Teori
Apakah teori itu? Pernahkah kita berpikir perbedaan Teori tentang Seni Rupa dan Teori di dalam Seni Rupa ? Apakah gunanya masing-masing teori ini? Pertanyaan ini mungkin muncul jika orang mempelajari bidang seni rupa. Keraguan (skeptis) terhadap seni rupa sebagai ilmu, umumnya didasarkan pada asumsi bahwa seni rupa bukanlah ilmu, hanya skill saja atau mungkin karena seni rupa tidak dihargai sebagaimana orang menghargai ilmu-ilmu pasti dan alam. Sehingga teori seni rupa itu dianggap tidak perlu. Mungkin ada orang berpendapat seperti itu, tetapi penulis berpendapat lain.
Istilah teori berasal “theoria” (akhir abad ke-16) bahasa Latin, asalnya bahasa Yunani, artinya “contemplation theory”, “olah raga perenungan ”. Theory = theoros, “olahraga”. Berteori berarti : 1) merumuskan aturan atau teknik, 2) berpikir abstrak, 3) membentuk ide-ide melalui spekulasi, 4) berhipotesis, 5) mengungkap fenomena melalui prinsip ilmiah. Paling tidak teori seni, adalah sebuah pendekatan melalui logika, bukan hanya subjektif. Banyak pula orang beranggapan bahwa karya seni adalah hasil ketrampilan dan sama sekali tidak ilmiah. Pada hal, lingkungan hidup yang dibentuk melalui aspek artistik juga sebuah hasil logika berpikir, bukan hanya bersifat subjektif.
Menurut kamus, sebuah teori adalah sebuah asumsi atau sistem asumsi, prinsip, atau aturan (rule) dalam melaksanakan sebuah prosedural yang dibatasi oleh informasi atau ilmu pengetahuan. Teori adalah dalam rangka merancang analisis, prediksi atau sebaliknya dapat menjelaskan sesuatu yang alamiah atau fenomena perilaku yang khas, berikut pemberian. alasan-alasan yang sifatnya abstrak. Definisi teori sbb:
Theory, an assumption or system of assumptions,
accepted principles, and rules of procedure based on limited information or
knowledge, devised to analyze, predict, or otherwise explain the nature or
behavior of a specified set of phenomena; abstract reasoning. The Scientific
Method is a systematic approach to research. The philosophy of this empiricist
approach is described in Western Philosophy: Pragmatism. Various methods of
obtaining data are used. Hypotheses are the first step in creating a theory.
Hypothesis formation is discussed in Psychology: Methods of Research. Falsifiability is the most important feature of hypothesis
testing. Methods of testing (falsifying) hypotheses include Dialectic, Logic,
Probability, and Statistics.
Some famous theories:
- in astronomy and cosmology: the Big Bang Theory, the Steady-State Theory, and the Copernican Syste,
- in the life sciences: the theory of Natural Selection, Conditioning, and Behaviorism
- in earth sciences: Continental Drift, the asteroid theory of Dinosaur Extinction, and the rival theories of Uniformitarianism and Catastrophism
- in physics: Einstein’s Theory of Relativity, Heisenberg’s Uncertainty Principle, the quest for a Unified Field Theory
- in mathematics, computer and information sciences: Theory of Equations, Automata Theory, Game Theory, and Decision Theory.( Sumber : Encyclopaedia Encarta, 2003)
Menurut kamus lain, teori (Theory) adalah berikut
ini.
- Pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian dsb).
- Asas dan hukum umum yang yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan,.
- Pendapat, cara dan aturan untuk melakukan sesuatu (KBBI, 1989: 932).
Bagian-bagian Teori
Definisi teori di atas dapat diuraikan lagi dalam beberapa
bagian. Tujuannya adalah agar melihat apa saja yang dapat menjadi atau bermakna
teori dan bagaimana tiap komponen-komponen itu saling berhubungan satu sama
lain seperti yang akan diuraikan di bawah ini.
1. Konsep
Konsepsi adalah kategori yang berasal dari persepsi manusia yang
sudah dikategorikan dalam bentuk label-label. Dalam melihat fakta, kejadian
atau peristiwa manusia melahirkan ide-ide dan konsep tertentu yang diutarakan
dalam label–label bahasa. Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman,
berpendapat bahwa ide-ide itu harus dikoordinir, kalau tidak hanya akan
menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu ada beberapa tahap pengorganisasian
idea, yaitu sensasi, persepsi, konsepsi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan.
Penjelasannya adalah sebagai berikut ini.
- Sensasi merupakan stimulus (rangsang) yang tidak ditertibkan
- Persepsi adalah sensasi yang telah diatur
- Konsepsi adalah persepsi yang telah dikategorisasikan
- Science adalah pengetahuan yang telah diorganisasi
- Kebijaksanaan adalah organisasi hidup manusia 1
Sensasi yang dimaksud oleh Immanuel Kant, adalah semua rangsang
yang diterima oleh manusia melalui panca indra. Umumnya sensasi itu dianggap
belum tertib, belum terpola pada suatu pengertian. Kita menerima sensasi-sensasi
dari penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya, semuanya itu disebut
dengan persepsi. Persepsi itu baru kita pahami jika kita memisahkan, memberi
label-label terhadap hasil persepsi itu.
Jadi konsep pada suatu sisi adalah pikiran manusia tentang
sesuatu yang telah dikategorisasikan. Misalnya, suatu objek diutarakan melalui
label bahasa verbal, tetapi bukan sembarang label, yaitu yang khusus dan
terkategorisasi. Konsep adalah suatu istilah yang dapat mengandung arti
abstrak. Misalnya konsep-konsep seni, seni rupa, seni kerajinan, seni memasak,
seni bangunan, menarik, indah dsb., atau konsep-konsep yang lebih konkret
seperti gambar/drawing, warna (color), bentuk (form), model, dan
sebagainya. Poespoprodjo (1985: 85-89), dalam bukunya “Logika Scientifika”,
menjelaskan pembagian konsep kompleks dan non kompleks dan sebagainya sebagai
logika sains. Logika seni tentu ada kekhasannya.
Gambar 1 Konsep dalam bidang desain adalah konsep yang kongkrit yang dinyatakan dalam bentuk sketsa, bagan atau diagram, hal ini berbeda dengan konsep-konsep melalui bahasa (konsep abstrak), konsep ini terukur dan dapat diukur dalam analisis material, dimensi dan skalanya seperti gambar bestek. Oleh karena itu praktik desain dan maupun seni rupa adalah sebuah riset (penelitian) juga.
Konsep-konsep biasanya ditemukan oleh para ilmuwan (saintis)
untuk mempelajari dan menganalisis fenomena-fenomena secara sistematis. Ada dua
keuntungan yang dapat diperoleh dengan mendefinisikan konsep secara teoretis
(Reynolds, 1971). Keuntungan ini adalah kita dapat menyetujui arti dari konsep
dan keabstrakkannya serta memantapkan penarikan generalisasi.
Menurut Bruner dalam Lufri (2007:26), pemahaman konsep,
Pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori
yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda. Dalam pemahaman
konsep, konsep-konsep sudah ada sebe lumnya, sedangkan dalam pembentukan konsep
adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru.
Misalnya “kubisme-analitis” dan “kubisme-sintetis”, adalah konsep yang
diturunkan dari konsep “kubisme”. Menurut Bruner (1980), kegiatan mengkategori
memiliki dua komponen, yaitu: (1) tindakan membentuk konsep, (2) tindakan
pemahaman konsep. 2
Meskipun konsep-konsep itu menurut definisinya abstrak, namun
ada perbedaan tingkat keabstrakannya. Tingkat keabs- trakan ini berada pada
garis kontinum, yaitu dari yang sangat abstrak sampai pada yang lebih konkret
atau operasional. Misalnya, konsep “seni” sangat abstrak, “seni lukis” masih
abstrak, “lukisan” adalah konsep yang konkret (Supangkat,1979
Menurut Ginti, dalam Catanese, & Snyder (1986), konsep itu
dapat diutarakan dalam dua bentuk yaitu dalam bahasa verbal dan dalam bahasa
visual. Sketsa misalnya, adalah konsep visual untk menggantikan bentuk benda
nyata, misalnya untuk menjelaskan fungsi lampu atau sebuah denah ruangan 3
2. Konsep Tertutup dan Terbuka
Dalam bidang seni dan desain, Walker (1989), menjelaskan adanya
dua macam konsep. Pertama adalah konsep tertutup yang kedua adalah konsep
terbuka. Menurutnya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan dalam bidang akademik
mengarah kepada konsep tertutup, sebab konsep-konsep itu tidak untuk di
interpretasikan, dan harus didefinisikan.
Misalnya konsep mengenai seni rupa (Arts), desain (design),
dan kriya (craft), architecture, dsb., harus memiliki makna dan kriteria
yang baku. Dia memiliki standar tentang operasionalnya, kriteria tentang
prosedural di dalamnya. Jika seseorang melakukan aksi di dalam kerangka konsep
ini, dapat dibedakan ini adalah kegiatan seni rupa, yang lain adalah kriya,
lainnya lagi adalah kegiatan desain. Ini adalah kegiatan sains, yang lain
kegiatan teknologi. Kegiatannya memiliki kekhasan dalam kriteria, metoda
pencapaian, prosedur dan nilai produknya, karena adanya kategorisasi dan oleh
konvensi konsep akademisnya.
3. Konsep Terbuka
Konsep terbuka adalah konsep-konsep yang dikembangkan dalam seni,
misalnya oleh kelompok seniman atau desainer avant garde (pelopor) dalam
berkarya (tabel 7.1). Hal ini terlihat dalam perkembangan gaya/aliran seni
dalam sejarah seni. Misalnya konsep-konsep baru dalam gaya seni rupa seperti
impresionisme, kubisme, surealisme dan sebagainya sesuai dengan zamannya.
Konsep-konsep baru itu juga memiliki kekhasan dalam kriteria, metoda
pencapaian, analisis dan nilai produknya.
Inovasi konsep baru itu juga dilakukan oleh kelompok akademis,
misalnya perpaduan ilmu seni rupa murni dengan desain yang menghasilkan bidang
studi “art and design”; perpaduan ilmu komunikasi dengan seni grafis dan
ilmu ekonomi, yang menghasilkan bidang “desain komunikasi visual, dsb. Demikian
oleh Walker (1989), dijelaskan, bahwa tugas pengembangan ilmu umumnya oleh para
profesional dan inovator untuk menciptakan sesuatu yang baru di luar
konsep-konsep yang ada sebelumnya, selalu menarik perhatian, sebagaimana
inovasi di bidang ilmu pengetahuan (sains). 4
4. Aplikasi Konsep dalam Penelitian
Dalam penelitian (riset) oleh karena semua hal itu mesti terukur
maka konsep dapat dirinci sebagai berikut ini.
- Suatu konsep harus didefinisikan secara konstitutif dan bukan menggunakan terminologi lain. Misalnya mendefinisikan konsep “realisme” sebagai lukisan peniruan dari apa yang kelihatan disebut dengan konsep imitatif, mimesis (bhs.Yunani) = meniru. Dalam hal ini realisme didefinisikan dalam terminologi “imitatif”. Meskipun definisi yang seperti ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang suatu konsep realisme, namun definisi tersebut kurang akurat dilihat dari sudut pandang ilmiah. Oleh karena itu para peneliti harus bisa mendefinisikan suatu konsep dengan istilah atau arti yang bisa diukur atau lebih operasional. Misalnya “realisme romantik”, “supra-realisme”, realisme–jalanan” dsb. Realisme jalanan misalnya hanya meneliti dan atau “memotret” apa yang dilihat di sepanjang jalan kota yang memiliki karakteristik lokal, dan nuansa urban yang kuat.
- Secara lebih terukur. Konsep yang didefinisikan secara lebih operasional, sehingga dapat diukur disebut sebagai definisi operasional dari konsep.
Contohnya, konsep warna aditif adalah sebuah teori warna dengan
sistem warna RGB (Red, Green, Blue)” Definisi ini terbatas, jelas, dan singkat.
Jadi di sini konsep didefinisikan sebagai seperangkat ukuran yang dapat diukur.
Suatu konsep yang memiliki definisi operasional sering disebut sebagai
“variabel”. Kenyataannya banyak para peneliti dan ilmuwan yang menggunakan
istilah “konsep” dan “variabel” secara bergantian (dalam arti yang sama).
Gambar 2. Konsep Efek Warna dalam Lingkaran WarnaEfek warna dapat dipetakan melalui lingkaran warna dan nada putih (soft) dan hitam (keras). Peta efek psikologis warna ini sudah diuji dalam berbagai penelitian sehingga dapat diperoleh standar warna untuk efek tertentu yang dibutuhkan, misalnya warna yang romantis, atau warna klassik dan etnik dsb. Sumber. Dictionary of Today’s Design, Yapan, 1994
Namun secara teknis, suatu variabel adalah komponen-komponen
(properties) dari konsep dalam bentuk angka-angka atau variabel-variabel
terukur untuk bisa dinilai. Misalnya kategori unsur visual adalah: titik,
garis, bidang dan volume, bisa diukur. Sedangkan atribut visual: rupa (bentuk),
warna, tekstur, skala, proporsi, sering sulit diukur jika melalui persepsi
saja. Dalam penelitian seni rupa konsep visual dengan atribut visual ini sering
dipertukarkan, karena kurang memahami konsep atribut visual. Disebut konsep atribut
visual (Wallsclaeger, & Busic; 1991); karena dia itu relatif dan
berubah dalam persepsi manusia. Konsep tekstur misalnya, deretan jendela pada
gedung bertingkat yang dilihat dari jauh adalah tekstur dinding gedung, dilihat
dari dekat adalah jendela. Konsepnya berubah karena distansi/jarak.
Menurut McKim, (1980) mempelajari teori persepsi berguna untuk
memahami perubahan konsep seni rupa dan desain dalam konteks persepsi. 5
Psikologi seni dapat menjelaskan respon-respon estetik.
Mempelajari sejarah berguna untuk memahami perubahan konsep seni menurut budaya
dan sosial (Myers, 1965) atau transformasi budaya (Sachari, 1980), atau
perubahan konsep seni menurut gaya seni (Atkins, 1990). Teori semiotika atau
ilmu tanda (Pierce, Saussure) dapat menjelaskan perubahan konsep seni
berdasarkan perbedaan sistem tanda.
Piramid Mesir misalnya, dahulu konsepnya adalah tempat keramat
dan mengadakan upacara ritus kepada raja yang meninggal dengan sistem tanda
tertentu. Di zaman moderen konsepnya adalah untuk tujuan wisata. Dengan
perubahan konsep ini penataan sistem tanda di sekitar Piramid di rancang untuk
tujuan wisata (Lihat tabel 2.3) Perubahan dan penciptaan konsep baru dapat
dilihat sebagai variabel, atau variabel adalah konsep yang mempunyai suatu
ukuran operasional, yang mengandung berbagai nilai (Gistituati, N, 2009).
5. Asumsi dan Generalisasi
Suatu asumsi adalah suatu pernyataan (statement) yang diterima
sebagai benar, tanpa harus ada pembuktian atau self-evident.Misalnya James T.
Saw (2001) mengemukakan tiga asumsi tentang konsep atau definisi seni sebagai
berikut ini.
- Arti seni dalam level tertinggi adalah komunikasi atau mengkomunikasikan sesuatu makna/arti tertentu.
- Seni dalam pengertian umum adalah sesuatu yang estetik (=menarik, indah adalah salah satunya).
- Seni dalam pengertian yang paling asas adalah skill dan atau keterampilan.
- Suatu generalisasi adalah suatu pernyataan (statement) atau proposisi yang mengindikasikan adanya hubungan antara dua atau lebih konsep. Ada bermacam-macam generalisasi, yaitu: asumsi, hipotesis, prinsip, dan hukum. Definisi dari masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut.
- Asumsi adalah generalisasi yang menspesifikasi hubungan diantara dua atau lebih konsep. Misalnya konsep abstrak + konsep puitis = konsep lukisan “abstrak liris”, rumah + tempat istirahat = konsep losmen, hotel dsb.
- Hipotesis adalah generalisasi dengan dukungan empiris terbatas, lihat contoh berikutnya.
- Prinsip adalah generalisasi yang mempunyai dukungan empiris yang substansial. Misalnya prinsip komposisi, irama atau keseimbangan dalam seni.
- Hukum (dalil, aksioma) adalah generalisasi yang mempunyai dukungan empirik yang mengendalikan (lebih dari tinggi dari pada prinsip). Misalnya dalam teori persepsi, sebuah bentuk terjadi karena ada latar (backround) dan cahaya.
6. Fungsi Konsep dan Teori untuk Penjelasan Umum
Teori mempunyai fungsi utama dan fungsi spesifik (Hoy.2001.,
dalam Gistituati, 2009). Fungsi utama teori adalah memberikan penjelasan umum
tentang fenomena-fenomena. Teori organisasi misalnya, dijelaskan Gistuati,
bahwa proposisi-proposisinya, dapat menjelaskan struktur dan dinamika
kehidupan organisasi. Sedangkan fungsi spesifik teori adalah membim-bing
pelaksanaan riset empiris. Umumnya teori dapat memberikan pemahaman-pemahaman
konseptual guna mengembangkan hipotesis-hipotesis. Dengan hipotesis-hipotesis
itu kita bisa mengecek atau membuktikan kebenaran penjelasan teoretis yang
dikemukakan melalui realitas.
7. Teori Sebagai Kerangka Acuan Penelitian
Teori juga menyajikan kerangka acuan (framework) dalam
melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengetahuan. Hal ini sejalan
dengan pendapat Jhonson. Menurut Johnson (1994), teori berfungsi untuk
menentralisir wacana yang timbul dari interpretasi tentang sesuatu ilmu
pengetahuan, hal ini disebut oleh Johnson dengan istilah emansipatori, atau
pembebasan manusia dari kungkungan (ide dasar filsuf Karl Marx, 1867). Sebab
antara keinginan, interpretasi serta tujuan setiap individu dan sosial bisa
bertentangan, ide bisa berlainan, melihat masalah bisa menurut persepsi
antar-individu dan sosial (masyarakat).
Jadi, sebuah penelitian (riset) bertolak dari suatu teori.
Melalui riset, suatu teori bisa diperdalam dengan memperhalusnya, diformulasi
ulang, dan bisa juga digugurkan. Proses reformulasi teori sering membawa
permasalahan-permasalahan baru. Selain dari itu, teori juga bisa membimbing
tindakan, karena teori merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam
memecahkan masalah sehari-hari yang timbul. Konsep-konsep dan teori-teori
memungkinkan kita menghayati kompleksitas dari realitas.
8. Hipothesis
Suatu hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih diragukan
kebenarannya, yang mengindikasikan adanya suatu relasi atau hubungan antara dua
variabel atau lebih. Contoh:
- Makin realistis sebuah lukisan, maka besar resepsi atau penerimaan sosial terhadapnya
- Makin pandai seseorang mengajar maka akan banyak pengetahuan seni rupa yang dapat dipahami murid dibandingkan seorang guru yang luas pengetahuan seni rupanya
Beberapa hal yang harus dipahami dari hipotesis, yaitu berikut
ini.
- Tiap hipotesis menspesifikasi hubungan diantara dua variabel atau lebih
- Tiap hipotesis mendeskripsikan secara jelas dan ringkas hubungan variabel-variabel tersebut;
- Variabel-variabel setiap hipotesis didefiniskan sedemikian rupa, atau dengan kata lain didefinisikan secara operasional sehingga tiap variabel itu dapat diuji atau dites secara empirik.
Dalam Couto (2008,a), dijelaskan bahwa antara seniman (artist)
dan ilmuan (scientist) mencoba memandang dunia untuk memperoleh sesuatu
secara acak dan melalui berbagai pengalamannya. Keduanya mencoba untuk memahami
dan menghargai dunia dan menyampaikan pengalaman mereka kepada orang lain.
Namun demikian, cara mereka menyatakan diri sangat berbeda: ilmuan belajar dan
melihat secara kuantitatif dan menemukan konsep-konsep serta hukum-hukum
kebenaran universal. Sedangkan seniman memilih persepsi-persepsi kualitatif
(qualitative perceptions) dan mengaturnya menjadi ungkapan pribadi serta
pemahaman kultural. Dimana kalau dilihat dalam sebuah kerangka dalil-dalil sains
dapat menjadi invalid, tetapi seni bukanlah murni sains.
Secara umum, semua ilmu bertujuan untuk memahami dunia di mana
kita hidup dan bekerja. Ilmuwan mendeskripsikan apa yang mereka lihat,
menemukan sifat keberaturannya, dan memformulasikannya ke dalam teori (Babbie,
1990).
Menurut Purbadi (2001), dalam dunia “akademik” atau ilmiah, suatu
teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni penjelasan (eksplanatif), ramalan
(prediktif), dan pengendalian dan pengawasan (control). Teori
dengan pengertian semacam itu umumnya berlaku bagi teori – teori dalam ilmu
pengetahuan (scientific theories). Sebagai tujuan utama dari ilmu pengetahuan,
teori membutuhkan berbagai definisi. Secara umum teori adalah batang tubuh dari
generalisasi-generalisasi yang saling berkaitan dan konsisten, yang dapat
memberikan penjelasan.
Feigl (dalam Prasetya, 1999) mengatakan teori adalah
seperangkat asumsi-asumsi yang dari asumsi-asumsi itu dapat dirumuskan
dalil-dalil empirik yang lebih luas melalui prosedur-prosedur “logicomathematical” yang
murni. Sedangkan Kerlinger (1986) mendefinisikan teori sebagai seperangkat
konsep-konsep, definisi-definisi, dan proposisi-proposisi yang saling
berhubungan yang menggambarkan suatu fenomena secara sistematis.
1. Lingkup Teori Seni Rupa
Sejak awal teori seni itu dikembangkan melalui logika berpikir,
teori yang pertama muncul adalah teori keindahan (aesthetica), yang
istilahnya ditemukan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-62), pemikiran ke
arah itu sebenarnya sudah lama. Misalnya, teori pemindahan bentuk (Plato),
teori nilai estetik objek (Immanuel Kant, David Hume, dst), teori kreativitas
artistik (Beardsley, dst) teori karya seni (Annete Barnes, Max Black, dst)
teori pengalaman estetik (John Dewey, George Dicki, dst). Teori Kritik (Stuard
Hampshire, dst) yang fokus masalahnya adalah tentang keindahan.
Plato (400-500 SM) misalnya, dalam dialog-dialognya di dalam
Republic (380 SM) mempertentangkan antara seni (art) dan seniman (artist).
“Bunga yang indah” menurutnya adalah tiruan dari bentuk “universal”(gagasan
manusia di alam Illahi), “fisik bunga” adalah satu langkah pemindahan
dari “realitas bentuk asal Illahi”sedangkan “gambar bunga” adalah langkah
kedua, yaitu pemindahan dari “fisik bunga” ke “gambar”. Artinya seniman
memiliki dua langkah pengetahuan, seni dalam hal ini menurut Plato “sebuah
kegilaan” seniman untuk memindahkan satu realitas ke realitas lain yang asalnya
“realitas Illahi”(sebagian ahli menyebut teori ini sebagai teori
metafisik), bahwa keindahan “ideal” itu ada “di luar fisik”yang terlihat.
Aristotle, mengkritik teori itu dalam tulisannya Poetics
(sekitar 330 SM). Menurutnya, seni itu bukan semata imitasi, tetapi
“representasi (penggambaran). Sebagai contoh, sebuah syair atau drama tentang
kepahlawanan adalah sebuah “representasi artistik” (mimesis) manusia
tentang perang, bukanlah untuk menciptakan atau meniru realitas yang sebenarnya
(peperangan itu). “Artistic” (artistik) artinya sesuatu yang “baik” dalam karya
seni (kata sifat) yang merupakan ciri khas karya seni yang memiliki tiga sifat
(1) selera, (2) skill, dan (3) imajinasi. Apa yang digambarkannya seniman
adalah sebuah gambaran yang justru dapat memberi kesenangan kepada penonton.
Seniman memang peniru, tetapi yang ditiru (mimesis) itu mengandung aspek
“artistik”. Oleh orang Yunani kuno, aspek artistik dipikirkan, dicari, dan
dirumuskan. Hal yang populer adalah proporsi untuk patung dan arsitektur yang
dirumuskan dalam istilah “golden section” (perbandingan
keemasan). Banyak nama ahli seni yang membahas keindahan dan seni yang terpaut
dengan teori, di antaranya adalah, Immanuel Kant, Leo Tolstoy dan
sebagainya yang mengemukakan teori-teorinya tentang seni.
Teori-teori klassik umumnya membahas seni dari tiga sisi
yaitu 1) seniman (artist), 2) karya seni (work of art) dan
3) pengamat (user dan audience). Ketiga unsur ini
dipengaruhi oleh aspek kultur dan sejarah sosial (Sumardjo, Yakob, 1996).
Salah satu hal yang penting dibicarakan ialah bagaimana manusia mempersepsi dan
atau memahami keindahan seni.
Walaupun yang dipersoalkan adalah masalah yang sama, cara
melihatnya masalah ini pada teori seni modern sudah sangat berlainan. Atmazaki
(2007), menjelaskan teori sastra modern yang mungkin mirip dengan teori
seni rupa dalam hal mengungkap makna seni. Menurut Atmazaki di
samping ketiga unsur di atas, ada unsur utama yang mengikatnya yaitu
“Universum” atau “kosmologi”.
Demikian juga pendapat Sumardjo (1996).
Kosmos berasal dari bahasa Yunani “kosmos” = order yang memerintah yang mengatur,
maksudnya adalah “alam pikiran manusia, “universum” (the universe thought of
as an ordered and integrated whole ). Jadi, baik seniman, karya seni maupun
pengamat seni sebenarnya dipengaruhi oleh alam pikiran manusia, sosialnya dan
kebudayaannya (termasuk pendidikannya).
Dari sisi seniman, seni adalah medium untuk menyampaikan ungkapan
(ekspresi). Teori ini dikemukakan oleh Leo Nikolayevich Tolstoy (Gie, The
Liang, 1975). Susanne K. Langer (1895-1985) mengemukakan teori simbol yang
diekspresikan melalui seni dalam bukunya Philosophy in a New Key:
A Study of the Symbolism of Reason, Rite and Art (1942).
Dari sisi karya seni, Herbert Read (Sir Herbert Edward Read)
(1893-1968) mengemukakan ekspresi itu adalah menciptakan bentuk-bentuk yang
menyenangkan. Dia banyak menulis buku antara lain Form in Modern Poetry (1932), The
Philosophy of Modern Art (1952) dan In Education Through
Art (1943), Karl Marx (dalam
Walker, 1989) melihat karya kreatif manusia itu sebagai komoditi, atau
artefak konsumsi yang dipuja-puja (fetish) oleh komunitas tertentu dan
mungkin tidak dikenal atau ditolak oleh komunitas lain.
Dari sisi ilmu lain, filsuf, psikolog dan pendidik Amerika John
Dewey (1859-1952), menulis buku Democracy and Education (1916), Art
as Experience (1934), Logic: The Theory of Inquiry (1938),
menjelaskan pentingnya seni dalam dunia pendidikan sebagai sarana untuk
pengembangan kreativitas dan kebebasan berekspresi. Victor Lowenfeld
misalnya pada tahun (1947) menulis buku Creative And Mental Growth.
Penelitiannya mengungkapkan, adanya anak “tipe visual” (logis) dan anak
tipe emosional (ekspresif) dan atau campuran, berikut tahapan kreativitas
anak mulai dari tahap corengan (2-4 tahun), pra skema (4-6 tahun), masa skema
6-9 tahun), realis-awal (9-11 tahun), masa realisme-semu/“the
pseudorealistic stage” (11-13 tahun). Coba
kita lihat sebuah pandangan tentang pendidikan seni masa kini yang teorinya
masih berdasarkan teori klassik di Indonesia (Suryahadi, 2008:4) sebagai
berikut.
“Dalam belajar seni rupa, ada beberapa hal pokok yang harus
dikuasai dan dimiliki, yakni pertama, kepekaan estetik atau keindahan,
keterampilan teknik dan imajinasi kreatif. Kepekaan estetik atau rasa keindahan
harus dimiliki oleh setiap orang yang memilih profesi bidang kesenian karena
inti dari seni adalah keindahan.”
Robinson (2002) berpendapat lain, bahwa seni itu bukan lagi
soal perasaan, atau imajinasi kreatif semata, sebab imanjinasi kreatif itu
bukan monopoli bidang seni rupa, bisa juga melalui kegiatan matematika, fisika
dan pelajaran lainnya, pandangan seperti itu katanya adalah pandangan klise dan
bisa menyesatkan, seperti yang ditulisnya berikut ini.
“Salah satu dari permasalahan dalam sistem bidang pendidikan seni adalah bahwa pendidikan itu sudah sampai kepada sebuah pandangan klise. Seniman dianggap bertujuan untuk menjadi (manusia) kreatif dan hanya memperhatikan masalah perasaan (felling) dan nilai-nilai; sebaliknya ilmuwan dianggap orang yang objektif dan memfokuskan diri pada fakta-fakta. Ini adalah sebuah karikatur yang mengerikan. Salah satu dari langkah kita yang mungkin dilakukan untuk masa depan adalah untuk menyatukan kembali antara seni dan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelaksanaan pendidikan dan diperlukan dukungan untuk memperkaya pengembangan bidang pendidikan ini. Anehnya, di luar sistem persekolahan atau pendidikan itu, hubungan antara seni, ilmu dan teknologi sangat luas dan berlimpah-limpah. Semakin kita dapat melihat diri kita dalam bidang seni, sebagai bagian dari suatu pergerakan intelektual yang lebih luas, semakin ada kesempatan kita untuk membuat perubahan di dalam pendidikan seni.”
Teori-teori lain yang berdasarkan ilmu sejarah sosial dan
kultur, juga dapat memberikan pandangannya lain tentang seni. Claire Holt (1967)
mengemukakan teori perkembangan seni di Asia yang berangkat dari teori
perubahan budaya (continue and change), pendapat ini disokong
oleh Jhon Clark (1998) yang membahas seni di Asia dan Roxanna Waterson
(1990) yang membahas seni bangunan di Asia Tenggara dan ada pula
yang membahas seni segi transformasi budaya (Habermas,
Scahari, dsb). Banyak penulis buku
lainnya yang tidak dapat dikemukakan satu persatu dalam buku ini.
2. Seni,
Berkarya Seni, dan Penelitian
Menurut Buchori (1992) dan Bourdieu dalam Grenfell, Michael &
David, James (1998) dan juga Jhonson (1994) banyak teori-teori itu gunanya untuk menjelaskan apa itu seni (theory
about art) dan bagaimana seni itu dalam kehidupan manusia, tetapi
bukan teori-teori yang dipakai untuk tindakan seni (Bourdieu); praktik seni (Jhonson); atau mencari seni (Buchori).
Menurut Buchori, permasalahan ini disebabkan adanya pandangan bahwa ilmu
seni hanyalah ilmu empiris (somebody
guided by experience not theory). “Empirical science” dasarnya “deduksi” hanya
untuk mencari kesimpulan,
bukan untuk sebuah tindakan. Penggunaan metodologi ilmu-ilmu sosial
untuk meneliti fenomena seni hanya bertujuan agar orang mengerti (verstehen) seni, tetapi
tidak berkaitan dengan mencari
seni (hunting for art) atau the process of inducing a state, feeling, or idea.
Seorang psikolog atau seorang guru dalam meneliti tingkat
kreativitas anak, sama halnya dengan penelitian sejarah seni, sosiologi seni,
atropologi, pendidikan seni semuanya itu melihat dari disiplin ilmunya
masing-masing, sehingga yang diperoleh hanya pengetahuan/ilmu sejarah seni
rupa, pendidikan seni rupa, antropologi, dst. Bukan seni sebagai produk pengetahuan (Buchori,
1992:2).
Seni bukanlah cabang ilmu sosial, seni memang berkaitan dengan
psikologi, perilaku manusia dan komunikasi (sosiologi), seni memang berkaitan
dengan berbagai ranah kompetensi manusia (teori Benjamin S.Bloom), tetapi ilmu
seni adalah untuk mengetahui yang
dilaksanakan melalui berkarya seni. Timbul pertanyaan, mengapa
berkarya itu tidak dapat diterima sebagai salah satu bentuk penelitian seni?
Buchori (1992:3) akhirnya menyimpulkan bahwa berkarya itu juga sebuah bentuk penelitian. (Lihat
uraian selanjutnya mengenai Sullivan). Dia menyimpulkan sebagai berikut.
- Jika penelitian di bidang sains menghasilkan informasi pengetahuan baru, maka semua kegiatan inovasi kreatif yang berakhir dengan produk (lukisan, patung, karya desain, arsitektur, produk asesoris interior dsb., juga berusaha untuk menghasilkan informasi baru.
- Apabila validitas penelitian diukur dari keobjektivitasannya, maka setiap seniman/desainer sebenarnya berusaha untuk menciptakan karya menjadi “objektif”. Namun, perbedaan “objektivitas” sains (alami) itu terbebas dari nilai-nilai, makna-makna, dalam seni justru sebaliknya.
- Tingkat keobjektifan pengetahuan seni berbeda dengan sains. Hal ini disebabkan karena tawaran terhadap nilai-nya itu sendiri yang bersifat kontekstual terhadap pranata sosial, sekalipun semua pekerja seni menginginkan karyanya diakui secara universal (yang oleh Robinson 2002, dianggap sebuah pandangan klise).
- Metodologi seniman/desainer dalam berkarya berbeda tujuannya dengan metodologi penelitian sains, jika tujuan sains berusaha untuk menjelaskan apa yang ada (natural), maka seni/desain berusaha untuk mencari hal-hal yang baru yang di naturalisikan, dari “tidak ada”, menjadi “ada” (lihat metode seni/desain).
- Penelitian seni adalah dalam rangka mencari dan menawarkan “pengalaman estetik”, pengalaman estetik itu digali dari subjek penggarap, maka apabila dilihat dari perspektif metode sains, selamanya akan spekulatif dan ambigu. Pengetahuan seni itu bukan berupa lukisan, tari atau komposisi musik, sebab hal itu hanya cara mengutarakan/mengekspresikan seni saja dan dari “pengalaman estetik “ yang diperoleh dari padanya.
- Salah satu ilmu seni adalah ilmu pengetahuan tentang “pengalaman estetik” atau respon estetik Pengetahuan mengenai respon kritik (pemahaman).
- Pengetahuan mengenai hubungan seni dengan produksi dan konsumsi seni umumnya mirip dengan pengetahuan hubungan produksi sains dan teknologi yang juga terkait dengan masalah ekonomi, sosial dan budaya
Antara Teori dan Terapan (Aplikasi)
1.
Fungsi Konsep dan Teori
Hubungan antara
teori dengan terapan seni sangat erat, tetapi seniman tidak semua seniman berkarya berdasarkan konsep, gagasan atau teori. Selebihnya dapat berkarya secara akan spontan. Namun kita perlu juga memahami teori dalam seni secara keseluruhan. Alasannya seni sangat kaya dengan konsep-konsep
Umumnya seniman tidak akan mengatakan bahwa dia menerapkan sebuah teori tertentu. Sebab,
hal itu hanya ada (implisit) dalam
praktik. Dalam berkarya, paling tidak seorang seniman akan berpikir bahwa dia
memiliki ide tertentu, membayangkan bagaimana karya itu nantinya. Kita mungkin
berkata seniman itu memiliki sebuah konsep atau teori dalam berkarya. Menurut
Hoy & Miskel (2008), ada tiga cara di mana teori bisa dikaitkan dengan
praktik, yaitu:
- sebuah konsep memberikan kerangka acuan (framework) bagi para praktisi;
- proses teorisasi memberikan suatu model umum mengenai analisis kejadian-kejadian yang praktis; dan
- teori berfungsi dalam memberikan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam mengambil keputusan-keputusan yang rasional dan praktikal.
Gambar 3 Teknologi dan seni (arts) itu memiliki kemiripan karena sama-sama dimulai dari konsep/ teori melalui proses atau metode produksinya diakhiri dengan artefak/benda10 (takakir@kobe-du.ac.jp)
Menurut Ryuji
Takaki (2007), ilmu pengetahuan adalah suatu aktivitas untuk membangun konsep
dan hukum alam dari dan gejala riil yang
disebut konsep teknologi, melalui proses lahirlah artefak utilitas. Hal ini
mirip dengan seni modern, di mana seni dimulai dari konsep seni dan melalui
teknik atau aktivitas akhirnya melahirkan artefak seni.
Dia menyimpulkan
bahwa teknologi itu mirip dengan seni karena mempunyai orientasi yang sama
dengan seni. Misalnya, dari konsep ke produksi benda nyata (mesin, material,
alat dan seterusnya). Sama halnya dengan seni, produk teknologi seperti sebuah
mesin, dimulai dari sebuah konsep, dikerjakan melalui sebuah proses atau metode, terakhir melahirkan benda atau alat
mesin. Saw (2001), melihat terapan konsep dengan cara lain seperti pada tabel [1]
Tabel 1.1 Penerapan konsep oleh Saw (2001)
1
|
Concept
(konsep)
|
the idea
(ide, gagasan)
|
what you want to do
( apa yang akan anda buat/kerjakan)
|
2
|
Form
(bentuk/karya)
|
the process
(proses berkarya)
|
the process and the product
(bagaimana prosesnya sehingga menghasilkan sebuah produk)
|
3
|
Content
(isi)
|
the meaning
(makna seni)
|
does the form satisfy the concept?
(apakah karya yang dihasilkan itu sesuai dengan konsep)
|
Sumber: James T. Saw (2001)
Keterangan bagan:
- Konsep adalah idea-idea yang ingin dikembangkan oleh perupa kepada karya seni
- Form adalah hasil proses atau metode dalam berkarya, sedangkan content (isi) bertalian dengan maknanya
- Makna seni yaitu sejauh mana karya seni (form) dapat memperlihatkan hubungannya dengan konsep-konsep/gagasan perupa awalnya.
Metodologi
(Proses Menggali Konsep)
Istilah methodos,
(abad ke 15, bhs. Latin yang dipakai Yunani) berarti pencarian, pengejaran atau
“jalan”. Kata ini berasal dari meta = sesudah+ hodos = perjalanan. Sebuah
pertanyaan adalah, bagaimanakah caranya kita menggali konsep atau keluarnya
sebuah “ide” yang baik dari sebuah karya seni rupa dan atau bagaimana pikiran-pikiran
seni modern itu muncul.
Salah satu dari
pemikir tentang pencarian konsep adalah
Cristhoper Jones (1979). Dia menjelaskan beberapa metode konsep penciptaan
dalam beberapa kategori seperti metode craft, black box, glass box dan metode
gambar. Di bidang seni rupa metode ini
dapat disebut proses menggali konsep atau gagasan[2]
1. Metode Kerajinan (Craft Method)
Ide-ide craft umumnya bersifat teknis, dimana seniman melakukannya melalui percobaan, sekali di coba, kemudian hasilnya, diperbaiki demikianlah seterusnya sampai menghasilkan karya yang bermutu. Metoda ini dapat disebut “trial and error”. Hal ini berlaku dalam bidang seni maupun desain. Sekali masalah teknis sudah dikuasai maka selanjutnya memikirkan gagasan-gagasan berseni.
Dalam hal ini Jones (1972),mencontohkan pembuatan karya kerajinan (craft), menurutnya karya kerajinan adalah warisan lama yang
pembuatannya secara manual dan bukan produk pemikiran ilmiah seperti pembuatan
barang di zaman modern. Metode pembuatan “craft” ini disebutnya sebagai metode “craft” adalah sebuah produk yang
dihasilkan melalui perubahan terus-menerus sampai terbentuknya sebuah karya
yang bermutu dan dikenali sekarang. Misalnya sebuah pedati, keranjang, sebuah keris atau
sebuah ukiran tidak terjadi begitu saja, tetapi adalah hasil sebuah evolusi.
Menurutnya, bentuk keranjang yang kita kenal sekarang adalah hasil dari sebuah
evolusi bentuk berabad lamanya, yaitu hasil coba-coba suatu penyaluran
informasi yang tidak mencolok selama berabad-abad lamanya.
Sebab informasi
tertulis tentang konsep keranjang itu
tidak ada, kepandaian ini hanya diturunkan dari mulut ke mulut (lisan),
yaitu suatu metode penciptaan bentuk
sebuah produk diubah oleh kegagalan dan keberhasilan yang tidak
terhingga banyaknya, dalam suatu proses coba-coba se1ama ber-abad-abad.
Pencarian berkelanjutan yang lambat dan mahal ini ditujukan kepada pencarian konsep desain yang baik, akhirnya menghasilkan
produk yang seimbang dan cocok bagi keperluan-keperluan pemakai masa
sekarang. Metode ini umumnya dipakai
oleh pengkriya. Melalui metode ini dapat
dipahami produk “craft” tidak pernah sama
dan atau tidak ada yang sama, kecuali karya “craft” yang dibantu oleh
mesin
2. Metode Black Box (Metode Inspirasi)
Metode seniman
adalah metode inspirasi, bidang desain juga dapat mencipta berdasarkan inspirasi. Metode
seperti ini mirip dengan cara kerja seorang pelukis yang disebut oleh Jones
(1979) sebagai metode blac box (kotak gelap/hitam) dalam memunculkan konsep, di
mana asal-usul konsep sebuah karya adalah hasil renungan atau inspirasi.
Misalnya, datangnya suatu ilham secara tiba-tiba tanpa asal-usul yang jelas.
Metode ini sering digunakan oleh seniman-seniman besar yang sudah terampil atau
memiliki skill yang tinggi. Dalam uraiannya, Jones mengkritik metode seniman
ini sebagai metode tukang sulap. Namun, menurut pandangan lain, menjelaskan bahwa metode ini lahir dalam
rangka berpikir visual (McKim,1980). Di mana manusia mensinergikan kemampuan
belahan otak kanan dengan otak kiri. Inspirasi adalah produknya dan metode
ini adalah keunggulan yang umumnya juga dimiliki para saintis, bukan
monopoli seniman dan desainer.
3. Medoda
Glass Box ( Metode Analisis-Sintess)
Jika dalam kotak
hitam kita tidak mengetahui apa yang di dalam kotak itu, maka pada kotak kaca
kita mengetahui apa yang masuk dan ke
luar dari kotak itu karena transparan
dan dilapisi oleh kaca. Analogi ini adalah nama yang diberikan oleh Jones dalam
berkarya melalui analisis dan sintesis atau disebut dengan metode glass box.
Metode seperti ini mirip dengan cara kerja komputer, di mana dalam menciptakan
sesuatu dibutuhkan data-data (input), data kemudian diolah atau diprogramkan (process),
hasil pengolahan data ini kemudian menghasilkan gagasan baru (output) di mana diperoleh
konsep-konsep atau teori untuk diterapkan pada karya. Dalam praktiknya seorang
seniman membuat riset atau penelitian tentang apa yang akan dibuatnya, termasuk
studi lapangan, studi teks, sejarah dan teori-teori tertentu sebelum timbulnya
gagasan baru.
4. Metode Gambar, Sketsa Konsep
Menurut Jones,
sebuah konsep bisa lahir melalui gambar (grafis), yaitu sketsa dan gambar. metode
ini disebut metode gambar grafis, yaitu di mana seorang mencoba menggali ide melalui beberapa sketsa,
kemudian memilih ide sketsa yang paling baik. McKim (1980: 144) menyebut cara
ini sebagai “berpikir visual” (visual thinking) yang melibatkan tiga komponen
yaitu (1) berpikir, (2) menyimbol dan (3) merujuk (to reference). Konsep grafis adalah hasil persinggungan
antara “visual thinking” (berpikir
visual) dengan bahasa gambar (graphic language).
Dalam
praktiknya metode gambar ini dilaksanakan dalam bentuk
sketsa, misalnya seorang pelukis atau
desainer pakaian mencoba untuk membuat beberapa sketsa sebelum memilih ide
baru. Pada dasarnya semua metode itu dapat dipakai dalam berkarya seni. Namun,
dalam pendidikan seni, penggalian
ide/konsep melalui sketsa sangat
penting. Pengertian sketsa disini bukanlah menggambar sketsa atau menggambar
ekspresif, di mana anak didik hanya meniru bentuk (tidak kreatif), pekerjaan
meniru bentuk sudah dapat digantikan melalui pemotretan kamera digital,
hasilnya dimasukkan ke dalam komputer kemudian diolah sesuai dengan ekspresi
yang diinginkan. metode yang dimaksud adalah sketsa sebagai
konsep-konsep penciptaan karya baru yang
kreatif yang melibatkan
komponen-komponen proses: (1)
melihat, (2) berpikir, (3) menyimbol dan merujuk, serta (4) menggerakkan tangan
secara komprehensif.
Gambar 4 Skemata berpikir visual dan konsep menggambar menurut McKim (1980)
5. Metoda Kolaborasi.
Metoda ini umumnya ditemukan pada seni sosial, dimana masyarakat dan aspek kebudayaannya ikut menentukan hasil karya seni. Ada banyak bentuk kolaborasi, misalnya antara (1) seniman dengan pekerja. Karya-karya seni yang berskala besar umumnya dikerjakan oleh tukang, (2) antara seniman, desainer (perancang, (3) kolaborasi dalam kelompok seniman dan bentuk-bentuk lainnya dalam cara berkolaborasi.
6. Berkarya melalui Riset (Penelitian)
Perkembangan
terakhir di bidang seni rupa dan desain memperlihatkan bahwa praktik seni dan
desain diakui sebagai praktik riset (lih.Laurel, Brenda. 2003. Design
Research: Methods and Perspectives, MIT Press: Cambridge dan lihat uraian
mengenai Sullivan).
Ada yang berpendapat bahwa berkarya seni adalah untuk membuat sesuatu yang baru dan bukan pengulangan dari karya yang lama. Oleh karena itu berkarya seni adalah sebuah praktik seni yang mengacu kepada dua pokok pikiran .
- Pertama mengacu pada konsep yang berkenaan dengan inovasi (inovation) dan tampil beda (differentation).
- Keberhasilan persepsi visual (deals with visual perception).
Masalahnya adalah
bagaimana aspek psikologi pengamat memerhatikan, (1) nilai persepsi visual
sebuah karya, (2) adanya aspek differentation
pada karya baru yang dilihatnya. [3]
Keberhasilan
visual dari seni akademik sering diukur sebatas prinsip dan konsep visual (concept
aspect) atau konsep-konsep visual yang melatarbelakangi karya itu, sedangkan
pengatur dan penentu karya itu (prescriptive aspect) sering diabaikan, yaitu
konsep-konsep fungsi teknologi, material, sosial, ekonomi dan budaya yang erat
hubungannya dengan resepsi atau apresiasi pengamat [4]
6. Praktik
Seni Berbasis Riset dan Riset Praktik
Seni di Perguruan Tinggi
Dalam dunia
akademik, praktik seni berbasis riset dan riset praktik seni dipelopori oleh Universitas Wollongong
dan UTS di Sydney Australia yang dimulai pada tahun 1984. [5]
Praktik seni
tidak lagi berbasis kepada konsep-konsep studio tradisional yang selama ini
yang dipakai, tetapi kepada dua corak
riset praktik seni, pertama disebut
dengan studio berbasis riset (Studio based-research) dan riset praktik studio (studio practice-led).
Studio based-reserch memfokuskan diri dengan mengadakan riset sebelum berkarya dan memperlihatkan pengetahuan baru yang diperoleh baik melalui karya desain, musik, performance, media digital, maupun pameran.
Studio based-reserch memfokuskan diri dengan mengadakan riset sebelum berkarya dan memperlihatkan pengetahuan baru yang diperoleh baik melalui karya desain, musik, performance, media digital, maupun pameran.
Yang kedua (studio
practice-led) memfokuskan studi teks yang mendalam tentang praktik seni itu
sendiri tanpa dibebani membuat karya. Pengalaman dan contoh praktik studio seni
berbasis riset (Studio based-research) tergambar dalam proyek seni Annette Iggulden
dari Universitas Deakin Australia. Dalam melaksanakannya, dia harus membedakan
antara disposisi subjektif dan motivasi pribadi sebagai sumber inovasi dan
pengetahuan, dalam proyek yang berjudul: (In The Space of Words and Images
(2003). Dia meneliti produksi beberapa lukisan yang dipengaruhi oleh
penyelidikannya atas naskah iluminasi (naskah buku kuno) dan embellishment
(hiasan) biarawati, dari kelompok biara di
Eropa abad Pertengahan.
Karya: Annette Iggulden, House
And Home Iv 2014 , acrilic and ink on canvas
Proyek ini
dikembangkan sebagai tanggapan pribadi seniman, di mana dia merasa dan menempatkan diri sebagai seorang wanita di dalam masyarakat
dan dalam pengalamannya sendiri
yang merasa sunyi di masa
kanak-kanaknya. Adanya motivasi subjektif
dan perhatian pribadi atas riset
ini, diakui sendiri oleh seniman.
About Annette
Iggulden
Annette Iggulden has exhibited extensively in galleries throughout Australia. Her work is represented in major Australian collections and at the Victoria & Albert Museum in the U. K. Her doctoral exegesis, Women’s Silence: In the Space of Words and Images (2002), is held in the Research Libraries of The TATE (UK), the National Gallery of Australia and other major state libraries. She has been awarded several artist residencies in Australia and overseas. Annette is represented by Watters Gallery.
Dia menjelaskan bahwa mustahil untuk memisahkan penulisan dan penelitian dari keadaan hidupnya, tanggapan, serta emosi pribadinya terhadap pengalaman sehari-hari (Iggulden, 2002). Melalui proyek ini dia berangkat untuk memahami rasionalitas sasaran itu sebagai respon sekunder intuitif dan akhirnya dilepaskannya kepada material dan kebutuhan sementara, yaitu bagaimana membuat karya dan menemukan makna pernyataan psikologis yang tidak dapat dilukiskannya dengan kata-kata. Menurutnya, praktik berbasis riset ini memberi peluang untuk memunculkan aspek subjektif dan di respon oleh pengamatnya sebagaimana merespon praktik seni non-riset.
Pada awalnya
Iggulden, terlibat dengan suatu penelitan
tentang pekerjaan biarawati yang
asing dan termasuk
mengcopi dan membaca teks mengenai hal tersebut sebagai suatu alat
estetik pada lukisannya, kemudian baru dia melukis.
Studinya yang
lain adalah tentang tulisan Mesir kuno’ atau sebuah studi kode semiotik visual,
kemudian dalam praktiknya dikembangkannya melalui penggunaan format warna
abstrak dan bentuk ruang atau yang termuat pada huruf skrip itu. Ini adalah
‘bentuk’ dan lain dari sebuah tanda/simbol
sering muncul di garis tepi naskah kuno yang kemudian dipakai sebagai
gagasan untuk sebuah lukisan dan, sebelumnya hanya dipikirkan melulu untuk
hiasan.
Riset Iggulden
dan terutama praktiknya, sebetulnya
lebih merupakan gabungan kegiatan intelektual dan estetik dan dengan
muatan naskah biarawati zaman pertengahan. Dia tidak hanya melakukan penelitian
untuk mengungkapkan aspek isi naskah sendiri, tetapi juga membuka mata tentang aspek baru tentang
kehidupan dan aktivitas biarawati abad Pertengahan yang berhubungan komunitas
biara, dalam hal ini juga dikaji aspek intelektual komunitas biara, keindahan
dan mungkin juga termasuk kegiatan
‘motivasi politiknya’. Informasi ini sampai sekarang tidak terdokumentasikan dan yang tidak
dikenal oleh sejarawan sebelumnya.
Karya Iggulden
telah membuka suatu arah baru bagi Sejarah Seni abad Pertengahan dan riset
lainnya yang berhubungan dengan naskah abad pertengahan ini. Dalam praktik, dia
mengembangkan pengamatannya dan mengarahkannya ke arah suatu keseragaman
pikiran dan tindakan (Iggulden, 2004).
Menurutnya,
proses kerja seniman adalah ‘interdisiplin’, baik metodologinya maupun dalam kebermaknaan hasilnya. Konteks
praktik mencakup penyelidikan pekerjaan
visual yang dikawal baik oleh teks
seniman pertengahan maupun yang baru. Kerangka konseptual dan teoretis
bagi risetnya, ditarik dari bidang
filosofi, sejarah, sosiologi dan studi feminis. Hasil riset nya tidak biasa, hasil proyeknya juga
tidak terbatas dan terhitung nilainya. Risetnya telah menambah dan mendukung
terhadap pemahaman orang tentang pengetahuan historis naskah Pertengahan tertentu. Dalam praktik
seni, seniman menyajikan suatu bahasa pribadi atau bentuk
visual/verbal untuk berekploirasi dan
berekspresi tentang identitas gendernya
sendiri. Menurut cerita, pameran karya akhirnya dengan kanvas, telah masuk ke
Musium Seni Stables di Melbourne tahun 2002 dan banyak dari karyanya terjual kepada
publik dan koleksi pribadi di Australia saat itu. Salah seorang pemikir studio
berbasis riset di australia adalah G. Sullivan (2005) dengan bukunya Art Practice as Research: Inquiry in the
Visual Arts dan buku ini menjadi buku teks untuk riset dan praktik seni Perguruan Tinggi seni. [6]
7. Teori Riset Seni Sullivan
Sullivan, Graeme (2005),
mengemukakan pandangannya tentang riset
dalam bidang seni visual. Salah satu argumennya bahwa sebuah praktik seni adalah
hasil inquiry (
penyelidikan/riset). Dia menjelaskan bagaimana inquairy itu dilakukan
dan apa saja aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Crandall, Heather (2008),
dalam sebuah tajuknya mencoba menjelaskan pokok pikiran ini.[7]
Menurut Crandall,
Sullivan dengan jelas menerangkan kaitan
sejarah (historis), isu zaman ini dan arah yang ingin dicapai oleh seni
visual dalam pendidikan tinggi. Ia mencoba meliput kembali penelitian dalam
sains dan dalam teori apa saja riset seni visual itu dijalankan. Sullivan
menetapkan bahwa praktik seni yang
menyeluruh adalah sejumlah bentuk riset khusus, ketimbang riset yang pernah
kita kenali. Menurut Crandal, praktik
seni sebagai riset berpotensi untuk mengubah pandangan kita tentang langkah tradisi
ilmu pengetahuan. Sullivan menciptakan lebih dari tiga kerangka berpikir.
Gambar 5. Sullivan menciptakan sebuah kerangka bagi mereka yang ingin mendesain proyek riset seni meliputi yang Ide dan agennya, Bentuk dan Struktur dan Situasi dan Tindakan.
Pada
akhir rangkaian kerangka inilah terbentuk komunitas, sistem dan kultur.
Semua situasi yang terkait ke seniman disebut sebagai sebuah teori. Semua
kerangka ini terminalnya adalah: (1) ide-ide dan agennya, (2) bentuk dan
struktur, (3) situasi dan aksi dipakai
untuk menggambarkan total struktur ini. (Sumber, Sullivan, hal,190 dan Crandall, 2008)
Pertama terkait dengan pengetahuan seni visual yang terdiri dari
pengertian visual dari pengetahuan teori dan atau yang terkait dengan domain
ini. Kognisi visual untuk pengertian konsep melibatkan :
1) berpikir
terhadap sebuah medium (thinking in a medium),
2) berpikir
melalui bahasa (thinking in a language) dan
3) berpikir
melalui sebuah setting (thinking in a
setting).
.
Sullivan
menciptakan kerangka lain bagi mereka yang ingin mendesain proyek riset seni
meliputi yang gagasan dan agen, format dan struktur dan situasi dan tindakan.
Pada akhir rangkaian kerangka inilah terbentuk
komunitas, sistem dan kultur. Semua situasi yang terkait ke seniman disebut
sebagai sebuah teori. Semua kerangka ini terminalnya adalah (1) ide-ide dan
agennya, (2) bentuk dan struktur, (3)
situasi dan aksi dipakai untuk menggambarkan total struktur ini ( lihat
gambar ,5).
Dapat disimpulkan
bahwa apa yang disebut teori atau konsep
menurut pengertian yang lama
seperti gaya-gaya seni, konsep-konsep genre seni bagi Sullivan hanya dianggap sebagai ide
dan agen ide yang berasal dari sejarah/historis atau yang disebutnya
sebagai diskursus dan teks naratif. Dari pemikiran Sullivan ini dapat dipahami
semua hal yang terkait dengan penciptaan seni seperti metodologi, desain, setting, performance dari karya seni dapat menjadi sumber teori.
Hal terpenting
dari pokok pikiran Sullivan adalah bahwa
praktik seni (visual practice
experience) dilandasi oleh agen-agen ide,
bentuk dan struktur (lihat gambar 1.6)
yang kemudian bermuara ke sebuah situasi/aksi. Yang dimaksud dengan ide atau agen-agen
ide adalah diskursus (diskusi, ceramah, seminar ), Interpretasi, dialog,
integrasi, narrasi teks (sejarah, teori, kritik, dsb. ) dan, pengamatan.
Bentuk dan
struktur adalah pengalaman empiris pada karya, inquairy, penelitian, test
(pengujian terhadap karya seni), review/report,
metode berkarya, desain/rancangan, simulasi dan karya seni (art work).
8. Teori Tindakan
Michael Fullan
(2001), sebagai penulis prolifik (serba bisa), banyak mengubah
pandangan orang tentang gerak dan tindakan individual maupun sosial (organisasi). Salah
satu premisnya adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah tindakan searah kepada individu, tetapi tindakan
bersama dalam membentuk makna bersama (Hammond, 2002).
Fullan yang
asalnya dari jurnalistik, kemudian
banyak mempengaruhi dunia manajemen dan juga dunia pendidikan. Teori
Fullan mempengaruhi perubahan pandangan
dalam manajemen dan organisasi maupun riset
tentang itu. Sesuai dengan teori Fullan yang jadi pertanyaan apakah
dalam seni itu semata tindakan kreatif individual dan subjektif ? Pada
bagian (2. d) di atas telah dijelaskan
bahwa seni adalah juga gejala tindakan sosial dan budaya dalam rangka “makna seni bersama”, kehadiran karya seni tidaklah semata akibat
tindakan pribadi. Jadi, secara komprehensif, lahirnya karya seni adalah akibat
berikut ini.
1.Tindakan pribadi,
berdasarkan inspirasi individu (keperluan pribadi), berkreasi berdasarkan
dorongan jiwa, inspirasi dan tindakan individu
2.Tindakan kelompok, komunitas, organisasi atau institusi.
Karya seni hadir karena adanya kebutuhan kelompok terhadap seni tertentu.
Misalnya, candi Borobudur di Jawa tengah, atau patung liberty di New York,
dibuat karena permintaan institusi yang berkuasa untuk membangunnya. Dalam
masyarakat ada lapisan-lapisan sosial, ada pembagian kerja yang dilegitimasi untuk
pekerjaan tertentu, maka muncul sebutan-sebutan profesi seperti artist,
seniman, pelukis, pematung, arsitek, desainer, dsb. Di India misalnya ada kedudukan khusus
perancang yang diberi nama), (a) Sthapati (master builder), (b) Sutra-Grahin
(Juru gambar), (c) Vardhaki (perancang), Takshaka (tukang). Di Indonesia muncul
sebutan Undagi (di Bali), Pandyta Bala (di Makassar), Tukang Tuo, atau
“tukang ukia” (di Minangkabau).
3. Tindakan
masyarakat, mirip dengan tindakan organisasi atau institusi, tetapi tidak
berdasarkan profesi, yaitu berkarya
berdasarkan tradisi atau kebiasaan atau “imaji-imaji” seni yang terbentuk dalam masyarakat. Seni
dibuat dari dan untuk kebutuhan
masyarakat. Seni yang berangkat dari rakyat biasanya disebut dengan seni rakyat
(folk art). Sesuai dengan teori sosial, maka seni ini sifatnya konservatif
dengan cara mempertahankan apa yang ada. Misalnya produksi “craft” adalah
bagian dari tradisi yang dipertahankan secara sosial, kecuali “craft” baru
yang pembuatannya berdasarkan konsep seni modern, tentu saja
tujuannya sudah sangat berbeda dengan “craft” tradisi.
[1] Saw, James T. 2001. “ 2 D design
Notes, art 204: Design and Composition”, http//daphne.palomar.edu/design.
default. htm
[2] Catatan : seperti yang diuraikan sebelumnya dalam seni modern,
seniman tidak lagi untuk menangkap alam atau natural, tetapi menangkap
pikiran-pikiran (ide-ide) yang
direncanakan terlebih dahulu (lih. Feldman, 1967; Jirousek, 2002). Oleh
karena itu, mereka mulai mengenal seni
yang dirancang dan atau yang mengalami sebuah proses sampai munculnya
konsep-konsep seni, serta alasan
logis kenapa dan untuk apa karya seni
itu diciptakan.
[6] 11 Lihat Linda Candy, Creativity &
Cognition Studios. http://www. creativityandcognition.com.
[7] 12 Crandall, Heather. 2008. Communication
Research Trends http://www.articlearchieves.com. Menurutnya, buku
ini berguna untuk mahasiswa tingkat undergraduate (S1 di Indonesia) dan sangat
ideal untuk jurusan Komunikasi Visual.