anti-tesis terhadap sistem kolonial. Mereka percaya bahwa sistem administrasi kolonial yang otoritarian dan sentralistik itu tidak lagi cocok (incompatible) dengan demokrasi. Sekali perjuangan kemerdekaan tercapai, maka selama masa transisi di awal kemerdekaan, para pemimpin mencurigai semua yang berbau ’kolonial’, termasuk di antaranya berniat membongkar warisan pemerintahan yang lama. Namun sekali struktur pemerintahan dilegitimasikan, maka makin sulit untuk menghapuskan sistem yang ada. Malahan ketimbang menghapuskannya mereka cenderung membatasi kekuasaan administratif kepada bekas pejabat lama (mantan pejabat kolonial). Di Indonesia dan juga di India, seperti ditunjukkan dalam studi Walker dan Tinker (1975), upaya-upaya politik untuk mengubah struktur administrasi yang lama ke yang baru telah mengalami kegagalan dan bahkan sebaliknya cenderung berkelanjutan.
Makalah ini,  berupaya untuk menunjukkan alasan mengapa warisan birokrasi kolonial sukar dibongkar dan selanjutnya jika sejauh mana kontinuitas dan perubahan birokrasi nasional berlangsung selama lebih setengah abad Indonesia merdeka? Modifikasi-modifikasi atau inovasi birokrasi macam apakah yang dijalankan selama ini, sehingga menghasilkan tipologi aparatur negara yang baru, yang berbeda dari sistem administrasi kolonial yang lama? Atas dasar itu upaya macam apakah yang mungkin dapat dilakukan ke depan guna meningkatkan kinerja aparatur negara, baik nasional maupun daerah?
Bertolak dari ketiga pertanyaan besar di atas, makalah ini ingin mengemukakan argumen pokok bahwa tesis birokrasi modern model Weberian memerlukan peninjauan ulang dan perluasan untuk memahami organisasi birokrasi Indonesia dalam konteks pembangunan pemerintahan yang bersih dan berwibawa guna mencapai tujuan esensialnya, yaitu sebuah negara sejahtera (welfare state) sebagaimana dicita-citakan para bapak bangsa di masa lalu.
Negara Klasik dan Birokrasi Negara Kolonial: Beambtenstaat

Birokrasi modern, dalam arti Weberian sudah diperkenalkan ke Indonesia oleh Belanda sejak tahun 18, yaitu sebuah ‘negara pejabat’ yang khas, yang dijalankan oleh kumpulan pegawai yang demikian besar dengan jaringan birokrasi yang sangat luas dan rumit. Oleh karena birokrasi di sini merupakan instrumen yang sangat penting dalam melaksanakan tuntutan kepentingan kolonial, maka hampir bisa dikatakan, bahwa semua kebijaksanaan pemerintah kolonial -- sesuai dengan sifatnya -- diarahkan pada pemenuhan tuntutan penguasa kolonial Belanda. Selama abad ke-19, dan terlebih lagi sejak awal abad ke-20, ‘Hindia-Belanda’ telah tumbuh menjadi suatu negara kolonial yang sempurna, dengan mengandalkan sistem birokrasi modern, sementara sebagian besar tenaga pegawainya didukung oleh orang-orang bumiputra. Agaknya memang benar, bahwa roda pemerintahan yang digerakkan dari Batavia [Jakarta] itu senantiasa menggelinding “bagaikan mesin-mesin pabrik yang siap memaksimalkan hasilnya”.  Dan dengan itu pemerintah kolonial dapat mengharapkan koloninya menjadi wingewest (daerah untung) yang yang hasilnya diangkut ke ‘negeri induk’ (Holland).

Oleh karena memerintah terutama berarti menjalankan administrasi, yang dalam arti teknis adalah rasional, termasuk bidang tulis-menulis beserta perangkat serimonialnya, seperti pengguntingan pita dan sebagainya, maka yang diperlukan di sini ialah tenga-tenaga pegawai yang terampil dan terdidik tetapi sekaligus juga dapat dipercaya atau loyal. Pendidikan kolonial dalam hal ini merupakan bagian yang amat penting dalam rangkaian kebijaksanaan pemerintah Belanda untuk mempertahankan dan memperkuat kekuasaan rejim kolonial. 
Gambar 2.Hanya untuk sebuah Taman  atau sebuah gedung yang megah maka diperlukan upacara seremonial dan sebuah  prasasti yang di berikut tanda tangan pejabat yang meresmikan bangnan itu. Bukannya prasasti yang menjelaskan sejarah tempat itu. Hal ini boleh ditafsirkan bermacam-macam, diantaranya tentang jasa para birokrat dalam merealisir taman itu, pada hal uang yang dipakai adalah uang pajak dari rakyat.Sumber Penulis.
Namun selain pendidikan, kekuatan negara kolonial sesungguhnya juga amat bergantung pada ide-ide kekuasaan negara tradisional (kerajaan) dan mengadopsinya untuk menopang kekuasaan mereka. Ide-ide tentang birokrasi negara tradisional (kerajaan) tentu amat berbeda dengan birokrasi Weberian. Yang pertama mengandaikan adanya hubungan “magis” antara penguasa dengan kekuatan supernatural di satu pihak dan pola hubungan kekuasan ‘mutlak’ antara penguasa dan rakyat di lain pihak. Konsep hubungan pusat-pinggiran dalam negara tradisional juga memiliki model yang beragam; dua yang terpenting di antaranya ialah apa dapat dilihat dari rejim ‘negara patrimonial’ dan ‘negara feodal-kerjaan’. Kalau ditelusuri lebih jauh ia berasal dari pengaruh-pengaruh Hindu dan Cina terhadap struktur sejarah Asia Tenggara dan di Indonesia khususnya melahirkan dua tipe kerajaan berbeda: karajaan maritim dan kerajaan agraris di pedalaman.


Gambar 3.Belanda cukup cerdik untuk menjinakkan kerajaan-kerajaan tradisional di Indonesia, Raja-raja tradisional itu diundang ke Belanda untuk jalan-jalan untuk menunjukkan kebesaran Holland, dan sekaligus dengan niat untuk menjadika.n mereka sebagai perpanjangan pemerintah kolonial (Sumber Rusli Amran
Perbedaan itu tidak hanya menyangkut lingkungan ekologisnya, tetapi juga hubungan-hubungan kekuasaan pusat-pinggiran, budaya birokrasi dan tipe pejabat yang berkuasa. Dalam birokrasi “kerajaan maritim” dengan ekologi pantai, kedudukan orang kaya sebagai pejabat kerajaan amat penting dalam penguasaan sumber-sumber, khususnya perdagangan. Sementara dalam birokrasi “kerajaan agraris” seperti di Mataram Lama (Hindu) dan kemudian diteruskan oleh Mataram Islam, kedudukan kaum “priyayi” dan/ atau “abdi-dalam” amatlah penting. 

Tipologi negara agraris (atau agro-managerial state) semacam ini, seperti yang terdapat pada kerajaan-kerajaan Jawa konsep hubungan kawula-gusti yang sangat diwarnai oleh mistik Jawa, kata-kata jumbuhing kawulo-gusti, misalanya, melukiskan tujuan tertinggi dalam hidup manusia, yakni tercapainya “kesatuan” yang sesungguhnya (manunggal) dengan Tuhan. Atau memimjam istilah Weber, raja mempersatukan alam kosmis transedental (yang sakral) dan alam keduniawian demi ‘mencapai keselamatan’ karena dalam negara patrimonial semacam itu raja adalah “titisan Tuhan” , yang memberi kekuasaan kepadanya sebagai pemilik sah atas tanah dan tenaga kerja dan semua sumber-sumber daya yang tersedia. Raja-lah yang mengatur pemberian kehormatan, kemakmuran dan kedudukan rakyatnya secara hierarkhis dan hubungan-hubungan kesetiaan yang terkota-kotak (segregatif)  dalam pola patron-client dan bentuk pertalian darah.
Gambar 4. Rumah Bupati Bonge Bulango, Gorontalo. Bangunan bupati yang laiknya seperti sebuah istana.  (Sumber: http://www.gorontalo-online.com.
(In Box)
Menafsir Simbol Rumdin Bupati Termegah Se-Kalsel.
(Sumber: http://baritobasin.wordpress.com/2008/02/05/menafsir-simbol-rumdin-bupati-termegah-se-kalsel/
Kabarnya, rumah dinas (rumdin) Bupati Batola yang sedang dibangun dengan biaya Rp4 Miliar, akan menjadi rumdin bupati termegah se-Kalsel (Banjarmasin Post, Rabu 30/06). Kemegahannya itu, tentu akan mengundang kemungkinan banyak pembicaraan dari berbagai sudut pandang berbagai kalangan, sebab rumdin termegah se-Kalsel itu ternyata adanya di Marabahan (Batola). Tidak dibikin di Tanjung (Tabalong) atau Kotabaru atau daerah lain yang kaya sumberdaya alam.
Secara positif, boleh jadi sebagai simbol keberhasilan pimpinan daerah dalam membangun fasilitas pemerintahan. Menunjukkan Batola berhasil membangun sesuatu yang fenomenal di tengah keterbatasannya, berhasil merangkul simpati Pemprop Kalsel sehingga mengeluarkan dana sharing Rp1 miliar. Sungguh kalau memang hasil pemberian, tentu tidak akan disia-siakan ketimbang jatuh ke kabupaten lain.
Tanggapan:
Senang saya membaca artikel ini. Walau artikel lama, isinya tetap relevan. Sebagai seorang bekas menteri, saya jug prihatin melihat kemewahan kantor-kantor Pemda, termasuk rumah dinas Gubernur/Bupati dan Walikotanya. Saya pernah tinggal di Kompleks Menteri di Jl Widya Chandra, Kuningan, Jakarta. Rumah-rumah menteri itu cukup sederhana. Demikian juga rumah para anggota DPR RI di Kalibata.Seyogianyalah Pemda fokus membangun kesejahteraan rakyat di daerah, bukan membangun fasilitas mewah untuk kentor dan rumah dinas. Presiden SBY dan saya pernah sama-sama tercengang menyaksikan Kantor dan Rumah Dinas Bupati Natuna, daerah perbatasan dengan Vientam. Kemewahan fasilitas itu sangat tidak sebanding dengan kesederhanaan rumah-rumah penduduk di Kepualauan Natuna.Demikian tanggapan saya. Salam hormat. (Yusril Ihza Mahendra)
 Yang terpenting dari birokrasi tradisional ini ialah kebijaksanaan penguasa melibatkan unsur ‘magis’ dan regulatif di mana sasaran utamanya sebenarnya tetap ‘sekuler’, yakni untuk mengakumulasi sumber-sumber yang tersedia serta monopolisasi pusat atas distribusi surplus pada seluruh masyarakat. Sepanjang sejarah birokrasi rezim patrimo¬nial menjalankan kebijaksanaan ekonomi yang lebih aktif. Maka tak bisa lain watak ekspansif dan eksploitatif  (meminjam istilah Bert F. Hoselitz, 1957) terhadap basis sumber-sumber daya tetap menjadi lebih kuat (intensif). Namun pada saat yang sama kebijaksanaan ini, menurut batasan Karl Polanyi (1960), juga mengandung kebijaksanaan redistributif, dalam arti adanya power sharing dengan kaum elit pinggiran.

Secara teoretis, hubungan-hubungan kekuasaan dalam birokrasi kerajaan-kerajaan tradisional tentu sangat berbeda secara diametral dengan birokrasi modern yang berasal dari tradisi Weberian, yang bersifat rasional, regulasi formal [tertulis] dan pembagian kerja yang jelas.  Secara umum ia dapat dijabarkan ke dalam lima ciri pokok berikut: (i) adanya suatu struktur hierarkis yang jelas, dengan melibatkan pendelegasian wewenang dan ‘perintah’ (instruksi) dari atas ke bawah (ii) adanya posisi-posisi atau jabatan-jabatan yang masing-masing memiliki tugas dan tanggung jawab yang tegas; (iii) adanya aturan formal dan regulasi yang mengatur bekerjanya organisasi dan tingkah laku para anggotanya, dan (iv) adanya personel yang memenuhi syarat dan dipekerjakan atas dasar spesialisasi serta promosi karier atas dasar kualifikasi formal dan prestasi;(v) menekankan hubungan impersonal; dalam arti urusan personal karyawan dikesampingkan dan tidak perlu ada ikatan emotional antara atasan dan bawahan guna menjamin kejelasan posisi.

Begitulah selama tiga abad, sejak abad ke-18 -- yang ditandai dengan lahirnya negara-negara nasional di Eropa -- hingga abad kedua puluh, birokrasi modern dipercaya sebagai satu-satunya organisasi yang paling andal untuk mengatur mekanisme pemerintahan secara efisien. Belanda pun memperkenalkanya ke Indonesia lewat VOC dan mendapat bentuk yang lebih mapan sejak zaman Hindia Belanda (1800) saat Gubernur Jenderal (Inggris) Thomas Stanford Raffles memperkenalkan administrasi pemerintahan yang baru. Kemudian diperbaharui lagi sejak Gubernur Jenderal Van den Bosch sejalan dengan penerapan ‘sistem tanam paksa’. Akan tetapi apakah ‘birokrasi’ dalam pengertian Weber betul-betul ada pada zaman kolonial Belanda dan bahkan setelah Indonesia merdeka, kebanyakan para ahli meragukannya. Yang terjadi justru pencampur-adukan antara birokrasi lama, yakni antara model-model agro-buraucratic despotism (birokrasi agraris yang lalim) dan ‘bureuractic authoritarianism’ (birokrasi otoriter) (Karl Wittfogel, 1957) dengan sentuhan ide-ide administrasi Barat. Hasilnya ialah seperti yang diidentifikasi oleh antropolog Clifford Geertz (1980) berupa theatre state (negara panggung), di mana penampakannya di tengah masyarakat begitu agung, memukau karena memiliki daya gravitasi yang kuat lewat upacara-upacara dan regelia-regelia kerajaan yang lama dan yang baru dari Barat. (Ini antara lain bisa dilihat tanda-tanda kebesaran yang dipakai pada baju penguasa kerajaan di nusantara).

Pada gilirannya birokrasi yang dibayangkan Weber sebagai organisasi kemasyarakatan yang superior sulit ditemukan dalam prakteknya, setidaknya di Indonesi karena dua alasan berikut. Pertama, birokrasi pada akhirnya harus kawin-mawin dengan budaya setempat, yang tidak jarang merupakan penguatan (revitalisasi) budaya aristokrasi (kebangsawan lama), entah itu di zaman kolonial atau di zaman setelah merdeka. Maka tidak heran, jika pada gilirannya lapisan aristokrasi tetap merupakan dambaan, “iming-iming” paling menarik bagi setiap kelompok masyarakat, karena dalam kultur tersebut ia memiliki hak-hak istimewa, baik secara tersembunyi maupun terang-terangan (peratuan tertulis dan tak tertulis) yang menguntungkan, baik secara ekonomi maupun wibawa dan prestise. Kedua, birokrasi akhirnya bukan hanya menjadi sebuah struktur organisasi — sebagai lawan dari organisasi sukarela, ataupun organisasi aristokrasi yang digantikannya — melainkan ia menjadi sebuah dzat yang “mahakuasa” yang melekat pada birokrat dengan atau tanpa disadarinya. Dalam hubungan ini maka tidak sulit untuk membedakannya dengan kelompok militer yang secara tidak sadar menjadi dzat yang "berkuasa", karena mereka bukan hanya "organisasi keamanan" tetapi "organisasi yang berisi personel yang memegang (monopoli) senjata untuk melakukan kekerasan (managers of violence) secara “legitimated”.

Selanjutnya kekuasaan yang diberikan oleh masyarakat kepada birokrasi menjadi bumerang. Karena dalam satu dan lain hal, ada yang sering dilupakan, yaitu bahwa sebagai sebuah sistem, birokrasi pun perlu untuk mengalami self-renewal. Namun dalam prakteknya birokrasi sering merupakan organisasi yang tidak dapat mengoreksi tingkah lakunya sendiri dengan cara bersedia belajar dari kesalahan. Sejumlah pengamat bahkan menyatakan bahwa organisasi pemerintah telah berperan menjadi tuan dan bukan sebaliknya sebagai pelayan masyarakat  mengakibatkan takutnya bawahan mengambil prakarsa, menumpuknya berkas-berkas laporan, terbuangnya waktu dan terkurasnya dana pemerintah. Karena birokrasi yang diidealkan oleh Weber tidak terjadi, bahkan sebaliknya berubah menjadi sebuah ‘monster’ yang kejam dan kaku. Dalam pandangan seperti itu, maka istilah ”birokrasi” identik dengan cara kerja yang sama dengan cara kerja aparatur pemerintah. Artinya, cara kerja aparat pemerintah sendiri sudah dinilai tidak bekerja sebagaimana mestinya; mereka bukan menjadi pelayan masyarakat, tetapi menjadi “kekuasaan” yang harus dilayani oleh masyarakat dan bentuk paling ekstrimnya memperlakukan angota masyarakat sebagai “mangsa”. Meskipun demikian beberapa ciri administrasi kolonial agaknya masih bisa diidentifikasi sebagaimana yang akan diuraikan berikut ini.


Beberapa Ciri Administrasi Kolonial
Di kebanyakan negara-negara baru bekas jajahan di Asia, kecuali mungkin India, sistem birokrasinya telah mewarisi suatu sistem politik yang tidak serasi, di mana pemerintah harus mengatasi segala-galanya. Kekuasaan aparat adiministrasi yang ditinggalkan oleh kekuasaan kolonial sampai tingkat tertentu merupakan suatu keuntungan untuk membina suatu kekuasaan yang teratur. Tetapi karena terbatasnya kaum elit yang terdidik, yang memiliki keahlian teknis yang diperlukan untuk mengurus pemerintahan, kemampuan ini pun justru merupakan suatu penghalang bagi proses perubahan sikap. Inilah alasan pertama mengapa warisan administrasi kolonial masih tetap bercokol. Alasan kedua ialah karena akar-akar ideologi dari negara kolonial, yang merupakan suatu percampuran antara konsep-konsep kekuasaan lama mengenai pemerintahan oleh kebajikan yang luhur (atau “negara budiman”, meminjam istilah Kuntowijoyo), pemujaan dewa-raja (god-king), dan anggapan tentang kekuasaan yang luhur, yang dijalankan oleh suatu kelompok kecil elit yang diasumsikan penuh dengan tradisi keadilan, keteraturan dan rasa hormat kepada pendahulu dalam menjalankan urusan pemerintahan. Jadi karena alasan tradisi. 

Alasan selanjutnya ialah bahwa dalam kebanyakan negara-negara baru bekas jajahan, terutama di Indonesia, sistem administrasi pemerintah jauh lebih berkembang daripada proses-prose legislatif atau kegiatan-kegiatan kepartaian dan dunia usaha, dan administrasi pemerintah sering lebih dihargai daripada urusan mana pun.  Para pegawai negeri juga mempunyai kedudukan yang lebih tinggi dalam masyarakat daripada orang-orang profesional dan para pengusaha. Di Indonesia, tetapi agaknya juga di India, Pakistan, Srilangka, Birma, umpamanya, cita-cita seorang ibu adalah mendambakan agar putranya bukannya memasuki bidang-bidang politik, hukum, kedokteran, dan pendidikan, tetapi menjadi pegawai tinggi. Istilah Belandanya ambtenaar atau dalam bahasa kaum priyayi atau abdi dalem. Dalam beberapa negera bekas jajahan ini, seperti di India, sifat-sifat elitis kepegawaian bergabung dengan anggapan-anggapan kuno tentang kasta, dan pejabat-pejabat tinggi, seperti halnya kasta-kasta asli.

* * *
Gambar 5. Hotel Talang Solok (1902). Atribut pakaian pejabat kolonial, walaupun hanya untuk jalan-jalan (pesiar) ke Solok dan danau Singkarak. Mereka tetap memakai pakaian Eropah yang hanya cocok untuk iklim sub tropis, untuk menunjukkan eksklusifitas  dan keelitan pegawai Belanda.
Lebih jauh kita dapat mengidentifikasi sifat-sifat birokrasi kolonial yang sedikit banyak masih berlanjut ke zaman setelah merdeka. Ciri pertama yang penting dari sistem adiministrasi kolonial adalah besarnya kekuasaan birokrasi. Dalam hal ini banyak negara-negara bekas jajahan umumnya dapat disebut sebagai negara-negara administratif, beambtenstaat. Dalam hal ini pemerintah-lah yang melakukan segala hal. Pemerintah adalah satu-satunya pemberi pekerjaan. Pemerintah misalnya menjalankan universitas-universitas, rumahsakit-rumahsakit, transportasi, penerangan listrik, dan mempekerjakan para dokter dan para gurubesar. Dalam jargon sekarang, semua didorong menjadi ”BUMN”. Satu-satunya golongan yang tidak dipekerjakan pemerintah adalah para ahli hukum, para tuan tanah dan para pengusaha. Berbeda dengan watak masyarakat majemuk yang terdapat di dunia Barat, di mana terdapat pelbagai lembaga dan kegiatan yang beragam, yang berada di luar wewenang pemerintah dan yang saling bersaing satu sama lain maupun berkompetisi dengan pemerintah, hampir-hampir tidak dikenal di daerah-daerah jajahan. 

Ini artinya monopoli kegiatan oleh pemerintah ini telah menimbulkan suatu sifat ketergantungan pada birokrasi untuk segala hal. Ketergantungan ini makin digalakkan lagi oleh sifat elitis dan sifat eksklusif dari para administrator yang karena membenci  dan memusuhi timbulnya proses-proses politik, karena mengira bahwa hanya merekalah yang dapat mengerti pemerintahan dan kebutuhan-kebutuhan suatu negara. Jadi, hampir tidak terdapat saling pengaruh hubungan timbal-balik antara khalayak dengan para administrator. Birokrasi merupakan suatu ”eklave” yang juga terletak ”di atas sana”.

Ciri kedua, dan erat kaitannya dengan hal di atas adalah sifat elitis yang dibesar-besarkan dari birokrasi tingkat tinggi, atau seperti yang sering disebut sebagai pejabat pemerintah. Di negara-negara bekas jajahan Inggris -- India. Pakistan, Srilangka, Malaya dan Birma -- jumlah kader-kader elit ini adalah hampir duaribu, dari kesembilan juta orang yang dipekerjakan dalam dinas-dinas pemerintahan.  Sekalipun keseluruhan pelayanan umum itu sedikit terpisah dari masyarakat yang mereka perintah, tingkat isolasi ini berkurang apabila kedudukan hirarki menjadi lebih rendah. Pada tingkat-tingkat desa umpamanya, pejabat-pejabat pemerintah hampir-hampir dapat dibedakan dengan rakyat biasa dalam hal pakaian, bahasa dan cara hidup. Keseluruhan pelayanan terhadap umum mengambil ilham nilai-nilai, dan tenaga hidupnya dari kalangan atas, yakni para kader elit. Kenyataan bahwa kalangan atasan ini berorientasi pada kebudayaan Barat, berbahasa negeri bekas jajahan dan mencerminkan nilai-nilai administratif  yang sulit dipahami oleh masyarakat luas, cenderung lebih menjauhkan para pejabat administrasi atau aparatur negara dari masyarakat mereka sendiri. Maka tidak heran jika pejabat tertinggi pembuat kebijakan tidak saja terpisah dari khalayak, tetapi juga dipisahkan oleh pegawai-pegawai lainnya karena beberapa hal berikut. Pertama, mereka sebagian besar berasal dari kelompok etnik tertentu saja; mereka memiliki keahlian dalam istilah-istilah pemerintahan; mereka memiliki teknik kepemimpinan yang tinggi, gaji yang lebih baik, dan persyaratan-persyaratan lainnya. Kedua dan yang paling penting adalah bahwa mereka tidak merupakan bagian dari sistem kekerabatan, klan dan suku yang terdapat pada masyarakat yang mereka perintah, sehingga dengan demikian dapat dengan lebih mudah melepaskan diri dari jaringan hubungan-hubungan pribadi.

Ciri ketiga ialah terjaminnya suatu jabatan dalam sistem administrasi  pemerintahan dan jaminan hidup pensiun. Biasanya para pegawai negeri di setiap tingkat diterima melalui ujian-ujian, bukan karena restu atau karena pengangkatan-pengangkatan oleh suatu badan kepegawaian yang berdiri sendiri. Sekali mereka diterima, kenaikan-kenaikan tingkat tergantung pada kualifikasi tertentu. 

Misalnya pendidikan. Jadi, seorang jurutulis tidak mungkin meningkat menjadi anggota staf pimpinan. Dengan kata lain ada mekanisme jenjang karier. Jadi dalam sistem kolonial ini tetap ada jenjang karir, suatu  sistem campuran dari apa yang oleh sosiologi disebut kriteria  prestasi dan askriptif atau penilaian keturunan. Seorang pegawai negeri diterima karena prestasinya dinilai, kurang lebib secara obyektif. Tetapi sekali seseorang itu dipekerjakan, kedudukannya pun ditentukan oleh askripsinya, yakni oleh asal-usul keturunannya. Lepas dari prestasi, status askriptif dari pegawai negeri ini, bagaimana pun, dapat sangat mempengaruhi yang lainnya seperti kekuasaan, prestise, dan kemantapan sistem administrasi, suatu hal yang bertentangan dengan tradisi Weberian. Kepastian status dalam sistem semacam ini memungkinkan pemerintah kolonial menahan desakan-desakan yang datang dari para politisi (nasionalis) ketika nasionalisme makin kuat menuntut kemerdekaan. 

Suatu keuntungan lain lagi dari kriteria askriptif itu adalah mengurangi terjadinya persaingan-persaingan dalam sistem itu sendiri. Nilai-nilai kebudayaan yang,  (sebagian besar karena keadaan ekonomi, yang menimbulkan doktrin-doktrin agama yang mempunyai kekuatan mengesahkan), nampaknya tidak menghendaki terjadinya persaingan terbuka dalam setiap bidang dan mereka lebih menekankan keserasian  serta konsensus. Akan tetapi meskipun sifat-sifat pengambil jarak itu ada keuntungan-keuntungan yang nyata bagi pemerintah kolonial,  ada  juga   kerugian-kerugian serius yang ditimbulkannya karena munculnya sikap angkuh dan malah kesombongan yang dibenci oleh khalayak dan bahkan menimbulkan rasa dendam, terutama setelah kemerdekaan tercapai. Dalam kebanyakan negara-negara bekas jajahan,  khususnya di Indoensia sikap-sikap ini memicu ’revolusi sosial’.

Ciri keempat yang lainnya dari birokrasi kolonial adalah kepercayaan bahwa administrasi yang baik adalah suatu seni dan bukan suatu ilmu. Penyair Pope sekali waktu pernah mengatakan, ”soal bentuk pemerintahan itu adalah urusan orang-orang dungu untuk mempertikaikannya.” Pokoknya yang mempunyai administrasi yang baik adalah yang terbaik, dan Belanda dikenal di dunia sebagai negara kolonial yang terbaik administrasinya dan sistem arsipnya pun tertata dengan sangat baik, bahkan sampai sekarang pun peneliti Indonesianist dari pelbagai bidang disiplin memperoleh manfaat luar biasa dari warisan yang satu ini, yang tak diwarisi oleh birokrasi Indonesia modern paska-kolonial.

Tradisi lama menge¬nai seorang generalis yang serba tahu mengenai segala soal dan bekerja dari satu lapangan ke lapangan lain adalah tradisi yang disenangi. Pendidikan dalam bidang administrasi hampir tidak ada, kecuali untuk tingkat menengah seperti OSVIA, sekolah untuk mendidik calon pejabat. Para spesialis yang punya kecakapan teknis ditaruh di bawah tuan-tuan generalis, sampai tingkat yang berlebih-lebihan. 

Sampai batas tertentu, hal ini tidak disebabkan oleh kecenderungan ideologis, tetapi karena terpisahnya daerah-daerah kolonial dari perubahan-perubahan dinamis yang terdapat dalam ”administrasi ilmiah” di dunia Barat, terutama di Amerika Serikat sejak tahun-tahun 1930-an. Lagipula masa perubahan yang pesat dalam bidang administrasi ini timbul justru pada waktu kekuasaan-kekuasaan kolonial sedang sibuk menghadapi pergerakan kemerdekaan; perubahan-perubahan teknologi administrasi tidak dihiraukan dan bahkan penguasa kolonial makin bertindak keras pada setiap unsur gerakan politik anti-kolonial. 

Sistem administrasi kolonial ini sering dikatakan bertujuan untuk menegakkan hukum, ketertiban dan keamanan (rust en orde) serta mengumpulkan pajak sajak, sebab itu tidak banyak yang dilakukannya dalam bidang pembangunan ekonomi untuk rakyat bumiputra. Sampai batas-batas tertentu hal ini ada benarnya, walaupun suatu hubungan sebab-akibat antara kurang adanya tindakan-tindakan pembangunan ekonomi secara sungguh-sungguh dengan sikap umum dari birokrasi belum tentu pasti demikian. Sesungguhnya ada sedikit-sedikit perencanaan ekonomi. Lagipula suatu perencanaan yang benar-benar oleh negara di dunia Barat pun baru timbul sejak tahun-tahun 1930-en ketika kekuatan-kekuatan kolonial sedang sibuk mencegah kejatuhan imperium mereka pada tahun-tahun sekitar Perang Dunia II. Namun demikian, baik sebabnya adalah karena politik kolonial atau karena terputusnva hubungan dengan dinamika perkembangan dalam bidang administrasi di dunia Barat.


Gambar 6. Peta daerah regen atau laras (Lareh)  Minangkabau di Jaman Belanda dalam sistem pemerintahan Belanda. Kalau diperiksa pembagian wilayah ini tidak berbeda banyak dengan pembagian daerah yang ada sekarang. Cuma saja munculnya nagari-nagari baru, adalah pecahan dari yang lama karena pertambahan penduduk dan perluasan wilayah. Sumber Rusli Amran.

Akhirnya perlu juga disebutkan ciri lainnya, yaitu faktor pembagian wilayah administratif kolonial. Hampir semua wilayah bekas jajahan di Asia dan Afrika dan juga di Amerika Latin, terbelah-belah oleh pembagian wilayah pemerintahan atas pertimbangan praktis dari sudut kepentingan kolonial. Selain kedudukan wilayah, nama-nama daerah makin sulit dihapuskan dari peta administratif lama karena jaringan administrasi warisan kolonial sudah meluncur sedemikian rupa. Seperti dikatakan di atas, sekali struktur pemerintahan dilegitimasikan, dan ini terjadi sejak awal kemerdekaan, maka makin sulit untuk menghapuskan sistem yang ada. Malahan ketimbang menghapuskannya mereka cenderung memperkuatnya dengan membangun hubungan-hubungan antara daerah menurut cara-cara lama. Begitulah misalnya, nama Sumatera Barat, kampung halaman orang Minangkabau, tak pernah dikenal sebelum kedatangan Belanda dan generasi pejabat pemerintahan Republik setelah merdeka niscaya tak mampu mengubahnya.


Persoalan-Persoalan Birokrasi setelah Kemerdekaan: Pencarian Tipologi Aparatur Negara

Persoalan paling mendesak yang dihadapi Indonesia setelah merdeka dalam hal ini adalah penggantian mendadak dari pejabat-pejabat asing (ekspatriat) yang menduduki  fungsi-fungsi tertinggi dalam bidang administrasi kepada aparatur dari anak negeri. Ini agak berbeda sifatnya dengan negara bekas jajahan Inggris, di mana proses penggantian berlangsung agak lambat laun, kecuali  untuk bidang peradilan, pendidikan, perdagangan, kedokteran atau hukum. Tidak lama setelah kemerdekaan dicapai, masih ada sekitar 53% dari pejabat-pejabat tertinggi di India (termasuk apa yang kemudian menjadi Pakistan) terdiri dari orang-orang Inggris. Di Malaysia jumlahnya adalah 66%, di Birma 56% dan di Srilangka 56%. Angka rata-rata dari kelima negara itu adalah 52%. Setelah tercapai kemerdekaan para ekspatriat mulai meninggalkan pos mereka. Pada tahun 1952 kurang dari 20% orang-orang ekspatriat yang masih tetap bertahan di kelima negara tersebut (Brabanti (1974: 120).

Di Indonesia khususnya, persoalan-persoalan yang timbul karena terusirnya bekas ”toen Meneer” Belanda itu dari negeri ini telah menimbulkan kekosongan dan kemudian diisi oleh pejabat ”amatiran”. Dalam kata-kata seorang pengamat dikatakan, ”koeli word Toean” (kuli tiba-tiba menjadi tuan). Atasan baru tak mengerti persoalan. Dasar kebjakan internalnya cukup dengan mengatakan kepada sekretarsinya begini: ”Please, you go on with your work, I will sign everything that you consider good!.  Kebutuhan akan tenaga pegawai makin mendesak, terlebih lagi karena pada saat yang sama bertambahnya kebutuhan administrator tingkat tinggi sejalan dengan perluasaan kegiatan pemerintah secara serentak sebagai akibat logis dari diperolehnya kedaulatan serta meningkatnya perhatian terhadap pembangunan ekonomi.

Untuk menghadapi persoalan ini Indonesia harus menggantikan semua pos yang dulu diduduki oleh pejabat-pejabat ekspatriat itu dengan warga mereka sendiri, di samping harus menambah lagi personil baru karena perluasan-perluasan kegiatan pemerintah tersebut. Sebagai akibatnya terjadi apa yang disebut Evers (1980), dengan runway bureacratization (birokratisasi ngebut). Hasilnya ialah dalam waktu yang tidak terlalu lama tenaga pegawaipun membengkak jumlahnya. 

Dalam tahun 1970-an, tenaga pegawai pemerintah melonjak lebih dari satu setengah juta atau hampir 400% dari tahun dekade sebelumnya. Jumlah ini cukup mencolok jika dibandingkan dengan Malaysia yang hanya meningkat sebanyak ratusan ribu atau 90% dan Thailand lebih dari seratus ribu atau 50%. Jika dihitung semua orang yang menggantungkan hidupnya pada “anggaran” pemerintah (jadi tidak hanya yang menduduki status resmi sebagai pegawai negeri) maka jumlah mereka akan semakin fantastis. Untuk mendapatkan sekedar perbandingan, jumlah personil birokrasi pemerintah tahun 1932, yakni ketika Indonesia masih di bawah rejim klonial Belanda, terdiri dari 85.708 orang Indonesia dan 17.034 personil Eropa. Yang pertama disebut dengan pejabat IB (Inlandsche Bestuur), sedang yang kedua pejabat BB (Binnenlandsch Bestuur). Kedua tipologi aparatur pemerintah kolonial ini memiliki ciri-ciri tertentu, terutama dilihat dari ras, jenjang karier dan kultur mereka.

Untuk menghindari diskusi yang berpanjang-panjang berikut ini marilah kita mencermati lebih dekat bangunan besar aparatur dalam birokrasi pemerintah, dengan meminjam kerangka Hans-Dieters Ever (1980) yang memperkenalkan tiga tipologi aparatur pemerintah. Tipologi pertama, ialah apa yang disebutnya, Birokrasi Parkinsonization (BP) berasal dari nama C. Northcote Parkinson, pernah mengajar di Univesiats Malaya di Singapura tahun 1950-an, adalah penemu “Hukum Parkinson”. Tesis utamanya mengatakan, bahwa birokrasi adalah respons negara terhadap berkembangnya tugas pemerintah dalam masyarakat yang makin kompleks dan karena itu birokratisasi merupakan proses evolusi yang tak terelakkan. Tipologi BP rada ironik karena ia merumuskan dua watak organissi birokrasi: (i) setiap aparatur pejabat senantiasa berupaya untuk meningkatkan jumlah bawahannya ntuk meningkatkan “gezag”-nya dan (ii) semua aparatur mengerjakan urusan yang tak perlu terhadap yang lain. Birokrat dengan demikian memiliki kecenderngan untuk memacu jumlah personil sekalipun tak relevan dengan bidang tugasnya. Adagium yang cocok dari BP ialah ''Government by many bureaus, administrators, and petty officials”. 

Tipologi kedua apa yang disebut Birokrasi Weberization (BW), yakni berasal dari pemikiran Marx Weber, pakar sosiologi dan sejarah dari Jerman yang memperkenalkan konsep birokrasi modern dalam ilmu sosial. Aslinya birokrasi berarti upaya meningkatnya aturan-aturan formal yang dikontruksikan secara rasional, pemisahan antara yang resmi (official) dan yang “pribadi” (private), penyebaran etos baru tentang legalitas, tindakan rasional dan institusionalisasi semua perangkat administrasi modern. Weber sejak semula mencemaskan bahaya yang akan ditimbulkan oleh proses birokratisasi karena ia bisa menohok “hak azasi” dan kebebasan orang dalam dunia Beambtenstaat, negara pejabat yang angkuh dan tanpa pandang bulu.

Tipologi Ketiga ialah Birokrasi Orwelian (BO) berasal dari penulis Perancis yang terkenal dengan bukunya 1984, mimpi buruk negara otoriter di Jerman di bawah rejim Hitler yang ditulisnya semasa PD II dan diprediksi bisa kembali tahun 1984.  Ringkasnya BW cenderung memperketat kontrol terhadap semua aparat demi menjaga stabilitas kekuasaan rejim. 

Tidak satu pun dari ketiga tipologi di atas benar-benar independen murni, melainkan masing-masingnya saling berkaitan satu sama lain, meskipun masing-masing mempertahankan dan mengembangkan wataknya masing-masing guna menghasilkan kinerja yang diingini.
Tabel 1: Tipologi Aparatur

 Tabel 2: Model Kepemimpinan BW.

Pelangkahan ke Depan: Beberapa Strategi Pengembangan

Tipologi di atas agaknya tidak cukup mampu untuk memberikan inspirasi bagi kita untuk mengembangkan strategi persolan birokrasi, terutama berkenaan dengan etos kerja birokrasi Indonesia yang sering digambarkan irrasional: “kalau bisa diperlambat mengapa harus dibikin cepat”. Dosa-dosa birokrasi, menurut catatan seorang pengamat, merupakan sumber malapekata utama di negeri ini. Gambaran birokrasi yang berbelit-beli, penuh ketidakpastian, mahal dan bermalas-malas,  sampai kini masih sulit dihapuskan. Saya ingin mengutip catatan harisan seorang peneliti sebagai berikut:


Suatu hari di sebuah ibukota propinsi kawasan Indonesia Bagian Timur, saya sempat mengamati perilaku pegawai birokrasi (pemerintahan). Pegawai itu datang pukul delapan untuk absen, setengah jam kemudian  pergi ke  warung kopi  sampai pukul  satu, kemudian kembali kantor, dan pukul dua ia sudah menghilang. Demikianlah ritme kerja yang selalu berulang. Dalam waktu yang sama saya bertemu  dengan Pak Gubernur, dan dalam percakapan dari hati-ke-hati  ia pun mengeluh. ”Saya tidak tahu bagaimana caranya agar birokrasi di tempat ini bisa melayani rakyat lebih baik lagi. Saya tidak mau ada filsafat ”kalau bisa diperlambat, kenapa harus dipercepat”, katanya. Pak Gubernur yang baik hati ini sebenarnya bukan satu-satunya pejabat pemerintah yang benar-benar concerned perihal lembeknya peran birokrasi dalam melayani rakyat (Dwidjowijoto, 1998: 38-39).


Begitu banyak “dosa" birokrasi”, sehingga hari ini ia dituding sebagai pihak yang paling bertanggung jawab dalam munculnya high cost economy, yang membuat rakyat makin terbeban dan secara komparatif produk kita menjadi kurang bisa bersaing di pasar global. Birokrasi juga dituduh bertanggung jawab dalam munculnya "mentalitas birokrasi", pola perilaku legilatif “4-D” — duduk, datang, diam dan (dapat) duit. Bahkan ia juga dituduh sebagai biang menyebarnya kultur aji mumpung, korupsi dan sebagainya. Di belakang birokrasi terpampang label kaku-reaktif-inefisien. Bahkan birokrat pun menjadi salah satu sindiran Empu manajemen Peter F. Drucker (1966, 1997), untuk menggambarkan seseorang yang kaku-kolot, serba reaktif atau berorientasi kepada “mengobati” ketimbang mencegah, dan kelompok manusia yang tidak bisa bekerja dengan efisien.

Gambar 7. Sebuah pemandangan Kampus yang lazim di Indonesia. Perasaan sebagai ambtenar itu juga menjalar ke kampus (perguruan tinggi), bagi yang bergelar doktor atau pejabat tertentu di PT, atau hanya sebagai ketua atau sekretaris jurusan, malu kalau tidak punya mobil. Suatu paradigma di jaman kolonial yang menjalar ke golongan intelektual Indonesia. Dan sebuah kampus bangga jika alumninya jadi pejabat pemerintahan.
 Pak Gubemur di atas, sama seperti banyak pejabat pusat dan daerah lainnya yang  “gemas”  dengan  birokrasinya,  bukannya  tidak  pemah berusaha "memberdayakan" birokrasinya. Tetapi hampir sebagian besar upaya itu menemui ujung buntu. Karena, jika pun ia ingin efisien, para pelaksana di tingkat bawah bisa saja membuat pelayanan birokrasinya tidak efisien dengan menimpakan kesalahan kepada pimpinannya, yang akhirnya juga berhulu ke Pak Gubernur tadi. Bahkan tidak jarang sampai dipanggil konsultan ahli untuk memberi masukan dan membenahi. Toh hasilnya  masih belum   cukup memadai. Bagaimana pun masyarakat masih menganggap birokrasi sebagai momok yang mengernyitkan dahi, meskipun belakangan ini angin reformasi sudah ditiupkan ke arah sana, tetapi dalam prakteknya masih sangat alot dan butuh waktu dan strategi baru.

Makalah ini tidak berpretensi memberikan resep-resep ‘siap pakai’ untuk merumuskan strategi yang ampuh untuk pengembangan etos kerja aparatur negera ke depan. Berdasarkan studi-studi empirik tentang birokrasi dan manajement pemerintahan, para pengamat birokrasi cenderung mengarahkan perhatian mereka kepada salah satu dari tiga strategi riset dan pemikiran berikut ini.  Strategi pertama ialah cenderung menyarankan agar pengembangan aparatur birokrasi sebaiknya mempertimbangkan konteks historis, pengalaman yang berlaku dan orientasi kelembagaan yang ada tanpa terjebak dengan tipologi birokrasi Parkinson. Erat kaitannya dengan strategi ini, para pembaharu dalam pendayagunaan aparatur pemerintah sebaiknya berupaya mengidentifikasi “best practices” lewat pengumpulan pengalaman lewat studi kasus yang mendalam tentang masalah manajemen pemerintahan.



Gambar 8. Sebuah model pelaksanaan birokrasi yang dapat dicurigai mengandung salah urus atau maksud tertentu. Sebelah kiri adalah jalan di Kurao Kapalo Banda, Air Pacah Padang yang sampai saat ini tidak beraspal. Penduduk yang berusia sekitar 30-60 tahun di daerah ini umumnya buta huruf (daerah tertinggal). Foto sebelah kanan adalah jalan yang tidak jauh dari daerah yang dimaksud adalah jalan menuju komplek perumahan sudah beraspal beton, walaupun kompleks itu baru di bangun 2 tahun ini. Pemda kota memiliki alasan tersembunyi bahwa rakyat di daerah ini tidak mau membayar pajak, (mungkin saja karena kebanyakan buta huruf tidak tahu tentang administrasi atau peraturan). Masyarakat disini sudah berkali-kali mengirim surat ke Pemda Padang. Setiap tahun jalan ini  hanya ditimbun dengan kerikil dengan biaya 100 juta. Menurut cerita proyek seperti ini sangat besar keuntungannya bagi pelaksana proyek (mungkin juga pada pimpro). Sebab biasanya yang ditimbun hanya jalan yang berlobang, dalam laporan tentu di timbun semua badan jalan. Siapa yang akan dapat mengontrol kebenarannya. Oleh karena itu keputusan pengambil kebijakan -- yang merasa untung -- tentu baik jika tidak diaspal. Masyarakat di daerah Kurao, merasa tidak diperlakukan tidak adil oleh Pemda, dan ada yang berkata: "Jika jalan ke rumah atau famili pejabat tentu telah lama licin dan beraspal beton". Sebuah perkataan yang benar adanya tentang budaya dan cara berpikir birokrat di daerah.

Strategi kedua ialah setiap pembaharuan, termasuk pelatihan para pejabat atau personil instansi tertentu harus tetap berpijak pada kerangka teori-teori formal, model-model dan metode dan data ilmu-ilmu sosial dan behavioral sciences guna mempelajari proses-proses dan pengembangan pengetahuan empirik mengenai persoalan-persoalan bagaimana manajemen birokrasi pemerintah berkontribusi terhadap peningkatan kinerja pemerintah. Misalnya apakah disain kebijakan dan program mempengaruhi kinerja personil pemerintah? Adakah itu melulu masalah manajemen (kurangnya skill dan dukungan material) atau persoalan motivasi dan psikologi dalam arti luas? Adakah struktur organisasi tertentu lebih baik daripada yang lain bagi pencapain tujuan tertentu dan jika ya, untuk siapa, di mana dan kapan? Jawaban-jawaban atas semua pertanyaan ini memungkinkan praktisi aparatur negara untuk mengakses yang memungkinkan mereka menduplikasi keberhasilan (dan sebaliknya menghindari kegagalan) pada waktu dan tempat berbeda atau dalam kondisi yang berbeda pula, atau memikirkan bagaimana program berkinerja rendah harus didorong untuk mencapai standar optimal.

Akhirnya strategi ketiga ialah kembali ke komitmen ”top manager” dalam setiap unit pemerintahan. Telah banyak eksperimen dilakukan, baik melalui ’merit system’ maupun pelatihan-pelatihan, studi banding, hasilnya seperti itu-itu juga. Mutasi-mutasi dan promosi pengangkatan pejabat yang diintervensi oleh kepentingan politik dan kelompok sangatlah biasa dalam birokrasi dan seringkali terjadi the right man in the wrong place. Mereka yang baru kembali dari pelatihan intensif mengenai keahlian tertentu mendadak dialih-tugaskan ke tempat yang bukan bidang keahliannya. Akibatnya walaupun sudah mengikuti pelatihan, memiliki kecerdasan yang memadai dan membaca buku pegangan ’baru’ praktisi pemerintahan karya  Osborn dan Gaebler, Reinventing Government (edisi terjemahan 1996), kemajuan dalam birokrasi pemerintahan sangat terasa lamban dan hasilnya kurang dirasakan oleh publik. Tidak ada cara lain untuk membenahi birokrasi pemerintahan dan orang-orang yang bekerja di dalamnya, kecuali mulai dengan keinsyafan bersama betapa buruknya kinerja pemerintahn di mata publik dan betapa perlunya membangun paradigma dan etos kerja yang baru dalam iklim birokrasi yang sehat dan segar.


Penutup

Apa yang kita perlukan hari ini adalah sebuah organisasi pemerintahan yang ditata dengan manajemen yang mengacu kepada kebutuhan lingkungan kekinian dan masa depan bangsa, yaitu lingkungan yang terus berubah dengan sangat cepat. Tepatnya organisasi yang harus mampu mengelola perubahan, atau mengelola ketidakpastian. Karena, seperti banyak disitir oleh pemikir manajemen dewasa ini, lingkungan kita hari ini adalah lingkungan global, tidak ada satu pun yang pasti. Satu-satunya yang pasti adalah ketidak-pastian itu sendiri. Itulah yang harus dimanajemeni.

Satu-satunya konklusi yang dapat saya kemukakan pada bagian penutup ini ialah bahwa birokrasi bukan hanya sekedar bagian yang menentukan dari administrasi pemerintah; birokrasi dan birokrat adalah juga inti syarat dari pemerintahan itu sendiri. Ia berhubungan erat dengan kelas-kelas sosial, pendidikan, ikatan-ikatan kekeluargaan dan masalah-masalah politik. Kompleksnya jalinan dalam jaringan masyarakat yang sedemikian ini umumnya sering menjadi rintangan utama. Pada akhirnya komitmen dan leadership berwawasan nasionalisme ke-Indonesiaan, merupakan harga mati. Dan selebihnya pekerjaan dalam administrasi pemerintah adalah suatu seni yang terhormat, dan mereka yang mampu mendayagunakannya dengan baik akan menyumbangkan jasa dan amalnya untuk bangsa, negara dan agama. ***


Kepustakaan
  • Contoh-contoh modern dalam struktur birokrasi modern lihat ttg Sultan Yoigya dalam BKI terbaru (2008)
  • Benda, Harry J. The pattern of Reforms in the Changing Years of Dutch Rule in Indonesia” Journal of Asian Studies, IV, 25 (1966).
  • Brebanti, Ralph, “Modernisasi Adminsitrasi Negara”, dalam Myron Weiner (ed.), Modernisasi Dinamika Pertumbuhan Edisi Terjemahan (Jakarta VOA, 1974). 
  • Drucker, Peter F. The Frontiers of Magament (Eisi Terjemahan Indonesia, Elek, Media Komputindo, 1997.
  • _________  The Effective Leader. New York: Simon & Schuster, 1966.
  • Dwidjowijoto, Riant Nugroho, Indonesia 2020. Sebuah Sketas tentang Visi & Strategi dalam Kepemimpinn Manajemen Politik & Ekonomi. Jakarta: RBI Research, 1986.
  • Evers, Hans-Dieter, “The Bureacratization of Southeast Asia” (1983).
  • Geertz, Clifford,  Negara. The Theatre State in Nineteenth Century Bali. Princeton, New Jersey: Princeton Univ. Press, 1980.
  • Geldren, Robert Heiene, Konsepsi tenang Negara & Keududkan Raja di Asia Tenggara, Edisi Terjemahan. Jakaarta: Grafiti Pers, 1982.
  • Gesick, Lorraine (ed.). Pusat, Simbol dan Hiraki Kekuasaan. Esei-esei tentang Negara-Negara Klasik di Indonesia. Edisi Terjemahan. Jakaarta Yayasan Obor, 1989.
  • Harsja W. Bachtiar, “Bureacracy and Nation Formaion in Indonesia, Bijdrage atau BKI, 128 (1972), pp.43146.
  • Hill, C. J., & Lynn, L. E., Jr. “Is Hierarchical governance history? An analysis of evi¬dence from empirical research,” Manuscript submitted for publication.Diakses lewat situs http://www.iog.ca/, August 28, 2003.
  • Hood, C. (2002). Control, bargains, and cheating: The politics of public service reform. Jour¬nal of Public Administration Research and Theory, 12(3), 309-332
  • Kuntowijoyo, Demokrasi & Budaya Birokrasi. Yogyakarta: Bentang, 1994.
  • Mestika Zed, ”Pendidikan Kolonial dan Masalah Distribusi Ilmu Pengetahuan” dalam Jurnal Sejarah, Pemikrian, Rekonstruksi dan Persepsi (LIPI), No. 1 (1991), hal. 17-31.
  • Onghokham, Wahyu yang Hilang Negeri yang Guncang. Jakarta: Freedom Institute, 2003.
  • Polanyi, Karl, C.M. Arensberg and H.W. Pearson, Trade and Market in Early Empires. New York: Free Press, 1957.
  • Resink, G.J. Indonesia’s History between the Myths. Essyas in Legal History and Historical Theory. The Hgaua: W. Van Hoeve, 1968.
  • Selo Soemardjan, Bureacratic Organization in A Time Of Revolution, dalam Jurnal of Administrative Science Quarterly (Amsterdam), II (1977): pp182-99.
  • Sumasad Martono, Negara dan Usaha Binanegara di Jawa Masa Lampau. Jakarta: Yayaan Obor, 1985.
  • Walker, Millidge, dan Irene Tinker, “Development and Changing Bureacractic Styles in Indonesia. The Case of the Pamong Praja”, dalam Pacific Affairs, No. 48 (1975), pp. 60-73. 
Biodata Penulis
Mestika Zed, lahir (1955) di Batuhampar, Payakumbuh, adalah dosen Jurusan Sejarah Universitas Negeri Padang (UNP). Menyelesaikan kuliah pada Jurusan Sejarah Univ. Gadjahmada (1980), Post-Graduate Programme (M.A.) Vrije Universiteit, Amsterdam (1981-1983), S2 Univ. Indonesia, Jakarta (1983-1984) dan Doktor Sejarah  pada Jurusan Niet-Westerse Geschiedenis, Faculteit der Sociaal-culturele Wetenschappen, Vrije Universiteit, Amsterdam (1991).
Pernah menjabat Ketua Jurusan Sejarah Univ. Andalas, Padang (1992-1995) dan pendiri dan mantan Ketua Masyarakat Sejarawan Indonesia (MSI), Cabang Sumatera Barat (1993-2001), ia kini menjabat Ketua Pusat Kajian Sosial-Budaya & Ekonomi (PKSBE), Fakultas Ilmu-Ilmu Sosial (FIS), Universitas Negeri Padang, pernah Ketua Dewan Redaksi Forum Pendidikan, dan Jurnal Tingkap, Jurnal Ilmu-Ilmu Sosial, FIS, Universitas Negeri Padang. Menulis sejumlah buku dan artikel dalam jurnal ilmiah nasional dan internasional. Salah satu bukunya berjudul Somewhere in the Jungle. Sejarah PDRI. Sebuah Matarantai Sejarah yang Terlupakan (Jakarta:Grafiti, 1998) memperoleh penghargaan buku terbaik dari IKAPI/Kementerian P&K di bidang ilmu sosial tahun 1999.


   
   (IN BOX)
   
   Birokrasi Pendidikan mirip cara Kolonial 
   akhirnya di nilai


    “Pola yang sama pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda yang mengelompokkan 
     pendidikan  dengan membeda-bedakan antara kelas rakyat jelata dan bangsawan.”


Setelah didesak banyak pihak, pemerintah menghentikan pemberian izin baru RSBI (rintisan sekolah bertaraf internasional) dan SBI (sekolah bertaraf internasional) mulai 20011, dan sedang mengevaluasi 1.329 SD, SMP, SMA/SMK berstatus RSBI yang izinnya diberikan pada 2006-2010. Di Jakarta, selama dua hari, 9-10 Maret 2011, digelar simposium “EBE Symposium on The RSBI/SBI System in Indonesia: Policy and Practice” yang membahas tentang evaluasi terkait perjalanan program RSBI/SBI dalam upaya untuk mengembangkan dan meningkatkan standar kualitas pendidikan di Indonesia.
 
Desakan untuk menghentikan RSBI/SBI antara lain datang dari sejumlah guru, praktisi pendidikan, dan anggota DPR. Menurut mereka, SBI hanya menjadi market label, karena tidak ada jaminan bahwa janji RSBI/SBI sebagai sekolah berkelas dunia dengan segala sistem manajemen, mutu guru, sarana, dan kriterianya akan bisa dipenuhi. Ketua Umum Ikatan Guru Indonesia (IGI) Satria Dharma mengatakan, “program SBI itu salah konsep, buruk dalam pelaksanaannya, dan 90 persen pasti gagal. Di luar negeri konsep ini gagal dan ditinggalkan” (Kompas, 9/3). Dalam program SBI, pengutamaan bahasa Inggris sebagai bahasa pengantar pendidikan dilihat memprihatinkan. Dampak paling terasa dari kebijakan ini adalah menciptakan diskriminasi dalam pendidikan, karena pendidikan menjadi sangat komersial yang berakibat hanya anak orang kaya yang bisa bersekolah di sekoah yang berstandar bagus.
 
Selain salah konsep, pendekatan pendidikan menggunakan ‘kastanisasi’ dan ‘kekayaan’ seperti RSBI/SBI ini sangat keliru karena tidak memenuhi asas berkeadilan. Model ini juga bertentangan dengan konstitusi 1945 yang menegaskan pendidikan nasional harus mencerdaskan kehidupan bangsa. Pendekatan seperti ini berbahaya karena sangat diskriminatif dan bisa memunculkan apa yang disebut Paulo Feire sebagai silent culture, budaya bisu yang tidak bisa menumbuhkan aspirasi yang terjadi pada golongan orang miskin yang tidak bisa mengakses pendidikan.
Desain kebijakan pendidikan dengan jalur formal mandiri seperti SBI hanya menyiapkan pendidikan bagi orang yang punya kemampuan finansial, dibiayai secara swadaya, berorientasi global, para gurunya disiapkan dengan kualifikasi tertentu, dan buku teksnya pun dibuat berbeda.
Pola yang sama pernah dilakukan pemerintah Hindia Belanda yang mengelompokkan pendidikan dengan membeda-bedakan antara kelas rakyat jelata dan bangsawan.
 
Padahal pendidikan adalah hak setiap warga negara, dan pemerintah punya kewajiban untuk menyediakan pendidikan bagi semua rakyat secara berkeadilan. Kita pun berpikir lagi tentang kastanisasi pendidikan di Republik, karena uang sekolah di RSBI/SBI yang sangat mahal. Pola sekolah seperti itu juga akan semakin menjauhkan misi pendidikan yang mencerahkan, karena sekolah hanya mengedepankan aspek ‘pengajaran’ yang melulu mengejar materi pelajaran dan melalaikan aspek ‘pendidikan’ yang menghargai nilai-nilai hidup dan kemanusiaan. Pendidikan kita betul-betul dalam kondisi mengkhawatirkan karena tanpa disadari kita menyamakan saja antara ‘pendidikan’ dengan ‘persekolahan’.  Padahal pendidikan (education) itu jauh melampaui persekolahan (schooling).
 
Hywel Coleman, konsultan pendidikan dari British Council dan pengajar di Universitas Leeds, Inggris, mengatakan, RSBI/SBI salah konsep sejak awal. Mestinya Indonesia menyiapkan siswa berwawasan internasional dengan bangga terhadap budaya bangsanya. “Bukan dengan mengubah cara penyampaian pelajaran menggunakan bahasa Inggris” (Kompas, 11/3). (Ari urcahyo)