Automatic translation of this blog page: Terjemahan otomatis blog ini

Rabu, 23 Maret 2011

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-6)

hal 6

Secara umum digambarkan bahwa keris dibuat dalam bentuk khusus bentuk khusus (berkeluk-keluk) dari bahan baja dan kawat besi, mata pisaunya 14 inci (35,5 cm) hulunya ada yang dibuat dari gading gajah; gigi duyung, gigi ikan duyung, gigi badak, jangur ikan layar; batu karang yang hitam; atau kayu yang berserat halus diamplas dan diukir dalam figur tertentu dan terkadang dihiasi dengan emas atau suasa (campuran emas dengan tembaga); sarung dibuat dari kayu bermutu dan terkadang iikat dengan anyaman rotan, diwarnai merah diantara di bagian bawah atau dilapisi emas, dipakai di bagian depan sabuk, (William Marsden, bab 3 3:91). Hal ini digambarkan dalam mamangan adat sebagai berikut ini.
Sinjato karih kabasaran, sisiaknyo tinaman labu, sampiang jo cawek nan tampeknyo, gembo tumpuan puntiang, hulu kayu kamat, kokoh tak rago dek ambalau, bengkok nan tangah tigo patah, bamato baliak batimba, sanjato pulo dek gebonyo, ipuah nan turun dari langik, biso nan pantang katawaran, karih Sampono Rajo Erah.

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-5)

hal 5

Tipologi Keris Minangkabau

Dari hasil analisis dan kajian bentuk  keris Minangkabau dapat diketahui bahwa keris Minangkabau terdiri atas dua tipe yaitu tipe bilahan lurus dan berkelok. Tipe Lurus disebut tarapang dan atau sindorik. Kemudian tipe berkelok dinamakan karieh. Bentuk kedua bilahan ini sama saja dengan keris di banyak kawasan Nusantara. Pengaruh yang paling mungkin diduga bersumber dari keris Jawa mulai sejak masa kerajaan Majapahit, yang di Minangkabau dikenal dengan Karieh Sampono Ganjo  Erah yang berasal dari kata Sempena  Ganja Iras. Sedangkan aspek pamor bilahan keris, hanya terdiri dari dua jenis jakni pamor api dan (Bimasakti).
Keris lurus (Tarapang/sindorik, lengkap dengan sarungnya. Koleksi Zayadi Makmur, Bukittinggi. Foto Erwin A. 1999.


Kedua jenis pamor ini tidak ditemukan pada bilahan keris Jawa. Kuat dugaan, pamor ini merupakan hasil pemikiran dari empu keris Minangkabau yang anonim. Tidak ditemukan adanya bilahahan yang berpamor putih cemerlang. Kebanyakan bilahan keris Minangkabau tidak memiliki pamor sebagaimana yang dimaksud dengan pamor pada keris Jawa. Demikian juga tentang tipe ujung keris. Jika ujung keris Jawa terdiri dari empat macam tipe, maka di Minangkabau hanya semacam saja yang dinamakan rabuang mambasuik (rebung yaitu tunas bambu yang muncul dari tanah).

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-4)

hal 4


Dari uraian di atas dapat dipahami bahwa keris menurut orang Timur dapat dilihat sebagai perpaduan dari unsur tampak (garis, bidang, bentuk, warna, tekstur, proporsi, komposisi, dan sebagainya) dengan unsur yang tak terlihat (isi, pesan, makna filosifis, sosial, historis, etis, dan religius-mistis), dengan kata lain perpaduan antara yang lahir dengan yang batin. Hal ini sejalan dengan pendapat Tabrani (1995) yang mengatakan:
"Tak ada karya seni rupa yang dibuat semata untuk keindahan. Sebaliknya tak ada benda pakai (sehari-hari, upacara, sosial, kepercayaan, agama) yang asal bisa dipakai, ia pasti indah. Indahnya bukan sekedar memuaskan mata, tetapi melebur dengan kaidah moral, adat, tabu, agama, dan sebagainya. Dengan demikian selain bermakna sekaligus juga indah'.(Primadi Tabrani.1995:16).

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-3)

hal 3

Di daerah Minangkabau lainnya, bukan keris yang dipusakakan secara turun temurun, tetapi diganti dengan sewah tumbak lado/sakin yakni sejenis pisau dengan ciri  tertentu. Keris juga dijadikan benda ikatan perjanjian adat perkawinan saat melaksanakan peminangan (timbang tando) di samping benda lainnya seperti " cincin pertunangan, kain songket, dan sebagainya.
Hal ini menimbulkan suatu pertanyaan kenapa benda itu diposisikan demikian. Keadaan ini tentu saja mempunyai alasan sendiri-sendiri.

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-2)

hal 2

Umumnya filsafat (kosmologi) Minang bersendikan kepada "alam terkembang jadi guru". Di zaman Minangkabau-Hindu/Budha lama penguasa alam itu ada delapan (ajaran hasta brata), yang empat dihilangkan, sehingga tinggal empat. (dalam awal pidato adat selalu disebut angka delapan ini, dikatakan dua pergi ke utara (Cina?), dua lagi ke selatan (Jawa?). Tafsiran sekarang lain lagi. Tetapi yang serba empat ini dipakai dalam kosmologi Minangkabau, misalnya "kato nan ampek", Nan ampek suku dsb. Tafsiran lain tentang kosmologi ini, dapat ditafsirkan "alam" itu adalah lingkungan sosial dan lingkungan geografis sendiri termasuk alam budaya serta masyarakat (sosial) yang mempengaruhinya. 

Dapat dipahami bahwa wujud kebudayaan Minangkabau yang muncul kemudian disempurnakan dengan adanya persentuhannya dengan budaya luar.  Dalam hal ini, banyak penelitian dari ahli sosial dan budaya yang melihat, bahwa pengaruh-pengaruh yang datang itu bukan oleh karena kedatangan masyarakat (budaya)  lain ke Minangkabau. Tetapi oleh orang Minang sendiri dengan tradisi "merantau"nya -- dengan sengaja "belajar", menimba ilmu pengetahuan di rantau untuk dibawa "pulang". Jadi merantau  bukan semata untuk mencari harta kekayaan, tetapi juga "ilmu pengetahuan" yang memperkaya kebudayaannya sendiri.

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-7): Lima keris yang Melegenda di Indonesia



Lima keris yang Melegenda di Indonesia

Keris Pusaka Minangkabau: (bgn-1): Suatu Kajian Fungsi, Unsur Visual dan Makna

hal 1
Oleh Drs. Erwin A., M.Sn
Dosen Seni Rupa FBSS UNP Padang
(Editor: Nasbahry Couto)

Abstrak
Penelitian ini merupakan studi awal tentang benda budaya tradisional Minangkabau dalam bentuk keris yang menjadi barang pusaka sampai sekarang. Sebagai benda pusaka budaya yang terlihat (tangible cultural Heritage), ia merupakan visualisasi dari ide/gagasan, nilai-nilai, norma-norma, atau aturan tertentu. Kehadirannya kelihatan sebagai salah satu atribut pakaian adat para penghulu pakaian marapulai (pengantin laki-laki) di Minangkabau merupakan tanda (sign) yang mengandung pesan atau makna tertentu. Permasalahan terpenting dari penelitian ini terletak pada tanda (sign) dan makna yang terkandung di balik peragaan pada keris ini. Dengan demikian, tujuan utama penelitian ini adalah mencoba mengungkapkan pesan atau makna yang dikandung keris pusaka ini secara lengkap yaitu dari bilahan, sarung, gagangnya menurut pandangan orang Minangkabau. Di samping untuk meneliti tentang tipologi keris, dan tatacara pemakaiannya dalam tatabusana adat melalui bentuk penelitian deskriptif kualitatif dengan metode analisis semiotik. Kemudian diperoleh sejumlah informasi tentang tanda-tanda bermakna yang terdapat pada keris ini. Tanda-tanda itu merupakan simbol dari ajaran adat Minangkabau yang dipedomani oleh setiap penghulu/pemimpin, hakim, atau orang yang ditugasi suatu jabatan, dalam menjalankan fungsinya sebagai pimpinan. Keris bagi orang Minang adalah simbol/lambang status sosial, keadilan, kebenaran, dan simbol kehidupan umumnya. Yang menarik adalah sebuah kenyataan bahwa tidak semua pemilik dan atau masyarakat mengetahui dan mengerti pesan/makna keris secara detail. Umumnya masyarakat Minang hanya mengetahui keris sebagai bagian dari pakaian kebesaran seorang pengulu. Tidak pula ditemukan makna-makna khusus yang berhubungan dengan tuah/magis keris. Namun bagi seorang kolektor keris, selain dapat mengumpulkan keris antik yang bernilai jual tinggi, ada rasa puas tersendiri baginya jika telah memiliki keris pusaka Minangkabau. 

Sering dilihat, yang lain mungkin juga penting