Selasa, 21 Desember 2010

Konsep, Konsepsi dalam Teori Seni Rupa, art Concept, Theory of Art

Nasbahry Couto

Teori
Apakah teori itu? Pernahkah kita berpikir perbedaan Teori tentang Seni Rupa dan Teori di dalam Seni Rupa ? Apakah gunanya masing-masing teori ini? Pertanyaan ini mungkin muncul jika orang mempelajari bidang seni rupa. Keraguan (skeptis) terhadap seni rupa sebagai ilmu, umumnya didasarkan pada asumsi bahwa seni rupa bukanlah ilmu, hanya skill saja atau mungkin karena seni rupa tidak dihargai sebagaimana orang menghargai ilmu-ilmu pasti dan alam. Sehingga teori seni rupa itu dianggap tidak perlu. Mungkin ada orang berpendapat seperti itu, tetapi penulis berpendapat lain.

 Istilah teori berasal “theoria” (akhir abad ke-16) bahasa Latin, asalnya bahasa Yunani, artinya “contemplation theory”, “olah raga perenungan ”. Theory = theoros, “olahraga”. Berteori berarti : 1) merumuskan aturan atau teknik, 2) berpikir abstrak, 3) membentuk ide-ide melalui spekulasi, 4) berhipotesis, 5) mengungkap fenomena melalui prinsip ilmiah. Paling tidak teori seni, adalah sebuah pendekatan melalui logika, bukan hanya subjektif. Banyak pula orang beranggapan bahwa karya seni adalah hasil ketrampilan dan sama sekali tidak ilmiah. Pada hal, lingkungan hidup yang dibentuk melalui aspek artistik juga sebuah hasil logika berpikir, bukan hanya bersifat subjektif.

Menurut kamus, sebuah teori adalah sebuah asumsi atau sistem asumsi, prinsip, atau aturan (rule) dalam melaksanakan sebuah prosedural yang dibatasi oleh informasi atau ilmu pengetahuan. Teori adalah dalam rangka merancang analisis, prediksi atau sebaliknya dapat menjelaskan sesuatu yang alamiah atau fenomena perilaku yang khas, berikut pemberian. alasan-alasan yang sifatnya abstrak. Definisi teori sbb

 Theory, an assumption or system of assumptions, accepted principles, and rules of procedure based on limited information or knowledge, devised to analyze, predict, or otherwise explain the nature or behavior of a specified set of phenomena; abstract reasoning. The Scientific Method is a systematic approach to research. The philosophy of this empiricist approach is described in Western Philosophy: Pragmatism. Various methods of obtaining data are used. Hypotheses are the first step in creating a theory. Hypothesis formation is discussed in Psychology: Methods of Research. Falsifiability is the most important feature of hypothesis testing. Methods of testing (falsifying) hypotheses include Dialectic, Logic, Probability, and Statistics.

Some famous theories:
  1. in astronomy and cosmology: the Big Bang Theory, the Steady-State Theory, and the Copernican Syste,
  2. in the life sciences: the theory of Natural Selection, Conditioning, and Behaviorism
  3. in earth sciences: Continental Drift, the asteroid theory of Dinosaur Extinction, and the rival theories of Uniformitarianism and Catastrophism
  4. in physics: Einstein’s Theory of Relativity, Heisenberg’s Uncertainty Principle, the quest for a Unified Field Theory
  5. in mathematics, computer and information sciences: Theory of Equations, Automata Theory, Game Theory, and Decision Theory.( Sumber : Encyclopaedia Encarta, 2003)
Menurut kamus lain, teori (Theory) adalah berikut ini.
  1. Pendapat yang dikemukakan sebagai keterangan mengenai suatu peristiwa (kejadian dsb).
  2. Asas dan hukum umum yang yang menjadi dasar suatu kesenian atau ilmu pengetahuan,.
  3. Pendapat, cara dan aturan untuk melakukan sesuatu (KBBI, 1989: 932). 
Bagian-bagian Teori

Definisi teori di atas dapat diuraikan lagi dalam beberapa bagian. Tujuannya adalah agar melihat apa saja yang dapat menjadi atau bermakna teori dan bagaimana tiap komponen-komponen itu saling berhubungan satu sama lain seperti yang akan diuraikan di bawah ini.

1. Konsep

Konsepsi adalah kategori yang berasal dari persepsi manusia yang sudah dikategorikan dalam bentuk label-label. Dalam melihat fakta, kejadian atau peristiwa manusia melahirkan ide-ide dan konsep tertentu yang diutarakan dalam label–label bahasa. Immanuel Kant (1724-1804), seorang filsuf Jerman, berpendapat bahwa ide-ide itu harus dikoordinir, kalau tidak hanya akan menimbulkan kekacauan. Oleh karena itu ada beberapa tahap pengorganisasian idea, yaitu sensasi, persepsi, konsepsi, ilmu pengetahuan dan kebijaksanaan. Penjelasannya adalah sebagai berikut ini.
  1. Sensasi merupakan stimulus (rangsang) yang tidak ditertibkan
  2. Persepsi adalah sensasi yang telah diatur
  3. Konsepsi adalah persepsi yang telah dikategorisasikan
  4. Science adalah pengetahuan yang telah diorganisasi
  5. Kebijaksanaan adalah organisasi hidup manusia 1
Sensasi yang dimaksud oleh Immanuel Kant, adalah semua rangsang yang diterima oleh manusia melalui panca indra. Umumnya sensasi itu dianggap belum tertib, belum terpola pada suatu pengertian. Kita menerima sensasi-sensasi dari penglihatan, pendengaran, penciuman dan sebagainya, semuanya itu disebut dengan persepsi. Persepsi itu baru kita pahami jika kita memisahkan, memberi label-label terhadap hasil persepsi itu.

Jadi konsep pada suatu sisi adalah pikiran manusia tentang sesuatu yang telah dikategorisasikan. Misalnya, suatu objek diutarakan melalui label bahasa verbal, tetapi bukan sembarang label, yaitu yang khusus dan terkategorisasi. Konsep adalah suatu istilah yang dapat mengandung arti abstrak. Misalnya konsep-konsep seni, seni rupa, seni kerajinan, seni memasak, seni bangunan, menarik, indah dsb., atau konsep-konsep yang lebih konkret seperti gambar/drawing, warna (color), bentuk (form), model, dan sebagainya. Poespoprodjo (1985: 85-89), dalam bukunya “Logika Scientifika”, menjelaskan pembagian konsep kompleks dan non kompleks dan sebagainya sebagai logika sains. Logika seni tentu ada kekhasannya.

Gambar 1 Konsep dalam bidang desain adalah konsep yang kongkrit yang dinyatakan dalam bentuk sketsa, bagan atau diagram, hal ini berbeda dengan konsep-konsep melalui bahasa (konsep abstrak), konsep ini terukur dan dapat diukur dalam analisis material, dimensi dan skalanya seperti gambar bestek. Oleh karena itu praktik desain dan maupun seni rupa adalah sebuah riset (penelitian) juga.
Konsep-konsep biasanya ditemukan oleh para ilmuwan (saintis) untuk mempelajari dan menganalisis fenomena-fenomena secara sistematis. Ada dua keuntungan yang dapat diperoleh dengan mendefinisikan konsep secara teoretis (Reyn­olds, 1971). Keuntungan ini adalah kita dapat menyetujui arti dari konsep dan keabstrakkannya serta memantapkan penari­kan generalisasi.

Menurut Bruner dalam Lufri (2007:26), pemahaman konsep, Pembentukan konsep dan pemahaman konsep merupakan dua kegiatan mengkategori yang berbeda yang menuntut proses berpikir yang berbeda. Dalam pemahaman konsep, konsep-konsep sudah ada sebe lumnya, sedangkan dalam pembentukan konsep adalah sebaliknya, yaitu tindakan untuk membentuk kategori-kategori baru. Misalnya “kubisme-analitis” dan “kubisme-sintetis”, adalah konsep yang diturunkan dari konsep “kubisme”. Menurut Bruner (1980), kegiatan mengkategori memiliki dua komponen, yaitu: (1) tindakan membentuk konsep, (2) tindakan pemahaman konsep. 2

Meskipun konsep-konsep itu menurut definisinya ab­strak, namun ada perbedaan tingkat keabstrakannya. Tingkat keabs- trakan ini berada pada garis kontinum, yaitu dari yang sangat abstrak sampai pada yang lebih konkret atau op­erasional. Misalnya, konsep “seni” sangat abstrak, “seni lukis” masih abstrak, “lukisan” adalah konsep yang konkret (Supang­kat,1979

Menurut Ginti, dalam Catanese, & Snyder (1986), konsep itu dapat diutarakan dalam dua bentuk yaitu dalam bahasa verbal dan dalam bahasa visual. Sketsa misalnya, adalah konsep visual untk menggantikan bentuk benda nyata, misalnya untuk menjelaskan fungsi lampu atau sebuah denah ruangan 3

2. Konsep Tertutup dan Terbuka

Dalam bidang seni dan desain, Walker (1989), menjelaskan adanya dua macam konsep. Pertama adalah konsep tertutup yang kedua adalah konsep terbuka. Menurutnya pemikiran-pemikiran yang dikembangkan dalam bidang akademik mengarah kepada konsep tertutup, sebab konsep-konsep itu tidak untuk di interpretasikan, dan harus didefinisikan.

Misalnya konsep mengenai seni rupa (Arts), desain (design), dan kriya (craft), architecture, dsb., harus memiliki makna dan kriteria yang baku. Dia memiliki standar tentang operasionalnya, kriteria tentang prosedural di dalamnya. Jika seseorang melakukan aksi di dalam kerangka konsep ini, dapat dibedakan ini adalah kegiatan seni rupa, yang lain adalah kriya, lainnya lagi adalah kegiatan desain. Ini adalah kegiatan sains, yang lain kegiatan teknologi. Kegiatannya memiliki kekhasan dalam kriteria, metoda pencapaian, prosedur dan nilai produknya, karena adanya kategorisasi dan oleh konvensi konsep akademisnya. 

3. Konsep Terbuka

Konsep terbuka adalah konsep-konsep yang dikembangkan dalam seni, misalnya oleh kelompok seniman atau desainer avant garde (pelopor) dalam berkarya (tabel 7.1). Hal ini terlihat dalam perkembangan gaya/aliran seni dalam sejarah seni. Misalnya konsep-konsep baru dalam gaya seni rupa seperti impresionisme, kubisme, surealisme dan sebagainya sesuai dengan zamannya. Konsep-konsep baru itu juga memiliki kekhasan dalam kriteria, metoda pencapaian, analisis dan nilai produknya.

Inovasi konsep baru itu juga dilakukan oleh kelompok akademis, misalnya perpaduan ilmu seni rupa murni dengan desain yang menghasilkan bidang studi “art and design”; perpaduan ilmu komunikasi dengan seni grafis dan ilmu ekonomi, yang menghasilkan bidang “desain komunikasi visual, dsb. Demikian oleh Walker (1989), dijelaskan, bahwa tugas pengembangan ilmu umumnya oleh para profesional dan inovator untuk menciptakan sesuatu yang baru di luar konsep-konsep yang ada sebelumnya, selalu menarik perhatian, sebagaimana inovasi di bidang ilmu pengetahuan (sains). 4

4. Aplikasi Konsep dalam Penelitian

Dalam penelitian (riset) oleh karena semua hal itu mesti terukur maka konsep dapat dirinci sebagai berikut ini.
  1. Suatu konsep harus didefinisikan secara konstitutif dan bukan menggunakan terminologi lain. Misalnya mendefi­nisikan konsep “realisme” sebagai lukisan peniruan dari apa yang kelihatan disebut dengan konsep imitatif, mime­sis (bhs.Yunani) = meniru. Dalam hal ini realisme didefi­nisikan dalam terminologi “imitatif”. Meskipun definisi yang seperti ini memberikan pemahaman yang lebih baik tentang suatu konsep realisme, namun definisi tersebut kurang akurat dilihat dari sudut pandang ilmiah. Oleh karena itu para peneliti harus bisa mendefinisikan suatu konsep dengan istilah atau arti yang bisa diukur atau lebih operasional. Misalnya “realisme romantik”, “supra-realisme”, realisme–jalanan” dsb. Realisme jalanan misal­nya hanya meneliti dan atau “memotret” apa yang dilihat di sepanjang jalan kota yang memiliki karakteristik lokal, dan nuansa urban yang kuat.
  2. Secara lebih terukur. Konsep yang didefinisikan secara lebih operasional, sehingga dapat diukur disebut sebagai definisi operasional dari konsep.
Contohnya, konsep warna aditif adalah sebuah teori warna dengan sistem warna RGB (Red, Green, Blue)” Definisi ini terbatas, jelas, dan singkat. Jadi di sini konsep didefinisikan sebagai seperangkat ukuran yang dapat diukur. Suatu konsep yang memiliki definisi operasional sering disebut sebagai “variabel”. Kenyataannya banyak para peneliti dan ilmuwan yang menggunakan istilah “konsep” dan “variabel” secara bergantian (dalam arti yang sama).

Gambar 2. Konsep Efek Warna dalam Lingkaran WarnaEfek warna dapat dipetakan melalui lingkaran warna dan nada putih (soft) dan hitam (keras). Peta efek psikologis warna ini sudah diuji dalam berbagai penelitian sehingga dapat diperoleh standar warna untuk efek tertentu yang dibutuhkan, misalnya warna yang romantis, atau warna klassik dan etnik dsb. Sumber. Dictionary of Today’s Design, Yapan, 1994
Namun secara teknis, suatu variabel adalah komponen-komponen (properties) dari konsep dalam bentuk angka-angka atau variabel-variabel terukur untuk bisa dinilai. Misalnya kategori unsur visual adalah: titik, garis, bidang dan volume, bisa diukur. Sedangkan atribut visual: rupa (bentuk), warna, tekstur, skala, proporsi, sering sulit diukur jika melalui persepsi saja. Dalam penelitian seni rupa konsep visual dengan atribut visual ini sering dipertukarkan, karena kurang memahami konsep atribut visual. Disebut konsep atribut visual (Wallsclaeger, & Busic; 1991); karena dia itu relatif dan berubah dalam persepsi manusia. Konsep tekstur misalnya, deretan jendela pada gedung bertingkat yang dilihat dari jauh adalah tekstur dinding gedung, dilihat dari dekat adalah jendela. Konsepnya berubah karena distansi/jarak.

Menurut McKim, (1980) mempelajari teori persepsi berguna untuk memahami perubahan konsep seni rupa dan desain dalam konteks persepsi. 5

Psikologi seni dapat menjelaskan respon-respon estetik. Mempelajari sejarah berguna untuk memahami perubahan konsep seni menurut budaya dan sosial (Myers, 1965) atau transformasi budaya (Sachari, 1980), atau perubahan konsep seni menurut gaya seni (Atkins, 1990). Teori semiotika atau ilmu tanda (Pierce, Saussure) dapat menjelaskan perubahan konsep seni berdasarkan perbedaan sistem tanda.

Piramid Mesir misalnya, dahulu konsepnya adalah tempat keramat dan mengadakan upacara ritus kepada raja yang meninggal dengan sistem tanda tertentu. Di zaman moderen konsepnya adalah untuk tujuan wisata. Dengan perubahan konsep ini penataan sistem tanda di sekitar Piramid di rancang untuk tujuan wisata (Lihat tabel 2.3) Perubahan dan penciptaan konsep baru dapat dilihat sebagai variabel, atau variabel adalah konsep yang mempunyai suatu ukuran operasional, yang mengandung berbagai nilai (Gistituati, N, 2009).

5. Asumsi dan Generalisasi

Suatu asumsi adalah suatu pernyataan (statement) yang diterima sebagai benar, tanpa harus ada pembuktian atau self-evident.Misalnya James T. Saw (2001) mengemukakan tiga asumsi tentang konsep atau definisi seni sebagai berikut ini.
  • Arti seni dalam level tertinggi adalah komunikasi atau mengkomunikasikan sesuatu makna/arti tertentu.
  • Seni dalam pengertian umum adalah sesuatu yang este­tik (=menarik, indah adalah salah satunya).
  • Seni dalam pengertian yang paling asas adalah skill dan atau keterampilan.
  • Suatu generalisasi adalah suatu pernyataan (statement) atau proposisi yang mengindikasikan adanya hubungan antara dua atau lebih konsep. Ada bermacam-macam generalisasi, yaitu: asumsi, hipotesis, prinsip, dan hukum. Definisi dari masing-masing istilah tersebut adalah sebagai berikut.
  • Asumsi adalah generalisasi yang menspesifikasi hubungan diantara dua atau lebih konsep. Misalnya konsep abstrak + konsep puitis = konsep lukisan “abstrak liris”, rumah + tempat istirahat = konsep losmen, hotel dsb.
  • Hipotesis adalah generalisasi dengan dukungan empiris terbatas, lihat contoh berikutnya.
  • Prinsip adalah generalisasi yang mempunyai dukungan empiris yang substansial. Misalnya prinsip komposisi, irama atau keseimbangan dalam seni.
  • Hukum (dalil, aksioma) adalah generalisasi yang mem­punyai dukungan empirik yang mengendalikan (lebih dari tinggi dari pada prinsip). Misalnya dalam teori per­sepsi, sebuah bentuk terjadi karena ada latar (backround) dan cahaya.
Singkatnya, teori didefinisikan sebagai seperangkat konsep-konsep, asumsi-asumsi, dan generalisasi-general­isasi yang saling berhubungan, yang mendeskripsikan dan menjelaskan secara sistematis suatu fenomena tertentu.

6. Fungsi Konsep dan Teori untuk Penjelasan Umum

Teori mempunyai fungsi utama dan fungsi spesifik (Hoy.2001., dalam Gistituati, 2009). Fungsi utama teori adalah memberikan penjelasan umum tentang fenomena-fenomena. Teori organisasi misalnya, dijelaskan Gistuati, bahwa propo­sisi-proposisinya, dapat menjelaskan struktur dan dinamika kehidupan organisasi. Sedangkan fungsi spesifik teori adalah membim-bing pelaksanaan riset empiris. Umumnya teori dapat memberikan pemahaman-pemahaman konseptual guna mengembangkan hipotesis-hipotesis. Dengan hipotesis-hipo­tesis itu kita bisa mengecek atau membuktikan kebenaran penjelasan teoretis yang dikemukakan melalui realitas.

7. Teori Sebagai Kerangka Acuan Penelitian

Teori juga menyajikan kerangka acuan (framework) dalam melaksanakan penelitian untuk pengembangan ilmu pengeta­huan. Hal ini sejalan dengan pendapat Jhonson. Menurut John­son (1994), teori berfungsi untuk menentralisir wacana yang timbul dari interpretasi tentang sesuatu ilmu pengetahuan, hal ini disebut oleh Johnson dengan istilah emansipatori, atau pembebasan manusia dari kungkungan (ide dasar filsuf Karl Marx, 1867). Sebab antara keinginan, interpretasi serta tujuan setiap individu dan sosial bisa bertentangan, ide bisa berlainan, melihat masalah bisa menurut persepsi antar-individu dan sosial (masyarakat).

Jadi, sebuah penelitian (riset) bertolak dari suatu teori. Melalui riset, suatu teori bisa diperdalam dengan memperh­alusnya, diformulasi ulang, dan bisa juga digugurkan. Proses reformulasi teori sering membawa permasalahan-permasala­han baru. Selain dari itu, teori juga bisa membimbing tindakan, karena teori merupakan landasan untuk mengambil keputusan dalam memecahkan masalah sehari-hari yang timbul. Konsep-konsep dan teori-teori memungkinkan kita menghayati kom­pleksitas dari realitas.

8. Hipothesis

Suatu hipotesis adalah suatu pernyataan yang masih di­ragukan kebenarannya, yang mengindikasikan adanya suatu relasi atau hubungan antara dua variabel atau lebih. Contoh:
  • Makin realistis sebuah lukisan, maka besar resepsi atau penerimaan sosial terhadapnya
  • Makin pandai seseorang mengajar maka akan banyak pengetahuan seni rupa yang dapat dipa­hami murid dibandingkan seorang guru yang luas pengetahuan seni rupanya

Beberapa hal yang harus dipahami dari hipotesis, yaitu berikut ini.
  • Tiap hipotesis menspesifikasi hubungan diantara dua variabel atau lebih
  • Tiap hipotesis mendeskripsikan secara jelas dan ringkas hubungan variabel-variabel tersebut;
  • Variabel-variabel setiap hipotesis didefiniskan sedemikian rupa, atau dengan kata lain didefinisi­kan secara operasional sehingga tiap variabel itu dapat diuji atau dites secara empirik.
Teori dan Ilmu Pengetahuan

Dalam Couto (2008,a), dijelaskan bahwa antara seni­man (artist) dan ilmuan (scientist) mencoba memandang dunia untuk memperoleh sesuatu secara acak dan melalui berbagai pengalamannya. Keduanya mencoba untuk memahami dan menghargai dunia dan menyampaikan pengalaman mereka kepada orang lain. Namun demikian, cara mereka menyatakan diri sangat berbeda: ilmuan belajar dan melihat secara kuan­titatif dan menemukan konsep-konsep serta hukum-hukum kebenaran universal. Sedangkan seniman memilih persepsi-persepsi kualitatif (qualitative perceptions) dan mengaturnya menjadi ungkapan pribadi serta pemahaman kultural. Dimana kalau dilihat dalam sebuah kerangka dalil-dalil sains dapat menjadi invalid, tetapi seni bukanlah murni sains.

Secara umum, semua ilmu bertujuan untuk memahami dunia di mana kita hidup dan bekerja. Ilmuwan mendeskripsi­kan apa yang mereka lihat, menemukan sifat keberaturannya, dan memformulasikannya ke dalam teori (Babbie, 1990).

Menurut Purbadi (2001), dalam dunia “akademik” atau ilmiah, suatu teori dikenal memiliki tiga sifat, yakni penjelasan (eksplanatif), ramalan (prediktif), dan pengendalian dan penga­wasan (control). Teori dengan pengertian semacam itu umum­nya berlaku bagi teori – teori dalam ilmu pengetahuan (scientif­ic theories). Sebagai tujuan utama dari ilmu pengetahuan, teori membutuhkan berbagai definisi. Secara umum teori adalah batang tubuh dari generalisasi-generalisasi yang saling berkai­tan dan konsisten, yang dapat memberikan penjelasan. 

Feigl (dalam Prasetya, 1999) mengatakan teori adalah seperangkat asumsi-asumsi yang dari asumsi-asumsi itu dapat dirumuskan dalil-dalil empirik yang lebih luas melalui prosedur-prosedur “logicomathematical” yang murni. Sedangkan Kerlinger (1986) mendefinisikan teori sebagai seperangkat konsep-konsep, defi­nisi-definisi, dan proposisi-proposisi yang saling berhubungan yang menggambarkan suatu fenomena secara sistematis.

1. Lingkup Teori Seni Rupa

Sejak awal teori seni itu dikembangkan melalui logika berpikir, teori yang pertama muncul adalah teori  keindahan (aesthetica),  yang istilahnya ditemukan oleh Alexander Gottlieb Baumgarten (1714-62), pemikiran ke arah itu sebenarnya sudah lama. Misalnya, teori pemindahan bentuk (Plato), teori nilai estetik objek (Immanuel Kant, David Hume, dst), teori kreativitas artistik (Beardsley, dst) teori karya seni (Annete Barnes, Max Black, dst) teori pengalaman estetik (John Dewey, George Dicki, dst). Teori Kritik (Stuard Hampshire, dst) yang fokus masalahnya adalah tentang keindahan.

Plato (400-500 SM) misalnya, dalam dialog-dialognya di dalam Republic (380 SM) mempertentangkan antara seni (art) dan seniman (artist). “Bunga yang indah” menurutnya adalah tiruan dari bentuk “universal”(gagasan manusia di alam Illahi),  “fisik bunga” adalah satu langkah pemindahan dari “realitas bentuk  asal Illahi”sedangkan “gambar bunga” adalah langkah kedua, yaitu pemindahan dari “fisik bunga” ke “gambar”. Artinya seniman memiliki dua langkah pengetahuan, seni dalam hal ini menurut Plato “sebuah kegilaan” seniman untuk memindahkan satu realitas ke realitas lain yang asalnya “realitas Illahi”(sebagian  ahli menyebut teori ini sebagai teori metafisik), bahwa keindahan “ideal” itu  ada “di luar fisik”yang terlihat.

Aristotle, mengkritik teori itu dalam tulisannya Poetics (sekitar 330 SM). Menurutnya, seni itu bukan semata imitasi, tetapi “representasi (penggambaran). Sebagai contoh, sebuah syair atau drama tentang kepahlawanan adalah sebuah “representasi artistik” (mimesis) manusia tentang perang, bukanlah untuk menciptakan atau meniru realitas yang sebenarnya (peperangan itu). “Artistic” (artistik) artinya sesuatu yang “baik” dalam karya seni (kata sifat) yang merupakan ciri khas karya seni yang memiliki tiga sifat (1) selera, (2) skill, dan (3) imajinasi. Apa yang digambarkannya seniman adalah sebuah gambaran yang justru dapat memberi kesenangan kepada penonton. Seniman memang peniru,  tetapi yang ditiru (mimesis) itu mengandung aspek “artistik”. Oleh orang Yunani kuno, aspek artistik dipikirkan, dicari, dan dirumuskan. Hal yang populer adalah proporsi untuk patung dan arsitektur yang dirumuskan  dalam istilah  “golden section” (perbandingan keemasan). Banyak nama ahli seni yang membahas keindahan dan seni yang terpaut dengan teori,  di antaranya  adalah, Immanuel Kant, Leo Tolstoy dan sebagainya yang mengemukakan teori-teorinya tentang seni.

Teori-teori klassik umumnya membahas seni dari tiga sisi yaitu 1) seniman (artist), 2) karya seni (work of art) dan 3) pengamat (user dan audience). Ketiga unsur ini dipengaruhi oleh  aspek kultur dan sejarah sosial (Sumardjo, Yakob, 1996). Salah satu hal yang penting dibicarakan ialah bagaimana manusia mempersepsi dan atau memahami keindahan  seni. 

Walaupun yang dipersoalkan adalah masalah yang sama, cara melihatnya masalah ini pada teori seni modern sudah sangat berlainan. Atmazaki (2007), menjelaskan  teori sastra modern yang mungkin mirip dengan teori seni rupa dalam hal mengungkap makna seni. Menurut Atmazaki   di samping  ketiga unsur di atas, ada unsur utama yang mengikatnya yaitu “Universum” atau “kosmologi”. 

Demikian juga pendapat  Sumardjo (1996). Kosmos berasal dari bahasa Yunani “kosmos” = order yang memerintah yang mengatur, maksudnya adalah “alam pikiran manusia, “universum” (the universe thought of as an ordered and integrated whole ). Jadi, baik seniman, karya seni maupun pengamat seni sebenarnya dipengaruhi oleh alam pikiran manusia, sosialnya dan kebudayaannya (termasuk pendidikannya).

Dari sisi seniman, seni adalah medium untuk menyampaikan ungkapan (ekspresi). Teori ini dikemukakan oleh Leo Nikolayevich Tolstoy (Gie, The Liang, 1975). Susanne K. Langer (1895-1985) mengemukakan teori simbol yang diekspresikan melalui seni  dalam bukunya Philosophy in a New Key: A Study of the Symbolism of Reason, Rite and Art (1942).

Dari sisi karya seni, Herbert Read (Sir Herbert Edward Read) (1893-1968) mengemukakan ekspresi itu adalah menciptakan bentuk-bentuk yang menyenangkan. Dia banyak menulis buku antara lain Form in Modern Poetry (1932), The Philosophy of Modern Art (1952) dan  In Education Through Art (1943), Karl Marx (dalam Walker, 1989)  melihat karya kreatif manusia itu sebagai komoditi, atau artefak konsumsi yang dipuja-puja (fetish) oleh komunitas tertentu dan mungkin tidak dikenal atau ditolak oleh komunitas lain.

Dari sisi ilmu lain, filsuf, psikolog dan pendidik Amerika John Dewey (1859-1952), menulis buku Democracy and Education (1916), Art as Experience (1934), Logic: The Theory of Inquiry (1938), menjelaskan pentingnya seni dalam dunia pendidikan sebagai sarana untuk pengembangan kreativitas dan kebebasan berekspresi.  Victor Lowenfeld misalnya pada tahun (1947) menulis buku Creative And Mental Growth. Penelitiannya mengungkapkan, adanya anak “tipe visual” (logis) dan anak tipe  emosional (ekspresif) dan atau campuran, berikut tahapan kreativitas anak mulai dari tahap corengan (2-4 tahun), pra skema (4-6 tahun), masa skema 6-9 tahun), realis-awal (9-11 tahun), masa realisme-semu/“the pseudorealistic stage” (11-13 tahun). Coba kita lihat sebuah pandangan tentang pendidikan seni masa kini yang teorinya masih berdasarkan teori klassik di Indonesia (Suryahadi, 2008:4) sebagai berikut.

“Dalam belajar seni rupa, ada beberapa hal pokok yang harus dikuasai dan dimiliki, yakni pertama, kepekaan estetik atau keindahan, keterampilan teknik dan imajinasi kreatif. Kepekaan estetik atau rasa keindahan harus dimiliki oleh setiap orang yang memilih profesi bidang kesenian karena inti dari seni adalah keindahan.”

Robinson (2002) berpendapat lain, bahwa seni itu bukan  lagi soal perasaan, atau imajinasi kreatif semata, sebab imanjinasi kreatif itu bukan monopoli bidang seni rupa, bisa juga melalui kegiatan matematika, fisika dan pelajaran lainnya, pandangan seperti itu katanya adalah pandangan klise dan bisa menyesatkan, seperti yang ditulisnya berikut ini.
 “Salah satu dari permasalahan dalam sistem  bidang pendidikan seni  adalah bahwa pendidikan itu sudah sampai kepada sebuah pandangan klise. Seniman dianggap bertujuan untuk menjadi (manusia)  kreatif dan hanya memperhatikan masalah perasaan (felling) dan nilai-nilai;  sebaliknya ilmuwan dianggap orang yang objektif dan memfokuskan diri pada  fakta-fakta. Ini adalah sebuah karikatur yang mengerikan. Salah satu dari langkah kita yang mungkin dilakukan untuk masa depan  adalah untuk menyatukan kembali antara  seni dan ilmu pengetahuan dan teknologi dalam pelaksanaan pendidikan dan  diperlukan dukungan untuk memperkaya pengembangan bidang pendidikan ini. Anehnya, di luar sistem persekolahan atau pendidikan itu, hubungan antara seni, ilmu dan teknologi sangat luas dan berlimpah-limpah. Semakin kita dapat melihat diri kita dalam bidang seni, sebagai bagian dari suatu pergerakan intelektual yang  lebih luas, semakin ada kesempatan kita untuk  membuat perubahan di dalam pendidikan seni.” 
Teori-teori lain yang berdasarkan ilmu sejarah sosial dan kultur, juga dapat memberikan pandangannya lain tentang seni. Claire Holt (1967) mengemukakan teori perkembangan seni di Asia yang berangkat dari teori perubahan budaya (continue and change), pendapat ini disokong oleh  Jhon Clark (1998) yang membahas seni di Asia dan Roxanna Waterson (1990) yang membahas  seni bangunan di Asia  Tenggara dan ada pula yang membahas seni segi transformasi budaya (Habermas, Scahari, dsb). Banyak penulis buku lainnya yang tidak dapat dikemukakan satu persatu dalam buku ini.

2. Seni, Berkarya Seni, dan Penelitian

Menurut Buchori (1992) dan Bourdieu dalam Grenfell, Michael & David, James (1998) dan juga Jhonson (1994) banyak teori-teori itu gunanya  untuk menjelaskan apa itu seni (theory about art) dan bagaimana seni itu dalam kehidupan manusia, tetapi  bukan teori-teori yang dipakai untuk tindakan seni (Bourdieu);  praktik seni (Jhonson); atau mencari seni (Buchori). 

Menurut Buchori, permasalahan ini  disebabkan adanya pandangan bahwa ilmu seni hanyalah ilmu empiris (somebody guided by experience not theory). “Empirical science” dasarnya “deduksi” hanya untuk mencari kesimpulan, bukan untuk sebuah tindakan. Penggunaan metodologi ilmu-ilmu sosial untuk meneliti fenomena seni hanya bertujuan agar orang mengerti (verstehen) seni, tetapi  tidak berkaitan dengan  mencari seni (hunting for art) atau the process of inducing a state, feeling, or idea.

Seorang psikolog atau seorang guru dalam meneliti  tingkat kreativitas anak, sama halnya dengan penelitian sejarah seni, sosiologi seni, atropologi,  pendidikan seni semuanya itu melihat dari disiplin ilmunya masing-masing, sehingga yang diperoleh hanya pengetahuan/ilmu sejarah seni rupa, pendidikan seni rupa, antropologi, dst. Bukan seni sebagai produk pengetahuan (Buchori, 1992:2). 
Seni bukanlah cabang ilmu sosial, seni memang berkaitan dengan psikologi, perilaku manusia dan komunikasi (sosiologi), seni memang berkaitan dengan berbagai ranah kompetensi manusia (teori Benjamin S.Bloom), tetapi ilmu seni adalah untuk mengetahui yang dilaksanakan melalui berkarya seni. Timbul pertanyaan, mengapa berkarya itu tidak dapat diterima sebagai salah satu bentuk penelitian seni? Buchori (1992:3) akhirnya menyimpulkan bahwa berkarya itu juga sebuah bentuk penelitian. (Lihat uraian selanjutnya mengenai Sullivan). Dia menyimpulkan sebagai berikut.
  1. Jika penelitian di bidang sains menghasilkan informasi  pengetahuan baru, maka semua kegiatan inovasi kreatif yang berakhir dengan produk (lukisan, patung, karya desain, arsitektur, produk asesoris interior dsb., juga berusaha untuk menghasilkan informasi baru.
  2. Apabila  validitas penelitian diukur dari  keobjektivitasannya, maka setiap seniman/desainer sebenarnya berusaha untuk menciptakan karya menjadi “objektif”.  Namun, perbedaan “objektivitas” sains (alami) itu terbebas dari nilai-nilai, makna-makna, dalam seni justru sebaliknya.
  3. Tingkat keobjektifan pengetahuan seni berbeda dengan sains. Hal ini disebabkan karena tawaran terhadap nilai-nya itu sendiri yang bersifat kontekstual terhadap  pranata sosial, sekalipun semua pekerja seni menginginkan karyanya diakui secara universal (yang oleh Robinson 2002, dianggap sebuah pandangan klise).
  4. Metodologi seniman/desainer dalam berkarya berbeda tujuannya dengan metodologi penelitian sains, jika tujuan sains berusaha untuk menjelaskan apa yang ada (natural), maka seni/desain berusaha untuk mencari hal-hal yang baru yang di naturalisikan, dari “tidak ada”, menjadi “ada” (lihat metode seni/desain).
  5. Penelitian seni adalah dalam rangka  mencari dan menawarkan “pengalaman estetik”, pengalaman estetik itu digali dari subjek penggarap, maka apabila dilihat dari perspektif  metode  sains, selamanya akan spekulatif dan ambigu. Pengetahuan seni itu bukan berupa lukisan, tari atau komposisi musik, sebab hal itu hanya cara   mengutarakan/mengekspresikan seni saja dan dari “pengalaman estetik “ yang diperoleh dari padanya.
  6. Salah satu ilmu seni adalah ilmu pengetahuan tentang “pengalaman estetik” atau respon estetik Pengetahuan mengenai respon kritik (pemahaman).
  7. Pengetahuan mengenai hubungan seni dengan produksi dan konsumsi seni umumnya mirip dengan pengetahuan hubungan produksi sains dan teknologi yang juga terkait dengan masalah ekonomi, sosial dan budaya
Antara Teori dan Terapan (Aplikasi)

1. Fungsi Konsep dan Teori

Hubungan antara teori dengan terapan seni sangat erat, tetapi  seniman tidak semua  seniman berkarya berdasarkan konsep, gagasan atau teori. Selebihnya dapat berkarya secara akan spontan. Namun kita perlu juga memahami teori dalam seni secara keseluruhan. Alasannya seni sangat kaya dengan konsep-konsep

Umumnya seniman tidak akan mengatakan bahwa  dia menerapkan sebuah teori tertentu. Sebab, hal itu hanya ada (implisit)  dalam praktik. Dalam berkarya, paling tidak seorang seniman akan berpikir bahwa dia memiliki ide tertentu, membayangkan bagaimana karya itu nantinya. Kita mungkin berkata seniman itu memiliki sebuah konsep atau teori dalam berkarya. Menurut Hoy & Miskel (2008), ada tiga cara di mana teori bisa dikaitkan dengan praktik, yaitu:
  • sebuah konsep memberikan kerangka acuan (framework) bagi para praktisi;
  • proses teorisasi memberikan suatu model umum mengenai analisis kejadian-kejadian yang praktis; dan
  • teori berfungsi dalam memberikan pengetahuan yang dapat dimanfaatkan dalam mengambil keputusan-keputusan yang rasional dan praktikal.
Gambar 3 Teknologi dan seni (arts) itu memiliki kemiripan karena sama-sama dimulai dari konsep/ teori melalui proses atau  metode produksinya diakhiri  dengan artefak/benda10 (takakir@kobe-du.ac.jp)

Menurut Ryuji Takaki (2007), ilmu pengetahuan adalah suatu aktivitas untuk membangun konsep dan hukum alam dari  dan gejala riil yang disebut konsep teknologi, melalui proses lahirlah artefak utilitas. Hal ini mirip dengan seni modern, di mana seni dimulai dari konsep seni dan melalui teknik atau aktivitas akhirnya melahirkan artefak seni.

Dia menyimpulkan bahwa teknologi itu mirip dengan seni karena mempunyai orientasi yang sama dengan seni. Misalnya, dari konsep ke produksi benda nyata (mesin, material, alat dan seterusnya). Sama halnya dengan seni, produk teknologi seperti sebuah mesin, dimulai dari sebuah konsep, dikerjakan melalui sebuah proses atau  metode, terakhir melahirkan benda atau alat mesin. Saw (2001),  melihat  terapan konsep dengan cara lain  seperti pada tabel  [1]

Tabel 1.1 Penerapan konsep oleh Saw (2001)

 1
Concept
(konsep)
the idea
(ide, gagasan)
what you want to do
( apa yang akan anda buat/kerjakan)
 2
Form
(bentuk/karya)
the process
(proses berkarya)
the process and the product
(bagaimana prosesnya sehingga menghasilkan sebuah produk)
 3
Content
(isi)
the meaning
(makna seni)
does the form satisfy the concept?
(apakah karya yang dihasilkan itu sesuai dengan konsep)

Sumber: James T. Saw (2001)

Keterangan bagan:
  • Konsep adalah idea-idea yang ingin dikembangkan oleh perupa kepada karya seni
  • Form adalah hasil proses atau  metode dalam berkarya, sedangkan content (isi) bertalian dengan maknanya
  • Makna seni yaitu sejauh mana  karya seni (form) dapat memperlihatkan hubungannya dengan konsep-konsep/gagasan perupa awalnya.

Metodologi (Proses Menggali Konsep)

Istilah methodos, (abad ke 15, bhs. Latin yang dipakai Yunani) berarti pencarian, pengejaran atau “jalan”. Kata ini berasal dari meta = sesudah+ hodos = perjalanan. Sebuah pertanyaan adalah, bagaimanakah caranya kita menggali konsep atau keluarnya sebuah “ide” yang baik dari sebuah karya seni rupa dan atau bagaimana pikiran-pikiran seni modern itu muncul.

Salah satu dari pemikir tentang pencarian konsep  adalah Cristhoper Jones (1979). Dia menjelaskan beberapa metode konsep penciptaan dalam beberapa kategori seperti metode craft, black box, glass box dan metode gambar. Di bidang  seni rupa metode ini dapat disebut proses menggali konsep atau gagasan[2]

1. Metode Kerajinan (Craft Method)

Ide-ide craft umumnya bersifat teknis, dimana seniman melakukannya melalui percobaan, sekali  di coba, kemudian hasilnya, diperbaiki demikianlah seterusnya sampai menghasilkan karya yang bermutu. Metoda ini dapat disebut “trial and error”. Hal ini berlaku dalam bidang seni maupun desain. Sekali masalah teknis sudah dikuasai maka selanjutnya memikirkan gagasan-gagasan berseni.

Dalam hal ini Jones (1972),mencontohkan pembuatan karya kerajinan (craft), menurutnya karya kerajinan adalah warisan lama yang pembuatannya secara manual dan bukan produk pemikiran ilmiah seperti pembuatan barang di zaman modern. Metode pembuatan “craft” ini disebutnya sebagai  metode “craft” adalah sebuah produk yang dihasilkan melalui perubahan terus-menerus sampai terbentuknya sebuah karya yang bermutu dan dikenali sekarang. Misalnya sebuah pedati, keranjang, sebuah keris atau sebuah ukiran tidak terjadi begitu saja, tetapi adalah hasil sebuah evolusi. Menurutnya, bentuk keranjang yang kita kenal sekarang adalah hasil dari sebuah evolusi bentuk berabad lamanya, yaitu hasil coba-coba suatu penyaluran informasi yang tidak mencolok selama berabad-abad lamanya. 

Sebab informasi tertulis tentang konsep keranjang itu  tidak ada, kepandaian ini hanya diturunkan dari mulut ke mulut (lisan), yaitu suatu  metode penciptaan bentuk sebuah produk  diubah  oleh kegagalan dan keberhasilan yang tidak terhingga banyaknya, dalam suatu proses coba-coba se1ama ber-abad-abad. Pencarian berkelanjutan yang lambat dan mahal ini ditujukan kepada pencarian konsep  desain yang baik, akhirnya menghasilkan produk yang seimbang dan cocok bagi keperluan-keperluan pemakai masa sekarang.  Metode ini umumnya dipakai oleh pengkriya. Melalui  metode ini dapat dipahami produk “craft” tidak pernah sama  dan atau tidak ada yang sama, kecuali karya “craft” yang dibantu oleh mesin

2.  Metode Black Box (Metode Inspirasi)

Metode seniman adalah metode inspirasi, bidang desain juga dapat mencipta berdasarkan inspirasi. Metode seperti ini mirip dengan cara kerja seorang pelukis yang disebut oleh Jones (1979) sebagai metode blac box (kotak gelap/hitam) dalam memunculkan konsep, di mana asal-usul konsep sebuah karya adalah hasil renungan atau inspirasi. Misalnya, datangnya suatu ilham secara tiba-tiba tanpa asal-usul yang jelas. Metode ini sering digunakan oleh seniman-seniman besar yang sudah terampil atau memiliki skill yang tinggi. Dalam uraiannya, Jones mengkritik metode seniman ini sebagai metode tukang sulap. Namun, menurut pandangan lain,  menjelaskan bahwa metode ini lahir dalam rangka berpikir visual (McKim,1980). Di mana manusia mensinergikan kemampuan belahan otak kanan dengan otak kiri. Inspirasi adalah produknya dan  metode  ini adalah keunggulan yang umumnya juga dimiliki para saintis, bukan monopoli seniman dan desainer.

3. Medoda Glass Box ( Metode Analisis-Sintess)

Jika dalam kotak hitam kita tidak mengetahui apa yang di dalam kotak itu, maka pada kotak kaca kita mengetahui apa yang masuk dan  ke luar   dari kotak itu karena transparan dan dilapisi oleh kaca. Analogi ini adalah nama yang diberikan oleh Jones dalam berkarya melalui analisis dan sintesis atau disebut dengan metode glass box. Metode seperti ini mirip dengan cara kerja komputer, di mana dalam menciptakan sesuatu dibutuhkan data-data (input), data kemudian diolah atau diprogramkan (process), hasil pengolahan data ini kemudian menghasilkan  gagasan baru (output) di mana diperoleh konsep-konsep atau teori untuk diterapkan pada karya. Dalam praktiknya seorang seniman membuat riset atau penelitian tentang apa yang akan dibuatnya, termasuk studi lapangan, studi teks, sejarah dan teori-teori tertentu sebelum timbulnya gagasan baru.

4.  Metode Gambar, Sketsa Konsep

Menurut Jones, sebuah konsep bisa lahir melalui gambar (grafis), yaitu sketsa dan gambar.  metode  ini disebut  metode   gambar grafis, yaitu di mana seorang  mencoba menggali ide melalui beberapa sketsa, kemudian memilih ide sketsa yang paling baik. McKim (1980: 144) menyebut cara ini sebagai “berpikir visual” (visual thinking) yang melibatkan tiga komponen yaitu (1) berpikir, (2) menyimbol dan (3) merujuk (to reference).   Konsep grafis adalah hasil persinggungan antara  “visual thinking” (berpikir visual) dengan bahasa gambar (graphic language).

Dalam praktiknya  metode  gambar ini dilaksanakan dalam bentuk sketsa,  misalnya seorang pelukis atau desainer pakaian mencoba untuk membuat beberapa sketsa sebelum memilih ide baru. Pada dasarnya semua  metode  itu dapat dipakai dalam berkarya seni. Namun, dalam pendidikan seni,  penggalian ide/konsep melalui sketsa  sangat penting. Pengertian sketsa disini bukanlah menggambar sketsa atau menggambar ekspresif, di mana anak didik hanya meniru bentuk (tidak kreatif), pekerjaan meniru bentuk sudah dapat digantikan melalui pemotretan kamera digital, hasilnya dimasukkan ke dalam komputer kemudian diolah sesuai dengan ekspresi yang diinginkan.  metode  yang dimaksud adalah sketsa sebagai konsep-konsep  penciptaan karya baru yang kreatif yang melibatkan  komponen-komponen  proses: (1) melihat, (2) berpikir, (3) menyimbol dan merujuk, serta (4) menggerakkan tangan secara komprehensif.
Gambar 4  Skemata  berpikir visual dan konsep menggambar menurut McKim (1980)
5. Metoda Kolaborasi.

Metoda ini umumnya ditemukan pada seni sosial, dimana masyarakat dan aspek kebudayaannya ikut menentukan hasil karya seni. Ada banyak bentuk kolaborasi, misalnya antara (1) seniman dengan pekerja. Karya-karya seni yang berskala besar umumnya dikerjakan oleh tukang, (2) antara seniman, desainer (perancang, (3) kolaborasi dalam kelompok seniman dan bentuk-bentuk lainnya dalam cara berkolaborasi.

6. Berkarya melalui Riset (Penelitian)

Perkembangan terakhir di bidang seni rupa dan desain memperlihatkan bahwa praktik seni dan desain diakui sebagai  praktik  riset (lih.Laurel, Brenda. 2003. Design Research: Methods and Perspectives, MIT Press: Cambridge dan lihat uraian mengenai Sullivan).

Ada yang berpendapat bahwa berkarya seni adalah untuk membuat sesuatu yang baru dan bukan pengulangan dari karya yang lama. Oleh karena itu berkarya seni adalah sebuah praktik seni yang mengacu kepada dua pokok pikiran .
  1. Pertama mengacu pada konsep yang berkenaan dengan inovasi (inovation) dan tampil beda (differentation).
  2. Keberhasilan persepsi visual (deals with visual perception).
Masalahnya adalah bagaimana aspek psikologi pengamat memerhatikan, (1) nilai persepsi visual sebuah karya, (2)  adanya aspek differentation pada karya baru yang dilihatnya. [3]

Keberhasilan visual dari seni akademik sering diukur sebatas prinsip dan konsep visual (concept aspect) atau konsep-konsep visual yang melatarbelakangi karya itu, sedangkan pengatur dan penentu karya itu (prescriptive aspect) sering diabaikan, yaitu konsep-konsep fungsi teknologi, material, sosial, ekonomi dan budaya yang erat hubungannya dengan resepsi atau apresiasi pengamat [4]

6. Praktik Seni Berbasis Riset dan Riset Praktik  Seni di Perguruan Tinggi

Dalam dunia akademik, praktik seni berbasis riset dan riset praktik  seni dipelopori oleh Universitas Wollongong dan UTS di Sydney Australia yang dimulai pada tahun 1984. [5]

Praktik seni tidak lagi berbasis kepada konsep-konsep studio tradisional yang selama ini yang dipakai, tetapi kepada  dua corak riset  praktik seni, pertama disebut dengan studio berbasis riset (Studio based-research) dan riset praktik  studio (studio practice-led). 

Studio based-reserch memfokuskan diri dengan mengadakan riset sebelum berkarya dan memperlihatkan pengetahuan baru yang diperoleh baik melalui karya  desain, musik, performance, media digital, maupun pameran.

Yang kedua (studio practice-led) memfokuskan studi teks yang mendalam tentang praktik seni itu sendiri tanpa dibebani membuat karya. Pengalaman dan contoh praktik studio seni berbasis riset (Studio based-research) tergambar dalam proyek seni Annette Iggulden dari Universitas Deakin Australia. Dalam melaksanakannya, dia harus membedakan antara disposisi subjektif dan motivasi pribadi sebagai sumber inovasi dan pengetahuan, dalam proyek yang berjudul: (In The Space of Words and Images (2003). Dia meneliti produksi beberapa lukisan yang dipengaruhi oleh penyelidikannya atas naskah iluminasi (naskah buku kuno) dan embellishment (hiasan) biarawati, dari kelompok biara di  Eropa  abad Pertengahan.



Karya: Annette Iggulden, House And Home Iv 2014 , acrilic and ink on canvas

Proyek ini dikembangkan sebagai tanggapan pribadi seniman, di mana dia merasa dan menempatkan diri sebagai seorang wanita di dalam masyarakat dan  dalam pengalamannya sendiri  yang merasa sunyi di  masa kanak-kanaknya. Adanya motivasi subjektif  dan perhatian  pribadi atas riset ini, diakui sendiri oleh seniman.

About Annette Iggulden



Annette Iggulden has exhibited extensively in galleries throughout Australia. Her work is represented in major Australian collections and at the Victoria & Albert Museum in the U. K. Her doctoral exegesis, Women’s Silence: In the Space of Words and Images (2002), is held in the Research Libraries of The TATE (UK), the National Gallery of Australia and other major state libraries. She has been awarded several artist residencies in Australia and overseas. Annette is represented by Watters Gallery.


Dia menjelaskan bahwa mustahil untuk memisahkan penulisan dan penelitian  dari keadaan  hidupnya, tanggapan, serta emosi pribadinya terhadap pengalaman sehari-hari (Iggulden, 2002). Melalui proyek ini dia berangkat untuk memahami rasionalitas sasaran itu sebagai  respon sekunder intuitif dan akhirnya dilepaskannya kepada material dan kebutuhan sementara, yaitu bagaimana membuat karya dan menemukan makna pernyataan psikologis yang  tidak dapat dilukiskannya dengan kata-kata. Menurutnya, praktik  berbasis riset ini memberi peluang untuk memunculkan aspek subjektif dan di respon oleh pengamatnya sebagaimana merespon praktik seni non-riset.

Pada awalnya Iggulden, terlibat dengan suatu penelitan  tentang pekerjaan  biarawati yang asing   dan  termasuk  mengcopi dan membaca teks mengenai hal tersebut sebagai suatu alat estetik pada lukisannya, kemudian baru dia melukis.

Studinya yang lain adalah tentang tulisan Mesir kuno’ atau sebuah studi kode semiotik visual, kemudian dalam praktiknya dikembangkannya melalui penggunaan format warna abstrak dan bentuk ruang atau yang termuat pada huruf skrip itu. Ini adalah ‘bentuk’ dan lain dari sebuah tanda/simbol  sering muncul di garis tepi naskah kuno yang kemudian dipakai sebagai gagasan untuk sebuah lukisan dan, sebelumnya hanya dipikirkan melulu untuk hiasan.

Riset Iggulden dan terutama praktiknya, sebetulnya  lebih merupakan gabungan kegiatan intelektual dan estetik dan dengan muatan naskah biarawati zaman pertengahan. Dia tidak hanya melakukan penelitian untuk mengungkapkan aspek isi naskah sendiri, tetapi  juga membuka mata tentang aspek baru tentang kehidupan dan aktivitas biarawati abad Pertengahan yang berhubungan komunitas biara, dalam hal ini juga   dikaji   aspek intelektual komunitas biara, keindahan dan mungkin juga termasuk kegiatan  ‘motivasi politiknya’. Informasi ini sampai sekarang  tidak terdokumentasikan dan yang tidak dikenal oleh sejarawan sebelumnya.

Karya Iggulden telah membuka suatu arah baru bagi Sejarah Seni abad Pertengahan dan riset lainnya yang berhubungan dengan naskah abad pertengahan ini. Dalam praktik, dia mengembangkan pengamatannya dan mengarahkannya ke arah suatu keseragaman pikiran dan tindakan (Iggulden, 2004).

Menurutnya, proses kerja seniman adalah ‘interdisiplin’, baik metodologinya  maupun dalam kebermaknaan hasilnya. Konteks praktik mencakup penyelidikan  pekerjaan visual yang dikawal baik oleh teks  seniman pertengahan maupun yang baru. Kerangka konseptual dan teoretis bagi risetnya, ditarik dari bidang  filosofi, sejarah, sosiologi dan studi feminis. Hasil  riset nya tidak biasa, hasil proyeknya juga tidak terbatas dan terhitung nilainya. Risetnya telah menambah dan mendukung terhadap pemahaman orang tentang pengetahuan historis  naskah Pertengahan tertentu. Dalam praktik seni,  seniman menyajikan  suatu bahasa pribadi atau bentuk visual/verbal untuk berekploirasi  dan berekspresi  tentang identitas gendernya sendiri. Menurut cerita, pameran karya akhirnya dengan kanvas, telah masuk ke Musium Seni  Stables di  Melbourne tahun  2002 dan banyak dari karyanya terjual kepada publik dan koleksi pribadi di Australia saat itu. Salah seorang pemikir studio berbasis riset di australia adalah G. Sullivan (2005) dengan bukunya  Art Practice as Research: Inquiry in the Visual Arts dan buku ini menjadi buku teks untuk riset dan  praktik seni Perguruan Tinggi seni. [6]

7.  Teori Riset Seni Sullivan

Sullivan, Graeme (2005), mengemukakan pandangannya tentang riset  dalam bidang seni visual. Salah satu argumennya  bahwa sebuah praktik seni adalah hasil  inquiry ( penyelidikan/riset). Dia menjelaskan bagaimana inquairy itu dilakukan dan apa saja aspek-aspek yang terkandung di dalamnya. Crandall, Heather (2008), dalam sebuah tajuknya mencoba menjelaskan pokok pikiran ini.[7] 
Menurut Crandall, Sullivan dengan jelas menerangkan  kaitan sejarah (historis), isu  zaman  ini dan arah yang ingin dicapai oleh seni visual dalam pendidikan tinggi. Ia mencoba meliput kembali penelitian dalam sains dan dalam teori apa saja riset seni visual itu dijalankan. Sullivan menetapkan bahwa praktik  seni yang menyeluruh adalah sejumlah bentuk riset khusus, ketimbang riset yang pernah kita kenali. Menurut Crandal,  praktik seni sebagai riset berpotensi untuk mengubah pandangan kita tentang langkah tradisi ilmu pengetahuan. Sullivan menciptakan lebih dari tiga kerangka berpikir.

Gambar 5. Sullivan menciptakan sebuah kerangka bagi mereka yang ingin mendesain proyek riset seni meliputi yang Ide dan agennya, Bentuk dan Struktur dan Situasi dan Tindakan. 
Pada  akhir rangkaian kerangka inilah terbentuk komunitas, sistem dan kultur. Semua situasi yang terkait ke seniman disebut sebagai sebuah teori. Semua kerangka ini terminalnya adalah: (1) ide-ide dan agennya, (2) bentuk dan struktur, (3)  situasi dan aksi dipakai untuk menggambarkan total struktur ini. (Sumber, Sullivan, hal,190 dan  Crandall, 2008)

Pertama  terkait dengan  pengetahuan seni visual yang terdiri dari pengertian visual dari pengetahuan teori dan atau yang terkait dengan domain ini. Kognisi visual untuk pengertian konsep melibatkan :
1) berpikir terhadap sebuah medium (thinking in a medium),
2) berpikir melalui bahasa (thinking in a language) dan
3) berpikir melalui sebuah  setting (thinking in a setting).
.
Sullivan menciptakan kerangka lain bagi mereka yang ingin mendesain proyek riset seni meliputi yang gagasan dan agen, format dan struktur dan situasi dan tindakan.

Pada  akhir rangkaian kerangka inilah terbentuk komunitas, sistem dan kultur. Semua situasi yang terkait ke seniman disebut sebagai sebuah teori. Semua kerangka ini terminalnya adalah (1) ide-ide dan agennya, (2) bentuk dan struktur, (3)  situasi dan aksi dipakai untuk menggambarkan total struktur ini ( lihat gambar ,5).

Dapat disimpulkan bahwa apa yang disebut teori atau konsep  menurut pengertian yang lama  seperti gaya-gaya seni, konsep-konsep genre seni bagi  Sullivan hanya dianggap sebagai  ide  dan agen ide yang berasal dari sejarah/historis atau yang disebutnya sebagai diskursus dan teks naratif. Dari pemikiran Sullivan ini dapat dipahami semua hal yang terkait dengan penciptaan seni seperti metodologi,  desain, setting, performance dari karya  seni dapat menjadi sumber teori. 

Hal terpenting dari  pokok pikiran Sullivan adalah bahwa praktik  seni (visual practice experience) dilandasi oleh  agen-agen ide, bentuk  dan struktur (lihat gambar 1.6) yang kemudian bermuara ke sebuah situasi/aksi. Yang dimaksud dengan ide atau agen-agen ide adalah diskursus (diskusi, ceramah, seminar ), Interpretasi, dialog, integrasi, narrasi teks (sejarah, teori, kritik, dsb. ) dan, pengamatan.

Bentuk dan struktur adalah pengalaman empiris pada karya, inquairy, penelitian, test (pengujian terhadap karya seni), review/report,  metode berkarya, desain/rancangan, simulasi dan karya seni (art work).

8.  Teori Tindakan

Michael Fullan (2001), sebagai penulis prolifik (serba bisa), banyak  mengubah  pandangan orang tentang gerak dan tindakan  individual maupun sosial (organisasi). Salah satu premisnya adalah bahwa pembelajaran itu bukanlah tindakan  searah kepada individu, tetapi tindakan bersama  dalam membentuk  makna bersama (Hammond, 2002).

Fullan yang asalnya dari jurnalistik, kemudian  banyak mempengaruhi dunia manajemen dan juga dunia pendidikan. Teori Fullan  mempengaruhi perubahan pandangan dalam manajemen dan organisasi maupun riset  tentang itu. Sesuai dengan teori Fullan yang jadi pertanyaan apakah dalam seni itu semata tindakan kreatif individual dan subjektif ? Pada bagian  (2. d) di atas telah dijelaskan bahwa seni adalah juga gejala tindakan sosial dan budaya dalam rangka  “makna seni bersama”,  kehadiran karya seni tidaklah semata akibat tindakan pribadi. Jadi, secara komprehensif, lahirnya karya seni adalah akibat berikut ini.

1.Tindakan pribadi, berdasarkan inspirasi individu (keperluan pribadi), berkreasi berdasarkan dorongan jiwa, inspirasi dan tindakan individu

2.Tindakan kelompok, komunitas, organisasi  atau institusi. Karya seni hadir karena adanya kebutuhan kelompok terhadap seni tertentu. Misalnya, candi Borobudur di Jawa tengah, atau patung liberty di New York, dibuat karena permintaan institusi yang berkuasa untuk membangunnya. Dalam masyarakat ada lapisan-lapisan sosial, ada pembagian kerja yang dilegitimasi untuk pekerjaan tertentu, maka muncul sebutan-sebutan profesi seperti artist, seniman, pelukis, pematung, arsitek, desainer, dsb.  Di India misalnya ada kedudukan khusus perancang yang diberi nama), (a) Sthapati (master builder), (b) Sutra-Grahin (Juru gambar), (c) Vardhaki (perancang), Takshaka (tukang). Di Indonesia muncul sebutan  Undagi (di Bali),  Pandyta Bala (di Makassar), Tukang Tuo, atau “tukang ukia” (di Minangkabau).

3. Tindakan masyarakat, mirip dengan tindakan organisasi atau institusi, tetapi tidak berdasarkan  profesi, yaitu berkarya berdasarkan tradisi atau kebiasaan atau “imaji-imaji” seni  yang terbentuk dalam masyarakat. Seni dibuat   dari dan untuk kebutuhan masyarakat. Seni yang berangkat dari rakyat biasanya disebut dengan seni rakyat (folk art). Sesuai dengan teori sosial, maka seni ini sifatnya konservatif dengan cara mempertahankan apa yang ada. Misalnya produksi “craft” adalah bagian dari tradisi yang dipertahankan secara sosial, kecuali “craft” baru yang  pembuatannya  berdasarkan konsep seni modern, tentu saja tujuannya sudah sangat berbeda dengan “craft” tradisi.



[1] Saw, James T. 2001. “ 2 D design Notes, art 204: Design and Composition”, http//daphne.palomar.edu/design. default. htm 
[2] Catatan : seperti yang diuraikan sebelumnya dalam seni modern, seniman tidak lagi untuk menangkap alam atau natural, tetapi menangkap pikiran-pikiran (ide-ide) yang  direncanakan terlebih dahulu (lih. Feldman, 1967; Jirousek, 2002). Oleh karena itu, mereka mulai mengenal  seni yang dirancang dan atau yang mengalami sebuah proses sampai munculnya konsep-konsep  seni, serta alasan logis  kenapa dan untuk apa karya seni itu diciptakan. 
8   Büchler, Daniela. 2007, Staffordshire University, England
9   Lihat Couto, Nasbahry. 2008. Dimensi Teknologi dalam Seni Rupa, hal.14
10  Artikel mengenai ini dimuat dalam Nasbahry C, 2008. Sebuah Perenungan Terhadap kecenderungan Seni dan budaya, Komunitas Belanak, http://www.belanak. wordpress.com
[6] 11  Lihat Linda Candy, Creativity & Cognition Studios. http://www. creativityandcognition.com.
[7] 12  Crandall, Heather. 2008. Communication Research Trends http://www.articlearchieves.com. Menurutnya, buku ini berguna untuk mahasiswa tingkat undergraduate (S1 di Indonesia) dan sangat ideal untuk jurusan Komunikasi Visual.